FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KECAMATAN WANASARI KABUPATEN BREBES

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN

PERKOTAAN DI KECAMATAN WANASARI

KABUPATEN BREBES

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Universitas Negeri Semarang

Oleh Agus Nurfauzi NIM 7101411231

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2016


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada:

Hari : Senin


(3)

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang pada:

Hari : Jum’at


(4)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Apabila dikemudian hari terbukti skripsi ini adalah hasil jiplakan dari karya tulis orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Semarang, Januari 2016

Agus Nurfauzi NIM 7101411231


(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua (Aristoteles).

Persembahan

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. 2. Kedua Orang Tuaku yang selalu

mengajari berdoa dan bersemangat. 3. Adik-Adikku, Taufik dan Zulfa. 4. Guru-Guruku #TerimakasihGuru. 5. Almamaterku, Universitas Negeri


(6)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Semesta Alam, Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya,

sehingga penulis dengan sabar dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Di Kecamatan Wanasari Kabupaten

Brebes” ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan

Ekonomi di Universitas Negeri Semarang.

Atas segala bantuan yang diberikan untuk penyelesaian penulisan skripsi ini, maka penulis dengan tulus hati menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan studi di Universitas Negeri Semarang.

2. Dr. Wahyono, M.M., Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dan studi dengan baik.

3. Dr. Ade Rustiana, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Ekonomi yang telah memberikan bantuan dalam proses ijin penelitian.

4. Dra. Yustina Sri Aminah, Dosen Pembimbing yang tak terhingga mengarahkan, dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi.

5. Drs. Syamsu Hadi, M.Si., Dosen Penguji I yang telah memberikan kritik, saran dan arahan.


(7)

6. Dra. Harnanik, M.Si., Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik, saran dan arahan.

7. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bekal ilmu yang tak ternilai harganya. 8. Kepala DPPK Kabupaten Brebes beserta perangkatnya, yang telah

memberikan kemudahan administrasi dalam perijinan penelitian, khususnya Mba Ian dan Mas Iwenk yang telah membantu kelengkapan data penelitian. 9. Camat Wanasari beserta perangkatnya yang telah memberikan kemudahan

ijin penelitian, khususnya Pak H. Casroni, Pak Heri, dan Pak Darmanto. 10.Keluarga besar Kopma Unnes, Teman-teman Pendidikan Ekonomi Koperasi

2011, Relawan Turun Tangan, Bapak/Ibu PPL SMANTANG 2014 (khusus Trio PPL SMANTANG), KKN Ngempon 2014, Mataram Kos, serta Sahabat-Sahabat Hebatku (Adi, Adit) terima kasih kebersamaannya selama ini.

11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Harapan Penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, pembaca dan semua pihak yang memerlukan.

Semarang, Januari 2016


(8)

SARI

Nurfauzi, Agus. 2016. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaaan di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes”. Skripsi. Pendidikan Ekonomi. Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: Dra.Y.Sri Aminah.

Kata kunci: SPPT, Pelayanan Perpajakan, Kesadaran Wajib Pajak, Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Faktor-fakor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak diantaranya SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) Apakah SPPT mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan? (2) Apakah pelayanan perpajakan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan? (3) Apakah kesadaran wajib pajak mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan? (4) Apakah SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak secara simultan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 55.028 Wajib Pajak. Teknik pengambilan sampel adalah Proportionate Stratified Random Sampling dengan sampel 104 wajib pajak. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode kuesioner dan dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif persentase, uji asumsi klasik dan regresi linier berganda dengan bantuan program SPSS.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif persentase menunjukkan SPPT dalam kriteria kurang baik dengan persentase 67,83%, pelayanan perpajakan kriteria baik (68,46%), kesadaran wajib pajak kriteria baik (74,50%) dan kepatuhan wajib pajak kriteria baik(79,74%). Secara simultan ada pengaruh yang signifikan dari variabel SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dengan kontribusi 58,5%. Hasil pengujian hipotesis secara simultan menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima dengan harga signifikansi sebesar 0,000.

Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa ada pengaruh yang signifikan baik secara parsial maupun simultan variabel SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB-P2. Saran dari penulis adalah untuk instansi terkait yaitu Dinas Pendapatan dan Penggelolaan Keuangan Kabupaten Brebes untuk meningkatkan keakuratan data pada SPPT, mempertahankan serta meningkatan pelayanan perpajakan PBB-P2 terhadap Wajib Pajak baik itu petugas pajak yang bekerja di wilayah kecamatan atau kelurahan/desa. Mengadakan sosialisasi atau penyuluhan perpajakan secara


(9)

pajak/masyarakat akan penting membayar pajak sesuai tepat jumlah dan tepat waktu.


(10)

ABSTRACT

Nurfauzi, Agus. 2016. “Factors that Influence Taxpayer Complianc in Paying

Land Taxes Rural and Urban Building in Wanasari Sub district Brebes Regency”.

Final Project. Economic Education. Faculty of Economics. Semarang State University. Supervisor: Dra. Y. Sri Aminah.

Keywords: SPPT, Taxation Services, Taxpayer Awareness, Taxpayer Compliance.

Taxpayer Compliance is a condition in which the taxpayer fulfills all tax obligations and the right of taxation. The factors which affect the tax compliance are SPPT, taxation services and taxpayer awareness. The problems of this study are: (1) Does SPPT affect taxpayer compliance in paying rural and urban property tax? (2) Does the taxation service affect taxpayer compliance in paying rural and urban property tax? (3) Does the taxpayer awareness affect taxpayer compliance in rural and urban property tax? (4) Does the SPPT, taxation services and awareness simultaneously of taxpayers on tax compliance in paying rural and urban property tax?

The population in this study amounted to 55.028 taxpayers. The sampling technique which used is Proportionate Stratified Random Sampling with 104 samples of taxpayers. The method which is used to collect the data is a questionnaire method and documentation. The analysis method which used is descriptive analysis percentage, classical assumption test and multiple linear regression with SPSS.

Based on the descriptive analysis percentage, the result showed that the percentage of SPPT in not good criteria was 67.83%, a good tax service criteria (68.46%), awareness taxpayer in good criteria (74.50%) and tax compliance in good criteria (79.74 %). Simultaneously, there was a significant effect of the SPPT variable, taxation services and taxpayer awareness on taxpayer compliance with the contribution of 59.7%. Simultaneous hypothesis testing result showed that Ho is rejected and Ha is accepted with 0.000 significance.

The Conclusions of this research is that there is a significant influence either partially or simultaneously variable of SPPT, taxation services and awareness taxpayers on compliance taxpayers in paying PBB-P2. Sugestions from the author for the relevant agencies, Department of Revenue and Financial Management Brebes district is improving the accuracy of SPPT data, defending and increasing the taxation services PBB-P2 Tax to the taxpayer either tax officers whom work in the districts. The socialization or counseling taxation intensively and continuously to increase understanding and awareness of the taxpayer/community will be important to pay appropriate taxes right amount and righ time.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KEULUSAN... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... viii

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 13

1.3 Tujuan Penelitian... 13

1.4 Manfaat Penelitian... 14

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.4.2 Manfaat Praktis ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

2.1 Teori Atribusi ... 15

2.2 Pajak ... 16

2.2.1 Pengertian Pajak ... 16

2.2.2 Fungsi Pajak ... 17

2.2.3 Syarat Pemungutan Pajak ... 17

2.2.4 Teori Pemungutan Pajak ... 18

2.2.5 Prinsip Pemungutan Pajak ... 19


(12)

2.2.7 Jenis Pajak ... 21

2.3 Pajak Bumi dan Bangunan ... 22

2.3.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ... 22

2.3.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan ... 23

2.3.3 Subjek Pajak ... 23

2.3.4 Objek Pajak ... 24

2.3.5 DasarPengenaanPajak ... 25

2.3.6 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ... 26

2.3.7 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ... 27

2.3.8 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) ... 27

2.4 Kepatuhan Wajib Pajak ... 28

2.4.1 Pengertian Kepatuhan ... 28

2.4.2 Jenis-Jenis Kepatuhan ... 29

2.4.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak ... 30

2.5 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ... 30

2.6 Pelayanan Perpajakan ... 32

2.7 Kesadaran WajibPajak ... 35

2.8 Penelitian Terdahulu ... 36

2.9 Kerangka Berfikir ... 38

2.10 Hipotesis Penelitian ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 43

3.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 43

3.2 Populasi, dan Sampel Penelitian ... 43

3.2.1 Populasi Penelitian ... 43

3.2.2 Sampel Penelitian ... 44

3.3 Variabel Penelitian ... 46

3.3.1 Variabel Bebas atau Variabel Independen (X) ... 46

3.3.2 Variabel Terikat atau Variabel Dependen (Y) ... 49


(13)

3.4.1 Metode Dokumentasi ... 50

3.4.2 Metode Angket atau Kuesioner ... 50

3.5 Analisis Instrumen Penelitian... 52

3.5.1 Validitas Instrumen ... 52

3.5.2 Reliabilitas Instrumen ... 53

3.6 Metode Analisis Data ... 55

3.6.1 Analisis Statistik Deskriptif Persentase ... 55

3.6.2 Uji Asumsi Klasik ... 57

1. Uji Normalitas ... 57

2. Uji Multikolonieritas ... 58

3. Uji Heteroskedastisitas ... 58

3.6.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 59

3.6.4 Pengujian Hipotesis Penelitian ... 60

1. Uji Parsial (Uji t) ... 60

2. Uji Simultan (Uji F) ... 60

3. Koefisien Determinasi (Uji R2) ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

4.1 Hasil Penelitian ... 62

4.1.1 Analisis Statistik Deskriptif Persentase ... 62

1. Kepatuhan Wajib Pajak ... 62

2. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) ... 66

3. Pelayanan Perpajakan ... 74

4. Kesadaran Wajib Pajak ... 81

4.1.2 Uji Asumsi Klasik ... 87

1. Uji Normalitas ... 87

2. Uji Multikolinieritas ... 88

3. Uji Heteroskedastisitas ... 88

4.1.3 Analisis Regresi Linier Berganda ... 90

4.1.4 Pengujian Hipotesis Penelitian ... 91


(14)

3. Koefisien Determinasi (R2)... 94

4.2 Pembahasan ... 95

4.2.1 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 95

4.2.2 Pelayanan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 97

4.2.3 Kesadaran Wajib Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 98

4.2.4 Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 99

BAB V PENUTUP ... 102

5.1 Simpulan... 102

5.2 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Pajak 2011-2014 (triliun rupiah) ... 2

Tabel 1.2 Ketetapan dan Realisasi Penerimaan PBB Kabupaten Brebes... 6

Tabel 1.3 Daftar Penerimaan PBB-P2 Kecamatan Wanasari 2011-2015 ... 8

Tabel 2.1 PenelitianTerdahulu yang Relevan dengan Penelitian ... 35

Tabel 3.1 Populasi Penelitian Berdasarkan Buku Ketetapan Pajak ... 42

Tabel 3.2 Penentuan Sampel Penelitian Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ... 44

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 52

Tabel 3.4 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 54

Tabel 3.5 Kriteria SPPT, Pelayanan Perpajakan, Kesadaran Wajib Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak ... 57

Tabel 4.1 Hasil Deskriptif Persentase Variabel Kepatuhan Wajib Pajak... 64

Tabel 4.2 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Membayar Pajak sesuai dengan Kewajiban/Jumlah Pajak Terutang ... 65

Tabel 4.3 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tepat Waktu dalam Membayar Pajak Sebelum Jatuh Tempo ... 66

Tabel 4.4 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tidak Mempunyai Tunggakan Pajak ... 67

Tabel 4.5 Hasil Deskriptif Persentase Varibel SPPT ... 68

Tabel 4.6 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Data Wajib Pajak pada SPPT . 69 Tabel 4.7 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Luas Tanah pada SPPT ... 70

Tabel 4.8 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Luas Bangunan pada SPPT .... 71

Tabel 4.9 Hasil Deskriptif Persentase Indikator NJOP Tanah pada SPPT ... 72


(16)

Tabel 4.11 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tempat Pembayaran Pajak

yang Tertera di SPPT ... 74

Tabel 4.12 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Tanggal Jatuh Tempo yang Tertera pada SPPT ... 75

Tabel 4.13 Hasil Deskriptif Persentase Variabel Pelayanan Perpajakan ... 76

Tabel 4.14 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Mekanisme Penyampaian SPPT ... 77

Tabel 4.15 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Mekanisme Pembayaran SPPT ... 78

Tabel 4.16 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Pelayanan Petugas saat Wajib Pajak Membayar ... 79

Tabel 4.17 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Fasilitas Pendukung dalam Pembayaran ... 80

Tabel 4.18 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kecapatan dan Ketanggapan Petugas Pajak dalam menghadapi Keluhan Wajib Pajak ... 81

Tabel 4.19 Hasil Deskriptif Persentase Variabel Kesadaran Wajib Pajak ... 82

Tabel 4.20 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kesadaran akan Manfaat Pajak 83 Tabel 4.21 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Penundaan Pembayaran Pajakakan Sangat Merugikan Negara ... 84

Tabel 4.22 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kesadaran Wajib Pajak Mengenai Pengenaan PBB-P2 ... 85

Tabel 4.23 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Kesadaran Wajib Pajak untuk Memenuhi Kewajiban Pajak ... 86

Tabel 4.24 Hasil Deskriptif Persentase Indikator Pajak merupakan Bentuk Partisipasi Pembangunan Negara ... 87

Tabel 4.25 Uji Normalitas ... 88

Tabel 4.26 Uji Multikolinieritas ... 90

Tabel 4.27 Ikhtisar Output Regresi Linier Berganda ... 92

Tabel 4.28 Hasil Uji t ... 94


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir ... 39 Gambar 4.1 Scatter Plot Uji Heteroskedastisitas ... 91


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kisi-Kisi Kuesioner Penelitian ... 110

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ... 111

Lampiran 3. Uji Validitas ... 115

Lampiran 4. Uji Reliabilitas ... 119

Lampiran 5. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 120

Lampiran 6. Analisis Deskriptif Persentase Variabel ... 123

Lampiran 7. Tabulasi Skor Variabel Kepatuhan Wajib Pajak ... 126

Lampiran 8. Tabulasi Skor Variabel SPPT ... 129

Lampiran 9. Tabulasi Skor Variabel Pelayanan Perpajakan ... 132

Lampiran 10. Tabulasi Skor Variabel Kesadaran Wajib Pajak ... 135

Lampiran 11. Hasil Output SPSS ... 138

Lampiran 12. Surat Ijin Penelitian ... 142


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah salah satu negara yang dikategorikan sebagai negara yang berkembang di dunia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sisi, diantaranya pembangunan. Pembangunan ini bisa berupa pembangunan fisik dan pembangunan non fisik. Dimana setiap pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak terlepas dari dana yang dimiliki oleh setiap negara ataupun daerah. Pembiayaan pembangunan ini direalisasikan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pendapatan dalam negeri dalam struktur APBN terdiri atas penerimaan pajak, dan PNBP, serta penerimaan hibah. Penerimaan bukan pajak contohnya seperti pemanfaatan sumber daya alam (migas), pelayanan oleh pemerintah, pengelolaan kekayaan negara, dan lain-lain yang perolehan dan sifatnya tidak stabil serta terbatas sehinga tidak bisa menjadi penerimaan utama oleh negara. Hal ini berbeda dengan pajak, sumber penerimaan ini mempunyai umur yang tidak terbatas.

Penerimaan pajak merupakan pemasukan dana yang paling potensial bagi negara karena pajak seiring dengan struktur dan kualitas penduduk, perekonomian, stabilitas sosial ekonomi dan politik. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling penting selain sumber penerimaan lainnya. Pajak mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi budgetair yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dan fungsi


(20)

regulerend yang digunakan untuk mengatur kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Hal ini menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara dalam menunjang kegiatan perekonomian, menggerakkan roda pemerintahan, dan penyedia fasilitas umum bagi masyarakat.

Kontribusi pajak dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat. Penerimaan pajak pada periode 2011-2014 mengalami peningkatan dari Rp 873,9 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 1.143 triliun pada tahun 2014. Peningkatan penerimaan pajak tahun 2011-2014 dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini:

Tabel 1.1

Realisasi Penerimaan Pajak 2011-2014 (triliun rupiah)

Tahun APBN-P Realisasi Persentase

2011 878,7 873,9 99,4%

2012 1.016,2 980,5 96,5%

2013 1.148,4 1.077,3 93,8%

2014 1.246,1 1,143,3 91,7%

Sumber: Nota Keuangan dan APBN 2012-2015

Berdasarkan Tabel 1.1 di atas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan pajak sampai 31 Desember 2014 dalam APBN-P 2014 realisasi mencapai Rp 1.143,3 triliun dari target Rp 1.246,1 triliun. Jika dilihat dari persentasenya, realisasi ini menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 91,7%. Dibandingkan pencapaian APBN dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dimana realisasi APBN-P 2013 mencapai Rp 1.077,3 triliun dari target Rp 1.148,4 triliun dengan persentase 93,8%, realisasi APBN-P 2012 adalah Rp 980,5 triliun dari target Rp 1.016,2 dengan persentase 96,5%, realisasi APBN-P 2011 adalah Rp 873,9 triliun dari target Rp 878,7 triliun dengan persentase 99,4%.


(21)

Penentuan target penerimaan yang sangat tinggi dan selalu meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun merupakan salah satu bukti, bahwa pajak merupakan primadona bagi sumber pendapatan Negara. Kita bisa lihat setiap tahunnya, pajak menyumbang persentase paling besar. Dominasi pajak dari tabel diatas sebagai sumber penerimaan merupakan satu hal yang sangat wajar, terlebih ketika sumber daya alam, khususnya minyak bumi dan gas tidak lagi bisa diandalkan.

Hingga 31 Juli 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 531,114 Triliun. Dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai ABPN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258 Triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai 41,04 %. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014, realisasi penerimaan pajak di tahun 2015 ini mengalami pertumbuhan yang cukup baik di sektor tertentu, namun juga mengalami penurunan pertumbuhan di sektor lainnya (pajak.go.id 01/08/2015 diakses 15/08/2015).

Pemerintah pada tahun ini berupaya secara terus menerus untuk meningkatkan penerimaaan dalam negeri dari sektor pajak untuk memenuhi kebutuhan APBN-P 2015. Salah satu upaya pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan reformasi perpajakan yaitu dengan menetapkan tahun pembinaan pajak. Pemerintah lewat Menteri Keuangan wawancara dengan Kompas, dilansir Edisi 2 Mei 2015 Hal. 17 mengatakan bahwa “Kita sepakat tahun ini adalah tahun reformasi pajak. Tahun ini adalah tahun pembinaan, yaitu kita memberikan insentif kepada wajib pajak. Kalau Anda membayar kekurangan pajak selama 5


(22)

sendiri akan tetapi perlu juga peran serta masyarakat sebagai wajib pajak. Peran serta tersebut yakni dalam bentuk kepatuhan dalam membayar kewajiban perpajakan.

Menurut Devano dan Rahayu (2006:112) menyatakan bahwa,

“Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi negara maju maupun negara berkembang karena jika wajib pajak tidak patuh maka dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, dan pelalaian pajak yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan

berkurang”.

Kesadaran untuk membayar pajak tidak tumbuh di masyarakat, disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah dalam pelaksanaan perpajakan. Sampai sekarang masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pajak merupakan pungutan bersifat paksaan yang merupakan hak istimewa pemerintah dengan tidak memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajak. Menurut Machfud Sidik dalam Devano dan Rahayu (2006:110): “Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance) merupakan tulang punggung sistem self assessment, di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya

tersebut”.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah dari sektor perpajakan, maka pemerintah juga melakukan amandemen pada peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah. Tindakan pemerintah tersebut merupakan peran serta pemerintah pusat dan dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah sehingga hubungan sektor keuangan antara pemerintah pusat


(23)

dengan pemerintah daerah menjadi lebih baik. Salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan salah satu pajak pusat yang wewenangnya dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

mengemukakan bahwa, “Pajak Buni dan Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah”. Pada saat Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dikelola oleh pemerintah Pusat, pemerintah Kabupaten/Kota hanya mendapatkan 64,8% dari total peneriman daerah. Dengan dijadikannya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD) yang menambah sumber pendapatan asli daerah dan meningkatkan kemampuan daerah membiayai kebutuhan daerahnya sendiri yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah. Pajak ini merupakan potensi yang harus digali dalam menambah penerimaan daerah dikarenakan objek pajak ini adalah bumi dan bangunan yang jelas sebagian besar masyarakat memilikinya.

Tahun 2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes lewat Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan mulai berperan sebagai instansi yang berwenang dalam kegiatan pendataan, penilaian, proses penetapan, kegiatan administrasi hingga pemungutan atau penagihan dan pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan memiliki peluang untuk menambah Pendapatan Asli Daerah dikarenakan luas wilayah Kabupaten Brebes mencapai 1.662,96 km2 dengan jumlah penduduk 1.764.648 jiwa yang merupakan Kabupaten terpadat di Jawa Tengah dan merupakan Kabupaten terluas nomor 2


(24)

(dua) di Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap (Kabupaten Brebes Dalam Angka Tahun 2014). Praktiknya hingga saat ini permasalahan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan masih tetap menjadi sebuah permasalahan. Kepatuhan Wajib Pajak di Kabupaten Brebes masih bisa dikatakan struktuatif. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak selalu realisasi penerimaan mencapai ketetapan pajak pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2

Ketetapan dan Realisasi Penerimaan PBB Kabupaten Brebes (rupiah) No Tahun Ketetapan PBB Realisasi Penerimaan Sisa Baku 1 2011 21.690.218.422 20.987.005.160 703.213.262 2 2012 23.517.213.878 22.024.207.207 1.493.006.671 3 2013 25.422.463.065 21.847.764.925 3.575.698.140 4 2014 24.517.403.211 22.880.055.315 1.637.347.896 5 2015* 24.361.439.939 20.614.740.467 3.746.699.472 *(Data sampai dengan Bulan November 2015)

Sumber : Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Brebes 2015 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan setiap tahunya tidak selalu mencapai ketetapan PBB dengan sisa baku yang tidak sedikit. Pada tahun 2011 sisa baku sebesar Rp 703.213.262, tahun 2012 sisa baku sebesar Rp 1.493.006.671, tahun 2013 sisa baku sebesar Rp 3.575.698.140, tahun 2014 sisa baku sebesar Rp 1.637.347.896 sedangkan tahun 2015 sisa baku sampai dengan bulan November 2015 sebesar Rp 3.746.699.472. Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes untuk mengoptimalkan penerimaan di sektor pajak karena penerimaan hasil perpajakan khususnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan memiliki pengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah.


(25)

Pemerintah dalam hal ini telah berupaya untuk mewujudkan kenyamanan bagi wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dengan menggunakan sistem yang cukup memudahkan wajib pajak, tidak seperti pajak lainnya yang secara umum menggunakan Self Assessment System. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan pajak dengan sistem pemungutan Semi Self Assesment System dimana pihak fiskus yang lebih pro aktif dan kooperatif melakukan perhitungan, penetapan pajak yang terutang, dan mendistribusikannya kepada Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan berdasarkan Surat Pendaftaran Objek Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak atau verifikasi pihak fiskus di lapangan. Pemerintah Daerah melalui Kecamatan, Kelurahan/Desa bahkan mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sampai ketangan Wajib Pajak dan juga menerima pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Data yang diperoleh Dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Brebes menyatakan persentase pajak dan besarnya pajak yang diperoleh di wilayah Kecamatan Wanasari selama 5 (lima) Tahun yakni tahun 2011-2015. Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes tahun 2011-2015 dapat dilihat sebagai berikut:


(26)

Tabel 1.3

Daftar Penerimaan PBB-P2 Kecamatan Wanasari 2011-2015

Tahun Ketetapan PBB-P2

Realisasi

Penerimaan Persentase Sisa Baku 2011 1.777.487.394 1.752.573.161 98,6% 24.914.233 2012 1.882.634.389 1.876.785.839 99,69% 5.848.550 2013 2.165.132.326 2.124.674.864 98,13% 40.457.462 2014 2.028.165.438 2.015.666.454 99,38% 12.498.984 2015* 2.026.355.478 832.174.484 40,97% 1.194.180.994 *(Data sampai tanggal 29 Juni 2015)

Sumber : Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Brebes, 2015 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa realisasi penerimaan PBB-P2 di Kecamatan Wanasari tiap tahunnya tidak selalu sesuai ketetapan pokok dapat dikatakan jumlah wajib pajak yang patuh dalam membayar PBB-P2 belum mencapai 100% dan masih menjadi permasalahan. Dari data tersebut, diperoleh pada tahun 2011 tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya 98,60% dengan sisa baku Rp 24.914.233. Pada tahun 2012, tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya 99,69% dengan sisa baku Rp 5.848.550. Tahun 2013 tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya 98,13% dengan sisa baku Rp 40.457.462. Sedangkan pada tahun 2014 tingkat persentase realisasi PBB-P2 hanya 99,38% dengan sisa baku Rp 12.498.984.

Berdasarkan wawancara awal dengan Bapak H. Casroni, Sie Pemberdayaan Masyarakat mengatakan bahwa, “salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah SPPT”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kessi Rosiana (2009) menjelaskan bahwa, “variabel SPPT sangat berpengaruh


(27)

terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dimana SPPT merupakan media untuk mengetahui kebenaran pajak yang harus dibayar di dalam SPPT”.

Variabel SPPT sangat mungkin terkait terhadap kepatuhan wajib pajak karena SPPT merupakan media untuk mengetahui kebenaran pajak yang harus dibayar melalui penetapan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang tertera dalam SPPT. Menurut Amin (2014) menjelaskan bahwa, “SPPT merupakan surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak dan SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang ada pada Direkorat Jenderal Pajak”. Dalam wawancara langsung dengan beberapa wajib pajak memang mengeluhkan tentang data yang tertera dalam SPPT terkadang kurang akurat/update seperti nama dan alamat wajib pajak, sering terjadi kekeliruan data salah satunya penagihan dilakukan kepada pemilik lama padahal objek pajak tersebut telah berganti dan telah dilaporkan sebelumnya. Hal ini dapat dikatakan ketidaktepatan dalam penyampaian SPPT. Selain itu beberapa wajib pajak memiliki anggapan bahwa penetapan NJOP yang dilakukan oleh petugas kurang akurat, hal tersebut sering menjadi masalah karena penilaian NJOP seringkali mengabaikan kondisi tanah dan bangunan dalam beberapa kasus penilaian dilakukan secara pukul rata dalam suatu daerah sehingga hal ini menjadikan wajib pajak merasa keberatan. Dari penjelasan tersebut, variabel SPPT dijadikan masalah dalam penelitan ini dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Penelitian Kessi Rosiana (2009) diperkuat oleh penelitian Koentarto (2011) yang menyatakan bahwa, “SPPT berpengaruh


(28)

positif dan siginifkan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan”.

Faktor lain yang sangat mungkin berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Pelayanan Perpajakan. Pelayanan Perpajakan berpengaruh karena pemberian pelayanan yang baik, maka wajib pajak akan merasa senang dan merasa dimudahkan serta terbantu dalam penyelesaian kewajiban perpajakannya, hal ini berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan disampaikan melalui SPPT yang didistribusikan mulai dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan kemudian disampaikan ke petugas kecamatan, kelurahan/desa baru diterima oleh wajib pajak, dalam praktiknya salah satu kendala dalam hal pelayanan SPPT adalah waktu penerimaan SPPT kepada wajib pajak, yang seharusnya wajib pajak berkeinginan membayar saat panen/awal-awal tahun namun belum mendapatkan SPPT sehingga harus menundanya padahal SPPT itu dicetak dan disebarkan pada awal tahun. (Berdasarkan wawancara dengan Bapak Iwan Setiawan pegawai Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten Brebes)

Sejauh ini di kabupaten Brebes pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan hanya dapat dilakukan di Bank Jateng dan kantor kelurahan/desa, di Kecamatan Wanasari hanya terdapat 1 bank Jateng hal ini agak merepotkan bagi wajib pajak yang jaraknya jauh dari kantor kecamatan karena pelayanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan pada


(29)

kantor kelurahan/desa seringkali kurang maksimal yaitu pada kenyataannya saat wajib pajak membayar petugas pajak/pamong tidak selalu ada ditempat sehingga wajib pajak tidak cukup leluasa dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Christian Danang (2013) menyimpulkan bahwa, “pelayanan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak”.

Faktor lain yang juga mempengaruhi kepatuhan dalam membayar pajak adalah kesadaran wajib pajak. Faktor kesadaran wajib pajak sangat mungkin dikaitkan dengan kepatuhan membayar pajak. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Johan Yusnindar dkk (2014) yang menyebutkan bahwa, ”variabel kesadaran wajib pajak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak”.

Mengenai kesadaran wajib pajak, Menteri Keuangan mengatakan bahwa,

“Masalah perpajakan kita bukan masalah di pertumbuhan ekonomi, logikanya kalau ekonomi tumbuh, penerimaan pajak harus tumbuh lebih tinggi namun kenyataannya pertumbuhan di bawah normal dan produk domestik bruto juga turun. Rasio pajak yang beberapa tahun lalu 12%, kini hanya 11%. Artinya masalah pepajakan kita bukan masalah di pertumbuhan ekonomi melainkan tingkat kesadaran dan kepatuhan yang rendah, dari 250 juta penduduk Indonesia hanya 900.000 yang Wajib Pajak orang pribadi dan yang mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) hanya 10% berkisar 26-27 juta orang’’ (Dalam Kompas Edisi 2 Mei 2015, Hal 17).

Kesadaran wajib pajak akan perpajakan adalah rasa yang timbul dari dalam diri wajib pajak atas kewajibannya membayar pajak dengan ikhlas tanpa


(30)

adanya unsur paksaan. Kesadaran membayar pajak dapat diartikan juga sebagai suatu bentuk sikap moral yang memberikan sebuah kontribusi kepada negara untuk menunjang pembangunan negara dan berusaha untuk mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan oleh negara serta dapat dipaksakan kepada wajib pajak. Dalam wawancara langusng kepada wajib pajak, penulis menemukan wajib pajak yang memiliki kesadaran tinggi tidak mengangap bahwa membayar pajak adalah suatu beban namun mereka menganggap hal ini adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai Warga Negara sehingga mereka tidak keberatan untuk membayar pajaknya dengan sukarela. Hal ini terjadi karena mereka memilki pandangan bahwa membayar pajak merupakan salah satu cara untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui pajak sehingga mendukung kebijakan pajak oleh pemerintah namun mereka juga memiliki harapan bahwa pajak yang mereka bayar harus dipertanggungjawabkan dengan pengelolaan yang baik. Penulis dalam wawancara langsung beberapa wajib pajak juga menemukan wajib pajak yang beranggapan bahwa hasil pemunggutan pajak tersebut tidak langsung dinikmati oleh para wajib pajak. Masyarakat tidak pernah tahu wujud konkret imbalan dari uang yang dikeluarkan untuk membayar pajak.

Dari pemaparan diatas, maka penulis mempunyai keinginan untuk meneliti lebih lanjut tentang “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MEMBAYAR PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KECAMATAN WANASARI KABUPATEN BREBES”.


(31)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasi dari surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT), pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah sebagai berikut:

1. Apakah SPPT berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?

2. Apakah pelayanan perpajakan berpengaruh kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan?

3. Apakah kesadaran Wajib Pajak berpengaruh kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?

4. Apakah SPPT, pelayanan perpajakan, dan kesadaran wajib pajak secara simultan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis:

1. Pengaruh SPPT terhadap kepatuhan wajib pajak membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

2. Pengaruh pelayanan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.


(32)

3. Pengaruh kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

4. Pengaruh SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak secara simultan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah: 1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dalam penelitian ini yaitu dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pengaruh dari SPPT, pelayanan perpajakan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:

1. Dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran dan informasi yang bermanfaat dan bersifat positif sebagai alat bantu dalam peningkatan kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

2. Sebagai landasan bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan masalah kepatuhan wajib pajak.


(33)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Atribusi

Teori atribusi menyatakan bahwa bila individu-individu mengamati perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah itu ditimbulkan secara internal atau eksternal (Robbins, 1996 dalam Riana, 2014:18). Menurut Harold Kelley, (1972-1973) dalam Tristiana, (2015:13) mengemukakan bahwa:

“Teori Atribusi memandang individu sebagai psikologi amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Teori atribusi mencoba menemukan apa yang menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respon yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interprestasi kita

tentang peristiwa itu”.

Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri atau berasal dari faktor internal seperti ciri kepribadian, kesadaran, dan kemampuan, sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa berperilaku karena situasi.

Kesediaan wajib pajak dalam membayar pajak terkait dengan sikap wajib pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Persepsi seseorang untuk membuat penilaian mengenai orang lain sangat dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal orang tersebut. Teori atribusi sangat relevan untuk menerangkan maksud di atas.


(34)

Relevansi teori atribusi dengan penelitian ini adalah bahwa seseorang dalam menentukan perilaku patuh atau tidak patuh untuk membayar pajak dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak adalah kesadaran wajib pajak. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak adalah SPPT dan pelayanan perpajakan.

2.2 Pajak

2.2.1 Pengertian Pajak

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2011:01) mendefinisikan bahwa:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum”.

Menurut Mardiasmo (2011:01) dari defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:

1. Iuran dari rakyat kepada negara

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan undang-undang

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaanya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang bersumber dari rakyat untuk


(35)

membiayai semua kegiatan pemerintahan maupun yang dipergunakan untuk kepentingan pembangunan.

2.2.2 Fungsi Pajak

Fungsi pajak berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari pemungutan pajak, setidaknya ada dua fungsi pajak, yaitu :

1) Fungsi penerimaan (Budgeter)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh, dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. Sebagai fungsi penerimaan, pajak merupakan sumber penerimaan pemerintah yang dominan karena persentase penerimaan dari sektor ini sangat besar jika dibandingkan dengan penerimaan dari sektor-sektor lainnya.

2) Fungsi mengatur (Reguler)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai fungsi mengatur, pajak bukan saja merupakan alat untuk mengurangi kesenjangan sosial tetapi juga mengarah pada pemerataan dalam masyarakat, karena secara tidak langsung pajak merupakan pembebanan pada barang publik.

2.2.3 Syarat Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai


(36)

jenis pajak apa saja yang akan dipungut, serta berapa besarnya pemungutan pajak (Mardiasmo, 2002 dalam Ernawati, 2014).

Menurut Mardiasmo (2011:2), agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai keadilan, Undang-Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-perundangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merat, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis) Pajak diatur dalam UU Pajak pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak menganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)

Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

2.2.4 Teori Pemungutan Pajak

Dalam pemungutan pajak, menurut Mardiasmo (2011:3) terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah :

1. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu, rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.


(37)

2. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

3. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :

a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.

b. Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

2.2.5 Prinsip Pemungutan Pajak

Adam Smith (1723-1790) dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:63), memberikan pedoman bagi peraturan perpajakan, di mana pemungut pajak dalam memungut pajaknya harus membuat peraturan dan mengikuti peraturan tersebut yang memenuhi rasa keadilan, yaitu dengan memenuhi prinsip Certainty, Equality, Convenience, dan Economic (Efisiensi). Keempat prinsip tersebut disebut sebagai “The four cannons of Adam Smith” atau sering juga disebut “The

four Maxims” dengan uraian sebagai berikut:

1. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus jelas (certain), dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam prinsip certainty ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

2. Pembagian tekanan pajak di antara subjek-subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah


(38)

perlindungan pemerintah. Dalam prinsip ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

3. Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

4. Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the state. Prinsip ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya (R. Santoso Brotodihardjo).

Dari keempat prinsip yang dikemukakan oleh Adam smith, Siti Kurnia Rahayu (2013) menyimpulkan masing-masing prinsip tersebut sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan dan Pemerataan (Equality).

Equality mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Equality atau kesamaan dalam sistem perpajakan lazimnya disebut nondiscrimination sehingga orang asing dan Warga Negara Indonesia yang berada dalam keadaan yang sama akan diperlakukan sama dan dikenakan pajak yang sama besar.

2. Prinsip Kepastian Hukum (Certainty)

Dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukan oleh Adam Smith, kaidah certainty dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus terang dan pasti tidak dapat dimulur-mulur atau ditawar-tawar.

3. Prinsip Convenience

Prinsip ini dimaksudkan supaya dalam memungut pajak, pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang paling baik bagi si pembayar pajak. 4. Prinsip Efisiensi Economic

Adam Smith mengungkapkan kaidah efficiency dimaksudkan supaya pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan sehemat-hematnya, jangan sampai biaya-biaya memungut justru menjadi lebih tinggi daripada pajak yang dipungut.


(39)

2.2.6 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2013:7), sistem pemungutan pajak antara lain:

1. Official Assesment System

Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak melalui ditjen pajak.

Ciri-cirinya:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus b. Wajib Pajak bersifat pasif

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

2. Self Assesment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri

b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung , menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi

3. With Holding System

Suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya: wewenang mentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2.2.7 Jenis Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:5-6), terdapat berbagai macam jenis pajak yang dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu penggolongan menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya.

a. Menurut golongannya

1. Pajak langsung, adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh; Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan

2. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.

Contoh; Pajak Pertambahan Nilai b. Menurut sifatnya, terdiri dari:

1. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpankal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.


(40)

Contoh: Pajak Penghasilan

2. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

c. Menurut lembaga pemungutannya, terdiri dari:

1. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusatdan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Bea Materai.

2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak Daerah terdiri atas:

Pajak Propinsi antara lain, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Pajak Kabupaten/Kota antara lain, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.

2.3 Pajak Bumi Dan Bangunan

2.3.1 Pengertian Pajak Bumi Dan Bangunan

Definisi Bumi dan Bangunan menurut Mardiasmo (2011:331-223), mengemukakan bahwa:

“Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah jalan lingkungan dalam satu kesatuan kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat penampungan minyak, fasilitas lain yang memberikan

manfaat”.

Menurut Suandy dalam Asy Shidiq (2011), “Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh

keadaan objek yaitu bumi, tanah dan tau bangunan”. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 adalah pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi


(41)

atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.

2.3.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Mardiasmo (2011:331), asas Pajak Bumi dan Bangunan adalah: a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan

b. Adanya kepastian hukum c. Mudah dimengerti dan adil d. Menghindari pajak berganda 2.3.3 Subjek Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:336), berikut yang menjadi subjek pajak yaitu : 1. Yang menjadi Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

2. Subjek pajak yang dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.

3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 sebagai wajib pajak. Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.

4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.

5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no. 4 disetujui, maka Direktorat Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaiana dalam no. 3 dalam jangak waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Dirjen Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. 7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan

sebagaimana no. 4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusana maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

8. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka


(42)

ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.

2.3.4 Objek Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:333) yang menjadi objek pajak adalah bumi atau bangunan. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.

Dalam menentukan klasifikasi bumi atau tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa

c. Letak

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain

Menurut Mardiasmo (2011:333-334), objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Banguan adalah objek pajak yang:

a. Digunakan semata-semata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain:

1). Di bidang Ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara 2). Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit

3). Dibidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren 4). Di bidang sosial, contoh: panti asuhan

5). Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.


(43)

c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan atau tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

d. Digunakan perwakilan diplomatik, konsulat berdasaarkan asas perlakuan timbal balik.

e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

2.3.5 Dasar Pengenaan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:337), dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assement. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setingi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objak Pajak (NJOP).

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli. Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui:

a. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah pendekatan/metode penentuan jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.


(44)

b. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.

c. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penetuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:

1. Sebesar 40% dari NJOP untuk: a. Objek Pajak perkebunan b. Objek Pajak Kehutanan

c. Objek Pajak lainnya, yang Wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari 1 Miliar rupiah.

2. Sebesar 20% dari NJOP untuk: b. Objek Pajak Pertambangan

c. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 2.3.6 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batas NJOP atas bumi dan atau bangunan yang tidak kena pajak. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.03/2011 Tentang Penyesuaian Besarnya NJOPTKP Pajak Bumi dan Bangunan yang mulai berlaku


(45)

1 Januari 2012 pada pasal 2 ayat (2) dijelaskan NJOPTKP untuk setiap Wajib Pajak ditetapkan paling tinggi sebesar Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) (Isnanto,2014:11).

Menurut undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRB), besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tdak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 2.3.7 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan atas Objek Pajak adalah tarif tunggal yaitu sebesar 0,5%. Dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan ditetapkan dengan peraturan daerah.

2.3.8 Surat Pemberitahuan Obejk Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Dan Surat Keterangan Pajak Daerah (SKPD) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP. Wajib Pajak akan diberikan SPOP diisi dan dikembalikan kepada Kepala Daerah. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya meliputi objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek Pajak. Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT. Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal sebagai berikut:


(46)

a) SPOP tidak disampaikan dan dan setelah wajib pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana dalam Surat Teguran.

b) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak. (UU No 28 Pasal 83 dan 84 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

2.4 Kepatuhan Wajib Pajak 2.4.1 Pengertian Kepatuhan

“Kepatuhan secara umum adalah tunduk atau patuh pada suatu aturan yang

telah ditetapkan. Kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok, atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan”, (Dewinta, 2012 dalam Widiastuti 2014). Sedangkan menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:138), “Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”.

Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa Kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan daan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara. Wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan patuh serta tidak memiliki tunggakan atau keterlambatan penyetoran pajak. Hal ini sejalan dengan


(47)

Nasucha (Seftiawan, 2009 dalam Danang, 2013), “Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan dari kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetor kembali surat pemberitahuan, kepatuhan dalam perhitungan dan

pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan”.

2.4.2 Jenis-Jenis Kepatuhan

Menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:138), ada dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Selanjutnya kepatuhan formal dan kepatuhan material diuraikan sebagai berikut:

a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal ini kepatuhan formal meliputi:

a. Wajib pajak membayar dengan tepat waktu b. Wajib pajak membayar dengan tepat jumlah

c. Wajib pajak tidak memiliki tanggungan pajak bumi dan bangunan b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara

substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.

Dalam hal ini, penjelasan mengenai kepatuhan material adalah:

a. Wajib pajak bersedia melaporkan informasi tentang pajak apabila petugas pajak membutuhkan informasi

b. Wajib pajak bersikap kooperatif (tidak menyusahkan) petugas pajak dalam pelaksanaan proses administrasi perpajakan.


(48)

c. Wajib pajak berkeyakinan bahwa melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan tindakan sebagai warga Negara yang baik.

2.4.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak

Merujuk pada kriteria wajib pajak patuh menurut keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:139) bahwa kriteria kepatuhan wajib pajak adalah:

a. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

d. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh

akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba/rugi fiskal.

Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Siti Kurnia

Rahayu 2013) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:

i.Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

ii.Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas iii.Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar iv.Membayar pajak terutang tepat pada waktunya

2.5 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang

“Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan DPJ untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. SPPT diterbitkan berdasarkan pada SPOP yang telah diisi oleh wajib pajak”, (Rahayu dan Ely, 2010:274). Sedangkan menurut Isnianto (2014:16) menjelaskan bahwa,


(49)

“Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat Keputusan Kepala

Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) mengenai pajak terutang yang harus dibayar dalam 1 (satu) tahun pajak”.

Dalam Pasal 1 Angka 54 UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah) dijelaskan bahwa,

“Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak. Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak”. Dari penjelasan diatas, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, karena sifatnya yang merupakan surat pemberitahuan bagi perhitungan besarnya pajak terutang yang telah ditetapkan oleh pihak fiskus. Di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang terdiri beberapa item yaitu tertera lokasi letak objek pajak, nama dan alamat wajib pajak, luas objek pajak, penetapan NJOP serta PBB-P2 terutang (yang harus dibayar), tanggal jatuh tempo dan tempat pembayaran pajak. Wajib pajak yang mendapatkan SPPT wajib membayarkan pajak terutang sesuai dengan besarnya penggenaan pajak yang terdapat sesuai dengan besarnya pengenaan pajak yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang ada pada Dinas Pendapatan dan Penggelolaan Keuangan Daerah.

Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan akan mendapatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang di kantor kelurahan atau kantor


(50)

kepala desa tempat objek pajak terdaftar dan tempat lain yang ditunjuk sebagai tempat penyedia SPPT bagi Wajib Pajak. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang telah tertera dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dapat dilaksanakan di Bank atau Giro yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau pemunggut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang telah ditunjuk resmi oleh Dinas Pendapatan dan Penggelolaan Keuangan.

2.6 Pelayanan Perpajakan

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik, mengharuskan setiap penyelenggaraan pelayanan publik memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan termasuk pelayanan perpajakan. Menurut Boediono (2003:60) dalam

Faizah (2009), “Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan

cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan”.

Menurut Djoko Slamet Surjoputro dan Junaedi Eko Widodo (Kusumawati ,2006 dalam Faizah,2009) mengemukakan bahwa, “Pada hakekatnya kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh kondisi sistem administrasi perpajakan dimana salah satunya meliputi pelayanan pajak (tax service)”. Menurut Danang (2013), menyatakan bahwa:

“Pelayanan adalah suatu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan. Pelayanan merupakan cara atau aktivitas yang dilakukan oleh aparat pajak atau fiskus dalam rangka


(51)

memberikan kenyamanan kepada wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran membayar pajak”.

Pelayanan yang baik kepada wajib pajak dilaksanakan agar wajib pajak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan mudah. Wajib pajak patuh karena mendapatkan pelayanan yang baik, cepat dan menyenangkan serta pajak yang mereka bayar akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Menurut Boediono (2003:61) dalam Faizah (2009),

“Pelayanan terkait dengan tugas aparatur pemerintah disebut pelayanan umum. Ada hubungan timbal balik antara kepatuhan membayar pajak dengan kinerja pemerintah, terutama yang menyangkut jasa pelayanan publik yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak dapat ditingkatkan apabila seluruh aparat pemerintah meningkatkan dan memperbaiki mutu pelayanannya. Dalam hal pelayanan umum harus dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat:

a. Sederhana, bahwa pelayanan itu tidak menyulitkan, prosedurnya mudah, tidak berbelit-belit, cepat, mudah diapahami, dan mudah dilaksanakan.

b. Terbuka, yaitu aparatur yang bertugas melayani pelanggan harus memberikan penjelasan yang sejujur-jujurnya, apa adanya dalam peraturan dan norma, tidak menakuti-nakuti dan tidak mengharapkan imbalan atas pelayanan yang diberikan.

c. Lancar, yaitu adanya prosedur yang tidak berbelit-belit dan memberikan pelayanan dengan ikhlas.

d. Tepat, yang dimaksud tepat adalah tepat sasaran atau persis dalam arti tidak lebih dan tidak kurang atau tepat waktu, atau tepat jawabannya, tepat dalam memnuhi janji dan seterusnya.

e. Lengkap, dapat diartikan tersedia apa yang diperlukan pelanggan. f. Wajar, pelayanan yang wajar artinya tidak ditambah-tambah menjadi

pelayanan yang bergaya mewah sehingga memberatkan pelanggan. g. Terjangkau, artinya harga dari pelayanan tersebut dapat dijangkau oleh

pelanggan”.

Pelayanan perpajakan dalam Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang dimaksud dalam penelitian ini berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan menjadi dua bagian, yaitu:


(52)

Mekanisme penyerahan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan yang disalurkan kepada petugas di kantor kecamatan kemudian disalurkan kepada kantor kelurahan sesuai dengan domisili wajib pajak kemudian oleh petugas kelurahan disampaikan kepada Wajib Pajak. 2. Pelayanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pelayanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan disini adalah mekanisme pembayaran yang dibuat sesederhana mungkin, wajib pajak hanya perlu membawa sejumlah nominal pajak terutangnya beserta Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (SPPT PBB-P2) jika membayar di kelurahan/desa, jika membayar di bank wajib pajak akan dibantu oleh petugas bank. Selain itu fasilitas-fasilitas yang mendukung proses pembayaran yang meningkatkan kenyamanan wajib pajak dalam membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan harus lebih ditingkatkan serta lokasi pembayaran yang cukup mudah dijangkau oleh wajib pajak yang ingin membayar juga merupakan bagian dari pelayaanan. Pada Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, pembayaran Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dapat dilakukan di dua tempat yaitu kantor kelurahan/desa dan bank Jateng. Karena di wilayah Kecamatan Wanasari hanya terdapat 1 bank Jateng dan lokasinya di kantor kecamatan Wanasari sehingga kebanyakan Wajib Pajak membayar Pajak Bumi dan Bangunannya di kantor kelurahan terdekat/petugas pajak desa/pamong. Dari wawancara langsung dengan


(53)

wajib pajak penulis menyimpulkan standar pelayanan yang diinginkan wajib pajak saat membayar adalah pelayanan petugas yang cepat, tepat jumlah, dan ramah. 2.7 Kesadaran Wajib Pajak

“Kesadaran adalah keadaan mengetahui, sedangkan perpajakan adalah perihal pajak, sehingga kesadaran perpajakan adalah keadaan mengetahui atau mengerti perihal pajak”, (Nugroho,2006 dalam Christian Danang,2013). Kesadaran perpajakan menurut Suhardito, B & Sudibyo, B (1999) dalam Musthofa (2009) adalah kerelaan memenuhi kewajibannya, termasuk rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan fungsi pemerintah dengan cara

membayar kewajiban pajaknya. “Tingkat kesadaran yang dimiliki wajib pajak

juga berpengaruh terhadap kepatuhan dalam membayar pajak karena pada kenyataannyatidak banyak orang yang secara sadar akan kewajiban perpajaknnya dan mengerti essensi dari pajak itu sendiri melainkan hampir sebagian besar orangmelaksanakan kewajiban perpajakannya hanya memenuhi ketentuan yang

sudah ada” (Bradoks, 2007 dalam Musthofa, 2009). Sedangkan menurut Siti Kurnia Rahayu (2011:141),

“Kesadaran wajib pajak akan meningkat bilamana dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap pemahaman dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak. Dengan penyuluhan perpajakan secara insentif dan kontinyu akan meningkatkan pemahaman wajib pajak dalam kewajiban membayar pajak sebagai wujud gotong royong nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan

pemerintahan dan pembangunan nasional”.

Berdasarkan hasil penelitian Christian Danang (2013:31) menyimpulkan bahwa kesadaran wajib pajak berkaitan dengan Pajak Bumi dan Bangunan


(54)

Perdesaan dan Perkotaan diantaranya adalah mengerti dan mengetahui berkenaan dengan:

1. Sebagai orang yang memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan wajib pajak memiliki kewajiban dalam membayar pajak atas objek yang mereka miliki/manfaatkan.

2. Wajib pajak sadar bahwa pajak merupakan sumber pendapatan negara/daerah, jadi sebagai warga negara yang merupakan bagian dari sebuah daerah kesadaran membayar pajak juga dapat diartikan kesadaran untuk turut serta dalam pembangunan negara/daerah.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran perpajakan adalah kerelaan memenuhi kewajiban dan memberikan kontribusi kepada negara yang menunjang pembangunan negara. Kesadaran wajib pajak berkonsekuensi logis untuk wajib pajak, yaitu kerelaan wajib pajak untuk pelaksanaan fungsi perpajakan dengan cara membayar pajak tepat waktu dan tepat jumlah. Wajib pajak yang memiliki kesadaran tinggi tidak menganggap membayar pajak merupakan suatu beban namun mereka menganggap hal ini adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara sehingga mereka tidak keberatan dan membayar pajaknya dengan suka rela dan tulus ikhlas.

2.8 Penelitian Terdahulu

Selain dukungan teori yang telah disampaikan di atas, penulis merujuk pada penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), pelayanan perpajakan, kesadaran wajib pajak dan kepatuhan wajib pajak. Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini terangkum pada tabel berikut:


(55)

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu yang Relevan dengan Penelitian

No Nama Judul Hasil Penelitian

1. Kessi Ronia (2011)

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Bumi dan Banguan (Studi Kasus pada Kecamatan

Pekalongan Utara Kabupaten

Pekalongan)

Menunjukan bahwa pelayanan berpengaruh secara positif dan signifikan, pendapatan memiliki pengaruh yang positif dan tidak signifikan, SPPT memiliki pengaruh yang positif dan signifikan, penyuluhan memiliki pengaruh yang positif dan signifikan sedangkan sanksi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Secara bersama-sama Pelayanan, pendapatan, SPPT, Penyuluhan dan Sanksi memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak sebesar 96,9 %. Sementara sisanya sebesar 3,1 % dipengaruhi oleh variabel lain.

2. Ilham Koentarto (2011)

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Masyarakat Dalam Melakukan

Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (Studi Kasus pada Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat)

Berdasarkan hasil analisis regeresi didaptkan hasil uji F diperoleh hasil, seluruh faktor 1 sampai dengan 4 (SPPT, pelayanan pajak, pendapatan wajib pajak dan sanksi) mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kepatuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan hasil uji t, diperoleh hasil bahwa masing-masing faktor tersebut secara parsial mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan masyarakat dalam melakukan pembayaran PBB.

3. Christian Danang Prihartanto (2013)

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Melakukan

Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Studi Kasus PadaWajib Pajak PBB P2 Kecamatan

Hasil analisis penelitian menunjukan bahwa variabel SPPT, Pengetahuan Pajak, Pelayanan Pajak dan Kesadaran Wajib Pajak berpengaruh siginifikan dan berkorelasi positif dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayar PBB P2


(1)

LAMPIRAN 11

HASIL OUTPUT SPSS

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Sum Mean Std. Deviation

SPPT 104 16.00 35.00 2473.00 23.7788 4.66750

Pelayanan Perpajakan 104 10.00 25.00 1780.00 17.1154 4.14145 Kesadaran Wajib Pajak 104 11.00 25.00 1937.00 18.6250 3.07886 Kepatuhan Wajib Pajak 104 7.00 15.00 1244.00 11.9615 1.95544 Valid N (listwise) 104

Coefficientsa

3.338 .777 4.298 .000

.113 .043 .270 2.630 .010

.143 .045 .304 3.159 .002

.187 .059 .294 3.178 .002

(Cons tant) SPPT

Pelayanan Perpajakan Kes adaran Wajib Pajak Model

1

B Std. Error

Uns tandardized Coefficients Beta Standardized Coefficients t Sig.

Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak a.

Coefficientsa

.696 .254 .167 .383 2.610

.690 .301 .200 .436 2.295

.680 .303 .202 .469 2.132

SPPT

Pelayanan Perpajakan Kes adaran Wajib Pajak Model

1

Zero-order Partial Part

Correlations

Tolerance VIF

Collinearity Statis tics

Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak a.


(2)

Regression Standardized Residual

2 1 0 -1 -2 -3 -4

Fr

eq

ue

nc

y

20

15

10

5

0

Histogram

Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak

Mean =-1.02E-16 Std. Dev. =0.985

N =104

ted Cu

m Pro

b

1.0

0.8

0.6

Normal P-P Plot of Regression Standardized

Residual


(3)

Regression Standardized Predicted Value

3 2 1 0 -1 -2 -3

R

eg

re

ss

io

n

S

tu

de

nt

iz

ed

R

es

id

ua

l

2 0 -2 -4

Scatterplot

Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

104

.0000000

1.24094076

.063

.027

-.063

.641

.807

N

Mean

Std. Deviation

Normal Parameters

a, b

Abs olute

Pos itive

Negative

Mos t Extreme

Differences

Kolmogorov-Smirnov Z

Asymp. Sig. (2-tailed)

Uns tandardiz

ed Res idual

Tes t dis tribution is Normal.

a.

Calculated from data.

b.


(4)

ANOVAb

235.233 3 78.411 49.435 .000a

158.613 100 1.586

393.846 103

Regres sion Res idual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors : (Cons tant), Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Perpajakan, SPPT a.

Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak b.

Model Summary

b

.773

a

.597

.585

1.25942

Model

1

R

R Square

Adjus ted

R Square

Std. Error of

the Estimate

Predictors : (Cons tant), Kes adaran Wajib Pajak,

Pelayanan Perpajakan, SPPT

a.

Dependent Variable: Kepatuhan Wajib Pajak

b.


(5)

LAMPIRAN 12


(6)

LAMPIRAN 13