menghargai karya cipta orang lain. Semakin luas dan gratisnya mendapatkan karya-karya remaja-remaja musik indie, tidak membuat mereka menjiplak.
Melainkan, remaja-remaja musik indie lebih suka melakukan aransemen ulang. Semakin luasnya persebaran ide atau gagasan dan eksistensi pada remaja-
remaja komunitas musik indie memang mendapat pengaruh dari seberapa besarnya jaring distribusi yang dijalin. Jaringan-jaringan sosial yang dijalin tentu
saling mendukung dalam hal pencapaian tujuan komunitas musik indie tersebut, yaitu penolakan terhadap mainstream pop.
4.5. Penolakan Terhadap Mainstream Pop
Berkembang pesatnya komunitas musik indie adalah salah satunya dilatarbelakangi oleh semangat Do It Yourself DIY. Semangat Do It Yourself
atau semangat kemandirian ini termasuk penolakan terhadap keseragaman, termasuk keseragaman dalam persoalan musik. Sebagian besar komunitas musik
indie dengan idealismenya menolak mainstream budaya pop. Barker 2000:337 mengatakan bahwa:
“Kebudayaan pop terutama adalah kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa tampaknya ia akan
berubah di masa yang akan datang. Namun, dinyatakan bahwa audien pop menciptakan makna mereka sendiri melalui teks kebudayaan pop dan
melahirkan kompetensi kultural dan sumber daya diskursif mereka sendiri. Kebudayaan pop dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan
oleh audien pop pada saat konsumsi dan studi tentang kebudayaan pop terpusat pada bagaimana dia dia digunakan. Argumen-argumen ini
menunjukkan adanya pengulangan pertanyaan tradisional tentang bagaimana industri kebudayaan memalingkan orang kepada komoditas
yang mengabdi kepada kepentingannya dan lebih suka mengeksplorasi bagaimana orang mengalihkan produk industri menjadi kebudayaan pop
yang mengabdi kepada kepentingannya.”
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang sudah di jelaskan di awal, bahwa indie maupun major mainstream merupakan persoalan industri. Indie yang merupakan singkatan dari
‘independent’ tidak menjalankan nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan pop. Di sini, musik indie sebagai suatu counter dan penolakan terhadap mainstream
pop. Sebagai suatu bentuk penolakan terhadap mainstream pop, komunitas musik indie lebih mengutamakan ekspresi diri ataupun kebebasan berekspresi daripada
semata pencarian keuntungan. Dengan kata lain, remaja-remaja komunitas musik indie menolak keseragaman yang selama ini didominasi oleh mainstream pop.
Di kalangan remaja-remaja komunitas musik indie, berkembang anggapan bahwa dengan bergabung dengan mainstream, maka bersiap kehilangan
kebebasan untuk berekpresi dalam bermusik. Musik yang berkembang secara luas di masyarakat sekarang adalah musik yang di dominasi oleh musik mainstream
yang dalam hal ini adalah major label. Major label mengakui adanya suatu keseragaman musik dan tema-tema dalam karya lagu, seperti musik mendominasi
sekarang ini, musik yang beraliran pop melayu dan tema lagu selalu tentang percintaan, selingkuh, patah hati, dan cerita cinta lainnya.
