Definisi Kesiapan dalam Menghadapi Perubahan Mekanisme Kerja

dan komputer mobile yang lebih murah dan lebih cepat serta muncul dan tumbuhnya situs jaringan sosial social networking sites. 3 Kejutan Ekonomi Economic shocks. Sektor perumahan dan keuangan baru- baru ini mengalami kejutan ekonomi yang luar biasa, menyebabkan adanya eliminasi, kebangkrutan, atau akuisisi dari beberapa perusahan terkenal di Amerika. Puluhan ribu pekerjaan hilang dan tidak pernah kembali. Setelah bertahun-tahun turunnya jumlah kebangkrutan, resesi global menyebabkan bangkrutnya beberapa produsen mobil, pengecer, dan beberapa organisasi lainnya. Contohnya seperti bangkit dan jatuhnya pasar perumahan global dan keruntuhan sektor finansial serta resesi global. 4 Kompetisi. Kompetisi adalah berubah. Kompetitor dapat muncul dari mana saja. Organisasi yang berhasil akan cepat tanggap, mampu mengembangkan produk baru dan memasarkannya dengan cepat. Dengan kata lain, mereka akan fleksibel dan akan membutuhkan dunia kerja yang responsif dan fleksibel pula. Contohnya seperti kompetitor global, merger dan konsolidasi, serta meningkatnya regulasi perdagangan pemerintah. 5 Tren Sosial. Tren sosial tidak tetap statis. Konsumen yang biasanya saling tidak mengenal, sekarang bertemu dan berbagi informasi produk di dalam ruang chat atau halaman blog. Institusi harus terus-menerus menyesuaikan produk dan strategi pemasaran untuk lebih sensitif terhadap perubahan tren sosial. Contohnya seperti meningkatnya kesadaran lingkungan dan lebih banyak konektivitas dan multitasking. 6 Politik Dunia. Pendukung terkuat globalisasi bahkan tidak dapat membayangkan bagaimana politik dunia akan berubah dalam beberapa tahun mendatang. Kita telah melihat seperangkat krisis finansial besar yang telah mengguncang pasar global, peningkatan yang dramatis dalam kekuatan dan pengaruh dari Cina, dan guncangan dramatis pada pemerintah sepanjang dunia Arab. Melalui dunia industrialisasi, bisnis telah berada pada pengawasan baru, terutama pada sektor perbankan dan finansial. Perubahan organisasi terdiri dari dua tipe, yaitu perubahan internal yang juga merupakan perubahan terencana, dan perubahan eksternal yang juga merupakan perubahan tidak terencana. 1. Perubahan Internal Perubahan internal juga merupakan perubahan yang terencana. Perubahan terencana adalah aktifitas perubahan yang disengaja dan berorientasi tujuan . Tujuan dari perubahan terencana yaitu berusaha untuk meningkatkan kemampuan dari organisasi untuk beradaptasi pada perubahan di lingkungannya dan juga berusaha untuk mengubah perilaku pegawai Robbins Judge, 2012. Intensi dari perubahan terencana biasanya positif. Perubahan terencana bermula dari dalam organisasi dan melibatkan perubahan yang bertujuan meraih hal-hal yang sebelumnya belum dapat diraih atau meraih tujuan dengan lebih efektif, lebih efisien, atau lebih memuaskan. Perubahan terencana melibatkan tahap-tahap terencana yang diambil dari inisiatif dari organisasi itu sendiri. Perubahan dapat digunakan sebagai respon untuk mengatasi masalah yang ada. Jika perubahan direncanakan dalam konteks tujuan ini, maka konsumen, pemegang kekuasaan, pegawai, dan publik dapat mengambil manfaat dari hasil perubahan. Semua kelompok dapat mengambil manfaat secara bersamaan. Namun, ada kalanya ketika perubahan dapat muncul sebagai manfaat hanya untuk satu kelompok saja Harris Hartman, 2002. 2. Perubahan Eksternal Ada waktunya ketika perubahan disebut sebagai hasil dari faktor eksternal dari organisasi. Perubahan tersebut mungkin hasil dari faktor ekonomi, teknologi, hukum, atau sosial. Faktor-faktor ini sering manghasilkan perubahan tak terencana, yaitu perubahan yang tidak terprediksi Harris Hartman, 2002. Kondisi ekonomi dapat menyebabkan pekerjaan diciptakan atau dihilangkan. Pegawai baru dipekerjakan atau pegawai lama diberhentikan. Organisasi mengalami downsizing atau organisasi melakukan merger. Sumber daya dikuras habis atau surplus diciptakan. Lama pegawai bekerja lebih sedikit atau individu dibutuhkan untuk bekerja melebihi waktu yang mereka inginkan. Beberapa perkembangan teknologi akhir-akhir ini, seperti komputer, memiliki dampak yang signifikan di tempat kerja. komputer dapat mendesain, mengamati, dan mengatur proses kerja dalam cara yang hampir tanpa batas. Komputer telah diinstal pada robot, yang mana mengganti buruh manusia di berbagai tempat. Komunikasi menjadi cepat dan instan pada basis seluruh dunia Harris Hartman, 2002. Psikolog Kurt Lewin dalam Schermerhorn, et al., 2002 menyatakan bahwa usaha perubahan apapun dipandang sebagai proses dengan tiga fase yang berbeda, yaitu unfreezing, changing, dan refreezing, semuanya harus dijalankan dengan baik agar perubahan dapat berhasil. Ia juga menyatakan bahwa kita dapat menjadi asyik dengan fase changing dan mengabaikan pentingnya fase unfreezing dan freezing. 1. Fase Unfreezing Pada model Lewin, unfreezing adalah tanggung jawab manajerial dalam mempersiapkan situasi untuk berubah. Ini melibatkan pembuktian sikap dan perilku yang keliru untuk membuat perasaan ingin sesuatu yang baru. Unfreezing difasilitasi oleh tekanan lingkungan, kinerja yang menurun, pengenalan masalah, atau kesadaran bahwa orang lain telah menemukan cara yang lebih baik, dan hal lainnya. Banyak perubahan yang tidak pernah dicoba atau mereka gagal hanya karena dimulai dengan situasi yang tidak ‘dicairkan’ dengan benar. Ketika manajer gagal untuk mengawasi lingkungan mereka, menyadari tren yang penting, atau merasakan kebutuhan untuk berubah, organisasi mereka pelan-pelan dapat menderita dan menghilangkan sisi kompetitif mereka. Walaupun ada sinyal yang menunjukan bahwa perubahan dibutuhkan, mereka tidak sadar atau memberikan perhatian khusus hingga semuanya terlambat. Sebaliknya, organisasi yang terbaik dipimpin oleh orang-orang yang selalu waspada dan memahami pentingnya “unfreezing” dalam proses perubahan. 2. Changing Tahap changing melibatkan pengambilan tindakan untuk memodifikasi situasi dengan mengubah hal-hal, seperti orang, tugas, struktur, atau teknologi dari organisasi. Lewin mempercayai bahwa banyak agen perubahan cenderung pada perangkap kegiatan. Mereka memotong tahap unfreezing dan mulai mengubah hal-hal secara premature atau terlalu cepat. Walaupun intensi mereka mungkin benar, namun situasinya belum disiapkan untuk perubahan dengan benar. Hal ini sering menyebabkan kegagalan. Mengubah sesuatu cukup sulit dalam situasi apaun, apalagi tanpa fondasi yang kuat. 3. Refreezing Tahap akhir dari proses perubahan terencana adalah refreezing. Dirancang untuk mempertahankan momentum dari suatu perubahan dan pada akhirnya dilembagakan sebagai bagian dari rutin normal, refreezing mengamankan manfaat penuh dari perubahan yang tahan lama. Refreezing melibatkan penguatan secara positif hasil yang dinginkan dan menyediakan dukungan lebih ketika menghadapi kesulitan. Ini melibatkan evaluasi kemajuan dan hasil, dan menilai biaya dan manfaat dari perubahan. Hal ini membolehkan dibuatnya modifikasi dalam perubahan untuk meningkatkan keberhasilan dari waktu ke waktu. Ketika semuanya tidak selesai dan tahap refreezing dilupakan, perubahan sering diabaikan setelah waktu yang singkat atau tidak diimplementasikan secara utuh. B. Definisi Kesiapan dalam Menghadapi Perubahan Kesiapan, yang mana serupa dengan konsep unfreezing dari Lewin, direfleksikan pada kepercayaan, sikap, dan intensi anggota organisasi mengenai jangkauan dimana perubahan dibutuhkan dan kapasitas organisasi untuk membuat perubahan tersebut berhasil. Kesiapan adalah pelopor kognitif terhadap perilaku, baik resisten atau mendukung usaha perubahan Armenakis, et al., 1993. Sedangkan menurut Hanpachern dalam Holt, 2003, kesiapan dalam menghadapi perubahan