Identitas dan Solidaritas Komunitas Musik Indie

mainstream. Fenomena musik mainstream dianggap oleh remaja-remaja komunitas musik indie sebagai suatu hal yang menjenuhkan dan mengkungkung kreativitas dalam bermusik. Kategori berikutnya adalah failure of social control, yaitu dalam hal ini remaja-remaja komunitas musik indie berkreativitas dan menghasilkan karya- karya dalam bermusik. Selain itu, mereka bersama dengan komunitasnya melakukan suatu pergerakan menyelenggarakan pertunjukan musik indie gigs yang dapat ditempuh dengan semangat kemandirian. Hal inilah sebagai suatu wujud dari perilaku kolektif remaja-remaja komunitas musik indie akibat adanya ‘agen’ yang ditugaskan melakukan kontrol sosial dalam hal musik, perkembangan musik, kreativitas dalam bermusik dan kebebesan berekspresi tidak dapat berjalan dengan baik.

4.2. Identitas dan Solidaritas Komunitas Musik Indie

Persoalan identitas dan solidaritas pada remaja-remaja komunitas Kirana, komunitas Tomat dan komunitas Medan Movement bersifat tidak baku. Dengan kata lain, tidak adanya suatu aturan baku yang mengikat remaja-remaja yang tergabung dalam komunitas musik indie. Remaja-remaja bebas dengan mudah bergabung dengan komunitas tersebut dan dengan bebas pula keluar dari komunitas. Meskipun tak ada aturan-aturan baku yang mengikat remaja-remaja komunitas musik indie, namun identitas dan solidaritas dapat dijumpai pada komunitas musik indie. Terutama mengenai identitas, identitas merupakan Universitas Sumatera Utara persoalan yang paling mendasar dan melekat pada remaja-remaja komunitas musik indie. Weeks dalam Barker 2000:286 mengatakan bahwa: “Identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan, tentang aspek personal dan sosial, ‘tentang kesamaan Anda dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan Anda dari orang lain’” Ciri fisik dalam hal identitas pada remaja-remaja komunitas musik indie berbeda dengan remaja-remaja komunitas-komunitas lain yang berdasarkan genre komunitas punk, komunitas metal, komunitas hardcore, komunitas rock, komunitas emo, komunitas hip-hop, dan lain-lain. Misalnya pada komunitas punk, masyarakat umum dapat dengan mudah menandakan identitas remaja- remaja komunitas punk dengan gaya rambut mohawk rambut tegak-tegak berdiri ala masyarakat suku indian atau bahkan dari pakaiannya. Dari pakaian yang biasa dikenakan oleh remaja-remaja komunitas punk, misalnya celana yang sempit dan robek-robek bahkan sampai terkesan kumal. Pada remaja-remaja komunitas metal dan rock bisa ditandai dengan rambut yang gondrong, baju kaos berwarna gelap dan biasa bergambarkan band-band rock ternama. Begitu juga halnya identitas fisik yang bisa dijumpai pada remaja-remaja komunitas emo dan hip-hop. Pada remaja-remaja komunitas emo bisa ditandai dengan poni rambutnya yang panjang dan menyimpang ke kiri atau ke kanan, dan lain sebagainya. Pada remaja-remaja hip-hop sendiri dengan gaya baju yang seperti kebesaran dan topi yang berukuran besar pula. Hal tersebut dengan mudah dipahami dari identitas-identitas fisik pada remaja-remaja komunitas yang berdasarkan genre Muhary, 2007:178. Lain halnya pada remaja-remaja komunitas musik indie. Beberapa dari remaja komunitas musik indie bergaya atau berpakaian berdasarkan genre yang Universitas Sumatera Utara menjadi influence, seperti bergaya rock n roll yang bisa ditunjukkan dengan jacket atau celana jeans yang koyak. Namun itu hanya sebagian kecil dari remaja-remaja komunitas musik indie saja. Kebanyakan dari mereka bergaya biasa saja sebagaimana gaya kehidupan sehari-harinya. Identitas ini tak jauh berbeda dengan masyarakat umum lainnya, terutama di kalangan-kalangan remaja. Dalam hal ini Torep, 27 tahun, mengungkapkan pendapatnya: “Berbicara identitas, atau pakaian ya aku biasa aja. Dulu sempat aku bergaya berdasarkan genre musik yang aku suka, dulu aku sempat di komunitas grunge. Tapi ya mungkin sekarang aku sudah merasa nyaman dengan bergaya pakaian seperti ini biasa saja. Bagi aku, selagi itu nyaman untuk dipakai ya itulah yang aku kenakan. Dan yang seperti ini nyaman buat aku. Mengenai pakaian Arctic Monkeys band indie luar negeri juga mengenakan kostum yang biasa saja, pakaian yang biasa dipakai anak kuliah ya seperti itu yang dipakai di saat manggung” Gambar 24. Torep saat tampil bersama “The Cangis” di gigs Medan Movement Universitas Sumatera Utara Identitas fisik dalam hal pakaian yang sering digunakan Torep, baik dalam kehidupan sehari-hari atau pakaian di saat sedang bermusik memang tak jauh berbeda. Berdasarkan pengamatan penulis, pakaian yang sering digunakan Torep dengan kaos berkerah dan celana panjang yang pas tidak terlalu kebesaran seperti celana orang kantoran. Pada model potongan rambut juga seperti halnya potongan rambut masyarakat umum, Torep merasa nyaman dengan potongan rambutnya yang pendek seperti potongan rambut bergaya Tin-tin. Gambar 25. Fandy dan Niko dengan kaos hitam bergambar Gambar 26. Salah satu personil ALIONG dengan kaos merah Universitas Sumatera Utara Identitas yang bisa dijumpai pada remaja-remaja komunitas musik indie ini memang tidak terlalu mencolok, namun tetap memberikan ciri tersendiri. Ciri itu biasa tampak pada seringnya remaja-remaja komunitas musik indie menggunakan kaos-kaos produk distro lokal, bahkan distro kota Medan sendiri seperti distro “Fateful” dan “Tau Ko Medan”. Gambar 27. Kaos yang dikenakan salah satu band indie Medan di gigs Medan Movement Universitas Sumatera Utara Gambar 28. Aksesoris topi yang dikenakan salah satu penonton dalam gigs Medan Movement di Atmosfer Billyard Remaja-remaja komunitas musik indie pula suka mengenakan kaos-kaos band-band indie luar negeri atau band-band indie indonesia atau band-band lokal Medan. Hal ini tampak pada kaos-kaos yang sering dikenakan oleh Panjang Indra Fadillah: “Aku suka band-band luar negeri ya aku pakai kaosnya. Dan aku suka band-band indie lokal sendiri, seperti The S.I.G.I.T dan Efek Rumah Kaca. Tapi memang lebih sering sih aku pakai kaos yang polos dan biasa saja.” Dalam hal kaos ini, komentar yang lebih menarik seperti yang dikemukakan oleh Torep: “Mengenai kaos band aku gak mau mengenakan merchandise atau kaos-kaos band luar atau band Jawa band indie asal kota Bandung atau Jakarta sekalipun. Bagi aku band indie lokal kota Medan kualitas juga bagus. Kita butuh juga mengangkat band lokal Medan kita sendiri. Supaya mereka band-band indie di luar kota Medan tahu kalau band-band indie kota Medan itu ada. Aku pernah mengenakan kaos-kaos band seperti dari distro Fateful” Universitas Sumatera Utara Band-band indie kota Medan yang berbasis komunitas juga banyak yang memproduksi kaos yang merupakan dari marchandise aksesoris yang melambangkan band indie tersebut dari band-nya, seperti yang dilakukan oleh band The Oh Good, Security In Jail, dan band-band indie kota Medan lainnya. Solidaritas pada remaja-remaja komunitas musik indie ini salah satunya berbentuk dukungan. Bentuk dukungan tersebut dilakukan oleh remaja-remaja komunitas musik terhadap band-band indie yang merupakan bagian dari suatu komunitas musik itu sendiri. Hal ini dapat terlihat salah satunya pada remaja- remaja komunitas kirana yang selalu memberikan dukungan atau datang dan selalu berada di barisan depan ketika band-band indie dari komunitasnya beraksi di atas panggung, baik pada gigs yang diselenggarakan oleh komunitas kirana atau di acara yang lainnya. Mengenai hal ini Torep mengungkapkan pendapatnya: “Mungkin itulah bentuk solidaritas dari kawan-kawan satu komunitas. Komunitas sebagai suatu rumah bagi band-band indie. Apabila bandnya mau kuat, maka kuatkanlah dulu komunitasnya sebagai dasar. Komunitas adalah yang pertama menerima mentah- mentah karya-karya dari band-bandnya, kalau komunitas saja tidak suka dan tidak mendukung ya sipa lagi? Mengenai kawan-kawan yang selalu datang atau ngeramein acara, itu terjadi ya begitu aja. Tak ada dikoordinir, tapi ya kesadaran dari kawan-kawan satu komunitas.” Dari pendapat Torep dan hasil observasi partisipasi yang penulis dapatkan, dapat ditarik keterangan bahwa remaja-remaja komunitas Kirana tidak melakukan koordinasi ataupun paksaan untuk selalu mendukung band-band yang berasal dari komunitasnya. Melainkan solidaritas tersebut berasal dari kesadaran diri sendiri untuk saling mendukung, yang tidak lain merupakan rasa saling membutuhkan dan dibutuhkan. Remaja-remaja komunitas musik indie ataupun suatu komunitas Universitas Sumatera Utara merupakan rumah bagi band-band indie yang bernaung di dalamnya. Komunitas sebagai suatu penikmat yang pertama sekali mendengar atau menikmati karya- karya band-bandnya. Begitu juga halnya pada remaja-remaja komunitas Medan Movement. Saat salah satu band yang bernaung pada komunitas tersebut ada “manggung”, baik di gigs Medan Movement atau yang lainnya, remaja-remaja komunitas Medan Movement ikut untuk memberi dukungan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Giffari, 22 tahun, gitaris band “The Oh Good” yang bernaung di Medan Movement : “Ramainya kita menghadiri suatu acara dan menonton band-band yang main itu adalah suatu bentuk dukungan. Kalau bukan kita yang meramaikan siapa lagi.” Begitu juga halnya yang tampak ketika band-band indie yang bernanung di komunitas Tomat sedang beraksi, maka adanya dukungan-dukungan dari remaja- remaja dari komunitas ataupun remaja-remaja dari komunitas lainnya. Dukungan yang dilakukan oleh remaja-remaja komunitas musik indie ini, tidak selalu pada band-band indie yang berasal dari suatu komunitasnya saja. Tak jarang juga remaja-remaja komunitas musik indie selalu memberi dukungan dengan cara menonton dan membeli album CD-nya band-band yang berasal dari luar komunitasnya. Seperti yang dilakukan Panjang yang dapat dikatakan sering mendatangi gigs, baik gigs Medan Movement atau gigs-gigs yang diselenggarakan komunitas lainnya, seperti komunitas Kirana dan komunitas Tomat. “Karena suka menyaksikan acara indie di gigs, ya aku selaku penikmat musik juga. Jadi ya gak ada salahnya kalau kita selalu Universitas Sumatera Utara meramaikan gigs siapapun yang menyelenggarakan. Itu suatu bentuk dukungan terhadap band-band indie.” Di luar dari hal tersebut, solidaritas juga dapat terlihat pada kerjasama dalam membuat suatu gigs. Seperti yang pernah dilakukan oleh remaja-remaja komunitas Medan Movement, pada gigs yang bertajuk Battle, gigs ini merupakan gabungan dari beberapa komunitas musik indie yang ada di kota Medan dan band- band indie yang ada di kota Medan. Sebagai suatu pencetus konsep, gigs yang bertajuk Battle ini berawal dari komunitas Medan Movement dan komunitas Medan Indie Voice sekarang komunitas ini sudah bubar. Dalam penyelenggaraannya, sebagai suatu pengisi acara yaitu berasal dari hampir semua komunitas musik indie yang ada di kota Medan, seperti komunitas Kirana, komunitas Fateful, komunitas Tomat dan komunitas-komunitas musik kota Medan lainnya. Mengenai hal ini, Bimbim Indra Antian Sitompul mengungkapkan pendapatnya: “Gigs ini terbuka untuk komunitas-komunitas lainnya. Kita tidak ada mengkotak-kotakkan disini, termasuk mengkotak-kotakkan genre musik. Jadi ya ini bisa dibilang kreativitas kita bersama.” Komunitas Kirana juga melakukan suatu bentuk solidaritas dalam hal pertunjukan musik indie ini atau gigs. Seperti yang terlihat pada gigs Lost In A Melodic LIAM 4 yang diadakan remaja-remaja komunitas Kirana. Pada Lost In Melodic 4 ini terlihat yang ikut berpartisipasi juga datang dari remaja-remaja komunitas-komunitas musik indie di luar remaja-remaja komunitas Kirana. Mengenai hal ini, Torep mengungkapkan pendapatnya: “Di LIAM 1 sampai LIAM 3 kita memang eksklusif band-band yang main band-band Kirana saja. Tapi di LIAM 4 kita sudah berusaha ikut mengajak band-band di luar komunitas Kirana. Kita Universitas Sumatera Utara berusaha support mereka, dari mulai mengajak berpartisipasi, menyediakan ruang private, sampai pada melayani mereka naik ke atas panggung. Kita berusaha membiasakan bahwa band-band indie kota Medan juga layak sebagai artis.” Dari beberapa keterangan yang telah tersebut di atas, dapat terlihat bahwa dalam hal identitas dan solidaritas pada remaja-remaja komunitas musik indie ini berawal dari inisiatif, bukan karena suatu unsur paksaan darimana pun. Semangat ini merupakan suatu semangat merasa sama dan semangat demi perkembangan musik indie di kota Medan. Hal inilah yang secara tidak langsung berdampak semakin luasnya perkembangan musik indie di kota Medan. Kelanggengan dalam mempertahankan identitas dan solidaritas di kalangan remaja-remaja komunitas musik indie di kota Medan, dan besarnya perhatian media lokal maupun media secara luas, yang nantinya membuat komunitas musik indie mendapat ruang publik di masyarakat yang selama ini didominasi oleh musik mainstream budaya pop.

4.3. Perebutan Ruang Publik