Homeschooling dan Kecerdasan Sosial Siswa (Studi Kasus pada Komunitas Homeschooling Kak Seto di Pondok Aren)

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

CHENTAURI GALIH KISMARETY NIM : 1110015000016

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i ABSTRAK

Chentauri Galih Kismarety. NIM: 1110015000016. Homeschooling dan Kecerdasan Sosial Siswa (Studi Kasus pada Komunitas Homeschooling Kak Seto di Pondok Aren). Skripsi Program Strata 1 (S1). Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kecerdasan sosial yang dimiliki siswa tingkat SMP di kelas komunitas homeschooling Kak Seto, Pondok Aren. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sampel penelitian ini adalah tiga orang wali kelas terdiri dari tiap jenjang kelas dan enam orang siswa yang merupakan perwakilan dari setiap jenjang kelas yaitu dua orang siswa kelas VII, dua orang siswa kelas VIII, dan dua orang siswa kelas IX. Enam siswa tersebut dipilih berdasarkan rekomendasi para wali kelas kemudian peneliti lakukan observasi dengan tujuan untuk mendapat partisipan yang sesuai dengan kriteria dari dimensi kecerdasan sosial. Setelah melakukan observasi, selanjutnya peneliti mewawancarai mereka dengan menggunakan teknik wawancara semi terstruktur.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) enam partisipan yang diwawancarai memiliki kecerdasan sosial yang baik, hal itu ditunjukkan dengan terpenuhinya beberapa dimensi kecerdasan sosial seperti mereka cerdas situasionalnya, mampu membawa diri, kejujuran dalam bersikap, mampu menyampaikan ide atau gagasannya secara jelas sehingga orang lain dapat mengerti dengan baik, dan empati. (2) satu orang dari enam partisipan menunjukkan kecerdasan sosial yang baik terlihat dari terpenuhinya kelima dimensi kecerdasan sosial, tiga partisipan menunjukkan kecerdasan sosial sedang karena menunjukkan empat dimensi kecerdasan sosial, dan dua partisipan menunjukkan kecerdasan sosial rendah karena hanya menunjukkan dua dimensi dari lima dimensi kecerdasan sosial. Kesimpulan ini diambil berdasarkan terpenuhinya beberapa dimensi kecerdasan sosial. (3) untuk menjawab pertanyaan utama pada penelitian ini yaitu bagaimana kecerdasan sosial siswa pada tingkat SMP di kelas komunitas Homeschooling Kak Seto, peneliti menyimpulkan bahwa anak yang mengikuti homeschooling khususnya pada kelas komunitas tetap dapat berinteraksi dengan teman-teman maupun lingkungan sekitar karena kelas komunitas mirip dengan sekolah formal, belajar di dalam satu ruangan yang disebut kelas dan ada beberapa siswa di dalamnya. Hanya saja pada

homeschooling jumlah siswa tiap kelas tidak sebanyak di sekolah formal. Jumlah

siswa di kelas komunitas rata-rata 10 orang tiap kelasnya, dimana dalam kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan jika para siswa berinteraksi satu sama lain. Keadaan yang terjadi di Homeschooling Kak Seto bisa saja tidak terjadi pada

homeschooling lainnya, dikarenakan penelitian kualitatif tidak bisa

digeneralisasikan pada kasus dan situasi yang berbeda.


(7)

ii ABSTRACT

Chentauri Galih Kismarety. NIM: 1110015000016. Homeschooling and Students Social Intelligence (Case Studies of Kak Seto Homeschooling Community in Pondok Aren). Thesis of Bachelor Degree (S1). Faculty of Tarbiyah and Teacher’s Training, State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2015

The objective of this research was to find out the development of social intelligence of junior high school students in Kak Seto homeschooling class community, in Pondok Aren. The method used in this research was qualitative descriptive with a case study approach. Sample of this research were three teachers and six students in each grade, they are two students in 7th grade, two students in 8th grade, and two students in 9th grade. They were chosen based on the recommendation from the teachers, then researcher did observation to get participant who met the criteria of having some dimensions of social intelligence. After observed the participants, then the researcher interviewed them used semi structured interview technique.

The result of this research showed that: (1) six participants interviewed have good social intelligence, it was showed that some of the social intelligence dimensions were attained like they were intellegent in the situational, able to adaptation and humble, honesty in act, able to presented their ideas clearly so another people could understand it, and empathy. (2) One person from six participants was indicated having good social intelligence, it was seen from the fact that the student attained the five dimensions of social intelligence, three participants had middle social intelligence because they attained four social intelligence dimensions, and two participants had low social intelligence. This conclusion was based on the completion of the social intelligence dimensions. (3)

To answer the main question in this research, “How is the junior high school

students social intelligence in Kak Seto homeschooling community,” researcher concluded that the students who attend homeschooling especially in community class are able to interact with friends and their surroundings because the community class in homeschooling was like as formal school, the students study in a room as called as a class and there are some students there. However, in homeschooling the amount of the students in a class is not as many as in formal school. The amount of the students in community class is around 10 people in each class, in the condition like that, there is a possibility for the students to communicate to each other. The condition that happened in Kak Seto homeschooling cannot be generalized to other homeschooling, as the nature of qualitative research that the findings applied per case.


(8)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditulis dan disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik materil ataupun spiritual sehingga penulis mengucapkan terima kasih. Rasa terima kasih itu terutama penulis tujukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Maila Dinia Husni Rahim, MA selaku dosen pembimbing yang dengan kesabarannya membimbing dan mengarahkan penulis selama penulisan skripsi.

4. Ibu Farida Yuli Avisena selaku Kepala Sekolah SMP di Homeschooling Kak Seto Pondok Aren yang telah memberi izin untuk penelitian selama skripsi. 5. Humas Homeschooling Kak Seto, Kak Sri Wahyuni dan guru-guru yang telah

memberikan bantuan selama penelitian skripsi di Homeschooling Kak Seto Pondok Aren.

6. Murid-murid SMP di Homeschooling Kak Seto Pondok Aren.

7. Ayahanda Nana Sutisna dan Ibunda Susilati tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih sayang, do’a, dukungan, perhatian dan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi.

8. Adikku Dimas Galih Febyan Sutisna yang telah memberikan dukungan selama penyusunan skripsi.

9. Sahabatku OTSE, Dini Halimah (Halmeoni), Gina Rosdianti (Ahjumma), Cindy Febri Kostantia (Mamake), Lilian Paramita (Ny. Jong Woon), Nurfadilah (Yoona Dilah), Teteh geulis Frisca Fauzia Khairunnissa dan


(9)

iv

Desdemonawita (Tante sosialita), tiada kata yang lebih indah untuk melukiskan kebaikan kalian. Kalian sahabat terbaikku.

10. “Miss Hyuk Jae” Arsendi Kasenda, “Ny. Ryeonggu” Esti Tri Ruhayani dan Santi Megasari yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi.

11. Teman-teman Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial angkatan 2010, terutama REAKSI yang senantiasa berbagi dalam segala hal.

Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu meluangkan waktu, tenaga, pikiran, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik dan semoga dapat berguna bagi kita semua. Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan dari pihak-pihak yang telah membantu dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan oleh penulis.

Jakarta, November 2015


(10)

v LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN UJI REFERENSI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 6

C.Pembatasan Masalah ... 7

D.Perumusan Masalah ... 7

E.Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Hasil Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A.Homeschooling ... 9

1. Pengertian Homeschooling ... 9

2. Sejarah Homeschooling ... 10

3. Jenis-jenis Homeschooling ... 13

4. Keuntungan Homeschooling ... 14

B.Kecerdasan Sosial ... 16

1. Pengertian Kecerdasan Sosial ... 16


(11)

vi BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

1. Tempat Penelitian ... 23

2. Waktu Penelitian ... 23

B.Metode Penelitian ... 24

C.Sampel dan Sumber Data Penelitian ... 25

1. Sampel ... 25

2. Sumber Data ... 26

D.Teknik Pengumpulan Data ... 27

E.Instrumen Penelitian ... 28

F. Rencana Penguji Keabsahan Data ... 32

G.Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN A.Pendahuluan ... 36

B.Profil Homeschooling Kak Seto Pondok Aren ... 36

C.Informasi Partisipan ... 38

D.Paparan Data Hasil Penelitian ... 45

1. Hasil Observasi Siswa ... 46

2. Hasil Wawancara Guru ... 50

3. Hasil Wawancara Siswa ... 55

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 65

B.Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

vii

Siswa di Homeschooling Kak Seto Pondok Aren ... 29

Tabel 3.2 Instrumen Wawancara dengan Guru (Tutor) ... 30

Tabel 3.3 Instrumen Wawancara dengan Siswa ... 30


(13)

viii Lampiran 1 Foto Reduksi Data Lampiran 2 Pedoman Wawancara Lampiran 3 Lembar Observasi

Lampiran 4 Lembar Persetujuan menjadi Partisipan Lampiran 5 Transkrip Wawancara Pembuka

Lampiran 6 Transkrip Wawancara Inti Lampiran 7 Member Check

Lampiran 8 Lembar Uji Referensi Lampiran 9 Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 10 Surat Ijin Observasi Lampiran 11 Surat Izin Penelitian