adalah tingkat dimana individu secara mental, psikologis, dan fisiknya rela dan siap untuk berpartisipasi dalam aktivitas perkembangan organisasi. Menurut Holt, et al. dalam Rafferty, et al., 2013, kesiapan akan perubahan adalah jangkauan dimana secara kognitif dan secara emosional cenderung untuk menerima, merangkul, dan mengadopsi rencana khusus yang dengan sengaja mengubah keadaan yang tetap. Sedangkan menurut Eby, et al. dalam Rafferty, et al., 2013, kesiapan akan perubahan dikonseptualisasikan dalam istilah persepsi individual mengenai aspek khusus dari lingkungannya— jangkauan dimana organisasi dirasakan siap mengambil perubahan yang berskala besar. Kesiapan akan perubahan organisasi merefleksikan kenyataan penafsiran yang unik dari individual mengenai organisasi. Kesiapan melibatkan kebutuhan akan perubahan yang terlihat, perasaan kemampuan seseorang untuk mencapai perubahan dengan berhasil dan suatu kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perubahan Cunningham, et al., dalam Rafferty, et al., 2013. Menurut Jones, et al., dalam Rafferty, et al., 2013, gagasan dari kesiapan akan perubahan dapat didefinisikan sebagai jangkauan dimana pegawai memegang pandangan positif mengenai kebutuhan akan perubahan organisasi contohnya penerimaan perubahan, serta jangkauan dimana pegawai mempercayai bahwa perubahan tersebut mungkin memiliki implikasi positif untuk diri mereka dan organisasi yang lebih luas. Hanpachern dalam Holt, 2003 mengimplikasikan bahwa kesiapan dapat dievaluasikan dengan menilai intensi spesifik dari target perubahan untuk ikut terlibat dari perilaku mendukung atau menghalangi perubahan. Hanpachern mengukur sejauh mana responden bersedia untuk promote memajukanmempromosikan, participate in ikut berpartisipasi, atau or resist menentang perubahan organisasi. Berdasarkan definisi kesiapan dalam menghadapi perubahan dari berbagai tokoh yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesiapan dalam menghadapi perubahan adalah jangkauan dimana secara kognitif dan secara emosional rela dan siap untuk mencapai perubahan dengan berhasil dan berpartisipasi dalam proses perubahan. Dengan kesimpulan yang telah dipaparkan, maka definisi tentang kesiapan dalam menghadapi perubahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dari Hanpachern dalam Holt, 2003, yang menjelaskan bahwa kesiapan dalam menghadapi perubahan adalah tingkat dimana individu secara mental, psikologis, dan fisiknya rela dan siap untuk berpartisipasi dalam aktivitas perkembangan organisasi. 2.1.2 Dimensi dan Pengukuran Kesiapan dalam Menghadapi Perubahan Menurut Hanpachern dalam Holt, 2003 dimensi-dimensi dari kesiapan dalam menghadapi perubahan adalah 1 promoting change, dimana individu mempromosikan dan memajukan program-program perubahan yang terjadi; 2 participating change, dimana individu ikut berpartisipasi dalam program perubahan; dan 3 resisting change, dimana individu enggan dan menunjukkan resistensi untuk ikut berubah. Untuk mengetahui kesiapan dalam menghadapi perubahan pada individu dapat digunakan beberapa alat ukur. Salah satunya adalah The Readiness for Change Questionaire milik Holt 2003. Alat ukur lainnya adalah The Readiness for Change Scale yang digunakan untuk mengukur perubahan . Skala ini dikembangkan oleh Hanpachern 1997. Skala ini berisi 14 item yang bertujuan untuk mengukur tiga dimensi dari kesiapan menghadapi perubahan, yaitu promoting change, participating change, dan resisting change. Inti dari skala ini adalah respon-respon individu pada item-item pada skala ini merefleksikan sejauh mana responden bersedia untuk memudahkan proses perubahan yang terjadi. Dalam penelitian ini digunakan alat ukur dari Hanpachern 1997 sesuai dengan teori dari Hanpachern mengenai kesiapan dalam menghadapi perubahan.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesiapan dalam Menghadapi

