Konsep Pendidikan Alternatif. Pendidikan Alternatif Berbasis Komunitas

26 a. Instruksi, strategi membaca dan pengembangan literatur, kepercayaan, penetapan tujuan, dan motivasi strategi, adaptasi kurikulum yang terintegrasi, portofolio dan topik yang menarik. b. Tingkah laku, tanggung jawab sosial, keadilan yang restoratif, perubahan individu, ruang kelas yang baik dan keterampilan sosial, keterampilan menahan diri, pembangunan kepercayaan diri, kesadaran kelompok dan pemecahan masalah. c. Masyarakat: variasi budaya, keterlibatan keluarga dan penghubung sekolah tokoh masyarakat, layanan pembelajaran, keahlian bahasa kedua bahasa daerah. d. Institusi atau hubungan budaya, lingkungan dan sistem yang terisolasi, individu, sistem dan perubahan peraturan, dukungan transisi baik pra, saat dan pasca pelaksanaan program. Ditambahkan Lange dan Sletten 2002 dalam Diane E Powell 2003: 68- 70 bahwa unsur program yang dianggap paling penting untuk program pendidikan alternatif yang efektif meliputi. a. “A low teacherpupil ratio and program size. b. The avaibility of one-on-one interaction betwen staf and students. c. A climate that supports learning. d. Opportunities for relevantexperience that are consistent with the students future goals. e. The opportunity for students to develope and exercise self-control in decision making. f. A flexible structure that accomodates the students academic and social- emotional needs. g. A caring environtment that builds and fosters resilience. h. Training and support for teachers in working with both typical functioning and special needs students. i. Research and evaluation of the impact of the program on student population. 27 j. Intragency linkages on ensure that a full service continuum is avaible for studen ts with special education needs.” Cakupan konten dan unsur yang dikemukakan di atas membawa pada satu titik terang bahwa dalam pendidikan alternatif pelaksanaanya lebih fleksibel daripada sekolah konvensional pada umumnya dan lebih menekankan pada kebutuhan peserta didik. Untuk itu dibutuhkan suatu pengelolaan pendidikan alternatif yang komperhensif dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa peserta didik yang berpartisipasi dalam pendidikan alternatif memiliki latar belakang, kebutuhan dan potensi yang berbeda, maka akan lebih tepat jika yang menyelenggarakan pendidikan alternatif adalah masyarakat komunitas.

3. Konsep Pendidikan Berbasis Komunitas.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa lembaga penyelenggara pendidikan alternatif yang dirasa paling tepat ialah masyarakat komunitas. Diselenggaraknya pendidikan yang berbasis masyarakat diharapkan mampu menjadi sarana sosialisasi berbagai ilmu dan norma yang berkembang di masyarakat. Sejalan dengan hal itu, UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 16 menyebutkan: “Pendidikan Berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat .” Melengkapi definisi sebelumnya Winarno Surakhmad dalam Zubaedi 2006: 131- 132 menjelaskan, secara konseptual pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakart, oleh masyarakat dan untuk masyarakat .” Selanjutnya Mark K Smith 28 Zubaedi. 2006:133 berpendapat, pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi dalam berbagai kepentingan untuk mengembangkan dengan suka rela tempat pembelajaran, tindakan dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan polotik mereka. Ada beberapa kesamaan mengenai konsep pendidikan berbasis masyarakat di atas yang dapat disimpulkan beberapa hal yaitu: pertama, secara umum pakar di atas sependapat bahwa pendidikan berbasis masyarakat diselenggarakan berdasarkan partisipasi dari masyarakat. Kedua, mereka juga sepakat jika desain pendidikan yang akan dilakukan juga bertumpu pada aspirasi masyarakat komunitas. Dengan demikian pendidikan yang diselenggarakan memiliki tujuan yang sesuai dengan cita-cita masyarakat. Mendukung pernyataan sebelumnya, Michael W Galbraith dalam Zubaedi 2006:132 menuturkan tujuan pendidikan berbasis masyarakat biasanya mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, konsumerisme, perhatian terhadap lingkungan, pendidikan dasar, budaya dan sejarah etnis, kebiakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, penanganan masalah kesehatan seperti narkoba dan narkotika, HIVAIDS dan sejenisnya. Selanjutnya untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat yang mantap, tentu dibutuhkan prisnsip-prinsip yang dapat dijadikan pedoman. 29 Michael W Galbraith Zubaedi, 2006:137-139 menyebutkan prinsip-prinsip pendidikan berbasis masyarakat sebagai berikut. a. Self determination menentukan sendiri. Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasikan sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut. b. Self help menolong diri sendiri. Anggota masyarakat dijadikan sebagai bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik. c. Leadership development pengembangan kepemimpinan. Melatih pemimpin- pemimpin lokal dalam berbagai keterampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat. d. Localization lokalisasi. Melibatkan masyarakat dalam pelayanan, program, dan kesempatan dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup. e. Integrated delivery of service keterpaduan pemberian pelayanan. Adanya hubungan di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik. f. Reduce duplication of service mengurangi duplikasi pelayanan. Masyarakat memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan, dan sumber daya manusia dalam lokalitas mereka dan mengkoordinasi usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan. 30 g. Accept diversity menerima perbedaan. Mengindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama, atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Termasuk perwakilan warga masyarakat seluas mungkin dituntut dalam perencanaan, dan pelaksanaan program, serta pelayanan dan aktivitas- aktivitas kemasyarakatan. h. Instutionnal responsivness tanggung jawab kelembagaan. Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berbubah-berubah secara terus menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. i. Lifelong learning pembelajaran yang seumur hidup. Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat. Memperkuat prinsip di atas, Zubaedi 2006:139 juga berpendapat, untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat setidaknya mempersyaratkan lima hal. Pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Kedua ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dikembangkan oleh masyarakat. Ketiga, program belajar yang akan diadakan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik. Keempat program belajar harus menjadi milik masyarakat bukan milik instansi pemerintah. Kelima aparat pendidikan luar sekolah tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi kemasyarakatan.