(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi diri mereka, namun masih kita lihat dari berita televisi atau baca di media cetak maupun online anak justru mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah, misalnya saja kasus bullying (kekerasan atau intimidasi) sehingga membuat sekolah dirasa kurang memberikan suasana aman, nyaman, menyenangkan dan membangkitkan semangat perserta didik untuk mengembangkan bakat, minat dan potensi pribadinya secara optimal. Belum lagi peserta didik diwajibkan untuk mengikuti mata pelajaran yang sudah dirancang ke dalam kurikulum tanpa mempertimbangkan karakteristik peserta didik. Seperti yang disampaikan oleh Seto Mulyadi di bangkapos.com bahwa kurikulum yang dikembangkan di Indonesia sering tidak berpihak kepada perkembangan perilaku kecerdasan anak. Kurikulum terlalu padat dan cenderung dijejalkan kepada anak yang seharusnya bisa dirangsang kreativitasnya sesuai potensi unggul yang dimilikinya.1

Tidak hanya itu, orangtua juga khawatir dengan lingkungan negatif yang sewaktu-waktu dapat menghampiri anak mereka ketika sedang menimba ilmu di sekolah. Misalnya saja tawuran antar pelajar. Seperti yang diberitakan oleh indosiar.com tahun lalu, tanggal 12 Desember 2014, terjadi tawuran antar pelajar

di fly over Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Seusai melaksanakan ujian

semester sekolah, puluhan pelajar dari dua sekolah yakni SMK dan SMP melakukan tawuran di jalanan. Para pelajar menggunakan senjata tajam dan saling lembar batu. Bahkan para pelajar berduel satu persatu dengan menggunakan senjata tajam seperti celurit dan golok. Mereka seolah tidak memikirkan

1

Dedy Purwadi, Urgensi Kecerdasan Sosial, 2015, h. 1, (http://bangka.tribunnews.com). Artikel ini diakses pada tanggal 08 Oktober 2015, pukul 11:01 WIB.


(15)

keselamatan diri sendiri maupun pengguna jalan yang melintas di lokasi ini. Tawuran ini sempat membuat arus lalu lintas di sekitar lokasi terhenti.2

Kasus lain yang mengisyaratkan bahwa sekolah formal belum memberikan suasana aman, nyaman dan menyenangkan bagi para siswa yakni, guru melakukan tindak kekerasan kepada siswa. Seperti yang diberitakan oleh SINDONEWS.com pada tanggal 30 Oktober 2014 seorang siswa SMP Islam dianiaya oleh guru agamanya. Kasus ini terjadi pada siswa SMP di Kabupaten Serang, Banten tahun kemarin. Peristiwa tersebut terjadi ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Penganiayaan tersebut bermula ketika sang siswa ingin meminjam spidol ke temannya, tiba-tiba guru tersebut menampar pipi kirinya dan bahkan sempat mendorongnya. Siswa dipukul empat kali oleh guru. Siswa tersebut mengalami luka di bagian wajah dan punggung akibat tamparan dan dorongan gurunya. Peristiwa ini dilaporkan kepada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Serang oleh ayah dari siswa tersebut dengan maksud supaya tidak ada korban lainnya.3

Kejadian serupa juga terjadi pada siswa SMP negeri di Desa Sukamaju, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi seperti yang diberitakan oleh SINDONEWS.com pada tanggal 27 Oktober 2014 enam orang siswa menjadi korban kekerasan guru saat camping. Sejumlah siswa mengaku di tendang dan dipukul pada bagian wajahnya, bahkan sebagian siswa lainnya mengalami luka lebam pada bagian punggung akibat di pukul menggunakan kayu. Akibat kejadian tersebut siswa mengalami trauma sehingga terpaksa harus di dampingi orangtuanya saat hendak masuk sekolah. Kondisi ini memicu para orangtua untuk melaporkan tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh guru berinisial DN ke polsek setempat.4

2

Mohamad Subadri Arifqi, Tawuran Pelajar: Saling Serang di Jalanan, 2014, h. 1, (www.indosiar.com). Artikel ini diakses pada tanggal 04 Maret 2015, pukul 10:01 WIB.

3

Rasyid Ridho, Ditampar Guru, Siswa SMP Ini Melapor ke Polisi, 2014, h. 1, (http://daerah.sindonews.com). Artikel ini diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul 10:46 WIB.

4

Toni Kamajaya, Enam Siswa Jadi Korban Kekerasan Guru saat Camping, 2014, h. 1-2, (http://daerah.sindonews.com). Artikel ini diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul 11:27 WIB.


(16)

Masih dengan kasus yang sama, siswa SMP negeri di Subang, Jawa Barat, seperti yang diberitakan oleh SINDONEWS.com pada tanggal 10 November 2014 delapan siswa menjadi korban pemukulan guru olahraga karena tidak mengikuti acara yasinan di sekolah. Kedepalan siswa tersebut yakni Kevin Kelas IX, Abdul Kelas IX, Dede Taryana Kelas IX, Iryanto Kelas IX, Nanda Permana Kelas IX, M. Sandi Kelas IX, Anggis Rahmat Kelas IX dan Yopi Kelas VIII. Insiden pemukulan ini terjadi sebanyak dua kali, yakni 7 November dan Sabtu 8 November berawal ketika delapan siswa tersebut telat masuk sekolah sehingga tidak mengikuti kegiatan yasinan dan shalawatan yang rutin diadakan di sekolah setiap hari Jumat. Saat itu salah satu guru mendatangi mereka, karena takut, mereka berusaha lari dan guru itu pun mengejarnya. Tujuh dari delapan siswa berhasil di kejar oleh guru, sedangkan seorang siswa lainnya berhasil lari karena ketakutan. Tujuh siswa tersebut di beri hukuman, diantaranya dipukuli berkali-kali di bagian punggung dengan menggunakan gagang alat pengepel lantai yang terbuat dari aluminium, dipush up-kan, dilempar sepatu dan disuruh jalan jongkok sambil menggendong tong sampah. Wajah mereka juga ditampar oleh guru tersebut. Akibatnya mereka menderita luka lebam dan membiru di bagian punggung serta pinggang. Seorang siswa yang berhasil lari, keesokan harinya di panggil oleh guru dan di pukuli sampai tubuhnya merasa kesakitan. Orangtua yang tidak menerima anaknya diperlakukan seperti itu, lantas melaporkan kejadian tersebut kepada Polsek Pagaden.5

Berdasarkan kasus diatas dapat kita lihat bahwa sekolah formal masih kurang dalam memberikan suasana belajar mengajar yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi siswa ketika berada di lingkungan sekolah. Seperti kasus pertama, kedua dan ketiga yang diberitakan oleh SINDONEWS.com sikap guru tersebut tidak mencerminkan sebagai seorang pendidik. Sepatutnya guru menjalin hubungan yang baik dengan siswa sehingga terjalin kerjasama antara guru dengan siswa agar tercipta suasana yang menyenangkan saat proses belajar mengajar berlangsung.

5

Usep Husaeni, Tak Ikut Yasinan, 8 Siswa SMPN Dipukuli Guru, 2015, h. 1-3, (http://daerah.sindonews.com). Artikel ini diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul 10:30 WIB.


(17)

Pendidikan tidak selamanya dilakukan di sekolah saja, pendidikan dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun. Pada awalnya, pendidikan diselenggarakan di rumah. Kegiatan ini dikenal dengan istilah otodidak. “Yakni, proses belajar yang dilakukan secara mandiri dan dengan kemampuan sendiri. Kesadaran untuk memperoleh ilmu pengetahuan bergantung pada kemauan yang tumbuh dalam diri. Dari otodidak pula, tidak jarang berhasil menemukan teori-teori dasar ilmu pengetahuan.”6

Demikian pula, sistem pendidikan tak hanya ada dalam bentuk formal sebagaimana umumnya dikenal dan berkembang di masyarakat. Ada pun bentuk-bentuk pendidikan lain (alternatif) yang dikenal dan diakui dalam sistem pendidikan nasional yang berlaku di Indonesia, yakni pendidikan nonformal dan informal yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 26 dan 27. Hasil pendidikan nonformal dan informal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan yang dilakukan di lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah setempat dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Sekolah rumah atau yang lebih dikenal dengan nama homeschooling telah menjadi tren di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, terlebih setelah pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengesahkan pendidikan informal ini. Homeschooling menjadi pilihan bagi sebagian besar orang karena alasan-alasan tertentu. Homeschooling merupakan pendidikan alternatif yang lebih fleksibel dan suasana pembelajaran pun tidak formal, proses pembelajaran dilakukan di rumah. Rumah dan segala isinya merupakan sumber media pembelajaran siswa. Pada sistem homeschooling, orangtua dapat menjadi fasilitator sepenuhnya bagi anak atau jika merasa perlu orangtua dapat memanggil orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu untuk memberikan pengajaran kepada anaknya, karena tidak semua orangtua berprofesi sebagai guru dan mampu menjadi seorang guru yang dapat memenuhi kebutuhan proses belajar anak.

6

Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa Tidak...?!, (Jogjakarta: Divapress, 2010), h. 65.


(18)

Seperti yang dipaparkan dalam situs resmi fikarhomeschooling.net ada beberapa alasan orang tua memilih pendidikan informal seperti homeschooling karena keluarga dari anak tersebut yang selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain atau bahkan dari dalam negeri hingga ke luar negeri. Selain itu juga karena orang tua terpaksa menyekolahkan anak mereka pada pendidikan

homeshooling karena anak tersebut tidak memiliki kesempatan mengikuti

pendidikan formal seperti anak lainnya dengan beberapa pertimbangan salah satunya adalah keamanan dan kesehatan. Yang terakhir alasan orang tua memilih pendidikan informal seperti homeschooling adalah karena orang tua ingin anaknya lebih fokus dalam hal belajar karena biasanya dalam satu kelas hanya ada beberapa siswa saja.7

Tidak sepenuhnya homeschooling merupakan sekolah alternatif yang baik untuk memberikan pendidikan kepada anak, terdapat kemungkinan adanya suatu kekurangan dari sistem sekolah alternatif tersebut. Merujuk dari alasan orang memilih sekolah di homeschooling seperti yang dipaparkan oleh situs fikarhomeschooling.net, siswa yang bersekolah di homeschooling terkesan kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitar karena keluarga yang sering tidak menetap tempat tinggalnya, mengakibatkan minimnya interaksi anak dengan teman sebaya yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di lingkungan masyarakat.

Manusia sebagai makhluk sosial sangat memerlukan adanya lingkungan sosial, karena kecenderungan manusia untuk bergaul dapat dilihat sejak lahir. Bagi seorang anak, lingkungan sosial ini sangat diperlukan, karena disanalah mereka akan bergaul dan terus berkembang di dalam lingkungannya. Anak yang cerdas akan sosialnya dapat mudah beradaptasi dengan lingkungan, orang baru, suka bersosialisasi dengan lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah, bisa memahami dan berempati pada perasaan teman dan mampu bersikap netral ditengah pertikaian antar teman. Anak seperti itu dapat dikategorikan sebagai anak yang memiliki kecerdasan sosial.

7

Fikar Homeschooling, 5 Alasan Memilih Homeschooling untuk Anak Anda, h. 1, (http://fikarhomeschooling.net). Artikel ini diakses pada tanggal 12 April 2015, pukul 07:18 WIB.


(19)

“Kecerdasan merupakan keterampilan berpikir dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari.”8 Sedangkan sosial adalah berkenaan dengan masyarakat. Jadi kecerdasan sosial adalah kepandaian

berpikir yang berhubungan dengan masyarakat. Menurut Thorndike, “Kecerdasan

Sosial (Social Intelligence) didefinisikan sebagai kemampuan untuk berperilaku bijaksana dalam berhubungan dengan sesama manusia.”9

Anak yang memiliki kecerdasan sosial, mereka mampu bergaul, berperan serta dalam kelompok sebaya maupun dengan orang dewasa, dapat bersifat sopan santun kepada orang lain dan berbicara dengan baik. Kenyataan terhadap kecerdasan sosial anak dalam berkomunikasi dan berinteraksi saat ini masih rendah. Terbukti dengan adanya berbagai konflik seperti tawuran antar sekolah seperti yang dilakukan anak-anak dari dua kubu perkumpulan.

Kapanpun seseorang berinteraksi dengan orang lain, apakah dengan teman, anggota keluarga, guru, kenalan, asosiasi bisnis, cleaning service, maupun penjaga toko, kecerdasan sosial merupakan suatu keterampilan yang harus dimiliki setiap individu. Sikap yang menunjukkan individu cerdas secara sosial dapat terlihat dalam bentuk kasih sayang, peduli sekitar, mampu membawa diri, jujur, empati, menolong, menghargai dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitarnya.

Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud untuk mengangkat sebuah tema skripsi dengan judul Homeschooling dan Kecerdasan Sosial Siswa (Studi Kasus pada Komunitas Homeschooling Kak Seto di

Pondok Aren)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka identifikasi masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

8

John W. Santrock, Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas, Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 317.

9

Makmun Mubayidh, Kecerdasan & Kesehatan Emosional Anak, Referensi Penting bagi Para Pendidikan & Orangtua, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 5.


(20)

1. Dalam pendidikan formal siswa terlalu banyak tekanan sehingga keinginan mereka terkadang tidak pernah di dengar.

2. Kekerasan yang dilakukan guru kepada siswa di sekolah formal menunjukkan bahwa sekolah formal belum mampu memberikan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.

3. Dengan homeschooling anak kurang berinteraksi karena keluarga yang sering tidak menetap tempat tinggalnya, faktor keamanan lingkungan sekolah dan kesehatan fisik anak mengakibatkan minimnya interaksi dengan teman sebaya maupun lingkungan sekitar.

C. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti membatasi masalah penelitian agar tidak melebar. Adapun masalah pada penelitian ini hanya membahas tentang kecerdasan sosial siswa pada tingkat SMP di kelas komunitas Homeschooling Kak Seto Pondok Aren.

D. Perumusan Masalah

“Bagaimana kecerdasan sosial siswa pada tingkat SMP di kelas komunitas

Homeschooling Kak Seto Pondok Aren?”

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui perkembangan kecerdasan sosial yang dimiliki siswa pada tingkat SMP di kelas komunitas Homeschooling Kak Seto Pondok Aren yang nantinya dapat bergunan bagi siswa maupun lembaga yang bersangkutan untuk meningkatkan kecerdasan sosial para siswa menjadi lebih baik lagi.

F. Manfaat Hasil Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberi informasi tentang model pendidikan alternatif yaitu


(21)

b. Diharapkan mampu memberikan sumbangsih terhadap dunia pendidikan terutama dalam pendidikan alternatif.

c. Sebagai bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya terkait kecerdasan sosial siswa SMP pada kelas komunitas

homeschooling.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan menambah pengetahuan mengenai perkembangan kecerdasan sosial siswa SMP pada Komunitas Homeschooling Kak Seto, serta sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana strata satu (S1).

b. Bagi Homeschooling Kak Seto

Penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kecerdasan sosial siswa homeschooling menjadi lebih baik.

c. Bagi Pembaca

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi para peneliti yang meneliti tentang homeschooling dan kecerdasan siswa.


(22)

9

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Homeschooling

1. Pengertian Homeschooling

Orangtua memilih pendidikan informal seperti homeschooling karena orangtua ingin anaknya lebih fokus dalam hal belajar. Hal ini diperkuat dengan data di lapangan bahwa dalam satu kelas hanya terdapat beberapa siswa saja yang lebih difokuskan pada anak tersebut. Pola pendidikan di sekolah formal belum begitu fleksibel untuk membentuk karakter dan mengoptimalisasi siswa sesuai dengan minat dan bakat seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd penulis buku Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku:

Secara etimologis, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah, namun secara hirarki ia adalah sebuah sekolah alternatif yang menempatkan anak sebagai subyek pendekatan pendidikan secara at home. Dengan pendekatan ini anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan dimana saja, sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri.1

Homeschooling salah satu bentuk dari pendidikan alternatif (informal)

yang telah diakui oleh pendidikan nasional Indonesia sejak tahun 2003. Seperti yang terlampir dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, “pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga

dan lingkungan.”2

Menurut Sumardiono penulis buku Apa Itu Homeschooling,

homeschooling bukanlah lembaga, tetapi keluarga. Homeschooling adalah

model pendidikan saat keluarga memilih menyelenggarakan sendiri dan bertanggung jawab pendidikan anak-anaknya.”3

1

Arief Rachman, Homeschooling Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), h. 18.

2

UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 13, h. 2.

3

Sumardiono, Apa Itu Homeschooling, 35 Gagasan Pendidikan Berbasis Keluarga, (Jakarta: PandaMedia, 2014), h. 6.


(23)

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

homeschooling adalah model pendidikan alternatif dengan sistem belajar

yang dapat disesuaikan dengan kondisi siswa dan tidak kaku saat proses belajar sehingga siswa merasa nyaman ketika mengikuti proses pembelajaran. Model pendidikan ini juga sudah diatur keberadaanya dalam UU RI.

Alasan mengapa orangtua lebih memilih memberikan pendidikan anaknya di rumah daripada di sekolah formal karena adanya rasa ketidakpuasan terhadap pola pendidikan sekolah formal, selain itu orangtua khawatir tentang lingkungan negatif di luar sana yang kapan saja dapat mempengaruhi kepribadian anaknya.

2. Sejarah Homeschooling

Awalnya, pendidikan diselenggarakan di rumah. Kegiatan itu disebut dengan belajar sendiri atau otodidak. Otodidak berarti proses belajar yang dilakukan secara mandiri dan dengan kemampuan sendiri. Dari proses otodidak pula, dari waktu ke waktu terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan cara berpikir di dalam diri seseorang.

Sejarah homeschooling berawal dari Amerika Serikat. Homeschooling di Amerika sudah mulai sejak lama, tapi konsepnya berubah seiring berjalannya waktu.

Homeschooling sudah ada sebelum adanya sekolah umum. Tidak

adanya sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggal, kadang tidak puas dengan sekolah yang ada, atau juga karena tidak adanya akses untuk bisa sekolah, seperti masalah biaya yang membuat

homeschooling menjadi suatu sarana untuk mendapatkan pendidikan

yang setara dengan pendidikan di sekolah umum.4

Pada tahun 1960-an terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Jhon Caldwell Holt merupakan guru sekaligus pengamat anak dan pendidikan, mengatakan bahwa:

Penyelenggaraan pendidikan formal melalui sekolah adalah formatnya yang bersifat instruktif. Tahun 1964, Holt menerbitkan sebuah buku

4

Holy Setyowati Sie, Homeschooling Creating The Best of Me, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010), h. 1.


(24)

yang berjudul How Children Fail untuk mengkritik sekolah-sekolah pada waktu itu. Buku tersebut sebagai dasar teori dalam upayanya mengembangkan gagasannya sebagai guru yang mencermati kegagalan akademik dari pendidikan dasar di sekolah akibat tekanan kepada anak oleh orangtua/guru.5

Tiga tahun setelahnya, Holt menulis kembali buku dengan judul How

Children Learn, di mana ia menunjukkan bagaimana proses belajar anak.

Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas dari masyarakat, tahun 1976, Holt kemudian menerbitkan karyanya yang

lain yakni “Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better. Buku ini mendapatkan sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama Grow Without

Schooling.”6 Kemudian homeschooling terus berkembang dengan berbagai

alasan.

Sedangkan pengertian homeschooling atau sekolah rumah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1990-an. Walaupun begitu, istilah

homeschooling atau sekolah rumah masih dianggap sebagai istilah yang

relatif baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. “Sejak tanggal 4 Mei 2006, di Jakarta telah dideklarasikan berdirinya ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan di Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pelindungannya adalah Dr. Ace Suryadi (Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah) dengan para penasihat, antara lain Prof. Dr. Mansyur Ramli (Kepala Balitbang Depdiknas) dan Dr. Ella Yuliawati (Direktur Kesetaraan Depdiknas). Apresiasi Depdiknas terhadap lahirnya ASAH PENA tentu memperkuat keyakinan bahwa homeschooling bisa merupakan salah satu

alternatif pendidikan pada masa depan.”7

5

Satmoko Budi Santoso, Sekolah Alternatif, Mengapa Tidak...?!, (Jogjakarta: Divapress, 2010), h. 68.

6

Mahariah, Homeschooling dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Islam, Jurnal Al-Irsyad, Vol. IV, 2014, h. 7.

7


(25)

Menurut Seto Mulyadi, mantan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Konsultatif Komisi Nasional Perlindungan Anak, “kemunculan

homeschooling sebagai salah satu alternatif memang perlu dibuktikan

keberhasilannya sebagai sebuah kompetisi proses menimba ilmu melalui

sistem nonformal.”8

Kehadiran homeschooling dilatarbelakangi sebagai upaya mengantisipasi keberadaan pendidikan formal yang tidak merata di tiap-tiap daerah. Informasi seputar homeschooling saat ini belum sepenuhnya dapat dipahami oleh masyarakat, tetapi keberadaan dan legalitas

homeschooling sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan yang berlaku

di Indonesia telah diatur dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27:

(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal

sebagai-mana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.9

Pada homeschooling, orangtua memilih sendiri metode dan materi ajar apa saja yang diperlukan untuk anak-anaknya. Tidak masalah apabila orangtua tidak menggunakan tenaga ahli untuk membantu memberikan pendidikan kepada anaknya. Tetapi jika orangtua merasa perlu adanya bantuan dari tenaga ahli, misal menghadirkan seorang guru di rumah, maka orangtua dapat memanggil guru kerumah untuk memberikan materi pembelajaran kepada si anak.

Siswa homeschooling biasanya dihadapkan oleh pilihan harus mengikuti ujian penyetaraan pendidikan atau tidak. Pendidikan kesetaraan adalah hak dan bersifat pilihan. Jika siswa homeschooling menginginkannya, mereka dapat menempuhnya. Jika tidak, orangtua tetap dapat memilih dan

8

Indosiar, Homeschooling: Sekolah Rumah atau Rumah Sekolah, 2015, h. 1, (www.indosiar.com). Artikel ini diakses pada tanggal 04 Maret 2015, pukul 14.03 WIB.

9


(26)

memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Penyetaraan pendidikan ini digunakan untuk dapat dihargai dan setara dengan hasil pendidikan formal, tentu setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Penyetaraan dalam praktek homeschooling yaitu penyetaraan ujian, penilaian, penyelenggaraan dan tujuan pendidikan. Pendidikan kesetaraan meliputi program Paket A yang setara dengan lulusan SD, Paket B serta SMP dan Paket C setara dengan SMA.

Jika kita bandingkan sejarah homeschooling di Amerika Serikat dan di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan secara spesifik. Pemicu utama terselenggaranya homeschooling di kedua negara ini karena faktor kekecewaan orangtua terhadap kondisi pendidikan di sekolah pada umumnya.

3. Jenis-jenis Homeschooling

Beberapa orang beranggapan bahwa homeschooling hanya dilakukan di rumah serta diajarkan oleh orangtua sendiri. Walaupun orangtua menjadi penanggung jawab utama atas pendidikan anaknya, akan tetapi pendidikan

homeschooling tidak hanya dan harus dilakukan oleh orangtua sendiri.

Orangtua dapat mengundang guru privat, mendaftarkan pada kursus atau para

homeschooler dapat membentuk kelompok-kelompok belajar untuk

bersosialisasi dengan homeschooler yang lain. Sesuai dengan namanya yaitu

homeschooling yang berarti belajar berpusat di rumah, tapi prosesnya tidak

hanya mengambil lokasi di rumah saja melainkan para orangtua dapat menggunakan sarana apa saja dan dimana saja untuk pendidikan

homeschooling anaknya. Saat ini, setidaknya ada tiga jenis homeschooling

yang dibagi berdasarkan kegiatan homeschooling-nya. Hal ini dijelaskan oleh Maulia D. Kembara yaitu homeschooling tunggal, homeschooling majemuk dan komunitas homeschooling.10

Homeschooling tunggal adalah homeschooling yang dilaksanakan

oleh orangtua dalam satu keluarga saja yang dilibatkan dalam proses

10


(27)

pembelajaran si anak. Dalam homeschooling jenis ini, orangtua benar-benar mengambil peran sebagai pembimbing, teman belajar, sekaligus penilai.

Homeschooling tunggal memiliki fleksibilitas yang tinggi. Tempat, bentuk

dan waktu belajar bisa disepakati. Biasanya homeschooling jenis ini diterapkan karena adanya tujuan atau alasan khusus dari para homeschooler.

Homeschooling majemuk adalah homeschooling yang dilaksanakan

oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasan

homeschooler memilih homeschooling jenis ini biasanya memiliki

kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlet tenis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama.

Sedangkan komunitas homeschooling merupakan gabungan beberapa

homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan

ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran.

Dari penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis homeschooling, yaitu homeschooling tunggal, homeschooling majemuk dan komunitas homeschooling. Pembeda dari masing-masing tipe

homeschooling adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh para

homeschooler. Penentuan dari jenis-jenis homeschooling mana yang akan

dipilih dan dilakukan tergantung dari orangtua dan anak yang menentukan, semua itu dilakukan agar terwujudnya suasana belajar yang diinginkan, menyenangkan dan sesuai dengan minat si anak.

4. Keuntungan Homeschooling

Adapun model pendidikan yang dipilih, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal keduanya memiliki keuntungan masing-masing. Mengikuti proses pendidikan di homeschooling memiliki keuntungan tersendiri bagi para homeschooler. Beberapa hal yang harus kita ketahui tentang beberapa keuntungan dari pelaksanaan homeschooling, diantaranya:


(28)

“Yang pertama, fleksibilitas waktu untuk belajar. Siswa dapat mengatur jadwal waktu belajarnya sendiri, tetapi harus seizin dari orangtua. Kedua, dapat menerapkan displin pada diri sendiri. Ketiga, pengembangan bakat setiap anak secara maksimal. Keempat, belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing. Maksudnya, ketika kita bersekolah di sekolah formal, biasanya kita akan mengikuti kecepatan belajar semua siswa. Bagi yang belajarnya cepat, hal ini sangat membosankan, tetapi bagi yang belajar sedikit lebih lambat dari yang lain, tentu hal ini akan sangat membebankan karena pada saat siswa belum paham sepenuhnya sudah harus berpindah ke bab berikutnya. Kelima, kesempatan untuk mengatur kurikulum sendiri. Keenam, tidak mendapat tekanan dari sesama teman. Kejadian yang sering dijumpai di sekolah-sekolah formal, jumlah siswa yang banyak dengan kecerdasan masing-masing anak berbeda-beda dan dari berbagai tingkatan kelas sosial masyarakat yang berbeda, biasanya akan memicu tekanan bagi siswa yang memiliki kecerdasan dan kelas sosialnya lebih rendah dibandingkan teman-teman sekelasnya. Tetapi jika di homeschooling rasa beban seperti itu tidak akan terjadi. Siswa

homeschooling bisa tumbuh dan belajar dengan lebih maksimal tanpa

perlu takut untuk mendapatkan ejekan dari orang lain. Yang ketujuh kebebasan untuk belajar secara maksimal dengan cara apapun.”11 Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa homeschooling memberi banyak keuntungan bagi yang menjalani pendidikan nonformal ini. Bagi anak yang memiliki kesibukan di luar pendidikan akademik,

homeschooling memberikan kemudahan dalam belajar karena waktu belajar

yang dapat disesuaikan dengan jadwal kegiatan si anak. Begitu pula bagi anak yang mempunyai masalah dengan proses daya tangkap pembelajaran yang lambat, mereka tidak perlu khawatir karena tertinggal pelajaran karena di

homeschooling siswa bisa belajar sendiri tanpa merasa ada beban ketika

belum paham dengan materi yang sedang diajarkan. Siswa homeschooling dapat mengulang pelajarannya sendiri dengan bantuan tutor/guru tanpa harus merasa malu dengan siswa yang memiliki kecepatan belajar lebih cepat dari dirinya.

11


(29)

B. Kecerdasan Sosial

1. Pengertian Kecerdasan Sosial

Dari bayi hingga dewasa, manusia terus menerus mengalami interaksi dengan lingkungannya. Seseorang dianggap inteligen, bila respon yang diberikan sesuai dengan stimulus yang diterimanya. Inteligensi anak merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan berhasil tidaknya

anak belajar di sekolah. Dalam buku Psikologi Umum, “intelegensi berasal

dari kata Latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind, together)”.12

Kecerdasan sosial berkait rapat dengan perkataan “sosialisasi”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan “sosialisasi sebagai proses belajar

seorang anggota masyarakat dalam lingkungannya.”13 Manusia sebagai makhluk individu selalu berhubungan dengan lingkungannya, karena tanpa adanya hubungan ini individu bukanlah individu lagi. Contoh hubungan manusia dengan lingkungan berupa interaksi sosial. Kecerdasan sosial kadang disebut juga dengan “inteligensi interpersonal yaitu kemampuan untuk

memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain.”14

H. Bonner dalam bukunya Social Psychologymengatakan bahwa “interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang

lain atau sebaliknya.”15

Sedangkan menurut Goleman, beliau menggunakan istilah “social intelligence untuk menjelaskan mengenai sekumpulan keterampilan yang memungkinkan kita untuk menjadi efektif dalam mengelola interaksi sosial.”16

Menurut Karl Albrecht dalam buku Cerdas Bergaul-Kunci Sukses dalam Bisnis dan Masyarakat, beliau mendefinisikan kecerdasan sosial atau

12

Abu Ahmadi, Psikologi Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 89.

13

KBBI, Sosialisasi, (http://kbbi.web.id/sosialisasi). Diakses pada tanggal 16 Oktober 2014, pukul 12:09 WIB.

14

John W. Santrock, op. cit., h. 323.

15

Abu Ahmadi, op. cit., h. 49.

16

Wenny Rosalia K dan Prihastuti, Hubungan antara Kecerdasan Sosial dengan Gaya Penyelesaian Konflik Siswa Seminari Menengah ST. Vincentius A. Paulo Garum Blitar, Jurnal INSAN, Vol. 13, 2011, h. 99.


(30)

social intelligence (SI) sebagai “kemampuan untuk bekerja sama dengan

orang lain dan membuat mereka bersedia bekerja sama dengan Anda.”17 Selain itu menurut Buzan, kecerdasan sosial merupakan “ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat serta kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan orang di sekeliling atau sekitarnya.”18

Berdasarkan definisi diatas, dapat kita simpulkan yang dimaksud kecerdasan sosial adalah kepandaian berpikir seseorang atau kemampuan seseorang yang berhubungan dengan masyarakat, seperti berinteraksi (dengan individu lain di lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, sekolah, pasar, tempat makan, dan sebagainya), bergaul, memahami dan bekerja sama.

Sebagai seorang siswa, kecerdasan sosial sangat diperlukan dalam pembelajaran karena dapat membantu mereka dalam berinteraksi dengan teman sebaya, teman sekelas, kakak kelas, adik kelas, guru sampai penjaga sekolah, berinteraksi dengan masyarakat serta mempunyai keberanian berbicara dengan orang lain untuk mengungkapkan pendapat.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Sosial

Hubungan sosial di mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang di dasari oleh kebutuhan yang sederhana pula. Semakin dewasa dan bertambahnya umur manusia, kebutuhan manusia juga menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang menjadi sangat kompleks.

Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Sunarto dan B. Agung Hartono, perkembangan sosial dipengaruhi oleh keluarga, kematangan (fisik dan psikis), pendidikan, dan kapasitas mental (emosi dan inteligensi).19

17

Karl Albrecht, Cerdas Bergaul Kunci Sukses dalam Bisnis dan Masyarakat, Terj. dari

Social Intelligence: The New Science of Success oleh Devi Femina, dkk, (Jakarta: PPM, 2006), Cet. 1, h. 3.

18

Frisda Agriani Ambarita, Pusdiklat Keuangan Umum: Mengenal Kecerdasan Sosial, 2014, h. 1, (www.bppk.kemenkeu.go.id). Artikel ini diakses pada tanggal 30 April 2015, pukul 09.23 WIB.

19

Sunarto dan B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), h. 130.


(31)

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk untuk perkembangan sosialnya. Dari keluarga seseorang belajar bagaimana norma-norma yang ada di lingkungan, perilaku dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman berinteraksi dalam keluarga menjadi awal dan pedoman untuk berinteraksi dengan masyarakat.

Kematangan fisik dan psikis sangat diperlukan ketika bersosialisasi karena untuk mampu mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional serta kemampuan berbahasa.

Pendidikan umumnya terjadi di sekolah. Sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk menimba ilmu pengetahuan tetapi juga tempat perkembangan sosial siswa itu sendiri. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada siswa yang belajar di sekolah. Di sekolah siswa akan dapat bekerja sama dalam kelompok, mematuhi aturan-aturan sekolah, dimana semua itu termasuk dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan sosial anak.

3. Dimensi Kecerdasan Sosial

Kecerdasan sosial mendapatkan peran penting ketika kita hendak membangun sebuah hubungan yang harmonis dengan teman sebaya, tetangga, rekan kerja, relasi dan lainnya. Hubungan harmonis tersebut dapat berjalan dengan baik apabila kita mampu mengaplikasikan beberapa elemen penting dalam kecerdasan sosial. Karl Albrecht dalam buku Social Intelligence: The

New Science of Success yang diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia

dengan judul Cerdas Bergaul: Kunci Sukses dalam Bisnis dan Masyarakat, menyebut adanya lima dimensi yang bisa mengasah kecerdasan sosial seseorang yang beliau singkat menjadi kata S.P.A.C.E, yaitu:

Dimensi yang pertama adalah kata S merujuk pada kata kecerdasan situasional (situational awareness). Makna dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk membaca situasi dan mengartikan perilaku orang-orang dalam situasi tersebut, dalam hal niat mereka yang mungkin, kondisi emosional, dan kemampuan untuk berinteraksi. Dimensi yang kedua adalah kata P, merujuk pada kata


(32)

kemampuan membawa diri (presence). Dimensi ini sering disebut

sebagai “bearing”, kehadiran menyatukan kisaran pola verbal dan nonverbal, penampilan seseorang, postur, kualitas suara, dan pergerakan halus. Dimensi yang ketiga adalah kata A, merujuk pada kata autentisitas (authenticity) yang berarti kemampuan untuk membaca situasi dari orang lain yang menangkap berbagai sinyal dari perilaku kita yang membuat mereka menilai kita sebagai jujur, terbuka, beretika, dapat dipercaya, dan berniat baik. Dimensi yang keempat adalah kata C, merujuk pada kata kejelasan (clarity). Dimensi ini menjelaskan kemampuan kita untuk menjelaskan diri kita, menerangkan ide, menyampaikan data secara jelas dan akurat, serta mengartikulasikan pandangan kita dan mengusulkan tindakan-tindakan sehingga orang lain bisa menerimanya dengan senang hati. Dimensi yang terkahir adalah kata E, yakni merujuk pada kata empati (empathy). Makna dari empati disini bukan menyebutkan empati sebagai memiliki perasaan untuk orang lain tetapi mendefinisikan empati sebagai perasaan yang dibagi antara dua orang. Maksudnya dalam kondisi ini kita akan mempertimbangkan empati sebagai keadaan keterkaitan dengan orang lain yang menciptakan dasar bagi interaksi positif dan kerja sama.20

Dari kelima dimensi yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa pentingnya kelima dimensi kecerdasan sosial tersebut dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam membangun hubungan yang baik dengan orang lain.

C. Hasil Penelitian Relevan

Dalam pencarian judul dan beberapa kajian pustaka, peneliti menemukan beberapa hasil yang relevan berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Skripsi Moh Fauzi Ibrahim, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 dengan judul. “Implementasi Model

Homeschoolingdi Komunitas Sekolah Rumah Pelangi Ciputat”. Penelitian ini

dilakukan di Komunitas Homeschooling Pelangi Ciputat. Permasalahan yang menjadi fokus penelitian Moh Fauzi Ibrahim ini adalah tentang implementasi yang dilakukan oleh Komunitas Sekolah Rumah Pelangi Ciputat dengan model Homeschool Montessori (unit pembelajaran/unit studies) dan model

Homeschool Charlotte Mason, serta homeschooling komunitas. Selanjutnya

20


(33)

dalam menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan Moh Fauzi Ibrahim menggunakan metode kualitatif deskripsi dalam bentuk studi kasus. Data diperoleh dari Komunitas Sekolah Rumah Pelangi Ciputat Tangerang Selatan. Sedangkan pengumpulan data diperoleh dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Instrumennya yaitu peneliti sendiri dan pedoman pengumpulan data. Keabsahan data dengan perpanjangan keikutsertaan peneliti dan ketekunan pengamatan. Analisis data dalam penelitian ini berproses secara induksi-interpretasi-konseptualisasi. Hasil dari penelitian ini terdapat bahwa Komunitas Sekolah Rumah Pelangi Ciputat telah mengimplementasikan model Homeschool Montessori (unit pembelajaran/ unit studies) dan model Homeschool Charlotte Mason, serta homeschooling komunitas, tanpa melupakan minat dan kebutuhan anak seusianya, sehingga dapat lebih meningkatkan potensi anak secara optimal lebih cepat, fleksibel dalam materi, meningkatkan potensi dan kreatifitas yang anak miliki, dan yang terpenting supaya anak tidak terhambat.

