4.8. Model Konseptual Ekomuseum Berbasis Definisi
Model konseptual ekomuseum berbasis definisi diperlukan sebagai awal dari nantinya pembuatan konsep pengelolaan ekomuseum. Model dibuat untuk menjawab
pertanyaan ”5 W dan 1 H”, yakni Who, Why, Where, What, Which dan How. Jawaban
yang didapatkan untuk memberikan tindakan yang harus dilakukan, sehingga mendapatkan jawaban akhir dari hasil yang diharapkan
So What. Di bawah ini diuraikan model konseptual ekomuseum berbasis definisi.
MODEL KONSEPTUAL EKOMUSEUM BERBASIS DEFINISI
MENGAPA TUJUAN
DIMANA APA
LETAK KEGIATAN
PERENCANAAN DAN
MODEL PENGELOLAAN
DAN PENYELENGGARAAN
SIAPA TUAN RUMAH
PENGUNJUNG PEMBERI JASA
FASILITATOR
KEMUDIAN Y
ANG M
ANA PR
IN SI
P PED O
M A
N
HASIL YANG DIHARAPKAN MANFAAT
BAGI KOMUNITI
MANFAAT BAGI
EKONOMI PENGALAMAN
DAN KESADARAN
PELESTARIAN ALAM
PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
BAGAIMANA PENGHANTARAN
KEPUTUSAN
Gambar 4. 82. Model Konseptual Ekomuseum Berbasis Definisi
Universitas Sumatera Utara
4.9. Model Konseptual Pengelolaan Ekomuseum
Kawasan Pelestarian Cagar Budaya Padanglawas perlu segera ditetapkan. Dalam upaya penetapan dan pelestarian Kawasan Cagar Budaya Padanglawas
diperlukan adanya model konseptual pengelolaan ekomuseum seperti yang diuraikan di bawah ini.
EKSPLOTASI SUMBERDAYA EKOMUSEUM
PROGRAM PEMBELAJARAN SUMBERDAYA EKOMUSEUM
MUSEUM ALAM
PELESTARIAN BUDAYA LOKAL
DAN SUMBERDAYA ALAM
EKOWISATA
AREA PENELITIAN DUKUNGAN P
ADMINISTRAS PENGEMBANGAN
NETWORK
KET PERAT
SUMBERDAYA EKOMUSEUM
FASILITAS DAN PELAYANAN EKOMUSEUM
PENGEMBANGAN KETRAMPILAN DALAM PEMELIHARAAN
PROGRAM PEMBELAJARAN DAN FASILITAS EKOMUSEUM
PARTISIPASI DAN KARAKTERISTIK LOKAL
KOMPONEN EKOMUSEUM BUDAYA LOKAL
KOMPONEN EKOMUSEUM
Gambar 4. 83 Model Konseptual Pengelolaan Ekomuseum
Universitas Sumatera Utara
4.10. Model Pengelolaan Ekomuseum Dalam Kerangka Pemanfaatan Kawasan
Padanglawas
Kawasan Padanglawas mempunyai tinggalan budaya fisik dan non fisik. Tinggalan budaya fisik berupa biara, situs, arca, prasasti dan fragmen-fragmen
keramik dan gerabah. Ada 25 biarasitus cagar budaya yang terdapat di Kawasan Padanglawas yang merupakan bahan penelitian dalam disertasi. Ke-25 biarasitus
cagar budaya tersebar di seluruh Kawasan Padanglawas seluas 7.810.79 yang tercakup dalam 2 kabupaten, yakni Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang
Lawas Utara. Kata biara berasal dari kata
vihāra sansekerta yang artinya tempat ibadah, tempat bersenang-senang para budha atau tempat tinggal para bhiksu dan bhiksuni.
Tinggalan budaya di Kawasan Padanglawas ini menggunakan kata biara dan tidak menggunakan kata candi seperti pada umumnya pada bangunan suci agama Hindu
dan Budha di Jawa. Pemakaian kata biara di Kawasan Padanglawas dalam penulisan disertasi disebabkan karena empat hal, pertama karena di prasasti Sitopayan I
disebutkan adanya ...... barbwat byara sātap....., adanya perbuatan biara satu atap;
kedua dengan ditemukannya arca perunggu di Biara Bahal I yang merupakan seni arca India Selatan dan mempunyai kemiripan dengan arca di Salihundam, daerah
Ganjam yang merupakan figur perempuan yang lagi memberikan hadiah ke vihāra.
Ketiga dapat diketahui dari adanya temuan atap bangunan di dekat Biara Bahal II yang memperlihatkan bahwa dahulu ada rumah atau tempat tinggal bagi para
bhiksu dan bhiksuni atau pendeta yang dekat dengan biarasitus cagar budaya; dan
Universitas Sumatera Utara
keempat penyebutan nama biara dapat diketahui dari kebiasaan masyarakat setempat yang biasanya menyebut dengan nama biaro.
Ke 25 biarasitus cagar budaya tersebut merupakan tinggalan agama Hindu dan Budha aliran Tantrayana yang dianut oleh penduduk Kawasan Padanglawas pada
abad ke-11 sampai ke-14. Untuk tinggalan budaya non fisik dalam dilihat dari tradisi yang ada di Kawasan Padanglawas yakni adanya permainan anak-anak; pembuatan
keranjang dari bahan tanaman palma; dan juga kearifan lokal tentang kebersihan di lingkungan sendiri dan di lingkungan sekitarnya.
Sebagian besar sekitar biarasitus cagar budaya ditumbuhi alang-alang Imperata cylindrica, juga ada jenis tumbuhan Macaranga, Melastoma, Mytrtaceae,
Euphorbiaceae, Asteraceae, Piperceae Piper aduncum yang lebih mendominasi daerah Kawasan Padanglawas, yang merupakan tipe ekosistem belukar dengan
bioma hutan hujan Vita, 2010. Dari berberapa tumbuhan ada yang termasuk tanam yang hanya tumbuh dekat dengan biarasitus cagar budaya, yaitu pohon balaka
Phyllanthus emblica – foto dapat dilihat di halaman 125. Ada kesengajaan pohon balaka ditanam dekat biara. Menurut kitab Weda dan
dilihat dari segi kesehatan, pohon balaka banyak mengandung berbagai macam rasa, yaitu rasa
amla asam; katu pedas; madhura manis; shita mendinginkan tubuh. Serta pohon balaka dapat digunakan untuk berbagai obat herbal ayurveda, termasuk
buah, biji, daun, akar, kulit dan bunganya. Di daerah Andra Pradesh, buah balaka digunakan untuk masakan
dal atau amle ka murabbah. Bagi penganut agama Hindu dan Budha di India, pohon balaka adalah
Universitas Sumatera Utara
pohon suci yang disembah sebagai ibu bumi, yaitu Dewi Laksmi. Di daerah Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, masyarakat sekitar
menggunakannya untuk masakan kuliner lokal, yaitu holat. Buah balaka
amla berfungsi untuk membuat keseimbangan vata udara dan kapha lendir ada rasa asam. Itu semua dapat membuat umur panjang dari hasil
peremajaan rasayana, juga meningkatkan pencernaan dipanapachana,
menyembuhkan sembelit anuloma, menurunkan panas tubuh jvaraghna,
membersihkan darah raktaprasadana, menurunkan batuk kasahara, meredakan
asma svasahara, menguatkan jantung hrdaya, mencerlangkan mata
chakshushya, merangsang pertumbuhan rambut romasanjana, menenangkan tubuh
jivaniya, meningkatkan kepandaian medhya. Penganut agama Hindu dan Budha mendirikan biarasitus cagar budaya di
Kawasan Padanglawas telah mempertimbangkan kondisi geologi yang sangat menunjang. Ada sumberdaya alam, seperti batu dan air yang melimpah. Hal ini
ditunjang oleh hasil penelitian Fadhlan yang menyebutkan bahwa lokasi sumber bahan baku batu pasir untuk pembuatan biara berasal dari sekitar biaro Si Pamutung
atau dahulu merupakan kawasan Padanglawas. Sedangkan untuk bahan baku bata, lempung, dan pasir berasal dari Sungai Barumun yang mengalir dekat biarasitus
cagar budaya. Dari perencanaan penanaman pohon balaka hingga pengambilan bahan baku bagi pendirian biarasitus cagar budaya memperlihatkan bahwa penganut agama
Hindu dan Budha pada masa itu, yang mendirikan biarasitus cagar budaya, sudah beradaptasi saling terkait dengan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Antara manusia dengan lingkungan mempunyai kaitan dua arah, ini berarti bahwa manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungannya dan sebaliknya manusia
mempunyai kemampuan untuk mengubah lingkungan tersebut. Pengaruh langsung manusia terhadap lingkungannya dapat dilihat dari umpan balik di mana daya dukung
lingkungan menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan pelestarian budaya fisik maupun non fisik. Tetapi sebaliknya, pengaruh langsung manusia dapat pula
menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi jelek, sehingga tidak mungkin menanggung pelestarian budaya fisik dan non fisik.
