menghasilkan bau dan rasa tengik, serta perubahan warna menjadi coklat kusam. Aktivitas beragam mikroorganisme yang terdapat pada ikan dapat menghasilkan
beragam senyawa hasil penguraian protein dan lemak seperti amonia, gas hidrogen belerang H
2
S, beragam jenis asam, dan senyawa lain yang berbau busuk dan tengik Ilyas, 1993.
Penanggulangan beragam masalah yang menurunkan mutu ikan dan bahaya keamanan pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan, dimulai dari
kegiatan penangkapan ikan hingga konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut, maka jaminan mutu terhadap produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan
melalui penerapan sistem jaminan mutu yang memadai secara efektif mulai dari ikan ditangkap, proses pengolahan di pabrik sampai ke tangan konsumen. Sistem
mutu pada agroindustri ikan meliputi Good Manufacturing Practices GMP, Standard Sanitation Operational Procedure
SSOP dan Hazard Analysis Critical Control Point
HACCP Palacios, 2001.
2.5 Sistem Jaminan Mutu Produk Perikanan
2.5.1 Penanganan yang Baik Untuk memperoleh ikan dengan mutu yang sesuai dengan ketentuan
industri pengolahan ikan, maka penanganan ikan yang baik Good Handling Practices atau GHP
sepanjang aktivitas rantai pasokan ikan untuk industri pengolahan perlu dilakukan dengan optimal. Penanganan ikan yang baik
dapat mengurangi potensi kerusakan dan kehilangan mutu ikan sepanjang rantai pasokan. Menurut Menai 2007, penanganan ikan segar
yang baik meliputi penanganan ikan segar di atas kapal, dan penanganan ikan di pangkalan pendaratan ikan, atau tempat pelelangan ikan.
Penanganan ikan segar harus berpedoman kepada prinsip-prinsip penanganan ikan segar yang baik dan benar, yaitu ikan harus selalu
berada dalam rantai dingin 0-5 C, pekerja bekerja dengan cermat, cepat,
tepat waktu dan higienis Mangunsong, 2008.
2.5.2 Cara Berproduksi yang Baik Cara berproduksi yang baik Good Manufacturing Practices atau
GMP terdiri dari berbagai macam persyaratan yang secara umum, meliputi persyaratan mutu dan keamanan bahan bakubahan pembantu, persyaratan
penanganan bahan bakubahan pembantu, persyaratan pengolahan, persyaratan pengemasan produk, persyaratan penyimpanan produk dan
persyaratan distribusi produk. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijabarkan lebih spesifik lagi sesuai dengan jenis produk yang diolah.
2.5.3 Prosedur Standar Penerapan Sanitasi Prosedur standar penerapan sanitasi Sanitation Standar Operating
Procedure atau SSOP merupakan langkah terdokumentasi yang secara
spesifik mendeskripsikan prosedur sanitasi tertentu untuk menjamin terpenuhinya kebersihan di suatu tempat pengolahan pangan. Prosedur
kebersihan tersebut harus cukup detil untuk menjamin bahwa pencemaran produk tidak akan terjadi. Dokumentasi dan peninjauan
penerapan SSOP diperlukan dalam rencana HACCP secara periodik. SSOP secara umum harus meliputi :
a. Keamanan air.
b. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan pangan.
c. Pencegahan kontaminasi silang.
d. Menjaga tempat cuci tangan, sanitasi, dan fasilitas toilet.
e. Proteksi pangan dan bahan baku dari pencemaran dan kerusakan.
f. Pelabelan yang sesuai.
g. Pengendalian kondisi kesehatan pekerja.
h. Proteksi dari gangguan hewan.
Kebersihan dan terjaganya kondisi sanitasi merupakan hal yang vital dalam penyediaan pangan utuh dan aman bagi konsumen. Oleh karena
itu, kebersihan dan sanitasi pada bangunan, peralatan, perlengkapan dan permukaan yang berhubungan langsung dengan pangan sangat penting
untuk dijaga, agar dapat tercegah dari kontaminasi bahaya pangan. Permukaan alat yang mengalami kontak langsung dengan pangan, harus
dibersihkan secara
teratur untuk
mencegah perkembangbiakan
mikroorganisme dan pembentukan biofilm. Komponen zat pembersih, maupun alat kebersihan dan sanitasi harus disimpan jauh dari pangan
pada tempat terpisah. Suatu sistem sanitasi yang efektif akan memerlukan beragam prosedur pembersihan yang meliputi pengukuran efektif untuk
pengendalian penyakit
dan pasokan
air yang
memadai. Kondisi drainase yang baik juga diperlukan untuk membuang air limbah
penanganan pangan. Pengendalian sanitasi tambahan meliputi perawatan sanitasi fasilitas toilet, penyediaan tempat cuci tangan dan penyediaan
tempat pembuangan limbah pada lokasi yang tepat Tajkarimi, 2007
2.5.4 Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis Hazard Analysis
Critical Control Point, atau HACCP adalah suatu sistem yang digunakan
untuk mengidentifikasi bahaya dan menetapkan tindakan pengendaliannya
yang memfokuskan
pada pencegahan
daripada mengandalkan sebagian besar pengujian mutu produk akhir. HACCP
dapat diterapkan pada seluruh rantai pangan dari produk primer sampai pada konsumsi akhir dan penerapannya harus dipedomani dengan bukti
secara ilmiah terhadap risiko kesehatan manusia. Penerapan sistem HACCP dilakukan berdasarkan 12 langkah terurut. Dari 12 langkah
tersebut terdapat tujuh prinsip dasar HACCP. Penerapan sistem HACCP berdasarkan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisis Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis HACCP serta Pedoman Penerapannya BSN, 1998 adalah :
a. Pembentukan tim HACCP
Tim HACCP idealnya harus dibentuk karena pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu harus tersedia untuk pengembangan rencana
HACCP efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan
pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Lingkup
tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahaya-
bahaya yang dimaksudkan semua jenjang bahaya, atau hanya jenjang tertentu.
b. Deskripsi produk
Deskripsi yang lengkap mengenai produk, atau kelompok produk diperlukan sebagai gambaran bagi tim HACCP dan sangat diperlukan
dalam membantu menetapkan tujuan keamanan pangan dan analisis bahayanya.
c. Identifikasi rencana penggunaan
Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk, atau konsumen. Dalam hal-
hal tertentu, kelompok-kelompok populasi konsumen yang rentan dalam menerima pangan dari institusi, maka perlu dipertimbangkan.
d. Penyusunan bagan alir
Diagram alir yang dibuat harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan pada suatu operasi
tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut.
e. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan
Deskripsi tugas harus ditulis untuk setiap langkah proses, termasuk hal detil operasi, misalnya, operator apa yang diperlukan, atau peralatan
apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Konfirmasi bagan alir harus mencakup tanggungjawab keamanan pangan yang relevan dari
operator.
f. Melaksanakan analisis bahaya Prinsip 1
Identifikasi bahaya akan menyoroti bahaya keamanan pangan yang diperkirakan berasosiasi dengan produk, atau proses. Identifikasi
bahaya memerlukan suatu pemahaman terhadap bahan baku, proses, spesifikasi produk, peralatan pengolahan, lingkungan pengolahan dan
kegiatan operator di dalam suatu proses.
g. Menentukan Titik Kendali Kritis Prinsip 2
Titik kendali kritis TKK dapat berupa poin, langkah, atau prosedur dimana kendali dapat diterapkan dan penting untuk mencegah, atau
menghilangkan bahaya keamanan pangan atau mengurangi hingga batas tertentu, sesuai dengan :
1 Tujuan keamanan pangan untuk produk.
2 Level bahaya yang terjadi.
3 Frekuensi seringnya bahaya terjadi.
4 Transfer atau redistribusi timbulnya bahaya.
5 Kondisi efek bahaya pada pelanggan.
h. Menetapkan batas kritis Prinsip 3
Batas kritis merupakan kriteria yang memisahkan pengamatan, atau pengukuran yang dapat dan tidak dapat diterima. Batas kritis harus
jelas didefinisikan dan dapat diukur. Batas kritis harus spesifik untuk setiap TKK sebagaimana batas kritis mendefinisikan aktivitas dan
operasi yang dapat diterima untuk mengendalikan bahaya.
i. Menetapkan sistem untuk memantau pengendalian TKK Prinsip 4
Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada TKK. Selanjutnya, pemantauan seyogianya memberi informasi
yang tepat waktu untuk mengadakan penyesuaian dalam memastikan pengendalian proses untuk mencegah pelanggaran dari batas kritis.
Dimana mungkin, penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali
pada suatu TKK.
j. Menetapkan tindakan perbaikan untuk dilakukan jika hasil
pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali Prinsip 5.
Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa TKK telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi
tepat dan produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
k. Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem
HACCP bekerja secara efektif Prinsip 6 Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk
pengambilan contoh secara acak dan analisis, dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar.
Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi
mencakup peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya; meninjau kembali penyimpangan dan disposisi produk; mengkonfirmasi apakah
TKK berada dalam kendali.
l. Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan catatan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya Prinsip 7 Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah penting
dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan
besarnya operasi.
2.6 Analisis Kelayakan Usaha