Remaja-remaja komunitas musik indie kebanyakan mengutamakan kepuasan dan kenyamanan dalam bermusik. Mengenai tema lagu tak harus
tentang cinta, masih banyak realitas-realitas sosial yang dapat diwujudkan dalam karya lagu. Band “Rumput Tetangga” pernah menghasilkan karya lagu yang
berjudul ‘Global Warming’, yaitu ketika isu pemanasan global sedang marak- maraknya. “Hairdresser On Fire” HOF juga pernah membuat lagu bertema
‘Global Warming’ namun dari sisi yang berbeda dari yang dilihat “Rumput
Universitas Sumatera Utara
Tetangga”. Berikut keterangan Embun Munggarani 27 tahun, vokalis band “HOF” dan juga penyiar radio Prambors Medan:
“HOF membuat lagu untuk orang yang picik dan tak peduli terhadap global warming, ngomong tentang global warming
padahal tak tahu apa-apa dan tak berbuat apa-apa, ngomong tanpa dipikir”
Selain “Rumput Tetangga” dan “Hairdresser On Fair” HOF, “The
Cangis” sendiri pernah membuat lagu dengan judul yang lain dari yang biasa, yaitu ‘Tempayan Meradang’ bercerita tentang alat kelamin wanita. Inilah salah
satu bukti kebebasan berekspresi dalam bermusik dan menghasilkan karya lagu. Kebebasan berekspresi dalam bermusik tanpa harus adanya kungkungan dan
terikat dengan pasar. Di kalangan komunitas musik indie percaya bahwa pasar dapat diciptakan sendiri, tidak harus terikut dengan pasar seperti yang selama ini
diwacanakan oleh label mainstream. Kepuasan dan kenyamaan dalam bermusik inilah yang mengungguli daripada semata-mata hanya meraih keuntungan materi.
Dapat disadari bahwa, tidak semua remaja-remaja komunitas musik indie mempunyai pemahaman dan idealisme seperti itu. Beberapa dari remaja-remaja
kota Medan khususnya band-band yang bernaung seakan menjadikan komunitas musik indie sebagai batu loncatan untuk menarik simpatik label mainstream
dalam hal ini adalah major label. Dengan harapan band tersebut dapat berkarir dan meraih keuntungan materi yang lebih besar lewat jalur mainstream.
Bagi remaja-remaja komunitas musik indie yang mempunyai idealisme, sangat tidak sepaham dengan band yang memanfaatkan komunitas musik indie
sebagai suatu batu loncatan. Bahkan bukan hanya itu, remaja-remaja tersebut juga menolak aktivitas-aktivitas industri ataupun festival-festival musik yang berkedok
Universitas Sumatera Utara
mengeksiskan band-band indie. Event-event musik seperti ini biasa
diselenggarakan atau disponsori oleh perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan rokok, “LA Lights Indiefest” dan “A Mild Live Wanted” yang penulis
kemukakan pada bab sebelumnya, merupakan contoh dari event tersebut yang disponsori oleh perusahaan rokok. Mengenai hal ini, penulis mengutip wawancara
kepada Panjang Indra Fadillah: “Aku pribadi tidak setuju band-band itu difestivalkan. Karena
kualitas bermusik itu tergantung masing-masing orang yang menikmatinya. Tidak ada juara dalam hal bermusik.”
Komentar lain diungkapkan oleh Torep: “Ajang-ajang seperti ini aku sangat tidak setuju. Dulu pernah The
Cangis ditawari ikut event seperti ini. Bahkan tidak usah ikut seleksi, tinggal kasih demo dan berangkat ke Jakarta. Tapi kami
menolaknya, karena ya itu kualitas musik itu bukan di tangan juri yang menilai. Kami di The Cangis lebih memilih kepuasan dan
kenyamanan dalam memainkan musik. Aku pribadi percaya event- event itu sifatnya sementara yang berdampak sama band itu juga.
Dan itu hanya strategi perusahaan rokok misalnya untuk memasuki pasar anak muda.”
Meskipun seakan tiada hentinya pertentangan di kalangan remaja-remaja
komunitas musik indie sendiri, yaitu indie atau mainstream, sebagian besar dari remaja-remaja komunitas musik indie lebih memperjuangkan kenyamanan dalam
bermusik dan kebebasan berekspresi. Remaja-remaja komunitas musik indie memposisikan diri sebagai pelaku musik yang bebas memilih dan menawarkan
alternatif dalam bermusik di tengah terbatasnya pilihan, pilihan musik seragam yang selama ini didominasi oleh mainstream pop.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan