1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah yang dimaksud dengan komunitas musik indie dan bagaimana perilaku kolektif
yang ditunjukkan oleh komunitas tersebut?. Dari rumusan permasalahan ini dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian, yaitu;
1. Bagaimanakah asal usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas
musik indie? 2.
Bagaimana kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan menyelenggarakan pertunjukan musik?
3. Bagaimana bentuk komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif
dan bagaimana komunitas ini dapat bertahan dalam persaingan musik yang sangat ketat?
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas musik indie kota Medan, yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat dan komunitas Medan
Movement. Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah pertama, asal- usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas musik indie. Kedua,
kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan
menyelenggarakan pertunjukan musik. Dan yang terakhir adalah, komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif dan bertahannya komunitas ini
dalam persaingan musik yang sangat ketat. Hal ini dapat diperoleh melalui dua kategori informan, yaitu remaja-remaja sebagai pelaku ketiga komunitas musik
Universitas Sumatera Utara
indie Medan tersebut dan remaja-remaja kota Medan sebagai penikmat musik indie kota Medan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini
bertujuan untuk: 1.
Mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan. 2.
Memaparkan kreativitas remaja-remaja pengikut musik indie dalam menciptakan karya lagu, serta mendeskripsikan kreativitas remaja-remaja
komunitas musik indie dalam menyelenggarakan pertunjukan musik. 3.
Mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Secara
akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu Antropologi, terutama mengenai komunitas musik indie. Selain
itu, diharapkan penelitian ini juga dapat menjadi bahan rujukan atau literatur bagi para pembaca yang ingin meneliti lebih jauh mengenai komunitas musik indie dan
perilaku kolektif komunitas tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembaca dan pihak-
Universitas Sumatera Utara
pihak yang terkait dengan komunitas musik indie. Dengan demikian, penelitian ini dapat membantu para pembaca untuk memahani perilaku kolektif komunitas
musik indie, khususnya di kota Medan.
1.5. Tinjauan Pustaka
Nico frijda mengatakan bahwa perilaku manusia merupakan suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan
penahan. Perilaku dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Perilaku manusia pada hakikatnya
adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi,
berpakaian, dan lain-lain. Bahkan kegiatan internal internal activities sendiri, seperti berfikir, persepsi dan emosi, juga merupakan perilaku manusia dalam
Mutis dkk, 2007:28. Manusia tidak bisa hidup sendiri dan cenderung akan selalu melakukan
sharing berbagi bersama dengan manusia yang lain. Proses sharing ini lalu diserap sebagai pengetahuan individual lewat proses belajar yang dilakukannya.
Apabila hasil dari proses sharing ini terus menerus disosilisasikan dan dimantapklan akhirnya relatif membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu,
relatif memiliki kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif memiliki artefak atau material yang sama Sunarto, 2004:31.
Kesamaan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya, sehingga akhirnya menjadi
Universitas Sumatera Utara
sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota kelompok tersebut Koentjaraningrat, 1982:140. Selanjutnya, Mutis 2007:106-
121 mengatakan bahwa sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan ini kemudian disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan.
Menurutnya, ini artinya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal-hal yang dimiliki manusia tersebut sifatnya :
1. Sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada di kelompoknya. Masalahnya, konsep bersama dalam hal ini kecenderungannya akan dilihat
secara berbeda oleh masing-masing ahli. 2. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau
genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses
pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat
evolusi maupun cepat revolusi. Menurut Hermawan 2008:1, secara umum, kelompok diartikan sebagai
kumpulan orang-orang. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua atau lebih orang yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat
bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok
atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok, yaitu 1 adanya interaksi yang terpola dan 2 adanya kesadaran akan identitas
bersama.
Universitas Sumatera Utara
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi secara kontinu sesuai dengan suatu sistem
adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas. Berdasarkan yang tertulis di Wikipedia, komunitas adalah:
”sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam
komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah
kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti kesamaan, kemudian dapat diturunkan dari communis yang
berarti sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak.
Sekelompok manusia termasuk yang tergabung dalam suatu komunitas, yang melakukan suatu kegiatan secara bersama dapat diartikan sebagai suatu
bentuk kolektivisme kebersamaan. Perilaku sekelompok manusia yang dilakukan secara bersama ini pula dapat diistilahkan sebagai perilaku kolektif.
Neil Smelser dalam Suryanto 2008:2 mengidentifikasi beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, diantaranya:
1. Structural conduciveness, yaitu beberapa struktur sosial yang memungkinkan
munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan, mall, dan sebagainya.
2. Structural Strain, yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul
secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada. 3.
Generalized Belief: share interpretation of event, yaitu menginterpretasikan suatu peristiwa yang diketahui oleh banyak orang. Misalnya suatu pertunjukan
acara atau konser.
Universitas Sumatera Utara
4. Precipitating factors, yaitu ada kejadian pemicu trigerring incidence. Misal
ada pencurian, ada kecelakaan, dan lain-lain. 5.
Mobilization for actions, yaitu adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh, rapat umum suatu ormas, dan seterusnya.
6. Failure of Social Control, yaitu akibat agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Bila dilihat dari beberapa kategori di atas, komunitas musik indie termasuk
dalam kategori yang ketiga dan keenam yaitu Generalized belief: share interpretation of event, yang berarti bahwa anak muda yang tergabung dalam
komunitas musik indie mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada umumnya diketahui oleh banyak orang dan Failure of Social Control, yaitu
melakukan suatu perilaku kolektif akibat adanya agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Menurut Barker 2008:338, anak muda
adalah: ” petunjuk alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis,
suatu pengklasifikasian secara organis terhadap orang-orang yang menempati posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia mereka.”
Sibley di dalam bukunya Barker 2008:340 mengemukakan bahwa:
”Batas kategorisasi anak berbeda-beda di berbagai kebudayaan dan telah mengalami perubahan berarti melalui perjalanan sejarah di dalam
masyarakat Barat kapitalis. Batas-batas yang memisahkan anak-anak dan orang dewasa tetap merupakan sesuatu yang membingungkan. Remaja
adalah suatu zona ambivalen dimana batas anak-anakdewasa bisa secara beragam ditempatkan menurut siapa yang melakukan kategorisasi. Jadi,
remaja tidak mendapatkan akses di dalam dunia orang dewasa, namun mereka mencoba mengambil jalan antara dirinya dengan dunia anak-anak.
Pada saat yang sama mereka mempertahankan sejumlah hubungan dengan anak-anak. Remaja bisa terlihat mengancam dimata orang dewasa karena
Universitas Sumatera Utara
mereka menerobos batas-batas dewasaanak-anak dan tampak berbeda di ruang ’orang dewasa’... Tindakan menentukan garis batas dalam konstruksi
kategori-kategori yang terpisah menyela hal-hal secara alami berkelanjutan.”
Perilaku kolektif anak-anak muda bersama komunitasnya, yaitu berusaha menginterpretasikan suatu peristiwa akibat agen yang ditugaskan melakukan
kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Khususnya dalam hal musik, anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas musik indie, berusaha melakukan kontrol
sosial tersebut melalui musik indie. Musik indie sebagai suatu hasil karya seni, merupakan salah satu wujud dari budaya populer. Musik indie adalah salah satu
media yang dapat digunakan untuk menyuarakan penderitaan rakyat tertindas ataupun realitas sosial yang ada. Karya seni yang hanya menjadi instrumen
hegemoni yang membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya, karena
keindahan dan kesan-kesan yang dibawa dan ditawarkannya Wink, 2008:1. Munawar 2008:2 mengemukaan bahwa seniman atau penikmat seni
dapat saja acuh terhadap realitas karena disibukkan dengan kontemplasi tentang cinta, kasih sayang, keharuan dan sebagainya, sehingga tanpa di sadari dia sedang
melanggengkan sebuah tatanan sosial politik ekonomi dan yang lebih parah lagi implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang
berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan,
cinta, kasih sayang, dll. Menurutnya, seni sebagai konsep perlawanan adalah subordinat dari sebuah perlawanan budaya counter cultur. Konsuekensinya
Universitas Sumatera Utara
karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat tetapi juga memiliki
resiko dijinakkan oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian.
Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk
perlawanan budaya counter culture tersendiri. Musik populer cenderung diciptakan dengan beberapa sifat yang salah
satunya berupa representasi kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat ekspresi, impresi, dan lain-lain. George Planketes melalui esainya yang berjudul
“Music” menyatakan lirik yang berupa kata-kata yang dinyanyikan dalam musik dapat mensugesti terutama para remaja dan akhirnya termanifestasi ke dalam
perilaku pendengar tersebut Muhary;2007:17. Thomas Inge dan Dennis Hall dalam Muhary 2007:19 mengatakan :
“Musik merupakan pusat dari ‘pengalaman’ usia remaja, meliputi identitasnya, ideologi, dan aktivitas. Semakin meningkat lirik lagu yang
rumit, menjadi sangat kuat dan sangat berarti, dari nyanyian perorangan menjadi musik kelompok perlawanan untuk protes dan perubahan di
tengah-tengah pergolakan politik dan sosial dengan latar belakang sebuah massa”
Strinati 2007:78-79 juga mengatakan bahwa:
“Sebenarnya Gendron menggunakan contoh produksi mobil untuk menjelaskan apa yang dimaksud Adorno ketika dia mengatakan bahwa
fungsi kapitalisme adalah untuk menstandardisasi komoditas. Standardisasi melibatkan pertukaran bagian-bagian bersama-sama dengan individualisasi
semu. Bagian-bagian dari suatu jenis mobil dapat dipertukarkan dengan bagian-bagian mobil lain berdasarkan standarisasi, sementara penggunaan
gaya atau individualisasi semu seperti penambahan sirip belakang pada
Universitas Sumatera Utara
sebuah mobil Cadillac membedakan mobil-mobil antara satu sama lain, serta menyembunyikan kenyataan bahwa standardisasi tengah terjadi.
Menurut Gendron, Adorno mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada mobil terjadi pada music pop. Keduanya dibedakan oleh inti dan periferi
sampingan, tambahan, intinya mengikuti standardisasi, sedangkan periferi tunduk pada individualisasi semu. Proses standardisasi itu terikat dengan
kehidupan orang-orang yang harus hidup di dalam masyarakat kapitalis dan dengan status inferior music pop jika dibandingkan dengan music klasik
maupun music garda depan. Gendron juga menjelaskan bahwa standardisasi music pop, menurut pandangan Adorno, berlangsung secara
diakronis begitulah, dari waktu ke waktu seiring dengan ditetapkannya standar-standar music pop maupun secara sinkronis standar-standar yang
berlaku kapan pun.”
Yudhasmara 2010:1 menyebutkan Indie pop adalah sebuah aliran musik alternative pop yang berasal dari Inggris pada pertengahan era 1980an. Terkadang
istilah indie digunakan untuk menggambarkan grup musik yang berkarier secara independen. Indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari segala yang ada
pada penyanyi tanpa bantuan langsung label mulai dari merekam, mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Menurutnya, terdapat
perbedaan antara mainstream dan indie. Umumnya yang dimaksud dengan mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di
bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun
internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos
dengan baik. Klasifikasi kelompok indie itu lebih kepada industrinya, perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan
rekaman. Dilihat dari talenta dan bakat, tidak ada yang memungkiri kalau band-
Universitas Sumatera Utara
band indie terkadang lebih bagus daripada band-band mainstream. Masalah utama mereka adalah uang, karena industri musik mainstream berbasis kepada profit,
jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar pada nilai investasinya.
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an. Awalnya Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’ dari trend
budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa varian-varian baru seperti grunge, brit pop, hip-hop, melodic punk dan lain-lain
Fikrie, 2008:1. Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada sekian banyak pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak bermunculan band-band
serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang beragam. Sejak saat itu istilah underground mulai digantikan dengan istilah Indie. Mungkin istilah
underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal. Maka istilah indie dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim digunakan.
“Pure Saturday”, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal yang membuat album rekaman sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album
pertamanya pada tahun 1995, dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan mencetak album ini lantas diikuti oleh sederet nama lain seperti “Waiting Room”,
“Pestol Aer”, “Toilet Sound” dll. Selanjutnya booming Indie semakin menjadi, ketika “Mocca” band Swing Pop asal Bandung sukes menembus angka di atas
100.000 copy dalam penjualan kaset mereka. Keberhasilan “Mocca”, turut membawa dampak bagi perkembangan musik indie. Selanjutnya deretan nama
Universitas Sumatera Utara
seperti “Puppen”, “Shagy Dog”, “Superman Is Dead”, “Rocket Rockers”, “Superglad” dll, mencuri perhatian para penikmat musik.