2. Skripsi milik Pratiwi Wulandari mahasiswi Universitas Islam Negeri Yogyakarta 2010 dengan judul “Hubungan Antara Kecerdasan Sosial dengan

Perilaku Agresif Pada Siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta”.

Penelitian ini meneliti tentang adanya hubungan negatif antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa. Subjek yang digunakan adalah siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta. Analisis yang digunakan untuk mencari korelasi antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta adalah analisis product

moment dan pearson. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa ada

hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan sosial dengan perilaku agresif pada siswa SMK Muhammadiyah Piyungan Yogyakarta. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan sosial maka perilaku agresif akan semakin rendah. Namun sebaliknya, jika semakin rendah kecerdasan sosial maka perilaku agresif akan semakin tinggi.

3. Skripsi milik Fifia Wandi mahasiswi Universitas Islam Negeri Malang 2008


(34)

(Studi Kasus di Komunitas Homeschooling Sekolah Dolan Malang). Penelitian ini meneliti tentang orangtua homeschooler dapat menggunakan kurikulum dari Diknas dengan kurikulum dari luar negeri, kurikulumnya juga dapat dibuat sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Tidak ada patokan khusus dalam penggunaan kurikulum, sehingga dapat mengembangkannya sendiri. Selanjutnya dalam menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan, Fifia Wandi menggunakan metode kualitatif, yaitu berupa data-data yang tertulis atau lisan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Keabsahan data dengan perpanjangan keikutsertakan peneliti dan ketekunan pengamatan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa komunitas Homeschooling Sekolah Dolan melakukan pengembangan materi kurikulum. Dalam hal urusan kurikulum dikembangkan dengan menggali terus sumber kurikulum yang ada dan setelah itu diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan anak, yang penting tujuannya tercapai dan anak merasa nyaman dengan kurikulum yang ada. Tidak semua kurikulum cocok dengan anak, sehingga yang sering terjadi anak stres dengan pelajaran yang menumpuk. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pengembangan materi kurikulum orangtua homeschooler dapat menggunakan kurikulum dari Diknas dengan kurikulum dari luar negeri, kurikulumnya juga dapat dibuat sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Tidak ada patokan khusus dalam penggunaan kurikulum, sehingga dapat mengembangkannya sendiri, dan metode yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan anak serta penggunaan portofolio sebagai evaluasinya.


(35)

D. Kerangka Konseptual

Gambar 1.

Homeschooling dan Kecerdasan Sosial Siswa (Studi Kasus pada Komunitas Homeschooling Kak Seto di Pondok Aren)

Homeschooling

Kecerdasan

Sosial


(36)

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di komunitas Homeschooling Kak Seto, bertempat di Jl. Taman Makam Bahagia ABRI No.3A RT.001 RW.04 Kelurahan Parigi Lama, Kecamatan Pondok Aren, Bintaro Sektor 9, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, kode pos 15400, Indonesia. Telp: 021-7451183, 082817031183 (hunting), 082917065790, Fax: 021-7451183. E-mail: info@hsks.sch.id, website: http://www.hsks.sch.id.

Tempat ini peneliti pilih karena Homeschooling Kak Seto merupakan lembaga pendidikan informal yang diakui oleh pemerintah. Selain itu alasan peneliti mengambil lokasi penelitian ini karena lokasi masih dapat dijangkau oleh peneliti sehingga memudahkan untuk memperoleh data penelitian dengan cepat.

2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian diadakan pada bulan September 2014 s/d Januari 2015 dengan rincian kegiatan:

a) Tahap Persiapan

Dilaksanakan sejak bulan September s/d November 2014, rincian kegiatan meliputi:

1) Penyusunan proposal penelitian September 2014

2) Penyusunan lembar observasi dan wawancara Oktober 2014

3) Konsultasi dan perbaikan penelitian selama penelitian berlangsung November 2014

b) Tahap Pelaksana

Penelitian dilaksanakan selama bulan November 2014 s/d Januari 2015, kegiatannya yakni:

1) Perizinan penelitian 2) Observasi lokasi


(37)

3) Pengumpulan data c) Tahap Pengolahan Data

Pengolahan data akan dilakukan pada bulan Januari 2015 saat setelah data yang diperlukan oleh peneliti telah terkumpul.

d) Tahap Penulisan

Penulisan dilaksanakan saat data sudah diolah, kegiatannya meliputi: 1) Membuat transkrip wawancara

2) Konsultasi hasil transkrip wawancara 3) Membuat Bab IV dan V

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik. Menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan “metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada

latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).”1

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik antara lain berlangsung pada latar yang alamiah, karena data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang datanya berupa kata-kata yang berasal dari wawancara, dokumen dan lain-lain, mengutamakan untuk mendeskripsikan secara analisis suatu peristiwa atau proses sebagaimana adanya dalam lingkungan yang alami untuk memperoleh makna yang dalam dari hakekat proses tersebut. Metode deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diteliti.

1

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: Rosda, 2010), h. 4.


(38)

Studi kasus menurut Creswell dalam buku Haris Herdiansyah tentang Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial adalah “suatu model

yang menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang berbatas” (bounded

system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan

penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks.”2

Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus adalah supaya peneliti dapat meneliti atau menyelidiki objek penelitian sesuai dengan latar alamiah yang ada dan juga dapat mendeskripsikan suatu keterangan dari seseorang, baik melalui wawancara dan observasi. Metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus pada penelitian ini peneliti gunakan untuk mengungkapkan perkembangan kecerdasan sosial siswa SMP di komunitas Homeschooling Kak Seto.

C. Sampel dan Sumber Data Penelitian 1. Sampel

Penelitian ini tidak menggunakan populasi, karena pada penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi “Spradley menggunakan istilah social situation atau situasi sosial.”3 Penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu, data yang di ambil dalam cakupannya sedikit dan kecil dengan tujuan dapat menjawab pertanyaan riset.

Sampel yang diteliti dalam penelitian ini adalah wali kelas dan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada komunitas Homeschooling Kak Seto di Pondok Aren. Pengambilan sumber data penelitian ini menggunakan teknik

purposive sampling adalah “teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek

2

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualtitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 76.

3

Prof. Dr. Sugiyono, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 215.


(39)

atau situasi sosial yang diteliti.”4 Pertimbangan tertentu pada penelitian ini yaitu siswa yang dianggap paling tahu tentang apa yang peneliti harapkan, seperti memiliki kecerdasan sosial yang baik.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sembilan orang, terdiri dari tiga orang wali kelas, yaitu satu orang wali kelas VII, satu orang wali kelas VII dan satu orang wali kelas IX, dan enam orang siswa yaitu dua orang siswa kelas VII, dua orang siswa kelas VIII, dan dua orang siswa kelas IX SMP di komunitas Homeschooling Kak Seto. Alasan peneliti mengambil subyek masing-masing dua orang siswa dari setiap jenjang kelas karena diambil dari hasil observasi yang memiliki kelima dimensi kecerdasan sosial yang telah ditentukan oleh peneliti pada lembar observasi.

2. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland “sumber data utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan seperti hasil wawancara, sedangkan data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.”5 Maksudnya, sumber data primer yaitu data yang di dapatkan dari informan, baik melalui wawancara dan observasi maupun data lainnya. Sedangkan sumber data sekunder, data yang diperoleh bukan dari informan.

Sumber data primer yang peneliti dapatkan untuk penelitian ini adalah hasil data dari informasi melalui wawancara dengan wali kelas dan siswa SMP dari masing-masing jenjang kelas. Pengumpulan data primer dengan teknik wawancara bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan kecerdasan sosial siswa SMP di komunitas Homeschooling Kak Seto, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh bukan dari informan melainkan data yang berupa arsip-arsip sebagai data penunjang berlangsungnya penelitian. Diperoleh secara langsung dari pihak-pihak yang berkaitan dengan objek kajian penulisan skripsi ini. Adapun data sekunder dalam penelitian ini berupa lembar observasi yang memuat tentang kecerdasan situasional (situational awareness), kemampuan

4

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 53-54.

5


(40)

membawa diri (presence), autentisitas (authenticity), kejelasan (clarity), dan empati, serta diperkuat dengan wawancara eksternal, yakni wawancara dengan orang terdekat dari informan di luar lingkungan homeschooling. Dalam hal ini peneliti mewawancarai sahabat dari masing-masing informan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan observasi. Jika peneliti merasa belum cukup dengan data yang diperoleh, peneliti memerlukan data tambahan seperti sumber data tertulis dan foto.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu “pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.”6

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Ciri dari wawancara semi terstruktur yaitu sebagai berikut:

Pertanyaan terbuka, namun ada batasan tema dan alur pembicaraan; Kecepatan wawancara dapat diprediksi; Fleksibel, tetapi terkontrol (dalam hal pertanyaan atau jawaban); Ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan, dan penggunaan kata; dan tujuan wawancara adalah untuk memahami suatu fenomena.7

Wawancara ini dilakukan sebanyak tiga kali yaitu wawancara pembuka, wawancara inti dan member check. Wawancara pembuka berupa perkenalan mengenai profil partisipan. Wawancara pembuka dilakukan selama 10-20 menit, kemudian peneliti dan partisipan membuat kesepakatan mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara selanjutnya yaitu wawancara inti, dimana wawancara ini dilakukan selama kurang lebih 20-60 menit. Setelah itu peneliti menyusun hasil wawancara yang sudah dilakukan

6Ibid.

, h. 186.

7Ibid.


(41)

oleh informan kedalam bentuk transkrip wawancara, kemudian melakukan pengecekkan data yang diperoleh peneliti kepada informan.

Dalam penelitian ini sampel yang akan diwawancarai berjumlah sembilan orang terdiri dari tiga orang wali kelas, yaitu satu orang wali kelas VII, satu orang wali kelas VII dan 1 (satu) orang wali kelas IX, dan 6 (enam) orang siswa yaitu 2 (dua) orang siswa kelas VII, 2 (dua) orang siswa kelas VIII, dan 2 (dua) orang siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama (SMP) di komunitas Homeschooling Kak Seto.

2. Observasi

Observasi ialah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.8 Peneliti menggunakan metode

behavioral checklist saat melakukan observasi. “Behavioral checklist

merupakan suatu metode dalam observasi yang mampu memberikan keterangan mengenai muncul atau tidaknya perilaku yang diobservasi dengan

memberikan tanda cek (√) jika perilaku yang diobservasi muncul.”9 Observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecerdasan siswa

di homeschooling yang nantinya akan peneliti wawancarai.

3. Dokumentasi

Peneliti kualitatif juga memerlukan berbagai dokumentasi untuk melengkapi data penelitian. Dokumentasi yang diperoleh berupa profil

homeschooling, transkrip hasil wawancara guru dan siswa, wawancara

dengan pihak eksternal, dan hasil observasi peneliti dengan partisipan.

E. Instrumen Penelitian 1. Pedoman Observasi

Berikut ini merupakan pedoman observasi yang akan dilakukan peneliti kepada siswa.

8

Haris Herdiansyah, op. cit., h. 131.

9Ibid.


(42)

Tabel 3.1

Instrumen Lembar Observasi

Kecerdasan Sosial Siswa di Homeschooling Kak Seto Pondok Aren No. Aspek Pengamatan Uraian Apek Pengamatan

1. Situational Awareness (Kecerdasan Situasional)

Menghibur teman Membantu teman

Mendengar lawan bicara saat berbicara

Terjalin komunikasi secara verbal

2.

Presence

(Kemampuan Membawa Diri)

Bersosialisai Mudah berteman Bersikap baik

3. Authenticity (Autentisitas)

Memberi kesan pertama Memberikan senyuman Bertegur sapa

Memberi salam

Berbicara dengan sopan

4. Clarity

(Kejelasan) Interaksi secara non verbal

5. Empathy

(Empati)

Menghormati Menghargai

Merasakan kesedihan orang lain Merasakan kebahagiaan orang lain

Berbagi makanan Berbagi minuman Menolong

Peneliti menggunakan teori kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Karl Albrecht sebagai instrumen pada lembar observasi.


(43)

2. Wawancara dengan Guru dan Siswa

Berikut ini merupakan pedoman wawancara yang akan dilakukan peneliti kepada guru (tutor) dan siswa.

Tabel 3.2

Instrumen Wawancara dengan Guru (Tutor) WAWANCARA GURU

1. Pendapat guru tentang tingkah laku siswa ketika berada di lingkungan

homeschooling.

2. Pendapat guru tentang interaksi siswa kepada guru kelas. 3. Pendapat guru tentang interaksi siswa kepada teman sekelas.

4. Pendapat guru tentang interaksi siswa kepada petugas di lingkungan

homeschooling.

5. Pendapat guru tentang sikap siswa ketika memberi salam saat bertemu dengan guru/tutor.

6. Pendapat guru tentang sikap siswa ketika di kelas saat pembelajaran berlangsung.

7. Pendapat guru tentang sikap siswa ketika berinteraksi dengan teman di kelas.

8. Pendapat guru tentang pengertian kecerdasan sosial.

Tabel 3.3

Instrumen Wawancara dengan Siswa WAWANCARA SISWA

1. Alasan siswa senang berteman dengan teman di homeschooling dan cara siswa bermain dengan mereka.

2. Alasan siswa senang bermain dengan teman luar homeschooling dan cara siswa bermain dengan mereka.


(44)

3. Kapan siswa bertemu dengan teman-teman.

4. Intensitas bermain siswa dengan teman di rumah atau teman di

homeschooling.

5. Hal yang dilakukan siswa ketika bertemu dengan teman. 6. Siswa pernah sekolah di sekolah formal atau tidak. 7. Sejak kapan siswa sekolah di homeschooling.

8. Alasan memilih homeschooling daripada sekolah di sekolah formal. 9. Pendapat siswa tentang perbedaan yang dialami ketika bersekolah di

sekolah formal dengan di homeschooling.

10. Rasa nyaman siswa ketika bersekolah di homeschooling. 11. Sikap teman-teman homeschooling.

12. Sikap teman-teman di sekolah formal.

13. Cara bergaul siswa dengan teman di homeschooling.

14. Siswa menghibur teman yang sedang sedih dan cara siswa menghibur temannya.

15. Siswa membantu teman yang kesulitan, hal yang biasa dilakukan ketika membantu serta perasaan siswa setelah membantu.

16. Sikap siswa terhadap teman yang berbeda suku, agama, ras, budaya, gender dan kekurangan fisik.

17. Siswa mudah beradaptasi dan bersosialisasi di lingkungan baru atau tidak serta cara siswa memperkenalkan diri di lingkungan baru.

18. Siswa berbagi makanan atau minuman ke teman. 19. Siswa membantu guru.

Tabel 3.4

Instrumen Wawancara dengan Teman Dekat Siswa WAWANCARA TEMAN DEKAT SISWA

1. Sejak kapan kalian saling kenal? Dan sejak kapan kalian berteman atau bersahabat?


(45)

2. Kenapa kamu senang bermain dengan dia? Bagaimana cara kamu bermain dengan dia?

3. Kapan kalian saling bertemu untuk bermain?

4. Berapa kali dalam satu minggu kamu bermain dengan dia?

5. Hal apa aja yang dilakukan kalau bertemu? Sering atau tidak kalian bertemu?

6. Dia itu orangnya seperti apa?

7. Senang atau tidak memiliki teman atau sahabat seperti dia? 8. Bagaimana sikap dia terhadap teman-temannya?

9. Bagaimana awal pertama kalian saling kenal? Siapa dahulu yang mengajak berkenalan?

10. Kamu sering di hibur sama dia ketika sedang bersedih? Bagaimana cara dia menghibur kamu?

11. Kamu pernah dibantu dia ketika sedang kesulitan? Biasanya dia melakukan apa untuk membantu kamu?

12. Bagaimana sikap dia terhadap teman yang berbeda suku, agama, ras, budaya, gender dan kekurangan fisik?

13. Dia termasuk orang yang mudah beradaptasi di lingkungan baru? Bagaimana cara dia memperkenalkan diri di lingkungan baru?

14. Dia sering berbagi makanan atau minuman ke teman-temannya? Apa yang dia bagikan ke teman-teman?

15. Ceritakan awal perkenalan kalian sehingga kalian bisa beteman atau bersahabat dengan dia sampai sekarang!

16. Kamu tahu alasan kenapa dia pindah sekolah ke homeschooling?

F. Rencana Penguji Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, “temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang di teliti.”10 Teknik pengujian keabsahan

10


(46)

data pada penelitian ini meliputi meningkatkan ketekunan, triangulasi dan member

check. Hal ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Meningkatkan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan yang dimaksud di sini adalah “melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat di rekam secara pasti dan sistematis.”11 Pada pengujian keabsahan data dengan meningkatkan ketekunan, peneliti melakukannya dengan cara mengecek kembali seluruh data hasil penelitian, apakah terdapat kesalahan atau tidak, sehingga peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang sedang diamati.

2. Triangulasi

Triangulasi dalam pengujian ini diartikan sebagai “pengecekan data dari

berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.”12 Pada penelitian ini, triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui wawancara dan

observasi kepada para informan. Setelah itu, “data yang diperoleh kemudian dideskripsikan, dikategorisasikan mana pandangan yang sama dan mana pandangan yang berbeda. Data yang telah dianalisis oleh peneliti, selanjutnya menghasilkan suatu kesimpulan lanjutan yang akan dimintakan kesepakatan

(member check) kepada para subyek penelitian.”13

3. Member Check (Pengecekan Data ke Pemberi Data)

Member check adalah “proses pengecekan data yang diperoleh peneliti

kepada pemberi data. Tujuannya untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.”14 Maksudnya adalah agar informasi yang diperoleh akan digunakan dalam penulisan

11

Ibid., h. 124.

12Ibid.

, h. 125.

13Ibid.

, h. 127.

14Ibid.


(47)

laporan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan. Adapun

pengecekan data meliputi “kategori analisis, penafsiran dan kesimpulan.”15 G. Teknik Analisis Data

Proses analisis data di mulai dengan menelaah seluruh data yang telah terkumpul dari berbagai sumber, yaitu wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi. Setelah dibaca, dipelajari dan di telaah, langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data. “Inti dari reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan

(script) yang akan dianalisis.”16 Proses analisis data dalam penelitian ini antara

lain sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data, peneliti telah melakukan analisis tema dan melakukan pemilihan tema (kategorisasi) pada awal penelitian. Kemudian peneliti melakukan verifikasi dan pembuktian awal bahwa fenomena yang diteliti benar adanya dengan syarat sudah melakukan wawancara, observasi, dan lain-lainnya, kemudian hasil dari aktivitas tersebut adalah data. Ketika telah mendapatkan data yang cukup untuk diproses dan dianalisis, lalu tahap selanjutnya adalah reduksi data.