Sejak abad ke-14, ke-25 biarasitus cagar budaya tersebut ditinggalkan oleh penganutnya, sebagai akibatnya biarasitus cagar budaya tidak dipelihara lagi,
menjadi rusak dan runtuh. Kemudian baru pada akhir abad ke-19 Kawasan Padanglawas menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda dan pemeliharaan
dilakukan oleh jawatan yang didirikan oleh orang Belanda yakni, Jawatan Purbakala Oudheidkundige Dienst dengan membuat peraturan perundang-undangan yang
tertuang dalam Monumenten Ordonnantie Stadblad 1931.
Pengelolaan warisan budaya periode kolonial dari tahun 1901 sampai dengan 1945 memperlihatkan bahwa Jawatan Purbakala atau
Oudheidkundige Dienst pada saat itu hanya memperhatikan temuan artefak saja yang ada di seluruh Indonesia.
Serta dalam pengelolaannya mereka juga mengirim dan meletakkan beberapa sarjana yang mengurus hasil temuan artefak. Para sarjana umumnya adalah bangsa Belanda
serta mempunyai tugas untuk membuat laporan perjalanan mereka, laporan penelitian, laporan kegiatan mereka sehari-hari
Notulen, laporan
Universitas Sumatera Utara
ekskavasipenggalian, yang kesemuanya disertai dengan pendokumentasian yang pada saat itu sudah dianggap lengkap. Bagi bangunan dilakukan pemugaran atau
restorasi. Tak lupa pada saat dilakukan pemugaran harus dilengkapi dengan pencatatan dan pendokumentasian yang lengkap. Pada saat itu hanya ada beberapa
biara saja yang dipugar, misalnya biara Si Pamutung, dan biara Tandihat I. Semua data dicatat dan dipublikasikan dalam
Notulen; Rapporten Oudheidkundige Dienst ROD;
Rapporten Oudheidkundige Comissie ROC; Tijdschrift Bataviaasch Genootschaap TBG; Bataviaasch Koninklijk Indische BKI; dan Oudheidkundig
Verslag OV. Kemudian pada tahun 1945 – hingga tahun 1999, pengelolaan dipegang oleh
Bangsa Indonesia, karena para ahli bangsa Belanda harus kembali ke negerinya. Dalam upaya pengelolaannya didirikan instansi Jawatan Purbakala di daerah, yaitu di
daerah Prambanan Jawa Tengah. Jawatan Purbakala mempunyai tugas melakukan penelitian, inventarisasi, dokumentasi, perlindungan dan restorasi. Pengelolaan
tinggalan arkeologi terus berlanjut hingga tahun 1999, dan ada beberapa temuan yang disimpan ke dalam museum Sulistyanto, 2008.
Pada saat biarasitus cagar budaya dikelola oleh bangsa Indonesia, beberapa bangunan biara di Kawasan Padanglawas dipugar dan ditata dengan diberi pagar
keliling dari kawat berduri. Pemugaran biara dilakukan di Biara Bahal I; Biara Bahal II, Biara Bahal III; Biara Si Pamutung; dan Biara Tandihat I. Adapun biarasitus cagar
budaya lainnya masih belum dipugar.
Universitas Sumatera Utara
Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi Tahun 1999 hingga sekarang, dilakukan oleh Lembaga Arkeologi, dalam hal ini di pusat di Jakarta adalah Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional dan Direktorat Peninggalan Purbakala yang menjadi pusat pengelolanya. Sedangkan di daerah, yang merupakan Unit Pelaksana Tehnis adalah
Balai Penelitian Arkeologi dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Instansi tersebut di dalam pengelolaannya mempunyai tiga kepentingan yaitu, kepentingan
ideologis; kepentingan akademis; dan kepentingan ekonomis. Kepentingan ideologis menitikberatkan simbol, nilai dan unsur lokal genius, sedangkan kepentingan
ekonomi menitikberatkan pada infra struktur lainnya. Lembaga Arkeologi tersebut di dalam pengelolaannya tidak saja
memperhatikan artefaknya saja tetapi sudah menyangkut pula situs dan wilayah sekitar warisan budaya itu berada. Semua kegiatan tersebut direkam dalam bentuk
laporan dan juga diterbitkan dalam bentuk laporan penelitian dan dan terbitan agar khalayak nasional dan international dapat mengetahui kekayaan warisan budaya
bangsa Indonesia. Khususnya bagi bangunan biarasitus cagar budaya sesudah tahun 1999
dipelihara dan dikelola oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala BP3, dahulu bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, pengelolaan hanya sebatas pada
bangunan biarasitus cagar budaya saja hingga pagar keliling yang terbuat dari pagar kawat berduri. Pengelolaan meliputi perlindungan, pemugaran, pendokumentasian
dan pemeliharaan terhadap biarasitus cagar budaya yang ada, baik yang sudah dipugar maupun yang belum dipugar. Pengelolaan belum memperhatikan lingkungan
Universitas Sumatera Utara
sekitar dan juga tidak melibatkan masyarakat yang tinggal di dekat biarasitus cagar budaya.
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya disebutkan bahwa pengelolaan adalah upaya terpadu untuk
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat. Upaya melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan Cagar Budaya di
Kawasan Padanglawas belum dikelola. Hal ini terlihat dari keadaan di Kawasan Padanglawas saat ini, yaitu terjadinya perubahan tata guna lahan, lahan digunakan
untuk menanam kelapa sawit. Perubahan lahan dikuatirkan akan mempengaruhi keberadaan tinggalan biarasitus cagar budaya yang ada. Pengolahan kebun kelapa
sawit dengan menggunakan kendaraan berat dan besar akan merusak temuan artefak, baik yang ada di permukaan, maupun yang masih berada di dalam tanah.
Selain itu kerusakan dapat terjadi saat dilakukan kegiatan atraksi wisata, misalnya keyboard dangdut yang menggunakan panggung atau perwara di Biara
Bahal I sebagai panggungnya. Pada saat itu juga, bata di Biara Bahal I dipaku untuk mendirikan tenda. Ini sangat merusak bangunan biara kalau dilakukan secara terus
menerus dan tidak dilakukan pencegahan. Bangunan bata harus diupayakan untuk dilindungi sebagai upaya untuk
mencegah dan menanggulangi segala kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan Cagar Budaya yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, baik secara fisik
Universitas Sumatera Utara
maupun hukum. Serta dapat dikembangkan sebatas tidak bertentangan dengan tujuan pelestarian. Perlindungan ekosistem serta fungsi lingkungan dengan sumber daya
alam diharapkan agar mampu menopang proses pembangunan berkelanjutan. Hutan, pantai, tanah, serta hewan dan tumbuh-tumbuhan, bisa diperbaharui, sehingga
pemanfaatan bisa berkelanjutan asalkan fungsi lingkungan terpelihara. Pengelolaan pemerintah daerah pun belum ada upaya dalam peningkatan atraksi
wisata, dan hampir dikatakan tidak ada. Wisatawan yang datang ke Kawasan Padanglawas hanya melihat bangunan biarasitus cagar budaya dan lingkungan
sekitar. Dari hasil kuesioner dapat diketahui bahwa masyarakat mempunyai kegiatan tari-tarian atau kesenian tradisonal yang dapat ditampilkan pada saat diadakan
aktraksi wisata. Kawasan Padanglawas memang patut untuk dilestarikan dan dimanfaatkan
mengingat kondisi alam lingkungannya yang menarik serta peninggalan cagar budaya yang berasal dari periodisasi masa masuknya agama Hindu dan Budha ke tanah
Sumatera. Ketika itu populasi manusia yang tinggal di daerah tersebut masih sangat sedikit, dan lingkungan masih merupakan hutan primer. Berkembangnya manusia di
Kawasan Padanglawas membutuhkan daerah hutan untuk dikonversi. Kebutuhan lahan yang tidak sedikit sangat berdampak pada populasi flora dan fauna di daerah
tersebut. Bermunculannya berbagai aktivitas kehidupan di Kawasan Padanglawas perlu mendapatkan perhatian karena terkait erat dengan kondisi hutan atau
lingkungan alam, masyarakat dan juga peninggalan cagar budaya.
Universitas Sumatera Utara
Menjadikannya obyek wisata berarti juga harus memperhatikan dan memenuhi beberapa persyaratan. Hendaknya mempresentasikan atraksi wisata dengan cara yang
baik dilakukan dengan mengatur perspektif ruang, perspektif waktu, dan perspektif sosial-budaya. Memulainya dengan perspektif ruang, yang berarti mengupayakan
agar aktraksi wisata itu lebih enak dan lebih mengesankan untuk disaksikan. Untuk itu lingkungan harus membantu, dan itu dilakukan dengan mengatur komposisi
bentuk dan warna maupun posisi. Mengatur perspektif waktu berkenaan pengenalan sejarah atraksi wisata, dapat dilakukan secara lisan oleh pramuwisata, secara tertulis
maupun melalui brosur. Tanggapan masyarakat positip atas keberadaan obyek wisata di daerah
Kawasan Padanglawas dan ditunjukkan dengan keinginan untuk juga memelihara berbagai potensi yang ada di wilayahnya. Sebagian anggota masyarakat berkeinginan
juga untuk ikut ambil bagian dalam mendukung keberadaan obyek wisata dalam konteks peningkatan kesejahteraan sekaligus melestarikan potensi-potensi budaya
setempat agar tidak tergilas modernisasi yang tidak sesuai dengan budaya setempat. Masyarakat diajak untuk tetap menjadi ”pemilik” obyek peningkatan
sense of belongingrasa memiliki, masyarakat juga hendaknya diberi kesempatan untuk
mendapatkan bagian secara ekonomis dalam pemanfaatan obyek itu bagi kepariwisataan.
Masyarakat di Kawasan Padanglawas menjadi sumber tenaga kerja utama di sektor pariwisata, juga menjadikan kelompok masyarakat sebagai pemasok barang
dan jasa pariwisata, mendorong masyarakat untuk menjual barang dan jasa wisata
Universitas Sumatera Utara
secara langsung kepada wisatawan, mendorong masyarakat menjadi pemilik dan pelaku usaha jasa pariwisata, melakukan infrastruktur pariwisata yang
memungkinkan masyarakat memperoleh keuntungan, memperkerjakan masyarakat dalam perusahaan penyedia jasa wisata dengan cara memberikan pelatihan, dan
mendorong munculnya entitas kelembagaan baru yang mewadahi kepentingan masyarakat lokal.
Masyarakat atau penduduk merasakan kurangnya pembangunan sarana dan prasarana di sekitar biarasitus cagar budaya, misalnya kamar mandi, tempat istirahat
dan tempat lain yang dapat menunjang kenyamanan wisatawan datang ke lokasi. Tidak adanya kamar mandi di sekitar biarasitus cagar budaya, membuat pengunjung
untuk buang air kecil di bilik. Ini dirasakan saat wisatawan memasuki bilik biara dan mencium aroma yang tidak enak. Untuk menanggulangi kejadian tersebut di atas
masyarakat atau penduduk di sekitar lokasi biara dapat pula memanfaatkan kamar mandi mereka untuk wisatawan dengan membayar jasa seperlunya, tetapi perlu
diingat juga kebersihan dan kerapian dari kamar mandi. Agar supaya kondisi lingkungan alam, masyarakat dan peninggalan budaya
tetap lestari, maka diperlukan pengelolaan yang baik dan benar. Dalam rangka pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya, pemilik yang menguasai danatau
yang mengelola benda biarasitus cagar budaya dapat memperoleh pembinaan mengenai tata cara perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan cagar budaya.
Pelaksanaan pembinaan dilakukan melalui pelatihan, pembinaan tenaga teknis atau bantuan tenaga ahli, pameran, media cetak dan elektronik, atau seminar. Pembinaan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan peran serta masyarakat diberikan untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap pelestarian dan pemanfaatan
cagar budaya danatau situs. Sejalan dengan kenyataan itu, alangkah baiknya jika peninggalan budaya fisik
dan non fisik di Kawasan Padanglawas khususnya dikelola instansi yang berwenang. Pengelolaan instansi meliputi perlindungan, perkembangan dan pemanfaatan terhadap
Kawasan Padanglawas dalam sebuah museum terbuka atau outdoor museum.
Outdoor museum seperti sebuah ekomuseum sangat cocok diterapkan di Kawasan Padanglawas mengingat potensi yang ada.
Biarasitus cagar budaya di Kawasan Padanglawas sebaiknya dikelola oleh pemerintah Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, hal ini
cocok dengan misi dan visi masing-masing Kabupaten. Di satu sisi peninggalan biarasitus cagar budaya situs di Kawasan Padanglawas tersebut perlu mendapat
perhatian serius dari pihak-pihak terkait, sehingga biarasitus cagar budaya dan lingkungannya tidak sampai punah. Ini memang kerja berat karena harus memadukan
unsur ahli, dana, dan sikap mental masyarakat untuk melestarikannya. Namun semua akan menjadi ringan bila dikerjakan bersama-sama dengan penuh tanggungjawab.
Pengelolaan yang bertujuan untuk melestarikan ketiga unsur yang ada di Kawasan Padanglawas, yaitu kawasan; cagar budaya dan komuniti atau masyarakat
dapat dilakukan melalui konsep ekomuseum. Hal ini sesuai dengan konsep ekomuseum yang dilontarkan oleh Boylan, Davis serta Ohara yang mengatakan
adanya konsep ekomuseum terdiri atas kawasan; koleksi ekomuseum alam dan
Universitas Sumatera Utara
budaya; dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga unsur ini terdapat di Kawasan Padanglawas. Ada kawasan yang layak dijadikan sebuah ekomuseum; ada koleksi
ekomuseum alam, yaitu adanya flora dan fauna di Kawasan padanglawas, serta tinggalan 25 biarasitus cagar budaya yang tersebar. Serta ada masyarakat atau
komuniti yang tinggal dekat dengan biarasitus cagar budaya. Dari konsep ekomuseum ini memunculkan ide tentang pengelolaan Kawasan
Padanglawas dengan menggunakan sebuah model konseptual. Model konseptual ekomuseum ini merupakan hasil penelitian baru yang mengetengahkan
keterhubungan sifat holistik dari ekomuseum di Kawasan Padanglawas. Pengelolaan Ekomuseum terbagi atas beberapa klaster yang bertujuan untuk
melestarikan museum alam, pelestarian budaya lokal dan sumberdaya alam, ekowisata dan sebagai area penelitian. Pembagian klaster merupakan suatu upaya
pelestarian yang dapat dilakukan melalui zonasi dengan menggunakan batas alam; batas wilayah administratif atau dapat juga dengan batas buatan. Untuk Kawasan
Padanglawas diupayakan dikelola dengan membagi beberapa biarasitus cagar budaya menjadi klaster I dan V, dan pengelompokan dengan klaster ini merupakan wujud
perlindungan mutlak terhadap benda tinggalan budaya. Di mana klaster I mencakup Situs Batu Gana; situs Aek Korsik; situs Aek
Tolong Huta Jae; situs Lobu Dolok; situs Si Soldop; dan situs Padangbujur. Untuk klaster II terdiri dari Situs Aek Haruaya; Situs Nagasaribu; Situs Rondaman; Biara
Sitopayan I dan II; Situs Tor Na TambangMangaledang; dan Situs Gunung Tua. Klaster III terdiri dari Biara Bara; Biara Bahal I; Biara Bahal II; Biara Bahal III; Biara
Universitas Sumatera Utara
Pulo; Biara Si Pamutung; Biara Tandihat I; Biara Tandihat II; dan Biara Tandihat III. Klaster IV terdiri dari situs Porlak Dolok; situs Makam Pagaran Bira atau Makam
Keramat Jiret Mertuah; dan Biara Sangkilon I dan II. Sedangkan Biara Manggis merupakan biara yang ada di klaster V.
Dari hasil analisis mengunakan yang menggunakan GIS Geography
Information System dan GPS Geography Positioning System terlihat bahwa biarasitus cagar budaya yang terdapat di Kawasan Padanglawas didirikan di
sepanjang aliran sungai, dengan jarak antara 50 meter hingga 1000 meter. Serta sampai saat ini lokasi biarasitus cagar budaya masih jauh dari pemukiman penduduk
dan sudah ada tanaman kelapa sawit dan perkebunan penduduk. Dari klaster-klaster tersebut akan terwujud apa yang menjadi tujuan dari
manajemen ekomuseum yaitu, 1 melestarikan natural museum; 2 melestarikan budaya lokal dan sumberdaya alam; 3 mengembangkan ekowisata; dan 4
mengembangkan area penelitian.
Catatan :
1. Aek Korsik juga merupakan sebuah situs dan penelitian lebih detil belum
dilakukan. Batu-batu lempengan yang membentuk lingkaran juga dapat dijumpai di situs Batu Gana.
2. Prasasti berbahasa Sansekerta dan berhuruf Nāgari ditemukan pada Juli 1935 di
reruntuhan biara Sangkilon, salah satu isi prasasti menyebutkan catur wisma
tinetra hana empat rumah tigamata ada, menurut penulis kata tersebut merupakan sengkalan, di mana
catur punya nilai 4; wisma nilanya 1; tinetra trinetra ? nilainya 3; dan yata nilainya 1, jadi 4131, berarti angka tahun 1314
Saka = 1392 M. 3.
Arca Nandi ini sampai sekarang belum ditemukan dan belum jelas deskripsi arca tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4. Isi prasasti menceriterakan tentang adanya sawah, dan alat transportasi perahu ke
arah hilir sungai di daerah Batu Gana di Padang .... sayang tidak dapat terbaca karena aus. Serta penyebutan sima di daerah Nan Mularang kemudian nama Pu
Gwa Kudhi dan Hang Daja Kudhi, siapa kedua nama ini masih harus diteliti lebih lanjut.
5. Inti isi prasasti tentang harapan untuk seorang manusia agar merasa malu jika
melakukan sesuatu. 6.
Khatwānga oleh Meerwald dalam De Batakshe Tooverstaf dalam BKI LIV, halaman 297, disamakan dengan
tunggalpanaluan, sebuah tongkat para datu suku Batak. Pada saat upacara, datu menggunakan tongkat tunggal panaluan dan
makan pinadar, sebuah masakan daging mentah yang dibumbui dengan lada
dalam jumlah banyak. 7.
Fragmen sudut segi empat bagian dari atap rumah ini memperlihatkan bahwa dahulu di sekitar biara Bahal II terdapat rumah atau pemukiman penduduk. Juga
ada temuan pipisan yang biasanya digunakan untuk membuat jamu. 8.
Dilihat dari bentuk arsitekturnya, maka biara Bahal I, biara Bahal II; dan biara Bahal III memperlihatkan ada kemiripan.
