Tabel 3.3 Penilaian Instrumen Indikator
Skor Bobot Skor Lima
Skor Maksimal
1 2
3 4
5
Kesesuaian Judul dengan Isi Puisi
25
Imaji 25
Bahasa Figuratif 25
Makna
25 Jumlah Skor
100
Kriteria Penilaian: 5 = Sangat baik
2 = Kurang 4 = Baik
1 = Sangat Kurang 3 = Cukup
F. Teknik Analisis Data
1. Uji Normalitas Uji Liliefors
a.
Hipotesis
H
o
: Tidak terdapat pengaruh yang siginifikan dalam penggunaan media visual terhadap peningkatan kemampuan menulis puisi
MTs Jabal Nur Cipondoh, Kota Tangerang. H
1
: Terdapat pengaruh yang signifikan dalam penggunaan media visual terhadap peningkatan kemampuan menulis puisi MTs
Jabal Nur Cipondoh, Kota Tangerang. b.
Distribusi Frekuensi Menentukan skor terbesar dan terkecil
c. Menentukan Rentangan
R = Nilai tertinggi – Nilai terendah
d. Menentukan Banyaknya Kelas
BK1 = 1 + 3,3 log N e.
Menentukan Panjang Interval Kelas I i =
f. Menentukan Distribusi Frekuensi
Interval f
xi Fxi
Xi
2
f Xi
2
g. Menentukan rata-rata mean
x =
h. Menentukan varians Si
2
Si
2
= i.
Menentukan simpangan baku standar deviasi S =
Zi = SZ =
L
O
L
tabel
Populasi berdistribusi Normal j.
Mean Awal pretest M=
∑ x1 = N
k. Mean Akhir postest
M= ∑ x1 =
N l.
Rata-Rata Nilai Siswa Md  =
∑ d N
m. Koefisien t = t
hitung
t
hitung
=    Md
51
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum MTs
1. Latar Belakang Sekolah
MTs Jabal  Nur  berada  di  bawah  naungan  Yayasan  Jam’iyah
Nahdiyah Lilummah JN Universal berawal dari hasil pemikiran tentang bagaimana  membantu  dan  memberikan  kesempatan  kepada  para  yatim
dan  dzuafa  khususnya  lulusan  SDMI  untuk  dapat  melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Maka  untuk  ide  tersebut  pada  bulan  Maret  2006  tepatnya  pada tanggal 15 Maret 2006 didirikanlah Pondok Pesantren yang pada mulanya
bernama “Pondok Pesantren Keterampilan Yatim Jabal Nur”.
Pada perkembangan berikutnya nama tersebut dianggap kurang tepat sehingga dirubah menjadi MTs Jabal Nur. Perubahan ini didasarkan alasan
sebagai berikut : 1.
Secara  psikologis  pencantuman  kata  ”yatim”  pada  nama  pesantren dikhawatirkan  berdampak  ”minder”  terhadap  kejiwaan  anak  sehingga
mereka  bukan  merasa  dihargai  tetapi  justru  merasa  menjada  bahan eksploitasi.
2. Pada  perjalanan  berikutnya  pesantren  ini  diminati,  bukan  hanya  oleh
yatim  dan  dzuafa  melainkan  oleh  mereka  dari  golongan    ekonomi menengah,  walaupun  tetap  mempertahankan  untuk  membantu  yatim
dan  dzuafa  yang  saat  ini  kurang  lebih  60  tidak  dikenakan  biaya pembangunan danbiaya pendidikan.
3. Untuk menghindari opini masyarakat bahwa pesantren ini sama dengan
panti asuhan.