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam berkarya. Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak ketertinggalan dalam
soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya musik kelas bawah di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di Indonesia. Karena kelas
menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip perkembangan dunia musik luar negeri ketika itu. Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah
memenjarakan “Koes Ploes”, karena musiknya dituduh identik dengan budaya kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya melihat musik
“Koes Ploes”, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia. “Koes Ploes” juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka
mengekspresikan kebebasan. Semangat-semangat penolakan juga masih terdengar dalam lirik-lirik band
indie di Indonesia. Terakhir kita dengar “Efek Rumah Kaca” yang lugas dalam merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal kematian
Munir, seorang aktivis hak azasi manusia. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang mengkritik soal budaya latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik lagu
cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan Pornoaksi. Kompas, 3 September 2008. “Ras Muhammad” dengan musik reggaenya,
pantas juga di sebut sebagai musisi indie yang concern berbicara soal realitas- realitas sosial. Belum lagi jika menyebut beberapa band Punk seperti “Marjinal”
dan “Bunga Hitam”, yang hampir setiap lirik lagunya berbau kritik sosial. Hal
Universitas Sumatera Utara
yang sama juga masih dilakukan oleh band-band lain, seperti “Burger Kill”, “KOIL”, “Seringai”, “Komunal” dll. Untuk band-band seperti ini, kita pantas
mengucap salut. Mereka benar-benar mengadopsi idealisme indie dalam bermusik. Idealisme yang bukan hanya sekedar di maknai dalam proses distribusi
dan produksi kasetcd, tapi juga dalam karya mereka yang jujur dalam merekam realistas sosial Fikrie, 2008:1.
Seharusnya band indie merupakan band yang beridealis dengan karakter musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya
tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri, seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album.
Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi internet. Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah
untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band
indie mandiri. Selain itu kertertarikan indie maupun Major Label pun akan bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya,
budaya dan massa. Pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan karya
mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik indie ataupun Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari
musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya, bentukan label yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Sebaliknya, hal ini
adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk
Universitas Sumatera Utara
karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti trend, tuntutan budaya atau industri musikhiburan. Majalah Kover Edisi Mei
2010 menuliskan bahwa:
”Sejarah mencatat, indie label memang tidak selalu bertumpu pada penjualan album secara massal, tapi mengutamakan komunitas dulu.
Kemudian membentuk pasarnya sendiri. Sebenarnya, pergerakan indie sudah menjalar ke ranah musik kita sejak tahun 1990-an. Padi adalah
salah satu band indie yang berhasil membentuk komunitasnya sendiri hingga menancapkannya di jalur mainstream.”
Di Medan sendiri hanya beberapa nama band indie yang masih mampu
eksis, semisal “SPR”, “Cherrycola”, “Korine Conception”, “Army Clown”, “Sinar Band” maupun “Beautiful Monday” yang saat ini dikabarkan sedang menjalani
proses rekaman untuk album band perdana di Jakarta. Band-band indie Medan ini eksis dengan caranya masing-masing. SPR yang hidup dari panggung ke
panggung atas undangan beberapa event organizer Medan, senasib dengan “Army Clown”. Sementara ada yang eksis atas kemauan yang kuat lewat promosi ke
promosi album. Caranya beragam, mulai dari menjalin koneksi dengan radio dan media cetak, misalnya, seperti “Cherrycola” dan “Korine Conception” Fikrie,
2008:1. Belakangan, perkembangan musik indie di Medan memang drastis naik.
Diperkirakan jumlahnya ratusan band, mencakup pelajar dan mahasiswa. Mereka berjalan dengan gayanya masing-masing. Ada yang mengekspresikan eksistensi
bandnya dengan membuat mini album tanpa peduli apakah album itu akan “meledak” di pasaran atau tidak. Ini kemudian diikuti dengan munculnya
beberapa label rekaman, seperti Huria Record dan Evilusound Record, dan
Universitas Sumatera Utara
beberapa label lainnya. Selain itu, muncul lagi rental-rental rekaman yang ternyata menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha musik di Medan. Salah satu rental
rekaman yang boleh dikatakan memadai itu adalah Music Room Studio yang didirikan oleh T Harris. A. Sinar Riza, 2004:1.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Rancangan Penelitian