9. Benteng tanah mengelilingi biara Si Pamutung, gundukan tanah ditata secara
sederhana dengan ketinggian antara 1 meter hingga 1,5 meter. 10.
hū hū hū he hai juga hā hā hā hā dalam prasasti Tandihat I merupakan bunyi
tawa yang diteriakkan di alam terbuka, dilakukan berulang-ulang sambil mengelilingi api unggun. Serta jika melihat situasi dan kondisi biara Tandihat II
yang memang merupakan sebuah biara di tengah daerah terbuka dan luas, serta cocok digunakan untuk suatu upacara bhairawa yang dilakukan di tempat terbuka
ksetrayaj
ňa. Menurut Stutterheim bahwa bunyi ’ha’ adalah bunyi tertawa sedangkan bunyi ’hu’ adalah bunyi dengusan banteng.
11. Kata buddha i swakarmma artinya agama Budha mengenal karma sendiri, apa
yang menjadi buah atau phala atas perbuatan umat manusia.
12. Terjemahan : Selamat tahun 1101 Saka = 1179 M, bulan wesakha waisaka =
Mei, tanggal 5, bulan gelap, hari wrhaspati hari Kamis, ketika Hulu Kambang
nama pejabat. Hanya prasasti pendek saja yang digoreskan dan terlihat bahwa prasasti ini belum selesai.
13. Duplikat arca Bhatāra Lokanātha berada di Museum Negeri Sumatera Utara. Dari
duplikat penulis dapat membaca ulang prasasti yang digoreskan di bagian alas arca.
14. Terjemahan, selamat tahun 946 Saka = 1024 M, caitra masa, bulan gelap, hari
Jumat, ketika juru pandai Suryya membuat Bhatāra Lokanātha yang merupakan
asal mula semua makluk manusia. 15.
Paradat artinya yang melakukan adat dan paruhum artinya yang melakukan hukum yang mengikuti hukum hakim.
16. Oleh van Stein Callenfels kata barbwat bagas dibaca ’babwat bakas’. Penulis
membaca ulang dan yakin bacaan tersebut ’ barbwat bagas’ yang artinya
membuat rumah.
Universitas Sumatera Utara
17. Oleh penulis dibaca ’barbwat tapah nanggang byara sang rāja’, dan oleh van
Stein Callenfels kata dibaca ’ babwat biyara paduka sri mahāraja’.
18. Misalnya temuan arca dua wanita naik gajah yang merupakan temuan di
Panyambungan, dan menurut van Stein Callenfels model seperti itu barangkali merupakan prototipe monumen kuburan orang Batak. Lihat
Oudheidkundige Verslag 1920, halaman 65.
19. Klaster analisis digunakan karena adanya persamaan antara penataan dan
kumpulan benda tinggalan budaya, jadi persamaan ini membentuk group atau klaster.
Universitas Sumatera Utara
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Padanglawas adalah daerah di pedalaman Sumatera yang mempunyai
sumberdaya budaya dan alam. Sumberdaya budaya yang dimiliki berupa tinggalan budaya yakni bangunan candi, prasasti, relief dan arca. Begitu pula
dengan sumberdaya alam dijumpai dengan adanya flora dan fauna yang beragam. Ada 25 biarasitus cagar budaya yang terdapat di Padanglawas yang
merupakan bahan penelitian dalam disertasi. Ke-25 biarasitus cagar budaya tersebar di Padanglawas seluas 7.810.79 km
2
yang tercakup dalam 2 kabupaten, yakni Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Ke-25
biarasitus merupakan tinggalan agama Hindu dan Buddha aliran Tantrayana yang dianut oleh penduduk Kawasan Padanglawas pada abad 11- 14.
Ke-25 biarasitus cagar budaya di Padanglawas mempunyai nilai penting bagi arkeologi, kebudayaan, ekonomi, pendidikan, dan kepariwsataan. Sumberdaya
alam dan budaya di Kawasan Padanglawas menanamkan pemahaman kebhinekaan, memperkokoh jati diri bangsa, menumbuhkan kebanggaan
nasional, dan mempererat persatuan bangsa. Tradisi budaya yang ada di Padanglawas yakni adanya permainan anak-anak;
pembuatan keranjang dari bahan tanaman palma; dan juga kearifan lokal tentang kebersihan di lingkungan sendiri dan di lingkungan sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara