Perilaku Kolektif Dan Kondisi-Kondisi Pembentuk Perilaku Kolektif

Tomat, dan komunitas Medan Movement ini akan penulis coba menganalisisnya dalam lingkup perilaku kolektif. Sebelum membahas lebih jauh mengenai perilaku kolektif komunitas musik indie di kota Medan, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertian perilaku kolektif dan kondisi-kondisi pembentuk perilaku kolektif. Adapun dalam pembahasan nantinya penulis mendeskripsikan perilaku-perilaku remaja-remaja selaku pelaku komunitas musik indie ataupun remaja-remaja selaku penikmat musik indie. Penulis juga mencoba mengkoherensikan perilaku-perilaku remaja- remaja tersebut ke dalam kategori-kategori perilaku kolektif.

4.1. Perilaku Kolektif Dan Kondisi-Kondisi Pembentuk Perilaku Kolektif

Sekelompok manusia yang melakukan suatu kegiatan secara bersama- sama dapat diartikan sebagai suatu bentuk koletivisme kebersamaan. Perilaku sekelompok manusia yang dilakukan secara bersama-sama kebersamaan ini pula diistilahkan sebagai perilaku kolektif collective behaviour. Neil Smelser, di dalam tulisan Suryanto 2008:1 yang berjudul Memahami Psikologi Massa dan Penanganannya, mengidentifikasi beberapa kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, diantaranya: 1. Structural conduciveness, yaitu beberapa struktur sosial yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan, mall, dan sebagainya. 2. Structural strain, yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan pilkada. Universitas Sumatera Utara 3. Generalized belief share interpretation of event, yaitu menginterpretasikan suatu peristiwa yang diketahui oleh banyak orang. Misalnya suatu pertunjukan acara atau konser. 4. Precipitating factors, yaitu ada kejadian pemicu trigerring incidence. Misal ada pencurian, ada kecelakaan, dan lain-lain. 5. Mobilization for actions, yaitu adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh, rapat umum suatu ormas, dan sebagainya. 6. Failure of social control, yaitu akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Bila dilihat dari beberapa kategori di atas, perilaku-perilaku remaja-remaja yang tergabung dalam komunitas musik indie, yaitu dalam hal ini komunitas Kirana, komunitas Tomat, komunitas Medan Movement termasuk dalam kategori Generalized belief, yang berarti bahwa anak muda yang tergabung dalam komunitas musik indie mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada umumnya diketahui oleh banyak orang. Selain itu, mereka juga masuk dalam kategori failure of social control, yaitu melakukan suatu perilaku kolektif akibat adanya agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik. Dalam kategori generalized belief, remaja-remaja yang tergabung dalam ketiga komunitas musik indie tersebut mencoba menginterpretasikan suatu peristiwa yang pada umumnya diketahui oleh banyak orang. Menginterpretasikan suatu peristiwa dalam hal ini adalah mengenai musik. Dimana secara umum dan diketahui secara umum bahwa musik yang mendominasi adalah musik pop musik Universitas Sumatera Utara mainstream. Fenomena musik mainstream dianggap oleh remaja-remaja komunitas musik indie sebagai suatu hal yang menjenuhkan dan mengkungkung kreativitas dalam bermusik. Kategori berikutnya adalah failure of social control, yaitu dalam hal ini remaja-remaja komunitas musik indie berkreativitas dan menghasilkan karya- karya dalam bermusik. Selain itu, mereka bersama dengan komunitasnya melakukan suatu pergerakan menyelenggarakan pertunjukan musik indie gigs yang dapat ditempuh dengan semangat kemandirian. Hal inilah sebagai suatu wujud dari perilaku kolektif remaja-remaja komunitas musik indie akibat adanya ‘agen’ yang ditugaskan melakukan kontrol sosial dalam hal musik, perkembangan musik, kreativitas dalam bermusik dan kebebesan berekspresi tidak dapat berjalan dengan baik.

4.2. Identitas dan Solidaritas Komunitas Musik Indie