Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Musik Indie Di Kota Medan)
KOMUNITAS MUSIK INDIE
(STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PERILAKU KOLEKTIF KOMUNITAS MUSIK INDIE DI KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Oleh :
FAUZI ABDULLAH NIM : 070905044
ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(2)
PERNYATAAN ORIGINALITAS
KOMUNITAS MUSIK INDIE (STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PERILAKU KOLEKTIF MUSIK INDIE DI KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Juni 2011
(3)
ABSTRAK
Fauzi Abdullah, 2011. Judul Skripsi: Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 124 halaman, dan 3 daftar tabel.
Tulisan ini berjudul Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan, memaparkan kreativitas remaja-remaja komunitas musik indie, dan mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap dua kategori informan, yaitu informan yang merupakan remaja-remaja selaku pelaku komunitas Kirana, komunitas Tomat, dan komunitas Medan Movement. Kategori informan yang kedua adalah remaja-remaja kota Medan selaku penikmat musik indie. Remaja-remaja selaku pelaku langsung ketiga komunitas musik indie tersebut adalah remaja-remaja yang sudah lama bergabung dan aktif dalam setiap kegiatan komunitas, serta dianggap yang paling berkompeten dari seluruh anggota komunitas untuk memberikan informasi mengenai pergerakan komunitasnya. Adapun remaja-remaja sebagai penikmat musik indie yang dimaksudkan disini, merupakan remaja-remaja kota Medan yang tidak tergabung sebagai anggota komunitas musik indie. Namun, remaja-remaja tersebut memiliki ketertarikan yang besar terhadap musik indie, khususnya musik indie di kota Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas musik indie sebagai suatu gambaran nyata mengenai penolakan terhadap budaya pop yang ada di masyarakat secara luas, terutama dalam hal musik. Komunitas musik indie melakukan penolakan terhadap penyeragaman yang dilakukan oleh budaya pop di masyarakat. Dengan ide dan gagasan Do It Yourself (Kemandirian) tersebut, hal inilah yang membuat komunitas musik indie berbeda dengan masyarakat secara luas, terutama pemahaman dan pergerakan dalam hal bermusik. Walaupun sebagian dari remaja-remaja komunitas musik indie ada yang memanfaatkan hal ini sebagai batu loncatan dan bisa mengikuti festival-festival musik yang diadakan oleh perusahaan besar. Namun sebagian besar dari remaja-remaja komunitas musik indie mempunyai idealisme yang lebih mengutamakan kenyamanan, kepuasan dan kualitas dalam bermusik diatas mementingkan keuntungan materi semata. Kreativitas yang bebas dari kungkungan yang tidak bisa didapat di major label (mainstream/budaya pop).
(4)
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di kota Medan)” ini dengan baik.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan. Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum juga selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta tak kenal lelah memberikan perhatiannya kepada penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen sekaligus dosen yang metode pengajarannya selalu memotivasi penulis untuk lebih banyak mendalami ilmu Antropologi. Dan Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi FISIP USU sekaligus dosen yang lewat pikirannya yang bersahabat dan laku yang lembut serta sabar dalam memotivasi mahasiswanya, khususnya bagi penulis dalam menimba ilmu Antropologi selama kuliah. dan kepada seluruh staf pengajar Departemen Antopologi FISIP USU, serta Kak Nur selaku staf administrasi Departemen Antropologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.
(5)
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang tak kenal lelah berjuang di komunitas musik indie. Terlebih kepada Bimbim (Indra Antian Sitompul) dan seluruh teman di komunitas Medan Movement, Torep dan teman-teman di komunitas Kirana, serta Ari dan teman-teman di komunitas Tomat baik yang masih aktif ataupun anggota lama yang sudah tidak aktif lagi. Informan-informan yang telah berkenan meluangkan waktunya memberikan informasi kepada penulis, sehingga dapat diselesaikkan skripsi ini. Bang Panjang yang telah banyak membantu dan menemani penulis dalam menulis.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada Ibunda Hj. Laysah (Almarhumah) yang cinta tulus dan nasehatnya semasa hidup selalu mengiri penulis agar tak kenal lelah dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ayahanda H. Juadi yang telah mencurahkan segala kasih sayang, cinta yang tak terhingga, dan do’a serta dukungan yang tidak pernah terputus kepada penulis. Dan kepada saudara-saudara penulis, Evi Yulianti dan Suami (Agus Wibowo), serta keponakan penulis, Livia Dini Hanifah, Ulva Dwi Oktavianti dan Satrio Wibowo. Yudi Artanto, SE dan Istri (Jenny Marisha Siregar, S.Psi), dr.Beni Satria dan Istri (dr.Fitriana Nasution), Iwan Faisal, ST, S.Sos dan Ibu Susi (Adik dari Almarhumah Ibunda) terima kasih atas do’a dan dukungannya.
Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Adinda Martha Fitrianti Siregar atas perhatian, bantuan, dan dukungan moril kepada penulis. Juga kepada kerabat-kerabat terbaik sepanjang masa angkatan 2007, Nur Azizah, Rabithah, Edo, Arizal Frandana (Begek), Alfi Zulkarnain (Jol), Vino
(6)
(Nyow), Fikri (Punai) dan kawan kawan seperjuangan lainnya yang juga pernah ikut menyukseskan Inisiasi Antropologi 2009 bersama kerabat Antropologi 2008 lainnya yang tidak penulis cantumkan, terima kasih atas bantuannya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibnu Avena Matondang (Bang Abu) yang dengan kemurahan hati berkenan berdiskusi dan memberikan masukan-masukan dalam ilmu fotografi dan Antropologi, kerabat Antropologi 2009 dan kerabat-kerabat Antropologi lainnya. Terima kasih ..
(7)
RIWAYAT HIDUP
Fauzi Abdullah,
nama rumah akrab dengan sapaan Kentung.
Pada komunitas musik indie Medan akrab dengan sapaan Wo, Bang Bo, Si Wo atau Kebo lahir pada tanggal 28 September 1987, Medan.
Fauzi Abdullah adalah seorang mahasiswa Antropologi yang biasa saja, gemar berdiskusi dan suka fotografi.
Saat ini juga sedang menyelesaikan kuliah jurusan Hukum Acara di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Sebelumnya telah menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Negeri Pembina, Sekolah Dasar di SD Laksamana Marthadinata Medan. Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Pertiwi Medan, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Medan. Dan Fauzi Abdullah selalu bercita-cita ingin terus menuntut ilmu, seperti pesan kedua orangtua.
(8)
KATA PENGANTAR
Tulisan yang berisi kajian analisis berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman penulis kepada komunitas musik indie Medan yang difokuskan kepada perilaku kolektif remaja-remaja komunitas musik indie. Komunitas musik indie sebagai suatu gambaran nyata mengenai penolakan terhadap budaya pop yang ada di masyarakat secara luas, terutama dalam hal musik. Komunitas musik indie melakukan penolakan terhadap penyeragaman yang dilakukan oleh budaya pop di masyarakat. Dengan ide dan gagasan Do It Yourself (Kemandirian) tersebut, hal inilah yang membuat komunitas musik indie berbeda dengan masyarakat secara luas, terutama pemahaman dan pergerakan dalam hal bermusik. Walaupun sebagian dari remaja-remaja komunitas musik indie ada yang memanfaatkan hal ini sebagai batu loncatan dan bisa mengikuti festival-festival musik yang diadakan oleh perusahaan besar. Namun sebagian besar dari remaja-remaja komunitas musik indie beridealisme lebih mengutamakan kenyamanan, kepuasan dan kualitas dalam bermusik diatas mementingkan keuntungan materi semata. Kreativitas yang bebas dari kungkungan yang tidak bisa didapat di major label (mainstream/budaya pop).
Kehadiran tulisan ini diharapkan bisa menjadi kerabat diskusi dan bacaan yang bersahabat bagi para pembaca sekaligus menambah referensi dalam memahami persoalan komunitas musik indie. Akhirnya, kelemahan pasti ada di setiap individu manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, Penulis menyadari dan mengharapkan saran, koreksi, dan kritik dari para pembaca yang bersifat
(9)
membangun demi kesempurnaan skripsi ini nantinya. Demikian pengantar dari penulis. Semoga dapat bermanfaat untuk para pembaca. Amin Ya Rabbal’Alamin.
(10)
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN
Halaman
PERNYATAAN ORIGINALITAS i
ABSTRAK ii
UCAPAN TERIMA KASIH iii
RIWAYAT HIDUP vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian 4
1.3.1. Ruang Lingkup Penelitian 4
1.3.2. Lokasi Penelitian 4
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5
1.4.1. Tujuan Penelitian 5 1.4.2. Manfaat Peneltian 5 1.5. Tinjauan Pustaka 6 1.6. Metode Penelitian 17
1.6.1. Rancangan Penelitian 17
1.6.2. Informan Penelitian 17
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data 17
1.6.4. Teknik Analisis Data 21
1.6.5. Lokasi Penelitian 23
BAB II. KONTEKS PENELITIAN 22
2.1. Kota Medan Secara Geografis 23
2.2. Kota Medan Secara Demografis 25
2.3. Komposisi Penduduk Kota Medan 27
2.4. Kota Medan dalam Dimensi Sejarah 32
2.5. Kota Medan Secara Kultural 34
2.6. Visi dan Misi Kota Medan 35
(11)
2.7. Kota Medan Secara Sosial 37
2.8. Kota Medan dan Tempat Berkumpulnya Komunitas Musik Indie 38 2.8.1. Studio Musik Kirana dan Komunitas Kirana 40
2.8.2. Studio Musik Tomat dan Komunitas Tomat 44
2.8.3. RV Net dan Komunitas Medan Movement 47
BAB III. MUSIK INDIE 51
3.1. Sejarah Musik Indie 51
3.2. Masuknya Musik Indie di Indonesia 55
3.3. Masuknya Musik Indie di Kota Medan 60
3.4. Lahirnya Komunitas-Komunitas Musik Indie di Kota Medan 65 3.5. Proses Pengerjaan Lagu dan Strategi Pemasaran Karya Lagu 71
atau Album 3.5.1. Proses Pengerjaan Lagu Pada Komunitas Musik Indie 71
3.5.2. Strategi Pemasaran Lagu atau Kaset/Album CD 73
3.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Musik 76
Indie di Kota Medan 3.6.1. Remaja 77
3.6.1.1. Remaja Sebagai Pelaku Komunitas Musik Indie 79 3.6.1.2. Remaja Sebagai Penikmat Musik Indie 79
3.6.2. Studio Musik 82
3.6.3. Media Massa 83
3.6.4. Pertunjukan Musik atau Gigs 85
3.7. Kolektifan Dalam Menyelenggarakan Gigs atau 88
Pertunjukan Musik Indie BAB IV. PERILAKU KOLEKTIF KOMUNITAS MUSIK INDIE DI KOTA MEDAN 4.1. Perilaku Kolektif Dan Kondisi-Kondisi Pembentuk 94
Perilaku Kolektif 4.2. Identitas dan Solidaritas Komunitas Musik Indie 96
4.3. Perebutan Ruang Publik 105
4.4. Jaring Distribusi Komunitas Musik Indie di Kota Medan 109
4.5. Penolakan Terhadap Mainstream Pop 112
BAB V. PENUTUP 116
5.1. Kesimpulan 116
(12)
DAFTAR PUSTAKA 122
LAMPIRAN
- Daftar Pertanyataan Penelitian - Daftar Informan
- Daftar Istilah
(13)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
1 Jumlah Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005 – 2007
26 2 Persentase Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut
Kelompok Umur Tahun 2007
28
3 Perbandingan Antar Band Indie dengan Band Mainstream
(14)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
1 Tampak depan Studio Kirana 41
2 Tongkrongan remaja-remaja komunitas Kirana 41
3 Studio musik Kirana 41
4 Papan Pengunguman 42
5 Meja penjaga studio 42
6 Studio Tomat 44
7 Pintu masuk studio Tomat dan papan pengumuman 45 8 Tongkrongan remaja-remaja komunitas Tomat 46 9 Anggota komunitas Medan Movement sedang
makan bersama di halaman RV Net
48
10 Bimbim bersama anggota komunitas Medan Movement lainnya berfoto bersama di halaman RV Net
49
11 Wawancara penulis dengan Yas Budaya 52
12 Rizky Pratama Sembiring 61
13 Gigs indoor 62
14 Penulis foto bersama Rizky P.Sembiring 63
15 Siaran radio Memo Mengudara 64
16 Memo Mengudara di radio Visi FM 64
17 Penampilan “Hairdresser On Fire” pada gigs indoor yang diadakan komunitas Kirana
86
18 Penampilan “Hairdresser On Fire” pada gigs indoor yang diadakan komunitas Kirana
86
19 Penampilan “The Oh Good” dalam gigs Tomato Present
87
20 Penampilan salah satu band indie Medan dalam gigs Medan Movement di Terminal Futsal.
(15)
21 Cuplikan acara Gaboh Brings The Reunion di tabloid Aplaus tanggal 30 April 2011
90
22 Flyer Medan Movement 91
23 Flyer Lost In A Melodic 91
24 Torep saat tampil bersama “The Cangis” di gigs Medan Movement
99
25 Fandy dan Niko dengan kaos hitam bergambar 99 26 Salah satu personil “ALIONG” dengan kaos merah 100 27 Kaos yang dikenakan salah satu band indie Medan
di gigs Medan Movement
100
28 Aksesoris topi yang dikenakan salah satu penonton dalam gigs Medan Movement di Atmosfer Billyard
(16)
ABSTRAK
Fauzi Abdullah, 2011. Judul Skripsi: Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 124 halaman, dan 3 daftar tabel.
Tulisan ini berjudul Komunitas Musik Indie (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Kolektif Komunitas Musik Indie di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan, memaparkan kreativitas remaja-remaja komunitas musik indie, dan mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam terhadap dua kategori informan, yaitu informan yang merupakan remaja-remaja selaku pelaku komunitas Kirana, komunitas Tomat, dan komunitas Medan Movement. Kategori informan yang kedua adalah remaja-remaja kota Medan selaku penikmat musik indie. Remaja-remaja selaku pelaku langsung ketiga komunitas musik indie tersebut adalah remaja-remaja yang sudah lama bergabung dan aktif dalam setiap kegiatan komunitas, serta dianggap yang paling berkompeten dari seluruh anggota komunitas untuk memberikan informasi mengenai pergerakan komunitasnya. Adapun remaja-remaja sebagai penikmat musik indie yang dimaksudkan disini, merupakan remaja-remaja kota Medan yang tidak tergabung sebagai anggota komunitas musik indie. Namun, remaja-remaja tersebut memiliki ketertarikan yang besar terhadap musik indie, khususnya musik indie di kota Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas musik indie sebagai suatu gambaran nyata mengenai penolakan terhadap budaya pop yang ada di masyarakat secara luas, terutama dalam hal musik. Komunitas musik indie melakukan penolakan terhadap penyeragaman yang dilakukan oleh budaya pop di masyarakat. Dengan ide dan gagasan Do It Yourself (Kemandirian) tersebut, hal inilah yang membuat komunitas musik indie berbeda dengan masyarakat secara luas, terutama pemahaman dan pergerakan dalam hal bermusik. Walaupun sebagian dari remaja-remaja komunitas musik indie ada yang memanfaatkan hal ini sebagai batu loncatan dan bisa mengikuti festival-festival musik yang diadakan oleh perusahaan besar. Namun sebagian besar dari remaja-remaja komunitas musik indie mempunyai idealisme yang lebih mengutamakan kenyamanan, kepuasan dan kualitas dalam bermusik diatas mementingkan keuntungan materi semata. Kreativitas yang bebas dari kungkungan yang tidak bisa didapat di major label (mainstream/budaya pop).
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup seorang diri. Dalam kehidupannya manusia sebagai individu membutuhkan peran manusia lain, hal inilah yang menuntut manusia untuk dapat menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi dan diri manusia lainnya. Aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lain terjadi proses interaksi dan sosialisasi yaitu melalui proses belajar yang terjadi secara terus menerus. Proses sosialisasi itu pada akhirnya akan membentuk suatu pemahaman yang sama terhadap sesuatu dalam suatu kelompok atau komunitasnya (Sunarto, 2004:23).
Terbentuknya suatu pola pengetahuan inilah yang selanjutnya membentuk tujuan yang sama pada kelompoknya. Proses belajar yang telah menjadi kebiasaan dapat dikatakan sebagai budaya atau kebudayaan. Koentjaraningrat (1982:182) mengatakan bahwa kebudayaan adalah:
”keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Kesamaan pola pengetahuan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya (komunitas) dan pada akhirnya menjadi sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota komunitas. Salah satu hal yang menarik untuk dikaji dalam suatu komunitas adalah bagaimana setiap individu anggota komunitas membentuk suatu
(18)
perilaku yang disebut dengan perilaku kolektif (Sunarto, 2004:187). Menurut Lofland (2003:37), istilah perilaku kolektif secara harfiah mengacu pada perilaku serta bentuk-bentuk peristiwa sosial lepas (emergent) yang tidak dilembagakan (extra-institutional).
Medan sebagai ibukota Sumatera Utara merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia. Perkembangan teknologi dan akses informasi baik media elektronik maupun media cetak berkembang dengan pesat di kota yang menuju menjadi kota metropolitan ini. Dampak dari perkembangan teknologi dan pesatnya akses informasi salah satunya adalah sangat terbukanya masyarakat khususnya anak muda atau remaja kota Medan terhadap segala bentuk penyebaran informasi dan globalisasi. Anak muda atau remaja kota Medan mengambil peran dalam hal mengikuti perkembangan zaman secara global ini.
Salah satu komunitas anak muda atau remaja dengan perilaku kolektif dan budaya penolakannya di kota Medan adalah komunitas musik indie. Musik indie bukan merupakan suatu genre musik, melainkan musik indie adalah jalur bagi band-band yang menuangkan hasil karyanya secara independent (mandiri) baik dalam menentukan genre music, lagu dan album musik. Bayu (2003:1) mengatakan bahwa:
”Indie label atau independent label adalah non major label. Jalur ini merupakan salah satu opsi bagi band-band yang ingin menuangkan hasil karya mereka dalam bentuk album. Konsep indie label yang mengusung independensi, membebaskan setiap band menciptakan kreasi musik sesuai idealisme mereka masing-masing. Ini dimungkinkan karena tidak adanya campur tangan industri musik komersial yang cenderung mengubah jenis dan warna musik mereka sesuai tuntutan pasar.”
