Analysis Feasibility and Business Development Stategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale in Bogor Distric, West Java

(1)

DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

WINARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

Dengan ini menyatakan bahwa tugas akhir yang berjudul “Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat” merupakan hasil karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada Program sejenis di Perguruan Tinggi lain, serta belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Januari 2013

WINARTO P054110245


(3)

WINARTO. Analysis Feasibility and Business Development Stategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale in Bogor Distric, West Java. Under the guidance of H. Musa Hubeis as Chairman and H. Komar Sumantadinata as members.

Fisheries plays large role in economic development, as a food protein source or as source of nation’s income. The needs of fisheries commodity through years always increase along with the increase of the nation’s wealth and people awareness about the goodness of fisheries product nutrition for brain health and development. The fish processing business in Indonesia is generally dominated by middle and small scale industries. It’s suspected that the current development for boiled fish at the Bogor district is not yet optimally developed due to the lacking of funds, production facility, the sanitary and hygienity knowledges, packing techniques, management and marketing whereas as Jakarta’s support city the Bogor district with it’s increasing numbers of population and economic growth level serves as a good condition for boiled fish processing industry. Therefore a good analysis feasibility and bussiness development strategy is required to create a developed, independent and sustainable boiled fish processing industry for Bogor district. The Purpose of this study were to (1) Consider profile of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale, (2) Consider production system of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale, (3) Analyze the finansial feasibility for Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale and (4) Formulate the development strategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale. This study uses primary data (observation, and interviews in the field) and secondary data (literature, documents and reports related agencies). Questionnare was spreaded to the stakeholder to obtain supporting data with a purposive sampling methode. They were analized using the descriptive method, finansial feasibility, EFE (External Factor Evaluation), IFE (Internal Factor Evaluation), IE (Internal External) matrix, SWOT matrix and the Analitycal Hierarchy Prosess (AHP). Based on feasibility boiled fish business investment according to PBP, NPV,IRR and Net B/C ratio, business of boiled fish in Bogor distric is to be profitable because it has a value PBP lower than economy life, NPV>0, IRR>14% (discount factor) and net B/C ratio >1. Based on analysis sensitivitas of bussines for micro and small scale, this business can be more suistainable with the price of raw material is increased and the price of product is decreased more than mediun scale business. Based on Analysis Hierarchy Proses (AHP), Business Development Stategy of Boiled Fish for Micro, Small and Medium Scale in Bogor Distric, West Java can be done a follows : 1. Improve the quality of human resources and facility production (0,27), 2. Enlarge market dan distribution channel (0,194) and 3. Diversification of product and preserve the most favourite taste of consumers.

Keyword : Fisheries, Fish Boiled, Micro, Small and Medium Scale, Business Development Strategy, Feasibility Analysis.


(4)

WINARTO. Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibawah bimbingan H. Musa Hubeis Sebagai Ketua dan H. Komar Sumantadinata sebagai Anggota.

Peranan perikanan dalam pembangunan ekonomi cukup besar, baik sebagai penghasil bahan pangan sumber protein maupun sebagai penghasil devisa negara. Kebutuhan komoditi perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan perkembangan otak.

Kabupaten Bogor memiliki Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pemindangan ikan sebanyak 43 Usaha Keluarga, dengan jumlah produksi 3.677,16 ton/tahun, tersebar di 16 Kecamatan yaitu Cibinong, Ciampea, Tenjolaya, Parung, Ciawi, Caringin, Cigudeg, Parung Panjang, Jasinga, Leuwiliang, Cibungbulang, Pamijahan, Citereup, Jonggol, Cariu dan Tanjungsari. Kapasitas produksi pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor berbeda-beda, mulai dari 40 kg/hari sampai 2.000 kg/hari, (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bogor, 2012)

Diduga pengembangan pindang ikan di Kabupaten Bogor belum optimal karena keterbatasan modal, sarana produksi, pengetahun tentang sanitasi dan higienis, teknik pengemasan, manajemen dan pemasaran. Padahal sebagai penyangga kota Jakarta peningkatan jumlah penduduk dan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat setiap tahunnya, merupakan kondisi yang menguntungkan bagi industri pengolahan pindang. Oleh karena itu diperlukan analisis kelayakan dan strategi pengembangan usaha yang tepat, agar menjadi industri pengolahan pindang yang maju, mandiri dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian ini : (1). Mengkaji profil unit pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah; (2). Mengkaji sistem produksi unit pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah; (3). Mengevaluasi kelayakan usaha unit pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah; (4). Menyusun strategi yang sesuai untuk pengembangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber bahan bacaan yang mendukung penelitian. Contoh UMKM pemindangan ikan diambil dengan menggunakan metode purposive sampling dengan maksud, atau tujuan tertentu, melalui dua tahapan yaitu quota sampling dan judgement sampling.Quota sampling merupakan proses pengelompokan (stratifikasi) sampel secara proposional, namun tidak dipilih secara acak, setelah itu dilakukan

judgement sampling untuk menentukan sampel terbaik untuk dijadikan contoh dalam penelitian, yang memiliki informasi yang diperlukan dalam penelitian.

Berdasarkan analisis keuangan, melalui analisis Payback Periode (PBP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Benefit/Cost (B/C) Rasio,

usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor skala mikro, kecil dan menengah layak untuk dikembangkan, karena mempunyai nilai PBP kurang dari umur ekonomisnya. Nilai NPV positif, IRR ˃ 14% (discount factor) dan Net B/C Rasio > 1.


(5)

dibandingkan usaha skala menengah. Untuk usaha skala mikro dan kecil, jika terjadi kenaikan harga bahan baku per kg sampai 5% kelayakan usahanya masih bisa dikatakan layak, karena nilai NPV masih positif, namun untuk usaha skala menengah sudah tidak layak, karena nilai NPV negatif. Untuk usaha skala mikro dan kecil penurunan harga jual produk per kg sampai 3% kelayakan usahanya masih bisa dikatakan layak, karena nilai NPV masih positif dan IRR masih di atas tingkat suku bunga, namun jika penurunan harga penjualan produk per kg 5%, sudah tidak layak. Untuk usaha skala menengah penurunan penjualan produk per kg 2% usaha masih bisa dikatakan layak, namun jika penurunan penjualan produk per kg turun 3%, maka usaha sudah tidak layak lagi karena nilai NPVnya negatif. Berdasarkan analisis prioritas faktor menunjukkan bahwa komponen peluang (0,398) merupakan prioritas utama yang dipilih responden dalam upaya pengembangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro, kecil dan menengah di Kabupaten Bogor. Prioritas berikutnya adalah komponen kelemahan (0,301), kekuatan (0,216) dan ancaman (0,086). Adapun yang menjadi prioritas masing-masing sub faktor adalah pemenuhan permintaan yang semakin meningkat, memperbaiki mutu, menjaga agar harga jual tetap kompetitif serta menjamin ketersediaan bahan baku. Berdasarkan analisis prioritas strategi, 3 (tiga) prioritas utama untuk mengembangkan usaha pengolahan pindang ikan adalah meningkatkan kemampuan SDM dan memperbaiki sarana dan prasarana produksi (0,270), memperluas pangsa pasar dan jaringan distribusi (0,194) dan diversifikasi produk dengan memperhatikan cita rasa yang di sukai masyarakat (0,156).


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN PINDANG IKAN

SKALA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

DI KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

WINARTO

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(8)

dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat Nama Mahasiswa : Winarto

Nomor Pokok : P054110245

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Industri Kecil dan Menengah

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah, SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ‘Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat’ yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Industri Kecil Menengah (PS MPI), Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Banyak pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian tugas akhir ini, maka penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis,MS,Dipl.Ing,DEA selaku Ketua Komisi

Pembimbing atas motivasi, bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata,M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan perhatiannya.

3. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tugas akhir ini.

4. Teman-teman MPI angkatan 15 atas kekompakan, semangat dan dukungannya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.

5. Seluruh karyawan dan staf PS MPI yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan untuk penyelesaian tugas akhir ini.

6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan tugas akhir, baik secara langsung, maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu-satu.

Penulis berharap bahwa Tugas Akhir ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, khususnya bagi pengembangan pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor.

Bogor, Januari 2013 Penulis


(10)

Penulis dilahirkan di Trenggalek Jawa Timur pada tanggal 12 November 1979 sebagai anak pertama dari 4 bersaudara pasangan Bapak Katimin dan Ibu Watilah. Pada tahun 2007 penulis menikah dengan Ika Yusnita dan pada tahun 2008 dikaruniai seorang putra yang bernama Reno Arfa Aqila.

Penulis diterima sekolah kedinasan di Akademi Perikanan Sidoarjo pada tahun 1998 dengan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Tahun 2008 penulis melanjutkan studi di Universitas Djuanda dengan Jurusan Teknologi Budidaya dan Bisnis Perikanan.

Penulis bekerja di PT. Istana Cipta Sembada (Perusahaan Perikanan) tahun 2001 sampai 2003. Mulai Tahun 2005 sampai sekarang penulis bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Tahun 2011 penulis masuk di program studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah (MPI) IPB, Angkatan 15. Sebagai tugas akhir di Sekolah Pascasarjana penulis melaksanakan kajian yang berjudul “Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat” di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing, DEA dan Prof.Dr.Ir. Komar Sumantadinata,M.Sc.


(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah... 5

2.2. Industri Perikanan ... 9

2.3. Ikan Pindang ... 11

2.4. Mutu dan Keamanan Pangan Produk Perikanan ... 12

2.5. Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan ... 13

2.6. Analisis Kelayakan Usaha ... 19

2.7. Manajemen Strategik... 20

2.8. Konsep Keunggulan Daya Saing ...22

2.9. Pengambilan Keputusan Strategik dalam Mengembangkan Usaha ... 23

III. METODE KAJIAN ... 29

3.1. Kerangka Pemikiran Kajian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu... 30

3.3. Metode Kerja ... 30

3.4. Aspek Kajian ... 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bogor ... 39

4.2. Profil Usaha Pengolahan Pindang Ikan ... 42

4.3. Sistem Produksi Unit Pengolahan Pindan Ikan ... 45

4.4. Kelayakan Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan ... 55

4.5. Analisis Sensitivitas ... 64 4.6. Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Pindang Ikan ... 66

4.7. Implikasi Managerial... 84

KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

1. Kesimpulan... 87


(12)

(13)

Halaman

1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU RI No.8/2008 ... 6

2. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut BPS ... 6

3. Keuntungan penggunaan metode AHP ... 26

4. Penetapan prioritas unsur dengan perbandingan berpasangan ... 36

5. Jumlah pelaku usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor, 2009–2011 ...43

6. Penyebaran usaha pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor, berdasarkan wilayah Kecamatan ... 44

7. Investasi awal untuk pengolahan pindang ikan skala mikro...58

8. Biaya variabel untuk pengolahan pindang ikan skala mikro ...59

9. Biaya investasi untuk unit pengolahan pindang ikan skala kecil ...61

10. Biaya investasi untuk unit pengolahan pindang ikan skala menengah ...63

11. Matrik EFE ...73

12. Matrik IFE ...75


(14)

Halaman

1. Peta sebaran industri pengolahan ikan ... 11

2. Model manajemen strategik ...21

3. Kerangka pemikiran kajian ... 29

4. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor berdasarkan sensus penduduk 2010 .... 40

5. Konsumsi ikan di Kabupaten Bogor dan rataan nasional 2009 -2011 ...42

6. Jumlah pelaku usaha pengolahan pindang ikan berdasarkan skala usahanya 43 7. Pindang Badeng di Kabupaten Bogor ... 49

8. Alur proses pembuatan pindang Badeng...50

9. Alur proses pembuatan pindang Besek ... 53

10. Produk olahan pindang besek/naya ... 54

11. Matriks IE ...76

12. Analisis prioritas faktor terhadap tujuan ...81

13. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kekuatan ...82

14. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kelemahan ... 82

15. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang ... 83

16. Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman ...83


(15)

Halaman

1. Analisis keuangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro ... 95

2. Analisis keuangan usaha pengolahan pindang ikan skala mikro kecil ... 98

3. Analisis keuangan usaha pengolahan pindang ikan skala menengah... 101

4. Analisis sensitivitas ... 104

5. Ketersediaan bahan baku pindang ikan, menurut jenis ikan, 2009 - 2011 ...105

6. Struktur hirarki strategi pengembangan usaha pengolahan pindang ikan ....106

7. Data pengolah ikan pindang di Kabupaten Bogor ...107

8. Data produksi perikanan (bahan baku pindang) menurut pelabuhan perikanan, 2011 ...110

9. Perhitungan bobot faktor strategik internal ...117

10. Perhitungan bobot faktor strategik eksternal...120

11. Rekapitulasi bobot faktor strategik internal eksternal ...123

12. Rekapitulasi rating faktor strategik internal eksternal...124


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Peranan perikanan dalam pembangunan ekonomi cukup besar, baik sebagai penghasil bahan pangan sumber protein maupun sebagai penghasil devisa negara. Kebutuhan komoditi perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan perkembangan otak. Para ahli gizi merekomendasikan bahwa konsumsi ikan sebaiknya bisa mencapai 25,55 kg/kapita/tahun (Dahuri, 2002). Tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari 21,78 kg/kapita/tahun (2001) menjadi 30,48 kg/kapita/tahun (2010). Tahun 2011 konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia mencapai 31,64 kg/kapita (PUSDATIN KKP, 2012). Tingkat konsumsi ikan di Kabupaten Bogor juga mengalami peningkatan dari 19,36 kg/kapita/tahun (2009) menjadi 22,15 kg/kapita/tahun (2011), walaupun masih dibawah rata-rata tingkat konsumsi ikan nasional.

Suatu bahan dapat berfungsi sebagai bahan pangan bila mempunyai beberapa persyaratan, yaitu mempunyai nilai gizi yang tinggi, dapat memenuhi selera, memuaskan rasa lapar seseorang, serta bersifat aman dan sehat bila dikonsumsi oleh manusia (Hadiwiyoto, 1993). Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang memiliki kandungan protein hewani cukup tinggi. Hampir semua asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia terkandung dalam daging ikan. Umumnya daging ikan terdiri dari 15-24% protein. Selain kaya akan protein hewani, ikan juga kaya akan asam lemak omega 3. Asam lemak ini baik untuk kesehatan jantung dan perkembangan otak anak (Agustini, et al, 2005). Kandungan asam lemak omega 3 yang dominan di dalam ikan adalah asam linoleat, asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA). Kandungan lainnya pada ikan adalah nutrisi esensial seperti kalsium, fosfor, besi dan retinol. Nutrisi esensial ini sangat


(17)

penting bagi tubuh, terutama anak dan remaja di masa pertumbuhan. Vitamin dan mineral juga banyak terdapat di dalam daging ikan. Golongan vitamin yang banyak terkandung di dalam ikan adalah golongan vitamin yang larut di dalam lemak seperti vitamin A dan D. Sedangkan mineral yang dominan adalah fosfor, besi, kalsium, selenium dan iodium.

Potensi hasil laut Indonesia, khususnya perikanan cukup besar, diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per tahun terdiri dari 4,4 juta ton di perairan nusantara dan 2,3 juta ton di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (PUSDATIN KKP, 2012). Untuk memberikan nilai tambah terhadap hasil perikanan, mengingat ikan mudah membusuk, maka perlu dibuat alternatif pengolahan atau pengawetan guna memperpanjang masa simpan dan distribusinya. Dengan demikian perlu penanganan yang cepat, tepat dan benar untuk menjaga mutunya sebelum dipasarkan dan sampai ke tangan konsumen. Selain itu, dari segi ekonomi akan memberikan nilai tambah (value added) terhadap harga jual produk. Hal ini diperlukan saat-saat musim ikan, dimana musim panen ikan sangat murah, tetapi permintaan konsumen cenderung stabil/tidak meningkat, sehingga ikan tidak habis dipasarkan dalam keadaan segar, maka masyarakat nelayan mengupayakan penyimpanan dalam cold storage, atau dengan usaha pengolahan dan pengawetan ikan dengan berbagai cara perlakuan, yaitu pengeringan/pengasinan, pemindangan dan pengasapan.

Pemindangan merupakan salah satu cara pengolahan ikan yang melalui tahapan penerimaan bahan baku, penyiangan, pencucian, penyusunan dan pengaraman, perebusan dan pendinginan. Pemindangan ikan sudah lama dikenal di tanah air, karena merupakan salah satu pengolahan tradisional yang turun-menurun. Usaha ini bahkan digeluti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Utara. Pemindangan ikan merupakan suatu teknik pengolahan dan pengawetan yang dikerjakan secara sederhana tetapi populer di Indonesia, sehingga digemari oleh masyarakat karena mempunyai rasa khas dan tidak terlalu asin (Winarno, 2002).


(18)

Perkembangan industri kecil menengah (IKM) pindang ikan memiliki potensi besar dalam meningkatkan taraf hidup orang banyak, terutama para nelayan. Hal ini telah ditunjukkan oleh banyaknya IKM pindang ikan yang secara nasional mencapai 65.766 kepala keluarga (KK) dengan kapasitas 82.207 ton/bulan, untuk wilayah Jawa Barat jumlah IKM pemindangan ikan 24.108 KK dengan kapasitas 30.135 ton/bulan (APPIKANDO, 2012).

Kabupaten Bogor memiliki UMKM pemindangan ikan sebanyak 43 KK, dengan jumlah produksi 3.677,16 ton/tahun, tersebar di 16 Kecamatan, yaitu Cibinong, Ciampea, Tenjolaya, Parung, Ciawi, Caringin, Cigudeg, Parung Panjang, Jasinga, Leuwiliang, Cibungbulang, Pamijahan, Citereup, Jonggol, Cariu dan Tanjungsari. Industri pengolahan pindang ikan di Kabupaten Bogor memiliki jumlah produksi yang berbeda-beda mulai dari 40 kg/hari sampai 2.000 kg/hari. Jenis ikan yang digunakan untuk pindang di Kabupaten Bogor meliputi : ikan Cakalang, Baby tuna, Semar, Salem, Layang, Bandeng, Cucut, Lemuru, Tembang, Cendro, Deho, Como, Selar, Bentrong dan Mas (DPP Kabupaten Bogor, 2011)

Namun, usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro, kecil dan menengah umumnya lemah dalam berbagai dimensi, baik dalam aspek permodalan, teknologi, informasi, manajemen maupun pemasaran. Menurut Heruwati (2002), produk olahan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena rendahnya mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya nilai fungsional serta tidak adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen. Untuk itu, perlu dikaji kelayakan usaha dan aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan usaha tersebut. Diduga pengembangan pindang ikan di Kabupaten Bogor belum optimal karena keterbatasan modal, sarana produksi, pengetahun tentang sanitasi dan higienis, teknik pengemasan, manajemen dan pemasaran. Padahal sebagai penyangga kota Jakarta peningkatan jumlah penduduk dan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat setiap tahunnya, merupakan kondisi yang menguntungkan bagi industri pengolahan pindang. Hampir setiap keluarga membutuhkan asupan protein dan lauk-pauk, yang salah satunya dapat dipenuhinya dengan


(19)

mengkonsumsi ikan pindang. Oleh karena itu diperlukan analisis kelayakan dan strategi pengembangan usaha yang tepat, agar menjadi industri pengolahan pindang yang maju, mandiri dan berkelanjutan.

1.2Perumusan Masalah

1. Bagaimana profil Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

2. Bagaimana sistem produksi diimplementasikan pada Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

3. Bagaimana kelayakan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ?

4. Bagaimana strategi pengembangan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat ? 1.3Tujuan

1. Mengkaji profil Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Mengkaji sistem produksi pada Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

3. Mengevaluasi kelayakan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

4. Menyusun strategi yang sesuai untuk pengembangan usaha Unit Pengolahan Pindang Ikan Skala Mikro, Kecil dan Menengah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.


(20)

Karakteristik usaha kecil dilihat dari sistem manajemennya, pada umumnya dikelola oleh pemiliknya langsung sehingga lebih fleksibel dalam mengembangkan ide produk. Dari proses produksi usaha kecil memiliki proses yang sederhana dan menggunakan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, sehingga biaya operasional dapat ditekan. Namun demikian usaha kecil memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterbatasan manajerial, jaringan dan fenonema utama adalah kesulitan dalam hal akses permodalan.

Di Indonesia, terdapat berbagai definisi mengenai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), diantaranya sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) :

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang –Undang.

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.

c. Usaha Menengah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan, atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.


(21)

Tabel 1. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UU RI No.20/2008

Kriteria Usaha Mikro (Rp) Usaha Kecil (Rp) Usaha Menegah (Rp) Kekayaan Bersih <50 juta <50 juta – 500

juta

<500 juta – 10 milyar Hasil Penjualan

Tahunan

<300 juta <300 juta – 2,5 milyar

<2,5 milyar – 50 milyar Sumber : Undang-Undang RI No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah

2. Menurut Badan Pusat Statistik, UMKM didefinisikan berdasarkan jumlah tenaga kerja seperti dimuat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Usaha Kecil dan Menengah menurut BPS

Kriteria Usaha Mikro (Rp) Usaha Kecil (Rp) Usaha Menegah (Rp) Jumlah Tenaga

Kerja

<5 orang 5 -19 orang 20 -100 orang Sumber : Undang-Undang RI No. 20, 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah

Menurut Hubeis (2009), UKM didefinisikan dengan berbagai cara yang berbeda tergantung pada negara dan aspek-aspek lainnya (misalnya spesifikasi teknologi). Oleh karena itu perlu dilakukan tinjauan khusus terhadap definisi-definisi tersebut agar diperoleh pengertian yang sesuai tentang UKM, yaitu menganut ukuran kuantitatif yang sesuai dengan kemajuan ekonomi.

Menurut Nikijuluw (2012), ada beberapa sifat yang biasanya dimiliki oleh UKM, dilihat dari beberapa dimensi yaitu:

1. Modal : kecil, sulit, keluarga, terbatas akses perbankan, rentenir, kredit pemerintah, program pemerintah, dan lain-lain.

2. Skill : rendah, terbatas, kurang pendidikan, kurang pelatihan, kurang pengalaman dan kurang jaringan.

3. Akses Sumber Daya Alam : sangat terbatas, hanya pada daerahnya saja. 4. Produk : tidak standar, musiman, rendah mutu, shell-life terbatas, jangkauan

pasar rendah, tidak ada guarantee.

5. Pasar : totally driven by the market, absolutely price-taker, terbatas di sekitar daerah produsen.


(22)

6. Akumulasi Modal: rendah, atau bahkan tidak ada.

Menurut Pramiyanti (2008), kendati terdapat beberapa definisi mengenai UKM, namun usaha kecil mempunyai karakteristik hampir seragam, yaitu :

1. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industria kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekat.

2. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, sehingga cenderung mengantungkan pembiayaan dari modal sendiri, atau dari sumber sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara bahkan rentenir.

3. Sebagian usaha kecil ditandai belum memiliki status badan hukum.

4. Dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman, diikuti kelompok industri tekstil dan kayu.

Hubeis (1997) menyatakan bahwa UMKM mempunyai kelebihan dan kekurangan :

a. Kelebihan

1. Organisasi internal sederhana terutama pada usaha mikro kecil (UMK) dan pada usaha menengah cukup terstruktur.

2. Mampu meningkatkan ekonomi kerakyatan/padat karya dan berpeluang untuk mengisi pasar ekspor dan mensubstitusi impor.

3. Relatif aman bagi perbankan dalam pemberian kredit. 4. Bergerak di bidang usaha yang cepat menghasilkan. 5. Mampu memperpendek rantai distribusi.

6. Fleksibilitas dalam pengembangan usaha. b. Kekurangan

1. Lemah dalam kewirausahaan dan manajerial. 2. Keterbatasan ketersediaan keuangan.


(23)

4. Keterbatasan pengetahuan produksi dan teknologi. 5. Ketidakmampuan informasi.

6. Tidak didukung kebijakan dan regulasi memadai. 7. Tidak terorganisir dalam jaringan dan kerjasama. 8. Sering tidak memenuhi standar.

Menurut Nikijuluw (2007), anatomi usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dilihat dari kinerja produksi produk hasil perikanan dan kelautan serta penggabungan skala usaha mengingat terdapat beberapa persepsi dalam pengelompokan usaha. Usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu :

1. Kelompok Usaha skala mikro adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang setidaknya memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

2. Kelompok Usaha skala kecil adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih mulai Rp50.000.000,00 sampai Rp200.000.000,00 tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

3. Kelompok Usaha skala menengah adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih mulai Rp200.000.000,00 sampai Rp 10 miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

4. Kelompok Usaha skala besar adalah kelompok usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang memiliki kekayaan bersih di atas Rp10 Miliar, tetapi kekayaan itu tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usahanya.

Pengembangan usaha kecil, menengah dan Koperasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) kemampuan UKM dan Koperasi dijadikan kekuatan utama pengembangan ekonomi berbasis lokal yang mengandalkan endogenous resources di Kota atau Kabupaten; (2) kemampuan usaha kecil, menengah dan


(24)

koperasi dalam peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing; (3) menghasilkan produk bermutu dan berorientasi pasar (domestik maupun ekspor); (4) berbasis bahan baku domestik; (5) substitusi impor, serta (6) agribisnis dan agroindustri (Syaukat, 2002).

Menurut Haryadi (1998), ada lima (5) aspek yang berkaitan erat dengan perkembangan usaha kecil, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan, kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Dalam aspek pemasaran, tujuan dan orientasi pasar penting bagi perkembangan suatu usaha, karena akan menentukan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang akan diambil dalam mengatasi kendala-kendala yang akan dihadapi, khususnya yang berkaitan dengan struktur pasar bahan baku produk.

Peran pemerintah sangat diharapkan dalam meningkatkan stabilitas kinerja UKM di Indonesia. Pemerintah telah membangun gedung pusat promosi KUKM yang diberi nama SMEsCO (Small Medium Enterprise Company) Promotion Center atau gedung SPC sejak tahun 2004 dalam rangka mengembangkan dan memudahkan kegiatan promosi produk KUKM di tingkat nasional maupun internasional.

2.2 Industri Perikanan

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (UU Perikanan No. 45 Tahun 2009). Industri Perikanan merupakan industri yang menggunakan ikan sebagai bahan baku untuk diolah melalui transformasi dan pengawetan dengan cara melakukan proses perubahan fisik, atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Pengolahan ikan merupakan salah satu dari kegiatan perikanan yang bertujuan untuk mempertahankan ikan dari proses pembusukan, sehingga mampu disimpan lama sampai tiba waktunya untuk dijadikan sebagai bahan konsumsi. Pembusukan itu disebabkan oleh pengaruh kegiatan bakteri dan pengaruh


(25)

kegiatan enzim (autolisa), yaitu proses penguraian jaringan yang berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati, yang semakin cepat bila suhu meningkat dan mencapai puncaknya pada suhu 37oC (Moeljanto, 1992). Pengolahan ikan diawali dengan cara tradisional menggunakan sinar matahari, yang berfungsi untuk meningkatkan daya simpan dengan jalan mengurangi kadar air (KA). Namun, selama ini ikan tradisional masih mempunyai citra buruk di mata konsumen, karena rendahnya mutu dan nilai nutrisi, tidak konsistennya nilai fungsional, serta tidak adanya jaminan mutu dan keamanan bagi konsumen (Heruwati, 2002). Terdapat beberapa cara pengolahan lain, yaitu pendinginan, pembekuan, pengasapan, penggaraman, pemindangan dan peragian ikan (Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 2000).

Komoditas perikanan diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan/atau pengolahan (DITJEN P2HP DKP, 2006) berikut :

1. Produk hidup.

2. Produk segar (fresh product) melalui proses peng-esan/pendinginan.

3. Produk beku (frozen product) baik mentah (raw), atau masak (cooked) melalui proses pembekuan.

4. Produk kaleng (canned product) melaui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi.

5. Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis.

6. Produk asin kering (dried salted product) melaui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis.

7. Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan.

8. Produk fermentasi (fermented product) melalui proses permentasi. 9. Produk masak (cooked product) melalui proses pemasakan.


(26)

Komoditas perikanan laut yang dapat dihasilkan di hampir seluruh wilayah Indonesia menyebabkan sentra produksi perikanan, maupun agroindustri ikan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.

PETA SEBARAN INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN

JUMLAH UPI : 505

UE : 176

AS : 412

RUSIA : 113 KANADA : 76 KOREA SELATAN : 412 VIETNAM : 76

CHINA : 220

Sumber: Nikijuluw, 2012

Gambar 1. Peta sebaran industri pengolahan ikan 2.3 Ikan Pindang

Dalam proses pengolahannya secara umum, ikan Pindang dibedakan menjadi dua (2) yaitu pindang air garam dan pindang garam. Pindang air garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, perendaman dalam larutan garam, penyusunan, perebusan dan penyiraman/tanpa penyiraman (BSN, 2009). Sedangkan pindang garam adalah suatu produk olahan perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, penyiangan, pencucian, penyusunan dan pengaraman, perebusan I, perebusan II dan pendinginan (BSN, 2009).

Pemindangan merupakan salah satu cara pengawetan yang dilakukan oleh masyarakat, tetapi ikan pindang hanya memiliki umur simpan yang singkat sekitar


(27)

2 – 4 hari (Moedjiharto, 2002). Bahan yang sering digunakan dalam pemindangan adalah Ikan layang (Decapterus. spp) (Purnomo, 2002), yang memiliki kandungan gizi cukup tinggi yaitu jumlah protein 27%, lemak 3%, energi 176 kalori, air 60%, mineral 0,26%, serta vitamin B 0,07 mg (Heruwati, 2002).

Sebagian besar pindang diproduksi di pulau Jawa dengan bahan baku ikan Layang, Lisong, Kembung, Tongkol, Tongkol Como, Banyar, dan Slengseng. Pada tahun 2010 jumlah pemindang nasional 65.766 KK. Sentra produksi pindang di pulau Jawa terutama terdapat di Sukabumi, Bogor, Karawang, Kendal, Rembang, Pati, dan Trenggalek. Proses pengolahan pindang belum memenuhi jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; kemasan masih sederhana; daya saing memasuki pasar retail modern dan ekspor rendah; serta dukungan permodalan masih rendah. Masalah utama yang dihadapi industri pemindangan saat ini adalah bahan baku tidak tersedia sepanjang tahun, sehingga tingkat utilitas

pemindang rata-rata hanya 50% (DITJEN P2HP KKP, 2012) 2.4 Mutu dan Keamanan Pangan Produk Perikanan

Berkaitan dengan produk perikanan sebagai produk pangan, maka jaminan mutu dan keamanan pangan produk perikanan sangat penting. Mutu dan keamanan produk perikanan ditentukan mulai dari kondisi mutu ikan segar sebagai bahan baku utama. Kesegaran ikan dalam karakteristik organoleptiknya merupakan faktor penting dalam penilaian mutu ikan.

Penurunan mutu ikan segar ditandai oleh adanya perubahan karakteristik organoleptik ikan yang meliputi terdeteksinya off-odours dan off-flavor, pembentukan lendir, produksi gas, perubahan warna dan tekstur daging ikan (Huss, 1994). Terjadinya perubahan karakteristik organoleptik ikan segar disebabkan oleh proses autolisis, aktivitas kimiawi pada tubuh ikan, serta akibat aktivitas mikrobiologis. Ketiga (3) faktor tersebut selalu terdapat pada perubahan karakteristik organoleptik ikan segar. Proses autolisis merupakan proses penguraian protein jaringan otot dan komponen organik lainnya di dalam daging ikan. Penurunan mutu akibat aktivitas kimia yang paling utama terjadi adalah perubahan akibat oksidasi lemak daging ikan yang


(28)

menghasilkan bau dan rasa tengik, serta perubahan warna menjadi coklat kusam. Aktivitas beragam mikroorganisme yang terdapat pada ikan dapat menghasilkan beragam senyawa hasil penguraian protein dan lemak seperti amonia, gas hidrogen belerang (H2S), beragam jenis asam, dan senyawa lain yang berbau busuk dan tengik (Ilyas, 1993).

Penanggulangan beragam masalah yang menurunkan mutu ikan dan bahaya keamanan pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan, dimulai dari kegiatan penangkapan ikan hingga konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut, maka jaminan mutu terhadap produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan melalui penerapan sistem jaminan mutu yang memadai secara efektif mulai dari ikan ditangkap, proses pengolahan di pabrik sampai ke tangan konsumen. Sistem mutu pada agroindustri ikan meliputi Good Manufacturing Practices (GMP),

Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) (Palacios, 2001).

2.5 Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan 2.5.1 Penanganan yang Baik

Untuk memperoleh ikan dengan mutu yang sesuai dengan ketentuan industri pengolahan ikan, maka penanganan ikan yang baik (Good Handling Practices atau GHP) sepanjang aktivitas rantai pasokan ikan untuk industri pengolahan perlu dilakukan dengan optimal. Penanganan ikan yang baik dapat mengurangi potensi kerusakan dan kehilangan mutu ikan sepanjang rantai pasokan. Menurut Menai (2007), penanganan ikan segar yang baik meliputi penanganan ikan segar di atas kapal, dan penanganan ikan di pangkalan pendaratan ikan, atau tempat pelelangan ikan. Penanganan ikan segar harus berpedoman kepada prinsip-prinsip penanganan ikan segar yang baik dan benar, yaitu ikan harus selalu berada dalam rantai dingin (0-50C), pekerja bekerja dengan cermat, cepat, tepat waktu dan higienis (Mangunsong, 2008).


(29)

2.5.2 Cara Berproduksi yang Baik

Cara berproduksi yang baik (Good Manufacturing Practices atau GMP) terdiri dari berbagai macam persyaratan yang secara umum, meliputi persyaratan mutu dan keamanan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan penanganan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan pengolahan, persyaratan pengemasan produk, persyaratan penyimpanan produk dan persyaratan distribusi produk. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijabarkan lebih spesifik lagi sesuai dengan jenis produk yang diolah.

2.5.3 Prosedur Standar Penerapan Sanitasi

Prosedur standar penerapan sanitasi (Sanitation Standar Operating Procedure atau SSOP) merupakan langkah terdokumentasi yang secara spesifik mendeskripsikan prosedur sanitasi tertentu untuk menjamin terpenuhinya kebersihan di suatu tempat pengolahan pangan. Prosedur kebersihan tersebut harus cukup detil untuk menjamin bahwa pencemaran produk tidak akan terjadi. Dokumentasi dan peninjauan penerapan SSOP diperlukan dalam rencana HACCP secara periodik. SSOP secara umum harus meliputi :

a. Keamanan air.

b. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan. c. Pencegahan kontaminasi silang.

d. Menjaga tempat cuci tangan, sanitasi, dan fasilitas toilet.

e. Proteksi pangan dan bahan baku dari pencemaran dan kerusakan. f. Pelabelan yang sesuai.

g. Pengendalian kondisi kesehatan pekerja. h. Proteksi dari gangguan hewan.

Kebersihan dan terjaganya kondisi sanitasi merupakan hal yang vital dalam penyediaan pangan utuh dan aman bagi konsumen. Oleh karena itu, kebersihan dan sanitasi pada bangunan, peralatan, perlengkapan dan permukaan yang berhubungan langsung dengan pangan sangat penting


(30)

untuk dijaga, agar dapat tercegah dari kontaminasi bahaya pangan. Permukaan alat yang mengalami kontak langsung dengan pangan, harus dibersihkan secara teratur untuk mencegah perkembangbiakan mikroorganisme dan pembentukan biofilm. Komponen zat pembersih, maupun alat kebersihan dan sanitasi harus disimpan jauh dari pangan (pada tempat terpisah). Suatu sistem sanitasi yang efektif akan memerlukan beragam prosedur pembersihan yang meliputi pengukuran efektif untuk pengendalian penyakit dan pasokan air yang memadai. Kondisi drainase yang baik juga diperlukan untuk membuang air limbah

penanganan pangan. Pengendalian sanitasi tambahan meliputi perawatan sanitasi fasilitas toilet, penyediaan tempat cuci tangan dan penyediaan

tempat pembuangan limbah pada lokasi yang tepat (Tajkarimi, 2007) 2.5.4 Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis

Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point, atau HACCP) adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya dan menetapkan tindakan pengendaliannya yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian mutu produk akhir. HACCP dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti secara ilmiah terhadap risiko kesehatan manusia. Penerapan sistem HACCP dilakukan berdasarkan 12 langkah terurut. Dari 12 langkah tersebut terdapat tujuh prinsip dasar HACCP. Penerapan sistem HACCP berdasarkan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya (BSN, 1998) adalah :

a. Pembentukan tim HACCP

Tim HACCP idealnya harus dibentuk karena pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu harus tersedia untuk pengembangan rencana HACCP efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan


(31)

pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan (semua jenjang bahaya-bahaya, atau hanya jenjang tertentu).

b. Deskripsi produk

Deskripsi yang lengkap mengenai produk, atau kelompok produk diperlukan sebagai gambaran bagi tim HACCP dan sangat diperlukan dalam membantu menetapkan tujuan keamanan pangan dan analisis bahayanya.

c. Identifikasi rencana penggunaan

Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk, atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok populasi konsumen yang rentan dalam menerima pangan dari institusi, maka perlu dipertimbangkan.

d. Penyusunan bagan alir

Diagram alir yang dibuat harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.

e. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan

Deskripsi tugas harus ditulis untuk setiap langkah proses, termasuk hal detil operasi, misalnya, operator apa yang diperlukan, atau peralatan apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Konfirmasi bagan alir harus mencakup tanggungjawab keamanan pangan yang relevan dari operator.


(32)

f. Melaksanakan analisis bahaya (Prinsip 1)

Identifikasi bahaya akan menyoroti bahaya keamanan pangan yang diperkirakan berasosiasi dengan produk, atau proses. Identifikasi bahaya memerlukan suatu pemahaman terhadap bahan baku, proses, spesifikasi produk, peralatan pengolahan, lingkungan pengolahan dan kegiatan operator di dalam suatu proses.

g. Menentukan Titik Kendali Kritis (Prinsip 2)

Titik kendali kritis (TKK) dapat berupa poin, langkah, atau prosedur dimana kendali dapat diterapkan dan penting untuk mencegah, atau menghilangkan bahaya keamanan pangan atau mengurangi hingga batas tertentu, sesuai dengan :

1) Tujuan keamanan pangan untuk produk. 2) Level bahaya yang terjadi.

3) Frekuensi seringnya bahaya terjadi.

4) Transfer atau redistribusi timbulnya bahaya. 5) Kondisi efek bahaya pada pelanggan. h. Menetapkan batas kritis (Prinsip 3)

Batas kritis merupakan kriteria yang memisahkan pengamatan, atau pengukuran yang dapat dan tidak dapat diterima. Batas kritis harus jelas didefinisikan dan dapat diukur. Batas kritis harus spesifik untuk setiap TKK sebagaimana batas kritis mendefinisikan aktivitas dan operasi yang dapat diterima untuk mengendalikan bahaya.

i. Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK (Prinsip 4)

Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada TKK. Selanjutnya, pemantauan seyogianya memberi informasi yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian dalam memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis.


(33)

Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu TKK.

j. Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali (Prinsip 5).

Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.

k. Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif (Prinsip 6)

Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya; meninjau kembali penyimpangan dan disposisi produk; mengkonfirmasi apakah TKK berada dalam kendali.

l. Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya (Prinsip 7) Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.


(34)

2.6 Analisis Kelayakan Usaha

Studi kelayakan usaha adalah suatu penelitian tentang layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan, yaitu prakiraan bahwa proyek dapat, atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang layak (Umar, 2003). Dari sisi keuangan, proyek dikatakan sehat, apabila dapat memberikan keuntungan yang layak dan mampu memenuhi kewajiban finansialnya. Tujuan dari analisis aspek finansial adalah untuk membandingkan pengeluaran dengan pendapatan, seperti ketersediaan dana, kemampuan proyek untuk dapat membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan, dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar, 2003). Hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan perhitungan aliran kas (cash flow). Pada umumnya ada empat (4) metode yang biasa digunakan dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode payback period (PBP), net present value (NPV), internal rate of return (IRR) dan

profitability index (PI).

PBP adalah metode untuk mencoba mengukur seberapa cepat investasi dapat kembali. Karena itu, satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu. Kalau nilai PBP lebih pendek dari yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan, namun apabila lebih lama proyek ditolak (Rangkuti, 2008). NPV dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh investasi. IRR adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol. IRR adalah tingkat rataan keuntungan intern tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen (Gittinger, 1996). PI atau Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) adalah perbandingan antara nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang dengan nilai sekarang dari investasi (Umar, 2003).

Analisis rasio keuangan merupakan teknik untuk mengetahui secara cepat kinerja keuangan perusahaan. Tujuannya mengevaluasi situasi yang terjadi saat ini dan memprediksi kondisi keuangan masa mendatang (Rangkuti, 2008). Jenis rasio keuangan ini adalah : (1) rasio likuiditas (liquidity ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya; (2) rasio hutang (leverage ratio), tujuan rasio ini adalah untuk


(35)

mengukur sampai seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh pihak luar; (3) rasio aktivitas (activity ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam mengelola sumber dana perusahaan dan (4) rasio keuntungan (profitability ratio), tujuan rasio ini adalah untuk mengukur efektivitas keseluruhan manajemen yang dapat dilihat dari keuntungan yang dihasilkan (Rangkuti, 2008).

2.7 Manajemen Strategik

Manajemen Strategik merupakan proses obyektif, rasional dan sistematik yang melibatkan fase perumusan dan implementasi rencana, strategi dan keputusan yang diperlukan untuk meraih tujuan yang efektif dan efisien dari suatu organisasi dan mempertahankan keunggulan yang dimilikinya saat ini dan ke depan, baik untuk bertahan maupun mempengaruhi sistem dalam arti makro, meso dan mikro (Hubeis dan Najib, 2008). David (2008), mendefinisikan manajemen strategi sebagai ilmu tentang perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi keputusan-keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Sementara Hutabarat dan Huseini (2006), mengemukakan manajemen strategik adalah pengelolaan organisasi yang menyangkut desain, formasi, transformasi serta implementasi dari strategi yang berlaku untuk kurun waktu tertentu.

Sejalan dengan itu, Wheelen dan Hunger (2010) menjabarkan bahwa manajemen strategik merupakan serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Manajemen strategik mencakup scanning lingkungan (eksternal dan internal), formulasi strategi baik bersifat jangka pendek atau panjang, evaluasi dan kontrol. Setiap organisasi harus menggunakan konsep dan teknik manajemen strategis dalam lingkungan industri yang dijalankannya dengan pendekatan proaktif dalam menghadapi berbagai peristiwa. Oleh karena itu, manajemen strategik dapat digunakan untuk mengidentifikasi kegiatan yang menjanjikan dan berfokus pada sumber daya (alam, manusia dan buatan). Kerangka dasar dan berpikir manajemen strategik (Gambar 2) terdiri dari 4 (empat) tahap yaitu :


(36)

Pengamatan Lingkungan

Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi dan Pengendalian

Eksternal

Lingkungan sosial Lingkungan

Tugas

Internal Struktur Budaya Sumberdaya

Misi

Tujuan

Strategi

Kebijakan

Program

Anggaran

Prosedur Kinerja

1. Pengamatan Lingkungan

Pengamatan lingkungan merupakan proses awal dari manajemen strategi yang bertujuan menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap lingkup organisasi.

Gambar 2. Model Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2010) 2. Formulasi Strategi

Formulasi strategi terdiri dari perumusan misi, penetapan tujuan,, pengembangan strategi dan penetapan kebijakan. Unsur utama yang harus diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan dengan cepat. Langkah selanjutnya adalah análisis lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi kebijakan yang akan dibuat. Langkah selanjutnya adalah melakukan análisis


(37)

SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis tersebut akan menghasilkan strategi alternatif dan pemilihan strategi tertentu.

3. Implementasi Strategi

Implementasi strategi merupakan tahap dimana formulasi strategi dikembangkan secara logis ke dalam bentuk tindakan. Langkah terakhir, yaitu kegiatan evaluasi dan pengendalian yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa semua kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi hendaknya didasarkan pada rencana yang telah disepakati sehingga tidak menyimpang dari batas-batas toleransi.

4. Evaluasi dan Pengendalian

Evaluasi dan pengendalian memiliki tiga tahap utama, yaitu (1) evaluasi faktor eksternal dan internal yang merupakan dasar bagi strategi saat ini, (2) mengukur performance, dan (3) mengoreksi kesalahan yang terjadi.

2.8 Konsep Keunggulan Daya Saing

Keunggulan daya saing dapat didefinisikan sebagai kepemilikan perusahaan terhadap berbagai aset dan kompetensi dengan karakteristik spesial (seperti kemampuan dalam menciptakan strategi berbiaya rendah, merek, ataupun strategi logistik) yang menjadikan perusahaan memiliki keunggulan melebihi pesaingnya. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), keunggulan kompetitif merupakan posisi yang menjamin superioritas perusahaan di atas para pesaingnya dalam pandangan konsumen. Sumber keunggulan kompetitif terletak pada kemampuan perusahaan untuk membedakan dirinya sendiri di mata konsumen dari para pesaingnya (keunggulan nilai) dan yang ke dua adalah kemampuan perusahaan melakukan cara kerja berbiaya rendah (keunggulan produktifitas). Keunggulan daya saing merupakan gabungan dari banyaknya kreativitas di perusahaan dalam mendisain, memproduksi, memasarkan, mengantarkan dan mendukung produknya. Perusahaan akan memiliki keunggulan daya saing jika mampu melakukan aktivitas tersebut lebih baik, atau lebih murah dari pesaingnya.


(1)

No. Pelabuhan Perikanan Jenis Ikan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Kembung Perempuan - - - - 200 - - - 16,384 - - - 16,584 Layang biru - 300 15,470 - - - 34,158 123,517 22,022 - 40,404 9,020 244,891 Layang/Benggol - 242 696 - - 654 53,496 126,650 288,388 145,346 4,334 619,806 Layang deles - - - - - 2,330 - - 12,672 - - - 15,002 Layur - - - - - 5,570 - - - 5,570 Lemuru 48,888 478 - - 7,728 308,304 177,320 112,486 30,890 379,530 49,800 1,115,424 Tembang 1,480 4,078 2,854 12,712 - 136 25,252 7,500 3,274 6,506 11,108 74,900 Tongkol como 760 104 1,472 54,296 3,040 17,525 280,513 514,030 94,604 669,266 273,170 17,560 1,926,340 15 PPN Prigi Cakalang 1,321 - 23,284 33,862 39,876 52,383 73,161 55,504 44,264 41,983 54,070 12,203 431,911 Cucut anjing/cakilan - - - 1,333 - - - - 1,333 Cucut botol - - - - 402 - - - - 402 Kembung Perempuan - - - - - 425 2,772 - 14,224 - 17,421 Layang/Benggol - - 34,373 10,495 3,731 25,484 164,121 3,310,974 4,126,622 8,068,805 1,853,162 186,036 17,783,803 Lemadang - - - - - 10,553 2,351 - 12,904 Lemuru 6,739 - 23,753 3,919 15,624 4,630 - 97,585 582,435 - 206,199 25,427 966,311 Selar como - - - - - 18,337 - - - 18,337 Tembang - - - - - - 1,890 - 5,860 - 3,018 - 10,768 Tongkol como 5,366 - 10,685 68,331 53,001 1,601,277 4,576,197 1,459,005 775,936 1,433,150 1,586,138 170,284 11,739,370 Tuna mata besar - - - - - - 36,250 22,867 19,771 19,489 15,217 2,903 116,497 16 PPN Sibolga Bentong 1,609 1,058 724 - 255 815 - - - - 4,461 Cucut monyet/tikus 327 10,611 - 350 - - - - 11,288 Cucut lajam - 290 200 - 670 542 - - - - 1,702 Kembung Perempuan - 2,853 7,031 5,500 7,553 7,509 3,026 6,990 5,852 1,900 7,500 6,600 62,314 Layang/Benggol - 500 3,000 2,150 1,398 - - - - 7,048 Layang biru - - - - - - 1,594 2,350 73 600 200 1,100 5,917 Lemuru 621 220 2,373 500 800 259 37 840 - - - - 5,650 Lisong - - - - - - 9,111 - - - - - 9,111 Selar kuning - 12,912 2,303 3,700 2,097 6,074 1,011 3,210 4,233 1,500 700 4,010 41,750 Sunglir - - 400 500 - - - 450 - - - - 1,350 Tembang - 3,270 - - - 717 500 650 - - - - 5,137 Tenggiri - 689 336 625 150 160 815 1,600 1,200 500 1,050 7,125 Tongkol krai 2,731 - - 1,300 3,600 - - - - 7,631 17 PPN Sungailiat Bentong 5,595 1,590 17,514 - 10,087 94 - 7,848 4,845 12,829 8,825 9,231 78,458 Cucut botol 1,601 572 20,529 - 7,007 - 10,156 7,830 23,844 27,028 15,285 - 113,852 Cucut lanjam 1,214 217 4,208 - 3,813 - 2,181 1,621 1,167 4,163 3,475 - 22,059 Kembung Perempuan 6,190 524 9,152 - 11,816 329 12,027 12,150 5,911 37,976 33,595 18,429 148,099 Lemuru 18,485 4,001 25,489 - 25,700 - 19,719 13,907 17,935 38,528 33,320 29,433 226,517 Selar hijau 10,893 2,414 58,327 - 29,232 - - 21,911 22,383 - - 45,036 190,196 Tembang 21,168 4,086 31,263 - 30,137 - 30,612 22,088 17,068 45,176 25,355 - 226,953 Tenggiri 6,803 580 16,149 - 7,338 156 16,033 10,564 10,780 63,552 15,582 6,004 153,541 Tenggiri papan 1,791 525 8,396 - 4,980 22 4,549 5,155 3,170 8,599 6,839 - 44,026 Tongkol abu-abu - 18 138 - - - 80 356 - - 18 - 610 Tongkol como 4,627 294 8,690 - 3,520 57 7,850 18,852 19,377 52,694 8,523 2,669 127,153 18 PPN Tanjung Pandan Banyar/Kembung Lelaki - 1,170 1,197 1,015 577 894 1,686 2,893 93 808 3,270 3,084 16,687 Cucut anjing/cakilan - - - 4,890 - - - - 4,890 Cucut botol 424 277 2,662 - 1,029 2,423 1,253 720 - 515 2,745 - 12,048 Kembung Perempuan 360 300 118 769 1,282 569 702 - 844 1,287 254 6,485 Selar como 23 - - 101 223 32 112 375 - - 635 2,113 3,614


(2)

No. Pelabuhan Perikanan Jenis Ikan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Tembang 365 1,265 5,500 3,452 3,327 4,395 1,445 2,240 - 150 1,980 1,645 25,764 Tenggiri 7,455 17,694 23,373 16,271 21,682 15,151 22,433 281 3,417 7,818 10,032 145,607 Tenggiri Papan 15 - - - - 15 Tongkol krai 665 2,505 275 2,148 3,250 2,800 150 750 2,150 620 6,210 1,670 23,193

19 PPN Ternate Cakalang 224,074 151,536 106,532 123,956 111,457 144,828 109,566 86,523 187,258 149,492 87,220 151,127 1,633,569

Kembung Perempuan 10,282 3,744 5,963 3,060 31,160 24,712 36,814 52,066 2,292 36,340 23,144 6,635 236,212 Layang biru 79,170 10,644 9,618 38,676 112,872 128,280 138,774 110,424 166,800 37,626 - - 832,884 Layang/Benggol - - - - - 44,544 52,134 157,656 254,334 Lemuru - 17,616 8,082 - - - - 25,698 Selar como 8,172 2,040 3,990 9,751 5,664 6,738 19,618 3,612 2,136 2,398 4,488 2,568 71,175 Sunglir 1,020 - - - - 1,260 960 - - - - - 3,240 Tembang 1,524 408 - 1,020 - 2,220 1,440 - - - - - 6,612 Tongkol como 95,582 36,204 12,420 13,760 29,118 28,368 54,228 113,166 154,198 101,128 21,846 66,328 726,346 20 PPN Tual Cucut botol 3,870 8,724 - 1,880 - 7,920 20,460 8,425 - 32,089 - 64,256 147,624 Kembung Perempuan - - - - - 4,155 - - - - 4,155 Tenggiri 1,625 25,683 - 3,561 - 14,244 20,049 4,502 2,245 8,661 5,610 8,417 94,597 Type C

21 PPP Banjarmasin Deho - - - 1,000 - - - - 1,000 Layang/Benggol - - - 13,500 - - - - 13,500 Selar como - - - 1,000 - - - - 1,000 22 PPP Kupang Cakalang - 862 - 19,815 28,041 16,231 34,941 7,776 27,238 3,811 36,760 35,960 211,435 Cucut botol - - - 5,385 3,140 3,444 591 - 5,242 468 836 2,441 21,547 Cucut martil / capingan - 8,421 - - - - 848 - 330 250 84 200 10,133 Layang biru - 5,000 4,155 2,145 - 1,219 8,850 - - 420 7,503 7,691 36,983 Tembang - 25,600 - 815 10,760 4,000 2,000 3,000 6,500 1,000 6,000 2,100 61,775 Tenggiri - 3,320 - - - - 3,320 Tongkol abu-abu - - - - - 1,381 4,943 - - 3,216 5,200 1,400 16,140 23 PPP Labuhan Lombok Bentong - - - - 1,594 121 1,715 Cakalang - - - - 7,597 32,932 158,132 132,598 122,866 162,393 76,178 36,702 729,398 Layang/Benggol - - - - 120 - 1,717 120 - 10,336 2,705 700 15,698

Sunglir 48 - - - 139 270 457

Tongkol abu-abu - - - - 1,531 7,007 35,431 30,743 19,977 20,789 4,128 1,610 121,216 Tongkol como - - - - 1,840 14,484 1,964 8,431 4,159 600 31,478 Tuna mata besar - - - - 246 1,273 81 - - - 1,600 24 PPP Lampulo Banyar/Kembung Lelaki 3,250 2,825 5,100 - 9,325 2,725 5,050 - - - - - 28,275 Cakalang 133,600 173,075 211,525 - 239,150 205,600 200,050 - - - - - 1,163,000

Cucut lanjam 4,095 - - - - - 4,095

Layang deles 60,050 67,275 128,140 - 120,175 91,850 43,985 - - - - - 511,475 Lemuru 17,375 17,675 4,800 - 22,625 12,100 14,500 - - - - - 89,075 Lisong 1,575 - 4,800 - 3,300 4,250 27,325 - - - - - 41,250 Salem/Sunglir 2,725 3,625 3,725 - - 2,200 - - - - - 12,275 Selar kuning 7,600 8,750 25,300 - 16,900 13,650 8,400 - - - - - 80,600 Tembang 2,200 1,950 3,800 - 4,525 2,150 - - - - - 14,625 Tongkol como 9,025 8,125 11,850 - 15,275 5,575 11,835 - - - - - 61,685 Tongkol krai 23,350 37,450 71,950 - 179,875 157,325 94,100 - - - - - 564,050


(3)

No. Pelabuhan Perikanan Jenis Ikan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah 25 PPP Morodemak Kembung Perempuan 3,040 - - - - 3,040

Tongkol krai 839 - - - - 839 26 PPP Pondokdadap Cakalang 302 3,166 175 - - - 1,661 31,986 - 2,776 9,530 7,386 56,982 Layang/Benggol - - - - - 46,383 6,308 29,391 537 82,619 Lemuru - - - - - 1,105 - 8,245 9,350 Madidihang - - - - - - 32,186 52,427 - - - 9,340 93,953 Tenggiri - - - - - 821 - 821 Tongkol como - - - - - 6,178 - 14,499 637 21,314 Tongkol krai - - - - - 817 167 984 Tuna mata besar 825 3,075 768 - - 544 - - - - 5,212 27 PPP Teluk Batang Cucut botol - - - - 19 - - - - - 121 67 207 Kembung Perempuan 62,001 18,949 27,679 200 2,257 - 3,500 1,200 - 4,029 78,581 198,396 Tembang 644 141 - - 1,461 1,000 580 1,300 - - - 5,126 Tenggiri 168 241 367 403 501 377 422 722 263 - - 238 3,702 Tongkol krai - - - - - 5,900 1,100 - - - 7,000 28 PPI Muara Kintap Banyar/Kembung Lelaki 153 13 - 17 - - 6 - - - - - 189 Bentong 570 213 138 63 - - - 25 28 190 1,227 Cucut botol - - - - - 83 96 3 50 3 235 Cucut lajam 800 900 650 - 83 - - - - 2,433 Kembung Perempuan 15,613 4,406 3,470 2,898 4,121 - 43 - - 634 1,232 304 32,721 Selar como 263 564 410 175 994 - - 4 89 34 72 380 2,985 Selar hijau - - - - - - 65 260 64 96 842 364 1,691 Selar kuning 4,000 1,912 547 1,142 72 155 52 1 292 1,851 10,024 Tembang - 170 22 238 1,018 27 9,415 10,031 4,699 11,307 36,927

Tenggiri 9,827 17,993 8,200 14,444 5,748 16,702 390 6 8,487 3,147 84,944

Tenggiri papan 300 - - - - - 2,984 3,666 5,983 11,249 43 42 24,267 Tongkol como 3,310 9,924 12,300 9,900 8,820 12,115 - - - - 7,574 2,635 66,578 29 UPPP Mayangan Kembung Perempuan - - - - - 165 294 9,327 627 956 11,369 Lemuru 36 - - - - 36 Selar kuning - - - - - 943 943 Tembang - 92 915 - 81 - 28 452 44 1,160 601 3,373

8,617,620

9,296,001 10,650,824 11,908,782 11,470,420 12,244,532 17,717,492 17,721,458 17,728,336 28,643,313 21,477,511 10,948,850 178,425,139

Sumber: Ditjen Perikanan Tangkap, 2012 (diolah)


(4)

Lampiran 9. Perhitungan bobot faktor strategik internal

Pakar 1. Kepala Seksi Pengembangan Usaha, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor

Faktor Penentu Strategik Internal

A

B

C

D

E

F

G

H

Total

Bobot

Harga jual kompetitif (A)

2

1

3

3

3

3

3

1

19

0.14844

Jaringan pemasaran sederhana (B)

3

2

3

3

3

1

3

3

21

0.16406

Manajer adalah pemilik usaha ( C )

1

1

2

1

1

1

3

1

11

0.08594

Lokasi usaha berdekatan dengan pasar (D)

1

1

3

2

3

3

3

1

17

0.13281

Kualitas produk belum stabil (E)

1

1

3

1

2

1

3

1

13

0.10156

Kemampuan SDM terbatas (F)

1

3

3

1

3

2

3

1

17

0.13281

Penanganan limbah belum optimal (G)

1

1

1

1

1

1

2

1

9

0.07031

Akses permodalan lemah (H)

3

1

3

3

3

3

3

2

21

0.16406

Total

13

11

21

15

19

15

23

11

128

1

Pakar 2. Kepala Sub Direktorat Pengembangan UKM, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Faktor Penentu Strategik Internal

A

B

C

D

E

F

G

H

Total

Bobot

Harga jual kompetitif (A)

0

3

1

1

3

3

3

3

17

0.14912

Jaringan pemasaran sederhana (B)

1

0

1

1

3

1

3

1

11

0.09649

Manajer adalah pemilik usaha ( C )

3

3

0

1

3

3

3

3

19

0.16667

Lokasi usaha berdekatan dengan pasar (D)

3

3

3

0

3

3

3

3

21

0.18421

Kualitas produk belum stabil (E)

1

1

1

1

0

1

3

3

11

0.09649

Kemampuan SDM terbatas (F)

1

3

1

1

3

0

3

3

15

0.13158

Penanganan limbah belum optimal (G)

1

1

1

1

1

3

0

1

9

0.07895

Akses permodalan lemah (H)

1

3

1

1

1

1

3

0

11

0.09649


(5)

Pakar 3. Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak (PPTK)

Faktor Penentu Strategik Internal

A

B

C

D

E

F

G

H

Total

Bobot

Harga jual kompetitif (A)

0

3

3

3

2

3

3

3

20

0.17857

Jaringan pemasaran sederhana (B)

1

0

3

3

1

3

3

2

16

0.14286

Manajer adalah pemilik usaha ( C )

1

1

0

3

1

2

3

1

12

0.10714

Lokasi usaha berdekatan dengan pasar (D)

1

1

1

0

1

1

2

1

8

0.07143

Kualitas produk belum stabil (E)

2

3

3

3

0

3

3

3

20

0.17857

Kemampuan SDM terbatas (F)

1

1

2

3

1

0

3

1

12

0.10714

Penanganan limbah belum optimal (G)

1

1

1

2

1

1

0

1

8

0.07143

Akses permodalan lemah (H)

1

2

3

3

1

3

3

0

16

0.14286

Total

8

12

16

20

8

16

20

12

112

1

Pakar 4. Pemilik Usaha Pengolahan Pindang Ikan, Skala Menengah

Faktor Penentu Strategik Internal

A

B

C

D

E

F

G

H

Total

Bobot

Harga jual kompetitif (A)

0

3

3

3

3

3

3

3

21

0.18421

Jaringan pemasaran sederhana (B)

1

0

1

1

1

1

1

1

7

0.0614

Manajer adalah pemilik usaha ( C )

1

3

0

1

1

1

3

1

11

0.09649

Lokasi usaha berdekatan dengan pasar (D)

1

3

3

0

1

1

3

1

13

0.11404

Kualitas produk belum stabil (E)

3

3

3

3

0

3

3

3

21

0.18421

Kemampuan SDM terbatas (F)

1

3

1

3

1

0

3

1

13

0.11404

Penanganan limbah belum optimal (G)

1

1

1

1

1

1

0

1

7

0.0614

Akses permodalan lemah (H)

3

3

3

3

3

3

3

0

21

0.18421


(6)

Pakar 5. Pemilik Usaha Pengolahan Pindang Ikan, Skala Kecil

Faktor Penentu Strategik Internal

A

B

C

D

E

F

G

H

Total

Bobot

Harga jual kompetitif (A)

0

3

1

1

3

1

3

3

15

0.13761

Jaringan pemasaran sederhana (B)

1

0

1

1

3

1

3

1

11

0.10092

Manajer adalah pemilik usaha ( C )

3

3

0

1

3

3

3

3

19

0.17431

Lokasi usaha berdekatan dengan pasar (D)

3

3

3

0

3

3

3

3

21

0.19266

Kualitas produk belum stabil (E)

1

1

1

1

0

1

3

3

11

0.10092

Kemampuan SDM terbatas (F)

3

3

1

1

3

0

2

1

14

0.12844

Penanganan limbah belum optimal (G)

1

1

1

1

1

1

0

1

7

0.06422

Akses permodalan lemah (H)

1

3

1

1

1

1

3

0

11

0.10092