2. Reduksi Data, kegiatan lanjutan dari pengumpulan data. Hasil kegiatan ini untuk merubah hasil wawancara, observasi, dan hasil studi dokumentasi menjadi bentuk tulisan sesuai dengan formatnya masing-masing. Kemudian memilah-milah data serta memberi kode, menentukan fokus pada hal-hal penting, mencari tema dan polanya serta membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. 3. Mengolah data setengah jadi, dalam penelitian kualitatif, data setengah jadi

yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas dapat dimasukkan ke dalam suatu matriks kategorisasi atau sejenisnya. Hasilnya dapat memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi,

15

Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif), (Jakarta: GP Press, 2008), h. 234.

16


(48)

kemudian merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

4. Kesimpulan atau verifikasi, “pada tahap ini merupakan tahap terakhir dalam

analisis data kualitatif menurut Miles & Huberman.”17

Peneliti membuat kesimpulan dari temuan dan hasil penelitian dengan memberikan penjelasan simpulan dari jawaban pertanyaan penelitian.18 Kesimpulan ini dibuktikan dengan cara menafsirkan berdasarkan kategori yang telah dibuat sehingga dapat diketahui kecerdasan sosial siswa di homeschooling.

17Ibid.

, h. 178.

18Ibid.


(49)

36

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pendahuluan

Hasil penelitian ini diperoleh dengan teknik wawancara mendalam sebagai bentuk pencarian data dan observasi langsung dengan narasumber yang peneliti sebut sebagai partisipan. Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil wawancara, sedangkan data sekunder berasal dari lembar observasi. Data-data yang telah dianalisis selanjutnya dikategorisasikan sesuai dengan kategorinya. Pengumpulan data ini dilakukan dari bulan November 2014 sampai dengan Januari 2015. Partisipan yang menjadi narasumber adalah wali kelas dan siswa SMP di Homeschooling Kak Seto.

Pada bab ini pembaca dapat mengetahui bagaimana deskripsi kecerdasan sosial siswa SMP di homeschooling. Selain membahas hasil wawancara, bab ini juga membahas hasil obervasi yang dilakukan peneliti untuk mencari partisipan yang akan di wawancarai serta membahas informasi partisipan. Observasi dilakukan dengan meminta rekomendasi dua orang siswa dari setiap wali kelas jenjang SMP di Homeschooling Kak Seto dengan tujuan agar partisipan yang dipilih tepat sasaran sesuai dengan aspek kecerdasan sosial.

B. Profil Homeschooling Kak Seto Pondok Aren

Homeschooling Kak Seto (HSKS) secara resmi berdiri pada tanggal 4

April 2007, beralamat di Jl. Taman Makam Bahagia ABRI No.3A RT.001 RW.04 Kelurahan Parigi Lama, Kecamatan Pondok Aren, Bintaro Sektor 9, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, kode pos 15400, Indonesia. Telp: 021-7451183, 082817031183 (hunting), 082917065790, Fax: 021-7451183. E-mail: info@hsks.sch.id, website: http://www.hsks.sch.id.

Latar belakang didirikannya HSKS Pondok Aren karena anak-anak kurang cocok dengan sistem pendidikan formal, dimana anak-anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama bersekolah, misalnya saja kasus


(50)

serta keterampilan anak.1 Hal tersebut membuat Kak Seto sebagai tokoh pendidikan anak beserta timnya membangun komunitas sekolah rumah yang disebut Homeschooling Kak Seto (HSKS) sebagai bentuk solusi alternatif bagi orangtua dalam memberikan pendidikan kepada anak.

Homeschooling Kak Seto (HSKS) dilaksanakan berdasarkan filosofi

sederhana yaitu belajar dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja. HSKS memiliki visi dan misi. Visi dari HSKS adalah menjadikan

Homeschooling Kak Seto (HSKS) sebagai salah satu institusi pendidikan anak

yang unggul dan menyediakan program pendidikan bagi anak agar memiliki keterampilan, life skill dan karakter yang kokoh sebagai calon pemimpin bangsa di masa depan. Sedangkan misinya yaitu pertama, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan kebutuhan, gaya belajar, kekuatan dan keterbatasan yang dimilikinya. Kedua, membantu peserta didik menemukan minat dan bakatnya serta mengembangkan bakat dan minat peserta didik secara optimal. Ketiga, membentuk peserta didik menjadi manusia pembelajar seumur hidup yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan karakter yang kuat. Keempat, memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh hubungan dari pelajaran yang diperlajari dengan kehidupan nyata. Kelima, mengatasi keterbatasan, kelemahan peserta didik dengan melakukan pendekatan personal.2

Jenjang pendidikan yang ada di HSKS di mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA. Pada tingkat SD terdiri dari kelas I sampai kelas VI, tingkat SMP terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, sedangkan pada tingkat SMA terdiri dari kelas X sampai kelas XII.

Homeschooling Kak Seto (HSKS) Pondok Aren mengklasifikasi kegiatan

pembelajaran homeschooling menjadi dua, yaitu komunitas dan Distance

Learning. Komunitas merupakan proses pembelajaran di mana siswa

dikumpulkan di sebuah kelas untuk belajar bersama sambil bersosialisasi dengan teman-temannya. Dalam komunitas jadwal belajar siswa ditentukan oleh badan

1

Dokumentasi, tanggal 11 Februari 2015.

2


(51)

tutorial. Sedangkan Distance Learning merupakan proses pembelajaran dimana siswa belajar di rumah dengan modul dan orangtua yang berperan besar sebagai pendidiknya. Dalam Distance Learning jadwal belajar disusun sesuai kesepakatan antara peserta dan orangtua.

HSKS Pondok Aren juga mengadakan kelas masa uji coba yang disebut dengan trial class. Trial class dilaksanakan pada saat awal masuk sekolah. Program trial class dilakukan sebanyak enam kali pertemuan atau dua minggu. Kalau siswa merasa senang dan nyaman dengan proses pembelajaran, sosialisasi dan akademiknya bagus, maka siswa tersebut dapat melanjutkan pelajaran di kelas komunitas, sebaliknya jika ternyata siswa pasif, sosialisasi dan akademik kurang bagus atau tidak ada peningkatan, maka siswa akan dipindahkan ke kelas Distance

Learning.3

HSKS Pondok Aren masih menggunakan kurikulum KTSP 20064, yaitu mencakup standar isi, kelulusan, serta proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.5 Legalitas ijazah siswa HSKS sudah diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakomodasi homeschooling sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dalam pelaksanaannya, homeschooling berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional. Siswa yang memilih

homeschooling akan memperoleh ijazah kesetaraan yang di keluarkan oleh

DEPDIKNAS yaitu paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMU/SMA. Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan ke sekolah formal atau yang lebih tinggi bahkan ke luar negeri sekalipun.

C. Informasi Partisipan

Dalam upaya mengetahui kecerdasan sosial siswa, jumlah yang dijadikan partisipan untuk menjadi sumber data penelitian sebanyak enam orang yaitu, dua

3

Wawancara dengan Sri Wahyuni (Humas Homeschooling Kak Seto Pondok Aren), tanggal 07 Januari 2015.

4Ibid.

Wawancara tanggal 07 Januari 2015.

5


(52)

orang siswa kelas VII, dua orang siswa kelas VIII dan dua orang siswa kelas IX berdasarkan rekomendasi wali kelas masing-masing. Kemudian peneliti mewawancarai tiga orang wali kelas, yaitu satu orang wali kelas dari kelas tujuh, satu orang wali kelas dari kelas delapan dan satu orang wali kelas dari kelas sembilan. Agar lebih maksimal mendapatkan hasil penelitian yang diinginkan, peneliti mewawancarai enam partisipan tambahan, yakni masing-masing satu orang teman atau sahabat dari partisipan di luar lingkungan Homeschooling Kak Seto.

Penting sekali peneliti menjabarkan informasi dan latar belakang partisipan pada bab ini agar pembaca dan penguji dapat memahami konteks dan situasi penelitian. Pada penelitian kualitatif, kesimpulan penelitian tidak bisa di generalisasikan, oleh karena itu siapa yang diwawancarai dan kapan diwawancarai sangat penting karena kesimpulan dari penelitian ini akan berbeda jika dilakukan dengan waktu yang berbeda dan mewawancarai orang yang berbeda. Berikut adalah informasi partisipan:

Partisipan FZ adalah seorang tutor mata pelajaran IPA Fisika lahir di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1989, di Homeschooling Kak Seto (HSKS) ini selain menjadi tutor Kak FZ begitu sapaan beliau di HSKS, juga menjabat sebagai wali kelas untuk kelas VII. Beliau menjadi tutor di HSKS selama satu setengah tahun yakni semenjak 10 Januari 2013 sampai sekarang. Sebelumnya beliau sudah menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012 dengan mengambil jurusan MIPA Fisika.

Partisipan AR adalah seorang tutor mata pelajaran Bahasa Indonesia lahir di Jakarta pada tanggal 18 Desember 1988, di Homeschooling Kak Seto ini selain menjadi tutor Kak AR juga menjabat sebagai wali kelas untuk kelas VIII. Beliau menjadi tutor selama satu tahun tiga yakni dari tanggal 13 September 2013 sampai sekarang dan sedang menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di Universitas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)