(19)
Umumnya, label indie dibangun atas dasar komunitas. Satu dekade terakhir, label indie bermunculan. Namun, mereka tidak bersaing satu sama lain. Sebaliknya, mereka justru bergandengan tangan meluaskan pengaruh musik alternatif. Inilah kekuatan label indie atau sering juga disebut label nonmainstream (Kompas, 9 Mei 2010). Irwansyah Harahap, musikolog Medan dalam majalah Kover (Edisi Mei 2010) mengatakan bahwa:
”Sebuah band indie bisa dikatakan berhasil apabila ia berhasil membentuk pasarnya sendiri dan tidak lagi harus didikte label mainstream. Nah, di kita malah masih sering salah kaprah. Orang masih berpikir dan berangan-angan bagaimana caranya agar bisa menembus label mainstream. Padahal, sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah band indie ialah apabila ia mampu mengisi ruang kosong yang belum diisi oleh label mainstream.”
Sebagai komunitas yang terlepas dari ’kungkungan’ major label, komunitas ini pun memiliki suatu cara yang khas dalam mengemas setiap pertunjukan-pertunjukan musik (event atau gigs) sebagai ajang mengekspresikan karya-karya mereka kepada peminatnya yang pada umumnya berasal dari kalangan anak muda atau remaja pula. Cara yang khas seperti ini pulalah yang juga sebagai wujud perilaku kolektif dari komunitas musik indie tersebut. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam mengenai komunitas musik indie dan perilaku kolektif komunitas musik indie di kota Medan.
(20)
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah yang dimaksud dengan komunitas musik indie dan bagaimana perilaku kolektif yang ditunjukkan oleh komunitas tersebut?. Dari rumusan permasalahan ini dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian, yaitu;
1. Bagaimanakah asal usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas musik indie?
2. Bagaimana kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan menyelenggarakan pertunjukan musik?
3. Bagaimana bentuk komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif dan bagaimana komunitas ini dapat bertahan dalam persaingan musik yang sangat ketat?
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas musik indie kota Medan, yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat dan komunitas Medan Movement. Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian adalah pertama, asal-usul munculnya musik indie dan remaja-remaja komunitas musik indie. Kedua, kreativitas komunitas musik indie dalam menciptakan karya dan menyelenggarakan pertunjukan musik. Dan yang terakhir adalah, komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif dan bertahannya komunitas ini dalam persaingan musik yang sangat ketat. Hal ini dapat diperoleh melalui dua kategori informan, yaitu remaja-remaja sebagai pelaku ketiga komunitas musik
(21)
indie Medan tersebut dan remaja-remaja kota Medan sebagai penikmat musik indie kota Medan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian
Penetapan tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting karena setiap penelitian yang dilakukan haruslah mempunyai tujuan tertentu. Studi ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan asal-usul dikenalnya musik indie di kota Medan.
2. Memaparkan kreativitas remaja-remaja pengikut musik indie dalam menciptakan karya lagu, serta mendeskripsikan kreativitas remaja-remaja komunitas musik indie dalam menyelenggarakan pertunjukan musik.
3. Mendeskripsikan komunitas musik indie sebagai wujud dari perilaku kolektif.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian memiliki manfaat yang hendak dicapai agar hasil dari penelitian dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca nantinya. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu Antropologi, terutama mengenai komunitas musik indie. Selain itu, diharapkan penelitian ini juga dapat menjadi bahan rujukan atau literatur bagi para pembaca yang ingin meneliti lebih jauh mengenai komunitas musik indie dan perilaku kolektif komunitas tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembaca dan
(22)
pihak-pihak yang terkait dengan komunitas musik indie. Dengan demikian, penelitian ini dapat membantu para pembaca untuk memahani perilaku kolektif komunitas musik indie, khususnya di kota Medan.
1.5. Tinjauan Pustaka
Nico frijda mengatakan bahwa perilaku manusia merupakan suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan penahan. Perilaku dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri. Oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan lain-lain. Bahkan kegiatan internal (internal activities) sendiri, seperti berfikir, persepsi dan emosi, juga merupakan perilaku manusia (dalam Mutis dkk, 2007:28).
Manusia tidak bisa hidup sendiri dan cenderung akan selalu melakukan sharing (berbagi bersama) dengan manusia yang lain. Proses sharing ini lalu diserap sebagai pengetahuan individual lewat proses belajar yang dilakukannya. Apabila hasil dari proses sharing ini terus menerus disosilisasikan dan dimantapklan akhirnya relatif membentuk pemahaman yang sama tentang sesuatu, relatif memiliki kesamaan pola pengetahuan, bahkan dalam banyak hal relatif memiliki artefak atau material yang sama (Sunarto, 2004:31).
Kesamaan antara individu satu dengan individu lainnya inilah yang kemudian dipolakan dalam kelompok sosialnya, sehingga akhirnya menjadi
(23)
sebuah acuan dalam bertindak dan berkehidupan masing-masing manusia anggota kelompok tersebut (Koentjaraningrat, 1982:140). Selanjutnya, Mutis (2007:106-121) mengatakan bahwa sesuatu yang terpola atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan ini kemudian disebut dengan istilah budaya atau kebudayaan. Menurutnya, ini artinya sesuatu yang disebut dengan budaya apabila hal-hal yang dimiliki manusia tersebut sifatnya :
1. Sudah menjadi milik bersama dengan orang lain yang ada di kelompoknya. Masalahnya, konsep bersama dalam hal ini kecenderungannya akan dilihat secara berbeda oleh masing-masing ahli.
2. Sesuatu itu didapat lewat proses belajar dan tidak didapat secara biologis atau genitas. Artinya, budaya sifatnya harus dipelajari dan tidak bisa diturunkan begitu saja dari generasi sebelumnya. Akal manusia akan selalu memproses pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar ini, sehingga budaya cenderung akan mengalami modifikasi dan perubahan, baik sifatnya lambat (evolusi) maupun cepat (revolusi).
Menurut Hermawan (2008:1), secara umum, kelompok diartikan sebagai kumpulan orang-orang. Sementara sosiolog melihat kelompok sebagai dua atau lebih orang yang mengembangkan perasaan kebersatuan dan yang terikat bersama-sama oleh pola interaksi sosial yang relatif stabil. Terdapat sejumlah kriteria yang mencirikan apakah sekumpulan orang bisa disebut sebagai kelompok atau tidak, tetapi pada dasarnya terdapat dua karakteristik pokok dari kelompok, yaitu 1) adanya interaksi yang terpola dan 2) adanya kesadaran akan identitas bersama.
(24)
Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi secara kontinu sesuai dengan suatu sistem adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas. Berdasarkan yang tertulis di Wikipedia, komunitas adalah:
”sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak".
Sekelompok manusia termasuk yang tergabung dalam suatu komunitas, yang melakukan suatu kegiatan secara bersama dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektivisme (kebersamaan). Perilaku sekelompok manusia yang dilakukan secara bersama ini pula dapat diistilahkan sebagai perilaku kolektif. Neil Smelser dalam Suryanto (2008:2) mengidentifikasi beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, diantaranya:
1. Structural conduciveness, yaitu beberapa struktur sosial yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan, mall, dan sebagainya.
2. Structural Strain, yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada.
3. Generalized Belief: share interpretation of event, yaitu menginterpretasikan suatu peristiwa yang diketahui oleh banyak orang. Misalnya suatu pertunjukan acara atau konser.
(25)
4. Precipitating factors, yaitu ada kejadian pemicu (trigerring incidence). Misal ada pencurian, ada kecelakaan, dan lain-lain.
5. Mobilization for actions, yaitu adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh, rapat umum suatu ormas, dan seterusnya.
6. Failure of Social Control, yaitu akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik.
Bila dilihat dari beberapa kategori di atas, komunitas musik indie termasuk dalam kategori yang ketiga dan keenam yaitu Generalized belief: share interpretation of event, yang berarti bahwa anak muda yang tergabung dalam komunitas musik indie mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada umumnya diketahui oleh banyak orang dan Failure of Social Control, yaitu melakukan suatu perilaku kolektif akibat adanya agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Menurut Barker (2008:338), anak muda adalah:
” petunjuk alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis, suatu pengklasifikasian secara organis terhadap orang-orang yang menempati posisi sosial tertentu akibat perkembangan usia mereka.”
Sibley di dalam bukunya Barker (2008:340) mengemukakan bahwa:
”Batas kategorisasi anak berbeda-beda di berbagai kebudayaan dan telah mengalami perubahan berarti melalui perjalanan sejarah di dalam masyarakat Barat kapitalis. Batas-batas yang memisahkan anak-anak dan orang dewasa tetap merupakan sesuatu yang membingungkan. Remaja adalah suatu zona ambivalen dimana batas anak-anak/dewasa bisa secara beragam ditempatkan menurut siapa yang melakukan kategorisasi. Jadi, remaja tidak mendapatkan akses di dalam dunia orang dewasa, namun mereka mencoba mengambil jalan antara dirinya dengan dunia anak-anak. Pada saat yang sama mereka mempertahankan sejumlah hubungan dengan anak-anak. Remaja bisa terlihat mengancam dimata orang dewasa karena
(26)
mereka menerobos batas-batas dewasa/anak-anak dan tampak berbeda di ruang ’orang dewasa’... Tindakan menentukan garis batas dalam konstruksi kategori-kategori yang terpisah menyela hal-hal secara alami berkelanjutan.”
Perilaku kolektif anak-anak muda bersama komunitasnya, yaitu berusaha menginterpretasikan suatu peristiwa akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Khususnya dalam hal musik, anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas musik indie, berusaha melakukan kontrol sosial tersebut melalui musik indie. Musik indie sebagai suatu hasil karya seni, merupakan salah satu wujud dari budaya populer. Musik indie adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk menyuarakan penderitaan rakyat tertindas ataupun realitas sosial yang ada. Karya seni yang hanya menjadi instrumen hegemoni yang membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya, karena keindahan dan kesan-kesan yang dibawa dan ditawarkannya (Wink, 2008:1).
Munawar (2008:2) mengemukaan bahwa seniman atau penikmat seni dapat saja acuh terhadap realitas karena disibukkan dengan kontemplasi tentang cinta, kasih sayang, keharuan dan sebagainya, sehingga tanpa di sadari dia sedang melanggengkan sebuah tatanan sosial politik ekonomi dan yang lebih parah lagi implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan, cinta, kasih sayang, dll. Menurutnya, seni sebagai konsep perlawanan adalah subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya
(27)
karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat tetapi juga memiliki resiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian. Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya (counter culture) tersendiri.
Musik populer cenderung diciptakan dengan beberapa sifat yang salah satunya berupa representasi kehidupan manusia dimana di dalamnya terdapat ekspresi, impresi, dan lain-lain. George Planketes melalui esainya yang berjudul “Music” menyatakan lirik yang berupa kata-kata yang dinyanyikan dalam musik dapat mensugesti (terutama para remaja) dan akhirnya termanifestasi ke dalam perilaku pendengar tersebut (Muhary;2007:17).
Thomas Inge dan Dennis Hall dalam Muhary (2007:19) mengatakan :
“Musik merupakan pusat dari ‘pengalaman’ usia remaja, meliputi identitasnya, ideologi, dan aktivitas. Semakin meningkat lirik lagu yang rumit, menjadi sangat kuat dan sangat berarti, dari nyanyian perorangan menjadi musik kelompok perlawanan untuk protes dan perubahan di tengah-tengah pergolakan politik dan sosial dengan latar belakang sebuah massa”
Strinati (2007:78-79) juga mengatakan bahwa:
“Sebenarnya Gendron menggunakan contoh produksi mobil untuk menjelaskan apa yang dimaksud Adorno ketika dia mengatakan bahwa fungsi kapitalisme adalah untuk menstandardisasi komoditas. Standardisasi melibatkan pertukaran bagian-bagian bersama-sama dengan individualisasi semu. Bagian-bagian dari suatu jenis mobil dapat dipertukarkan dengan bagian-bagian mobil lain berdasarkan standarisasi, sementara penggunaan gaya atau individualisasi semu seperti penambahan sirip belakang pada
(28)
sebuah mobil Cadillac membedakan mobil-mobil antara satu sama lain, serta menyembunyikan kenyataan bahwa standardisasi tengah terjadi. Menurut Gendron, Adorno mengemukakan bahwa apa yang terjadi pada mobil terjadi pada music pop. Keduanya dibedakan oleh inti dan periferi (sampingan, tambahan), intinya mengikuti standardisasi, sedangkan periferi tunduk pada individualisasi semu. Proses standardisasi itu terikat dengan kehidupan orang-orang yang harus hidup di dalam masyarakat kapitalis dan dengan status inferior music pop jika dibandingkan dengan music klasik maupun music garda depan. Gendron juga menjelaskan bahwa standardisasi music pop, menurut pandangan Adorno, berlangsung secara diakronis (begitulah, dari waktu ke waktu seiring dengan ditetapkannya standar-standar music pop) maupun secara sinkronis (standar-standar yang berlaku kapan pun).”
Yudhasmara (2010:1) menyebutkan Indie pop adalah sebuah aliran musik alternative pop yang berasal dari Inggris pada pertengahan era 1980an. Terkadang istilah indie digunakan untuk menggambarkan grup musik yang berkarier secara independen. Indie adalah gerakan bermusik yang berbasis dari segala yang ada pada penyanyi tanpa bantuan langsung label mulai dari merekam, mendistribusikan dan promosi dengan uang sendiri. Menurutnya, terdapat perbedaan antara mainstream dan indie. Umumnya yang dimaksud dengan mainstream adalah arus utama, tempat di mana band-band yang bernaung di bawah label besar, sebuah industri yang mapan. Band-band tersebut dipasarkan secara meluas yang coverage promosinya juga secara luas, nasional maupun internasional, dan mereka mendominasi promosi di seluruh media massa, mulai dari media cetak, media elektronik hingga multimedia dan mereka terekspos dengan baik. Klasifikasi kelompok indie itu lebih kepada industrinya, perbedaannya lebih kepada nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman. Dilihat dari talenta dan bakat, tidak ada yang memungkiri kalau
(29)
band-band indie terkadang lebih bagus daripada band-band-band-band mainstream. Masalah utama mereka adalah uang, karena industri musik mainstream berbasis kepada profit, jadi label menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar pada nilai investasinya.
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an. Awalnya Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’ dari trend budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa varian-varian baru seperti grunge, brit pop, hip-hop, melodic punk dan lain-lain (Fikrie, 2008:1). Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada sekian banyak pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak bermunculan band-band serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang beragam. Sejak saat itu istilah underground mulai digantikan dengan istilah Indie. Mungkin istilah underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal. Maka istilah indie dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim digunakan.
“Pure Saturday”, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal yang membuat album rekaman sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album pertamanya pada tahun 1995, dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan mencetak album ini lantas diikuti oleh sederet nama lain seperti “Waiting Room”, “Pestol Aer”, “Toilet Sound” dll. Selanjutnya booming Indie semakin menjadi, ketika “Mocca” (band Swing Pop asal Bandung) sukes menembus angka di atas 100.000 copy dalam penjualan kaset mereka. Keberhasilan “Mocca”, turut membawa dampak bagi perkembangan musik indie. Selanjutnya deretan nama
(30)
seperti “Puppen”, “Shagy Dog”, “Superman Is Dead”, “Rocket Rockers”, “Superglad” dll, mencuri perhatian para penikmat musik.
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam berkarya. Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak ketertinggalan dalam soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya musik kelas bawah di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di Indonesia. Karena kelas menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip perkembangan dunia musik luar negeri ketika itu. Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah memenjarakan “Koes Ploes”, karena musiknya dituduh identik dengan budaya kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya melihat musik “Koes Ploes”, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia. “Koes Ploes” juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka mengekspresikan kebebasan.
Semangat-semangat penolakan juga masih terdengar dalam lirik-lirik band indie di Indonesia. Terakhir kita dengar “Efek Rumah Kaca” yang lugas dalam merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal kematian Munir, seorang aktivis hak azasi manusia. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang mengkritik soal budaya latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik lagu cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan Pornoaksi. (Kompas, 3 September 2008). “Ras Muhammad” dengan musik reggaenya, pantas juga di sebut sebagai musisi indie yang concern berbicara soal realitas-realitas sosial. Belum lagi jika menyebut beberapa band Punk seperti “Marjinal” dan “Bunga Hitam”, yang hampir setiap lirik lagunya berbau kritik sosial. Hal
(31)
yang sama juga masih dilakukan oleh band-band lain, seperti “Burger Kill”, “KOIL”, “Seringai”, “Komunal” dll. Untuk band-band seperti ini, kita pantas mengucap salut. Mereka benar-benar mengadopsi idealisme indie dalam bermusik. Idealisme yang bukan hanya sekedar di maknai dalam proses distribusi dan produksi kaset/cd, tapi juga dalam karya mereka yang jujur dalam merekam realistas sosial (Fikrie, 2008:1).
Seharusnya band indie merupakan band yang beridealis dengan karakter musikalitas dan menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan eksperimennya tanpa mengikuti trend, sekaligus mereka melakukan aktivitas band secara mandiri, seperti menitipkan demo ke radio, mencari gigs hingga memproduksi album. Apalagi pegenalan dan penjualan karya sudah dapat dilakukan melalui teknologi internet. Seiring jaman, tidak salah kalau mereka mendapatkan akses yang mudah untuk mendukung aktivitas band indie itu sendiri. Kebutuhan kepada seseorang yang dipercayai untuk mengurusi band, banyaknya telah menjadi kebutuhan band indie (mandiri). Selain itu kertertarikan indie maupun Major Label pun akan bersikap mengikuti keadaan idealisme band itu sendiri yang dilihat dari karya, budaya dan massa.
Pekerjaan rumah untuk penggemar mereka adalah mengenalkan karya mereka. Ini lebih efektif dan mungkin akan menarik industri, baik indie ataupun Major Label. Perlahan budaya akan berubah untuk menikmati karya-karya dari musisi kritis dengan keidealisan karyanya. Dalam kenyataannya, bentukan label yang dikatakan Major mempertimbangkan pasar yang luas. Sebaliknya, hal ini adalah Indie Label yang berjasa besar. Sebuah harga yang harus mahal untuk
(32)
karya musikalitas yang berkualitas, bukan karya yang terlahir karena mengikuti trend, tuntutan budaya atau industri musik/hiburan. Majalah Kover (Edisi Mei 2010) menuliskan bahwa:
”Sejarah mencatat, indie label memang tidak selalu bertumpu pada penjualan album secara massal, tapi mengutamakan komunitas dulu. Kemudian membentuk pasarnya sendiri. Sebenarnya, pergerakan indie sudah menjalar ke ranah musik kita sejak tahun 1990-an. Padi adalah salah satu band indie yang berhasil membentuk komunitasnya sendiri hingga menancapkannya di jalur mainstream.”
Di Medan sendiri hanya beberapa nama band indie yang masih mampu eksis, semisal “SPR”, “Cherrycola”, “Korine Conception”, “Army Clown”, “Sinar Band” maupun “Beautiful Monday” yang saat ini dikabarkan sedang menjalani proses rekaman untuk album band perdana di Jakarta. Band-band indie Medan ini eksis dengan caranya masing-masing. SPR yang hidup dari panggung ke panggung atas undangan beberapa event organizer Medan, senasib dengan “Army Clown”. Sementara ada yang eksis atas kemauan yang kuat lewat promosi ke promosi album. Caranya beragam, mulai dari menjalin koneksi dengan radio dan media cetak, misalnya, seperti “Cherrycola” dan “Korine Conception” (Fikrie, 2008:1).
Belakangan, perkembangan musik indie di Medan memang drastis naik. Diperkirakan jumlahnya ratusan band, mencakup pelajar dan mahasiswa. Mereka berjalan dengan gayanya masing-masing. Ada yang mengekspresikan eksistensi bandnya dengan membuat mini album tanpa peduli apakah album itu akan “meledak” di pasaran atau tidak. Ini kemudian diikuti dengan munculnya beberapa label rekaman, seperti Huria Record! dan Evilusound Record, dan
(33)
beberapa label lainnya. Selain itu, muncul lagi rental-rental rekaman yang ternyata menjadi peluang tersendiri bagi pengusaha musik di Medan. Salah satu rental rekaman yang boleh dikatakan memadai itu adalah Music Room Studio yang didirikan oleh T Harris. A. Sinar (Riza, 2004:1).
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan agar mampu menghasilkan data-data deskriptif mengenai perilaku kolektif komunitas musik indie di kota Medan. Dengan demikian, eksplorasi data secara mendalam tentang aktivitas kolektif remaja-remaja yang tergabung dalam komunitas musik indie bisa terjaring dengan baik.
1.6.2. Informan Penelitian
Untuk menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang baik mengenai komunitas musik indie di kota Medan, maka penulis melakukan pengambilan data melalui dua kategori informan, yaitu:
1.Pelaku komunitas musik indie yang merupakan pelaku langsung kegiatan musik maupun pergelaran musik indie di Medan.
2.Penikmat musik indie yang merupakan penonton di setiap pergelaran musik indie.
(34)
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dibedakan atas data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif dijadikan data utama, sedangkan data kuantitatif digunakan untuk melengkapi data kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini buku-buku, literatur, jurnal, tesis, laporan penelitian, skripsi, serta bahan-bahan bacaan yang relevan dengan masalah penelitian.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu :
1.6.3.1. Wawancara
Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan kondisi objektif, sangat efektif dengan metode ini. Metode ini juga dapat lebih mendekatkan diri secara emosional dengan informan. Selain itu, data-data otentik dari sudut pandang masyarakat (emic view) juga dapat dimulai dengan wawancara. Menurut Bungin (2007:107) wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Wawancara yang dilakukan pada praktek penelitian ini bersifat kondisional. Penulis melakukan wawancara terbuka ataupun tertutup, berencana
(35)
dan tidak berencana, dan wawancara mendalam berdasarkan kondisi yang sesuai dengan keadaan di lapangan. Untuk mendapatkan data tentang pengertian istilah indie, penulis juga melakukan wawancara melalui surat elektronik (email) ke email resminya “Pure Saturday” ([email protected]) yang dianggap sebagai pioner band indie di Indonesia. Wawancara berencana dan tidak berencana, penulis lakukan pada informan selaku penikmat musik indie, yaitu informan yang terbilang sering penulis lihat hadir di setiap acara-acara pertunjukan musik indie di kota Medan, seperti yang penulis lakukan kepada Nola Pohan, Rizki Maghfira, dan Acid Anwar. Wawancara kepada informan tersebut langsung penulis lakukan dengan cara berbincang di tengah-tengah pertunjukan musik indie (gigs). Kekurangan dan ketidakjelasan data mengenai hal ini, penulis mengatasinya dengan melakukan wawancara kembali kepada informan dalam gigs berikutnya yang juga dihadiri oleh informan.
Wawancara mendalam penulis lakukan seperti kepada Yas Budaya (vokalis “Alone At Last”, band indie asal kota Bandung) dalam kesempatan ketika “Alone At Last” diundang konser oleh komunitas Medan Movement. “Alone At Last” merupakan band indie Indonesia yang sampai saat ini mampu eksis dan produktif dalam menghasilkan karya. “Alone At Last” juga merupakan band indie yang cukup dikenal oleh remaja-remaja pelaku dan penikmat musik indie, serta mempunyai friends (dalam dunia musik secara luas dikenal dengan istilah fans) yang dinamakan ‘Stand Alone Crew’ yang tersebar di seluruh daerah Indonesia. Atas dasar itulah, penulis langsung meminta waktu kepada Yas Budaya ketika bertemu di Aula Terminal Futsal (tempat berlangsungnya konser “Alone At
(36)
Last”). Sebelumnya, penulis tidak menyangka, Yas Budaya sangat merespon dengan baik ajakan penulis untuk berdiskusi (wawancara) mengenai musik indie dengannya, “Gue demen banget kayak ginian, gue respect sama lo. Yok kita berbagi cerita” jawab Yas Budaya. Wawancara penulis lakukan dengan Yas Budaya beberapa jam sebelum “Alone At Last” konser.
Wawancara secara mendalam penulis lakukan khususnya bagi informan kunci pada ketiga komunitas musik indie, yaitu informan selaku pelaku komunitas musik indie yang merupakan anggota yang aktif dan berpengaruh di komunitasnya seperti penulis mewawancarai Torep, Lutfi (Kentung) di komunitas Kirana. Di komunitas Tomat ada Dicky dan Ari, dan di komunitas Medan Movement penulis jumpai Indra Antian Sitompul (Bimbim), Fandy dan Darren. Wawancara mendalam ini dilakukan sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati informan dengan penulis. Tempat wawancara biasa dilakukan di tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas tersebut, dan juga pernah dilakukan pada malam hari di salah satu warung kopi yang ada di kota Medan. Penulis juga memanfaatkan korespondensi melalui percakapan telepon, pesan singkat (sms), dan BBM (BlackBerry Messenger) fasilitas pesan singkat yang disediakan BlackBerry smartphone kepada informan apabila ada wawancara yang tidak begitu jelas ditangkap oleh alat perekam, dan apabila informan sedang berada di luar kota Medan.
(37)
1.6.3.2. Observasi Partisipasi
Informasi dan data pada penelitian ini salah satunya didapat dari observasi partisipasi dimana peneliti terlibat aktif di dalam kegiatan remaja-remaja komunitas musik indie. Selain itu, observasi partisipasi merupakan pilihan yang tepat untuk mendukung akurasi data yang diperoleh dari wawancara. Penulis terlibat langsung pada komunitas musik indie, lebih tepatnya pada komunitas Tomat sekitar pada akhir tahun 2006 dan kemudian bergabung membentuk komunitas Medan Movement. Penulis juga berperan aktif sebagai penikmat musik indie sekaligus pelaku komunitas musik indie. Dalam hal bermusik, penulis bergabung dalam band “Aboutmind”, sebagai additional (pemain pengganti) bassist (pemain bass) dalam band “Parksound” dan “Just In Case”. Sebagai pelaku komunitas musik indie, penulis juga berperan dalam proses penyelenggaran pertunjukan musik indie (gigs) dan menjalin kerjasama dengan komunitas-komunitas lainnya.
Menurut Danandjaja (1994; 105), penelitian di lapangan (fieldwork) perlu dipupuk dahulu hubungan baik serta mendalam dengan para informan sehingga timbul percaya-mempercayai, disebut raport (rapport). Rapport atau hubungan baik yang terjalin dengan remaja-remaja komunitas musik indie tersebut, tentu memiliki manfaat tersendiri bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. Tujuan penelitian yang berusaha menggambarkan perilaku kolektif komunitas musik indie kota Medan, dapat diperoleh dengan keterlibatan langsung penulis. Keakraban dan hubungan personal yang berhasil penulis jalin dengan remaja-remaja komunitas musik indie kota Medan yang dikaji tanpa kehilangan
(38)
objektivitas penelitian, pada akhirnya keberhasilan dalam memperoleh data dapat dilakukan dengan baik.
1.6.3.3. Literatur
Penelusuran literatur (studi pustaka) yang berhubungan dengan data-data psikologi remaja, perilaku kolektif, budaya populer, dan teori-teori yang berhubungan dengan masalah penelitian menghasilkan keterangan yang membantu penulis untuk mempertajam analisis dan melengkapi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun jenis literatur ini berupa buku-buku teori, laporan penelitian; skripsi, tesis, disertasi, artikel, opini dari surat kabar atau majalah, serta media online melalui internet.
1.6.3.4. Bahan visual
Sebagai bahan informasi sekunder, penulis menggunakan dokumentasi visual untuk lebih menguatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Alat dokumentasi berupa kamera DSLR tipe Nikon D3000 10 Megapixel yang penulis miliki.
1.6.4. Analisis Data
Pengelompokan dari data yang terkumpul digunakan untuk mendeskripsikan komunitas musik indie, perilaku kolektif para remaja komunitas musik indie. Analisis dan penyajian data kualitatif dilakukan dengan menggunakan deskriptif analisis. Data-data yang telah dikumpulkan termasuk juga catatan lapangan dikelompokkan atas dasar aktivitas khusus yang diteliti. Kemudian, pengelompokkan data tersebut dikaitkan satu dengan yang lainnya
(39)
sebagai suatu kesatuan kejadian dan fakta yang terintegrasi. Tahap terakhir, kesimpulan diperoleh dari analisa data dan literatur-literatur yang terkait dengan tujuan penelitian.
1.6.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam studi ini adalah di kota Medan yang terletak di Jalan Kenanga Raya, kecamatan Medan Selayang, lokasi sebuah rumah sebagai tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Medan Movement. Jalan Darussalam, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio musik Kirana dan sekaligus sebagai tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Kirana. Dan di Jalan Tomat, kecamatan Medan Baru, tempat berdirinya studio Tomato dan tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Tomat.
(40)
BAB II
KONTEKS PENELITIAN
Pada bab ini, penulis mencoba untuk menggambarkan lokasi penelitian tempat penelitian dilakukan. Studi mengenai perilaku kolektif komunitas musik indie kota Medan ini dilakukan dalam ruang lingkup penelitian kota Medan. Secara lebih rinci studi deskriptif penelitian ini dilakukan pada tiga komunitas, yaitu komunitas Kirana, komunitas Tomat, dan komunitas Medan Movement, yang berada di beberapa lokasi-lokasi atau tempat-tempat dalam lingkup kota Medan.
Lokasi-lokasi yang dimaksud adalah suatu wilayah dimana ketiga komunitas tersebut biasa berkumpul yang nantinya dapat digunakan sebagai latar dalam mendeskripsikan keberadaan ketiga komunitas. Melalui observasi lapangan yang dilakukan, hasilnya akan ditetapkan lokasi mana yang menjadi tempat berkumpulnya masing-masing komunitas. Beberapa lokasi yang didapat juga dijabarkan batasan wilayah kota Medan secara administratif yang dapat mempertegas bahwa lokasi-lokasi tersebut masih merupakan bagian dari kota Medan. Sebagai sebuah penelitian etnografi, pada bab mengenai gambaran umum lokasi penelitian ini juga tercantum pendeskripsian kota Medan secara umum, yaitu secara geografis, demografis, kependudukan, sampai pada pendeskripsian kota Medan secara historis dan kultural. Dan untuk menunjukkan beberapa tempat di kota Medan sebagai lokasi penelitian yang terpilih akan dijabarkan pada bagian selanjutnya.
(41)
Berikut penulis sertakan data-data mengenai kota Medan yang penulis peroleh langsung dari situs www.pemkomedan.go.id
2.1. Kota Medan Secara Geografis
Secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi).
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota
(42)
Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.
Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.
Secara administratif, wilayah kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini
(43)
menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.
Disamping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
2.2. Kota Medan Secara Demografis
Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonomi.
Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat
(44)
pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.
Tabel 1
Jumlah Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2005 – 2007
Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan Penduduk Luas Wilayah (KM²) Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM²)
2005 2.036.185 1,50 265,10 7.681
2006 2.067.288 1,53 265,10 7.798
2007 2.083.156 0,77 265,10 7.858
Sumber: BPS Kota Medan
Melalui data tabel di atas, diketahui jumlah penduduk Kota Medan mengalami peningkatan dari 2,036 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 2,067 juta jiwa pada tahun 2006 dan 2,083 juta jiwa pada tahun 2007. Dari tahun ke tahun
(45)
laju pertumbuhan mengalami peningkatan dari 1,50 persen pada tahun 2005 meningkat menjadi 1,53 persen pada tahun 2006, dan menurun kembali menjadi 0,77 persen pada tahun 2007.
2.3. Komposisi Penduduk Kota Medan
Komposisi penduduk Kota Medan berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan kota, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Keterkaitan komposisi penduduk dengan upaya-upaya pembangunan kota yang dilaksanakan, didasarkan kepada kebutuhan pelayanan yang harus disediakan kepada masing-masing kelompok usia penduduk, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan bahkan pelayanan kesejahteraan sosial lainnya.
Proporsi anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita) dalam kelompok penduduk Kota Medan sekitar 9% dari jumlah penduduk. Relatif besarnya proporsi dan jumlah penduduk anak-anak balita ini berimplikasi pada kebutuhan prasarana dan sarana kesehatan usia balita, dan sarana pendidikan usia dini baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada kelompok usia anak-anak dan remaja, kebijakan yang ditempuh diarahkan pada peningkatan status gizi anak, pengendalian tingkat kenakalan anak dan remaja, peningkatan kualitas pendidikan dan lain-lain. Upaya ini diharapkan dapat terus dilakukan untutk mempersiapkan masa depan anak-anak dan remaja sehingga mendukung terbentuknya sumber daya manusia yang semakin berkualitas.
(46)
Tabel 2
Persentase Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kelompok Umur Tahun 2007
GOLONGAN UMUR
LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
JIWA PERSEN
(%) JIWA
PERSEN
(%) JIWA
PERSEN (%)
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]
0 - 4 89.206 8,62 92.853 8,86 182.059 8,74
9-May 96.559 9,33 91.885 8,76 188.444 9,05
14-Oct 98.519 9,52 100.59 9,59 199.109 9,56
16 - 19 111.263 10,75 105.426 10,06 216.689 10,40
20 - 24 116.164 11,23 121.385 11,58 237.549 11,40
25 - 29 99.499 9,62 102.041 9,73 201.54 9,67
30 - 34 83.325 8,05 75.926 7,24 159.251 7,64
35 - 39 75.482 7,30 83.18 7,93 158.662 7,62
40 - 44 70.091 6,77 75.926 7,24 146.017 7,01
45 - 49 57.837 5,59 53.68 5,12 111.517 5,35
50 - 54 47.054 4,55 47.393 4,52 94.447 4,53
55 - 59 30.879 2,98 31.434 3,00 62.313 2,99
60 - 64 26.468 2,56 22.246 2,12 48.714 2,34
65 + 32.35 3,13 44.495 4,24 76.845 3,69
Jumlah 1.034.696 100,00 1.048.460 100,00 2.083.156 100
Sumber: BPS Kota Medan
Berdasarkan tabel-tabel diatas diketahui bahwa ada kecenderungan peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.067.288 jiwa pada tahun 2006 menjadi 2.083.156 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan berkisar 1,53% pada tahun 2006 dan 0,77% pada tahun 2007. Walaupun meningkat namun tidak terlalu mencolok, bahkan laju pertumbuhan penduduk cenderung lebih rendah tahun 2007 dibandingkan tahun 2006. Faktor alami yang diperkirakan mempengaruhi peningkatan laju pertambahan penduduk adalah seperti tingkat kelahiran, kematian, dan arus urbanisasi. Upaya-upaya pengendalian kelahiran melalui
(47)
program Keluarga Berencana (KB) perlu terus dipertahankan untuk menekan angka kelahiran.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka pada tahun 2006 menjadi 7.858 jiwa/KM² pada tahun 2007. Tingkat kepadatan tersebut relatif tinggi, sehingga termasuk salah satu permasalahan yang harus diantisipasi. Apalagi dengan luas lahan yang relatif terbatas, sehingga berpeluang terjadi ketidak seimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada.
Faktor lain yang juga secara berarti mempengaruhi peningkatan laju pertumbuhan penduduk adalah meningkatnya arus urbanisasi dan commuters serta kaum pencari kerja ke Kota Medan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, faktor utama yang menyebabkan komutasi ke Kota Medan adalah adanya pandangan bahwa : (1) bekerja di kota lebih bergengsi (2) di kota lebih gampang mencari pekerjaan, (3) Tidak ada lagi yang dapat diolah (dikerjakan) di daerah asalnya, dan (4) upaya mencari nafkah yang lebih baik. Besarnya dorongan untuk menjadi penglaju tentunya berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan pelayanan umum yang harus disediakan secara keseluruhan.
Faktor lain yang secara umum mempengaruhi semakin menurunnya angka pertumbuhan penduduk pada periode 2006 - 2007 adalah peningkatan derajat pendidikan masyarakat Kota Medan. Pada umumnya peningkatan derajat pendidikan masyarakat secara langsung meningkatkan rata-rata pendidikan generasi muda, yang merupakan calon orang tua yang memasuki kehidupan rumah tangga. Melalui tingkat pendidikan yang semakin memadai, apresiasi, dan pandangan masyarakat terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan semakin
(48)
meningkat. Adanya anggapan mengenai jumlah anggota keluarga yang tidak besar akan memudahkan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, karena beban ekonomi yang harus dipikul menjadi lebih ringan, mendorong Pasangan Usia Subur (PUS) cenderung mengikuti konsep Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Bahkan sebagian PUS baru memilih untuk menunda kelahiran dengan berbagai alasan ekonomi (bekerja) ataupun alasan sosial dan psikologis lainnya.
Grafik
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Medan Tahun 2007
0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000
Jiwa
0-14 15-64 65+
Kelompok Umur
Laki-Laki Perempuan Jumlah
(49)
Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa komposisi penduduk terbesar berada pada kelompok usia 15-64 tahun sebagai kelompok usia produktif atau kelompok usia aktif secara ekonomis. Diluar kelompok usia produktif terdapat kelompok usia tidak produktif yang cenderung akan ditanggung oleh kelompok usia produktif, yang biasa disebut dengan angka beban tanggungan (ABT). Untuk Kota Medan angka beban tanggungan berkisar 45, atau sekitar setiap 45 orang ditanggung oleh 100 orang produktif. Jumlah penduduk Kota Medan yang sampai saat ini diperkirakan berjumlah 2,083 juta lebih, dan diproyeksikan mencapai 2,167 juta penduduk pada tahun 2010, ditambah beban arus penglaju juga menjadi beban pembangunan yang harus ditangani secara terpadu dan komprehensif.
Di samping itu, pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, sangat diperlukan pada masa datang.
Beberapa masalah kependudukan dapat diringkas sebagai berikut :
1. Kecenderungan adanya penurunan flukturasi laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2006 dan tahun 2007.
2. Kecenderungan peningkatan arus ulang alik ke Kota Medan yang berimplikasi kepada pemenuhan fasilitas sosial yang dibutuhkan.
3. Masalah kemiskinan, tenaga kerja dan permasalahan sosial lain yang dipengaruhi oleh iklim perekonomian nasional dan global.
4. Penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya termasuk sarana dan prasarana permukiman.
(50)
2.4. Kota Medan Dalam Dimensi Sejarah
Berdasarkan data Pemerintahan Kota Medan, kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi
Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan. Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan pada tahun 1590. Secara historis, perkembangan Kota Medan sejak awal memposisikannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) tembakau sejak masa lalu.
Sebagai tambahan John Anderson yang merupakan orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli atau Kota Medan pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan dinyatakan sebagai tempat kediaman Sultan Deli. Pada tahun 1883, Medan telah menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial Belanda membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran.
Daerah Kesawan tahun 1920-an, akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan, gelombang pertama berupa kedatangan orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun 1880 perusahaan perkebunan berhenti mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan.
(51)
orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Mereka datang ke Medan bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi guru, dan ulama. Kehadiran Kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan sebagai “Medan” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Sebagai hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590, sampai saat sekarang ini usia Kota Medan telah mencapai 419 tahun.
Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus. Guru Patimpus adalah seorang putra Karo bermerga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang putri Datuk Pulo Brayan. Dalam bahasa Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" ataupun "Orang Pintar", kemudian kata "Pa" merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata "Timpus" berarti bundelan, bungkus, atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya, hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota Medan.
Kota Medan berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutnya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis menuju Medan pada tahun 1887,
(52)
sebelum akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915.
Keberadaan Kota Medan tidak lepas dari peranan para pendatang asing yang datang ke Medan sebagai pedagang maupun lainnya. Nienhuys sebagai pendatang asing mempunyai peranan sebagai pemilik modal perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Marelan telah menjadi cikal-bakal pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah memindahkan pusat perdagangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang ini dikenal dengan kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan perkembangan cikal-bakal Kota Medan seperti sekarang ini. Sedang dijadikannya Medan menjadi ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan, sebagaimana terdapat dalam konsep modern mengenai perkembangan kota. Sampai saat ini, disamping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Sumatera Utara.1
Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh sebab itu, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis. Dampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak
2.5. Kota Medan Secara Kultural
1
Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Tahun 2006-2010 Pemko Medan (Via www.pemkomedan.go.id)
(53)
satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.
Adanya pluralisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.
2.6. Visi dan Misi Kota Medan
Untuk mewujudkan pembangunan Kota Medan yang lebih terarah, terencana, menyeluruh, terpadu, realistis dan dapat dievaluasi, maka perlu dirumuskan rencana strategis sebagai broad guide line penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di Kota Medan untuk lima tahun ke depan. Rencana strategis yang ditetapkan sekaligus menjadi strategi dasar bagi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan dan pengembangan kota, serta memberikan orientasi dan komitmen bagi penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, di samping adanya rencana pembangunan kota yang handal, perlu adanya pengukuran capaian kinerja sebagai bentuk akuntabilitas publik guna menjamin peningkatan pelayanan umum yang diinginkan.
(54)
2.6.1. Visi Kota Medan
Pembangunan Kota Medan merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu visi merupakan simpul dalam upaya menyusun rencana strategis pembangunan kota. Sebagai gambaran identitas masa depan Kota Medan maka, perumusan visi itu didasarkan pada pertimbangan :
1. Prasyarat pembangunan kota, seperti berkembangnya demokrasi dan partisipasi, mendorong penegakan hukum, keadilan sosial dan ekonomi, pemerintahan yang kuat, efisien dan efektif, birokrasi yang kreatif dan inovatif, stabilitas politik dan keamanan yang kondusif, pelayanan publik yang prima, pemerataan pembangunan dan pembangunan kota yang berkelanjutan. 2. Masalah dan tantangan serta kebutuhan pembangunan Kota Medan dalam
rangka mewujudkan kemajuan Kota Medan yang metropolitan.
3. Kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan regional yang mendorong perkembangan Kota Medan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan Indonesia bagian barat.
4. Kecenderungan globalisasi dan regionalisasi.
5. Nilai-nilai luhur, norma dan budaya yang telah lama dianut seluruh warga Kota Medan.
2.6.2. Misi Kota Medan
Untuk mempertegas tugas dan tanggung jawab pembangunan dari seluruh stakeholder maka visi pembangunan kota dijabarkan ke dalam misi yang jelas, terarah dan terukur. Misi ini menjelaskan tujuan dan saran yang ingin dicapai
(55)
dalam pembangunan kota sehingga diharapkan seluruh stakeholder dapat mengetahui dan memahami kedudukan dan peran masing-masing masyarakat dalam pembangunan. Adapun misi Kota Medan adalah :
1. Mewujudkan percepatan pembangunan daerah pinggiran, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kemajuan dan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat kota.
2. Mewujudkan tata pemerintahan yang lebih baik dengan birokrasi yang lebih efisien, efektif, kreatif, inovatif dan responsif.
3. Penataan kota yang ramah lingkungan berdasarkan prinsip keadilan sosial, ekonomi, budaya. Membangun dan mengembangkan pendidikan, kesehatan serta budaya daerah.
4. Meningkatkan suasana religius yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
2.7. Kota Medan Secara Sosial
Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .
Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multi
(56)
dimensional yang penomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi, gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat .
Data SUSENAS tahun 2004, memperkirakan penduduk miskin di kota Medan tahun 2004 berjumlah 7,13% atau 32.804 rumah tangga atau 143.037 jiwa. Dilihat dari persebarannya, Medan bagian Utara (Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan) merupakan kantong kemiskinan terbesar (37,19%) dari keseluruhan penduduk miskin
2.8. Kota Medan dan Tempat Berkumpulnya Komunitas Musik Indie
Pada keterangan gambar 1, dapat dilihat jumlah penduduk kota Medan tahun 2007 berdasarkan jenis kelamin pada kelompok umur 15-64 tahun yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki sebanyak 718.062 jiwa dan jenis kelamin wanita sebanyak 718.637 jiwa.
Jika berdasarkan data komposisi penduduk kota Medan yang telah dijabarkan pada tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dengan kelompok umur 16-19 pada tahun 2007 mencapai posisi sebesar 10,40% dan kelompok umur 20-24 sebesar 11,40% dari kuantitas keseluruhan penduduk kota Medan yang berjumlah 2.083.156 jiwa. Di samping itu, jumlah penduduk dengan kelompok umur 25-29 sebesar 9,67%, 30-34 sebesar 7,64%, dan kelompok umur 35-39 sebesar 7,62% pada tahun 2007.
(57)
Meskipun data yang diberikan oleh BPS dan Pemerintah Kota Medan masih bersifat generalisasi yaitu khususnya pengelompokan umur yang masih secara meluas, namun keterangan data komposisi penduduk kota Medan di atas cukup menunjukkan bahwa besarnya kelompok usia remaja. Hal ini dapat membantu guna memahami, bahwa dari jumlah keseluruhan penduduk kota Medan, anak muda atau golongan usia remaja menduduki komposisi yang cukup besar.
Berdasarkan himpunan dari beberapa dialog pra penelitian (baik dari teman maupun orang-orang yang menaruh perhatian pada musik indie kota Medan), observasi lapangan yang dilakukan secara langsung dan keterlibatan langsung penulis terhadap subjek studi ini, maka diketahuilah beberapa lokasi sebagai tempat berkumpulnya masing-masing komunitas musik indie kota Medan. Dilihat dari komposisi usia pelaku dan penikmat musik indie (16-29 tahun) sekitar 31,47% yang tegolong usia remaja dari jumlah keseluruhan penduduk kota Medan. Sebagaimana remaja-remaja yang hobi bermain musik di kota-kota besar lainnya di Indonesia, secara umum studio musik merupakan tempat berkumpul yang menjadi favorit. Begitu juga halnya dengan remaja-remaja yang hobi musik di kota Medan, dengan banyaknya tempat jasa-jasa penyewaan rental studio musik, remaja-remaja atau anak-anak muda kota Medan dapat dijumpai di rental-rental studio ini. Tempat ini dijadikan sebagai tempat berkumpul yang asyik sekedar saling berbagi cerita mengenai musik, menunggu giliran bermain musik di studio musik atau ngejam atau tentang hal lainnya.
(58)
Bila dilihat dari alasan berkumpulnya tidak jauh berbeda, pada umumnya anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas musik indie kota Medan memiliki alasan seperti tempat asyik berkumpul dengan teman-teman yang satu selera musik, berbincang-bincang tentang musik indie luar negeri atau band-band indie Indonesia dan band-band indie lokal Medan, serta obrolan-obrolan lainnya di luar musik. Tempat nongkrong juga dimanfaatkan oleh anak-anak muda komunitas musik indie untuk membahas atau merancang kegiatan menyelenggarakan gigs (istilah untuk pertunjukan musik). Untuk itu penulis akan menyesuaikan tempat nongkrong remaja-remaja musik indie yang menjadi informan penelitian.
2.8.1. Studio Musik Kirana dan Komunitas Kirana
Studio musik Kirana ini merupakan sebuah rumah yang terletak di jalan Darussalam dengan salah satu ruangan dijadikan sebagai rental studio. Bila kita melihat sekilas dari sisi jalan, studio musik ini tidak mencerminkan sebagai studio musik. Karena dari sisi jalan, studio musik Kirana ini seperti rumah yang cukup besar berlantai dua. Studio musiknya terletak di sisi samping sebelah kiri dari rumah induk.
Studio musik Kirana hanya merentalkan satu musik studio saja. Di bagian depan studio ada meja kerja penjaga studio yang biasa dijaga oleh pekerja remaja secara bergantian, yaitu dari pagi jam sembilan sampai sore jam tiga dan dari sore jam tiga sampai jam sembilan malam dijaga dengan remaja yang berbeda. Tepat di sisi bagian depan studio juga ada tempat duduk atau tempat tongkrongan yang
(59)
cukup luas. Tempat tongkrongan tersebut berisi papan informasi yang biasa digunakan untuk menempel brosur event-event ataupun gigs yang diselenggarakan di kota Medan. Ada poster-poster band ternama yang di pajang di bagian dinding-dindingnya, baik band luar negeri maupun band dalam negeri. Studio ini menyewakan studio musik per jamnya seharga Rp.35.000.
Gambar 1. Tampak Depan Studio Kirana
Gambar 2. Tongkrongan remaja-remaja Gambar 3. Studio musik Kirana komunitas Kirana
(60)
Gambar 4. Papan Pengunguman Gambar 5. Meja penjaga studio
Studio musik ini dimiliki oleh Lutfi (biasa akrab dengan sapaan Kentung). Lutfi alias Kentung yang berusia 28 tahun ini sebagai anak dari pemilik rumah di jalan Darussalam tersebut, sekaligus sebagai pemilik studio musik Kirana. Remaja yang berpostur badan tinggi besar dengan kepala plontos itu mengaku mendirikan studio musik, dikarenakan dia juga hobi bermain musik. Lutfi alias Kentung sempat mempunyai band bernama Kolam Renang, dimana Lutfi sebagai drummer. Studio musik Kirana berdiri sekitar pada tahun 2002. Pada tahun ini juga, serentak komunitas Kirana berdiri. Pada awalnya band-band yang bergabung dan sering nongkrong disini ada, “Beautiful Monday”, “90’s”, “Wardoyo” dan “Kolam Renang”, band Lutfi sendiri. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya banyak band-band indie kota Medan yang bergabung ke Kirana. Diantaranya ada “The Cangis”, “Korine Conception”, “Hairdresser On Fire”, “The Brengsex”, “90’s Chaotic Robot”, “Cutting Union”, “Arsitek Sore”, “Rizky Pratama Sembiring”, dan “The Object”.
Remaja-remaja yang tergabung dalam band tersebutlah yang sering berkumpul di studio Kirana. Remaja-remaja selaku pelaku komunitas Kirana tersebut berkumpul sekadar untuk berbincang dengan kawan-kawan satu
(1)
13.Hip-Hop : Sebuah gerakan kebudayaan yang mulai tumbuh sekitar tahun 1970’an yang dikembangkan oleh masyarakat Afro-Amerika dan Latin-Afro-Amerika. Hip Hop merupakan perpaduan yang sangat dinamis antara elemen-elemen yang terdiri dari MCing (lebih dikenal rapping),DJing, Breakdance, dan Graffiti. Belakangan ini elemen Hip Hop juga diwarnai oleh beatboxing,slang, dan
14.Melodic Punk : Subgenre ini memiliki ciri musik yang lebih dapat
diterima karena gaya bermusik yang cenderung lebih "halus" daripada musik punk
15.Ngejam : Bermain musik di studio musik
16.Lost In A Melodic: Pertunjukan gigs yang khusus diadakan oleh komunitas Kirana
17.D.I.Y : Berasal dari bahasa Inggris, yaitu Do it Yourself yang berarti “lakukan sendiri”. Kata ini merupakan idealisme yang dijunjung oleh musisi indie sebagai semangat kemandirian
18.jazz : Jenis musik yang tumbuh dari penggabungan
dan musik Eropa, terutama musik band.
19.blues : Berasal dari masyarakat
dari musik banyak genre musik pop saat ini, termas
musik pop.
20.skin head : Suatu sub-budaya yang lahir di
akhir tahunSkinhead merujuk kepada para pengikut budaya ini yang rambutnya dipangkas 21.Punk : Dapat berarti jenisgenre yang lahir di awal
tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
22.mowhawk : Sebuah gaya rambut tegak-tegak berdiri ala masyarakat
(2)
23.emo : Gaya musik rock yang biasanya ditandai dengan musik yang merdu dan ekspresif, sering dengan lirik pengakuan.
24.Metal : Genre musik rock yang dikembangkan pada akhir 1960-an
dan awal 1970-an, terutama di Inggris dan Amerika Serikat
25.psychedelic : Mencakup berbagai gaya musik populer dan genre, yang
terinspirasi oleh atau dipengaruhi oleh budaya psikedelik
dan yang mencoba untuk meniru dan meningkatkan pengalaman mengubah pikiran-obat psikedelik yang dimulai sekitar tahun 1960an di Amerika Serikat dan Inggris.
26.Tomatoes Presents : Pertunjukan gigs yang khusus diadakan oleh komunitas Tomat
27.Distro : Singkatan dari distribution store atau distribution outlet, adalah jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan aksesori yang dititipkan oleh pembuat pakaian, atau diproduksi sendiri
28.studio recording : Fasilitas untuk merekam
29.gigs indoor : Pertunjukan musik indie yang dilakukan di dalam ruangan
30.gigs outdoor : Pertunjukan musik indie yang diadakan di ruangan
(3)
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Torep Umur : 27 Tahun
Ket : Gitaris band “The Cangis”, Anggota komunitas Kirana 2. Nama : Reza
Umur : 20 tahun
Ket : Personil band “90’s Chaotic Robot” dan “Arsitek Sore”, Anggota komunitas Kirana
3. Nama : Lutfi alias Kentung Umur : 28 Tahun
Ket : Pemilik Studio Kirana 4. Nama : Dicky
Umur : 27 Tahun
Ket : Pemilik Tomato Studio 5. Nama : Ari
Umur : 25 tahun
Ket : Gitaris band “Dirty Jacket” 6. Nama : Bimbim
Umur : 24 tahun
Ket : Ketua Komunitas Medan Movement 7. Nama : Darren
Umur : 21 tahun
(4)
8. Nama : Isan Umur : 22 tahun
Ket : Pemilik RV Net dan Anggota Medan Movement 9. Nama : Yas Budaya
Umur : 30an tahun
Ket : Vokalis “Alone at Last” (Band Indie asal Bandung) 10. Nama : “Pure Saturday”
Ket : Wawancara via email (info@pure-saturday.com) 11. Nama : Fandy Siagian
Umur : 23 tahun
Ket : Vokalis band “Rumput Tetangga” 12. Nama : Risky Pratama Sembiring
Umur : 18 tahun
Ket : Penyanyi solo indie
13. Nama : Acid Anwar Umur : 23 tahun
Ket : Wanita Penikmat Musik Indie
14. Nama : Nola Pohan Umur : 25 tahun
Ket : Wanita Penikmat Musik Indie
15. Nama :Rizki Maghfira Umur : 18 tahun
(5)
16. Nama : Zazri Hakam Umur : 29 tahun
Ket : Mantan Vokalis “Marionette” dan penikmat musik indie
17. Nama : Panjang atau Indra Fadillah Umur : 24 tahun
Ket : Penikmat Musik Indie
18. Nama : Giffari Umur : 22 tahun
Ket : Gitaris band “The Oh Good” 19. Nama : Selo
Umur : 24 tahun
Ket : Anggota komunitas Tomat 20. Nama : Embun Munggarani Umur : 27 tahun
(6)
PETA
LOKASI PENELITIAN
Sumber : http://maps.google.co.id/maps?hl=id&tab=wl
Keterangan :
Jalan Kenanga Raya, RV Net dan tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Medan Movement
Jalan Darussalam, Studio Kirana dan tempat berkumpulnya remaja-remaja komunitas Kirana