Perubahan Kanter dalam Hanpachern, 1998 menyatakan bahwa untuk partisipasi perubahan yang sesuai, penting untuk memiliki individu yang ingin dan siap untuk terlibat dalam proses. Metode partisipatif tampaknya akan berhasil hanya ketika orang- orang terbuka dan siap akan perubahan. McNabb dan Sepic dalam Hanpachern, 1998 menyatakan bahwa budaya organisasi dan iklim operasi mempengaruhi kesiapan menghadapi perubahan. Rafferty, et al., 2013 mengungkapkan bahwa evaluasi keseluruhan dari seorang individu bahwa ia siap untuk menghadapi perubahan organisasi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Keyakinan individu a bahwa perubahan itu diperlukan, b bahwa ia memiliki kemampuan untuk berhasil dalam melaksanakan perubahan, dan c bahwa perubahan akan memiliki hasil yang positif bagi pekerjaannya. 2. Tanggapan emosional afeksi yang positif saat ini dan yang berorientasi pada masa depan terhadap suatu perubahan tertentu. Dari ulasan yang dilakukan oleh Rafferty, et al., 2013 diungkapkan anteseden dari kesiapan untuk berubah secara kognitif dan afektif. Pada analisis tingkat individual, ulasan mereka mengusulkan bahwa penggunaan yang efektif dari proses manajemen perubahan, mencakup komunikasi, partisipasi, dan kepemimpinan, akan berhubungan secara positif dengan keyakinan positif mengenai perubahan dan dengan afek positif tentang perubahan, yang mana akan berkontribusi kepada evaluasi keseluruhan yang positif pula bahwa seseorang siap dalam menghadapi perubahan. Selain itu, ulasan ini juga mengindikasikan bahwa karyawan yang menampilkan ciri psikologis yang positif contohnya konsep diri yang positif dan toleransi terhadap resiko akan melaporkan lebih banyak keyakinan positif dan respon afektif terhadap perubahan, yang mana akan berkontribusi pada penilaian evaluatif keseluruhan yang positif pula bahwa seseorang siap dalam menghadapi perubahan.

2.2 Persepsi Kepemimpinan Transformasional

2.2.1 Definisi Persepsi Kepemimpinan Transformasional

A. Definisi Persepsi

Perilaku di tempat kerja tidak hanya merupakan hasil dari kebutuhan dan dorongan dari orang-orang yang terlibat, melainkan juga hasil dari persepsi mereka. Pegawai memiliki persepsi mengenai diri mereka sendiri, orang-orang di sekitar mereka, peran-peran yang dimainkan, dan sebagainya. Persepsi-persepsi ini mempengaruhi pandangan dan tindakan para pegawai. Harris dan Hartman 2002 mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman sensori dimana seorang individu mengamati suatu perilaku, peristiwa, atau kondisi, kemudian membentuk intrpretasi dari faktor-faktor yang diamati tersebut, dan selanjutnya membangun sikap serta membolehkan observasi terebut sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku individu tersebut. Persepsi diraih dari semua aspek dari lingkungan individu, seperti diri sendiri, orang lain, komponen produksi, pelanggan, masyarakat umum, dan sebagainya. Objek di lingkungan dapat berubah secara terus menerus, maka dari itu persepsi pasti terus terjadi pembaruan. Menurut Robbins dan Judge 2012, persepsi adalah proses dimana individu-individu mengatur dan menginterpretasikan impresi sensori mereka untuk memberikan arti pada lingkungannya. Walaupun begitu, apa yang kita persepsikan pada hakekatnya dapat berbeda dari kenyataan objektifnya. Sedangkan menurut Schermerhorn, et al., 2002, persepsi adalah proses dimana orang-orang memilih, mengatur, menginterpretasikan, mendapatkan kembali, dan merespon pada informasi-informasi di sekitar mereka. Persepsi adalah jalan untuk membentuk impresi mengenai diri sendiri, orang lain, dan pengalaman hidup sehari-hari. Persepsi juga berfungsi sebagai saringan dimana informasi-informasi datang sebelum persepsi tersebut memiliki efek pada orang- orang. Karena persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, orang yang berbeda mungkin memberikan persepsi yang berbeda pula pada suatu situasi yang sama. Sejak orang-orang berperilaku berdasarkan persepsi mereka, konsekuensi dari perbedaan ini dapat berpengaruh besar pada apa yang terjadi nantinya. Berdasarkan dari definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses dimana individu mengamati suatu perilaku, peristiwa, atau kondisi untuk memberikan impresi mengenai diri sendiri, orang lain, dan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam penelitian ini, yang dipersepsikan adalah kepemimpinan transformasional pimpinan di IAIN Sultan Thaha Saifudin Jambi.

B. Definisi Kepemimpinan

Robbins dan Judge 2012 mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian dari visi atau seperangkat tujuan. Organisasi membutuhkan kepemimpinan dan manajemen yang kuat untuk efektifitas yang optimal. Saat ini dibutuhkan pemimpin untuk menantang keadaan yang tetap, menciptakan visi masa depan, dan menginspirasi anggota organisasi untuk ingin mencapai visi tersebut. Juga dibutuhkan manajer untuk membuat rencana yang detail, menciptakan struktur organisasi yang efisien, dan mengawasi operasional dari hari ke hari. Bavelas dalam Sadler, 2003 menggambarkan perbedaan antara kepemimpinan sebagai proses dan kepemimpinan sebagai kualitas pribadi. Namun, ada arti lainnya; kepemimpinan juga sebagai suatu peran dalam kelompok dan organisasi dan dapat juga mengacu pada orang-orang yang bertanggung jawab

Dokumen yang terkait

Gambaran Persepsi Terhadap Kepemimpinan Transformasional pada Pimpinan Organisasi Pujakesuma Langkat

1 28 135

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Perkebunan Nusantara III Distrik Deli Serdang 2 (Dser2) Sei Karang

8 73 85

Pengaruh gaya kepemimpinan transformasional, motivasi kerja dan komitmen organisasi terhadap kepuasan kerja

6 68 155

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN KEPUASAN KERJA Hubungan Antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan Kepuasan Kerja.

0 3 16

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL, LINGKUNGAN KERJA, MOTIVASI DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP Pengaruh Kepemimpinan Transformasional, Lingkungan Kerja, Motivasi dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BMT

0 2 15

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL, LINGKUNGAN KERJA, MOTIVASI DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA Pengaruh Kepemimpinan Transformasional, Lingkungan Kerja, Motivasi dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (K

0 0 16

Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Inovasi Organisasi.

3 10 16

Hubungan antara persepsi terhadap dukungan organisasi dan sikap resistensi pegawai dalam menghadapi perubahan organisasi.

0 1 141

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN UMUM DAMRI.

0 0 122

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL, BUDAYA ORGANISASI, DAN KETERLIBATAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN

0 0 10