Hasil Penelitian Tentang Pemasaran

Banjarnegara Jawa Tengah, Sumenep Jawa Timur, Ciomas Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan oleh salah satu staf Balitka Manado dilakukan mulai tahun 2004. Penelitian perakitan pohon kelapa kopyor dengan kultur embrio sudah dimulai sejak tahun 1982. Saat ini kelapa kopyor hasil kultur embrio tersebut telah ditanam di Kebun Percobaan Ciomas sebanyak 80 pohon, empat diantaranya berumur delapan tahun lebih dan sudah menghasilkan buah dengan persentase kopyor mencapai 92 persen. Hasil perakitan ini dipatenkan di Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek, Departemen Kehakiman dengan judul “Teknologi Perakitan Bibit Kelapa Kopyor dengan Kultur Embrio”. Paten No.0001957 tertanggal 1 September 1997, dalam http:www.ipard.com, 2005. Menurut Lembaga Biotek Perkebunan, perkebunan kelapa kopyor yang dikembangkan secara estate secara luas merupakan yang pertama di Indonesia. Lembaga Bioteknologi Perkebunan Bogor mengadakan perjanjian kerja sama dengan PTPN VIII Jabar untuk mengembangkan perkebunan kelapa kopyor. Lokasinya mengambil tempat di Perkebunan Cikumpay Kecamatan Campaka Purwakarta. Saat ini umur tanaman sudah lebih dua tahun dan ditanam pada lahan seluas empat ha. PTPN VIII Jabar menyediakan seluruh fasilitas berupa penyediaan lahan yang terisolasi dari tanaman kelapa dalam. Tenaga ahli Bioteknologi Perkebunan Bogor melakukan pembelian bibit, pupuk, dan obat- obatan. Secara teoretis, Perkebunan Cikumpay tahun 2004 2005 diharapkan bisa mengeluarkan 57.600 butir kelapa kopyor. Dengan harga per butir Rp 12.500, diperhitungkan pada tahun pertama panen panen perdana tiga tahun yang akan datang sebesar Rp 720.000.000.

2.2. Hasil Penelitian Tentang Pemasaran

Rediansyah 2003 dalam analisis sistem pemasaran bawang daun terdapat empat saluran pemasaran di Desa Cijarian Pandai, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Penentuan responden petani berdasarkan perbedaan sumber modal. Jumlah petani responden terdiri dari 15 orang petani yang diberi modal pinjaman oleh pedagang pengumpul dan 15 orang petani dengan modal sendiri, sedangkan jumlah pedaga ng sebanyak 21 orang responden. Farmer’s share petani responden yang menggunakan modal sendiri untuk pola 1 petani-pedagang pengumpul-pedagang besar-pedagang grosir PIKJ- pedagang pengecer-konsumen dan 3 petani-pedagang pengumpul-pedagang grosir PIKJ-pedagang pengecer-konsumen sebesar 64,11 persen, sedangkan farmer’s share petani yang menggunakan modal pinjaman adalah sebesar 59,36 persen. Pada pola 2 petani-pedagang pengumpul-pedagang besar-pedagang grosir Pasar Cisaat-pedagang pengecer-konsumen dan 4 petani - pedagang pengumpul - pedagang grosir Pasar Cisaat - pedagang pengecer – konsumen, farmer’s share bagi petani yang menggunakan modal sendiri sebesar 65,2 persen, dan petani yang menggunakan modal pinjaman sebesar 60,36 persen. Berdasarkan analisis margin pemasaran, sistem pemasarannya belum efisien, karena biaya pemasaran yang tinggi serta marjin pemasaran yang belum merata. Berdasarkan analisis efisiensi pemasaran, pola 3 relatif lebih efisien daripada pola 1. Pola 4 relatif lebih efisien daripada pola 2 dengan melihat volume jual yang besar serta penyebaran margin pada masing- masing lembaga lebih merata. Struktur pasar untuk petani responden baik yang menggunakan modal sendiri maupun modal pinjaman dan pedagang pengecer responden adalah oligopsoni murni. Sedangkan untuk pedagang pengumpul responden, pedagang besar responden dan pedagang grosir responden menghadapi pasar oligopoli. Penentuan harga antara petani yang menggunakan modal sendiri dan modal pinjaman ditentukan pedagang pengumpul. Antara pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang grosir, penentuan harga dilakukan berdasarkan harga pasar. Antara pedagang grosir dengan pedagang pengecer mengikuti harga yang ditawarkan oleh pedagang grosir. Kasus tersebut menunjukkan bahwa petani responden baik yang menggunakan modal sendiri maupun modal pinjaman tidak menerima pembagian yang cukup adil dari sistem pemasaran yang ada. Hal ini menunjukkan masih rendahnya efisiensi pemasaran dari sistem tersebut. Dari hasil penelitian pemasaran bandeng di Kabupaten Indramayu oleh Mubarok 2001 terdapat saluran pemasaran sebagai berikut : petani ? ped. pengumpul ? ped. grosir ? ped. pengecer ? konsumen. Hasil analisis margin pemasaran, menunjukkan bahwa sebaran margin pemasaran bandeng pada pola saluran pemasaran tidak merata di setiap lembaga pemasaran. Marjin terbesar dikeluarkan oleh pedagang grosir yaitu sebesar 30,96 persen dari harga jual dan margin terkecil dikeluarkan oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar 15,69 persen. Pedagang pengumpul memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 3.540,00 atau 29,4 persen dan pedagang pengumpul memperoleh terkecil yaitu sebesar Rp 341,69 atau 4,12 persen. Sedangkan biaya terbesar dikeluarkan oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp 941,41 atau 11,37 persen dari harga jual. Dari pola pemasaran yang ada, petani memperoleh farmer share sebesar 50 persen dari total harga yang dibayarkan konsumen. Berdasarkan analisis keterpaduan pasar yang dilakukan pada saluran pemasaran diperoleh hasil bahwa tidak terdapat keterpaduan pasar baik dalam jangka panjang maupun pendek. Penyebab ketidakterpaduan pasar tersebut adalah tidak transparannya informasi antar lembaga pemasaran serta tidak disalurkan secara cepat dan penuh ke tingkat petani, bargaining position petani yang lemah. Dari hasil analisis-analisis yang dilakukan mencerminkan bahwa efisiensi pemasaran pada pola pemasaran bandeng di Kabupaten Indramayu belum tercapai. Joenis 1999 dalam analisis sistem tataniaga jeruk siam garut menyatakan terdapat empat jalur pemasaran di Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Samarang, Kabupaten Dati II Garut, Jawa Barat. Jumlah petani yang memasarkan jeruk ke jalur I petani -ped. pengumpul-1 -ped. grosir -ped. pengumpul-2 supermarket – konsumen sebanyak 7 orang responden 23,33 persen. Jalur II petani - ped. pengumpul-1 -ped. grosir -ped. pengecer-2 -konsumen sebanyak 15 orang 50 persen. Jalur III petani -ped. pengumpul-1 -ped. pengecer-1 –konsumen sebanyak 5 orang 16,67 persen dan jalur IV petani -ped. pengecer-1 – konsumen sebanyak 3 orang 10 persen. Penentuan struktur pasar yang terjadi bila dilihat secara keseluruhan dari petani dan tingkat lembaga perantara menunjukkan pasar yang terbentuk oligopsoni terdiferensiasi. Petani melakukan fungsi penjualan, sedangkan fungsi pengemasan, pembiayaan, sortasi dan grading hanya kadang-kadang dilakukan. Pedagang pengumpul-1 melakukan semua fungsi pemasaran sedangkan untuk transportasi dan penyimpanan kadang-kadang dilakukan. Pedagang pengecer-1, pengecer-2 dan pedagang pengumpul-2 melakukan seluruh fungsi pemasaran. Pedagang grosir melakukan semua fungsi pemasaran, kecuali fungsi pengemasan dan transportasi. Supermarket melakukan semua fungsi pemasaran, kecuali transportasi. Dari analisis rasio keuntungan dan biaya pemasaran, jalur IV memberikan keuntungan terbesar yaitu 3,19 persen. Pada jalur I, margin keuntungan terbesar sekalligus biaya terbesar terdapat pada lembaga perantara supermarket. Jalur II, III dan IV, margin keuntungan terbesar terdapat pada pedagang pengecer. Pada jalur II, margin biaya terbesar dikeluarkan oleh pedagang pengumpul-1, yaitu sebesar Rp 139,75 atau 3,73 persen, sedangkan margin keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer-2 yaitu sebesar Rp 390,25. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penyebaran margin kurang merata. Lembaga yang mengeluarkan biaya terbesar dalam suatu saluran pemasaran belum tentu akan menerima margin keuntungan terbesar pula. Nilai koefisien b2 pada jalur I adalah 0,429 dan jalur II adalah 0,163, yang menunjukkan tidak adanya keterpaduan pasar jangka panjang. Nilai indeks keterpaduan pasar IMC adalah sebesar 6,76 untuk jalur I dan 3,93 untuk jalur II. Nilai tersebut menunjukkan tidak adanya keterpaduan pasar jangka pendek antara kedua pasar pasar acuan dan pasar lokal. Berdasarkan hasil uji-t, baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek, terlihat bahwa pasar tidak terpadu pada keseimbangan jangka pendek maupun jangka panjang. Uji hipotesis bersamaan, F-hitung menunjukkan bahwa sekurang- kurangnya ada satu peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas pada taraf nyata satu persen. Dari penelitian diatas, besar-kecilnya margin pemasaran yang diperoleh dan panjang-pendeknya saluran pemasaran belum dapat mengukur efisien atau tidaknya bagi pemasaran. Hal ini sangat dipengaruhi penyebaran margin pemasaran yang kurang merata pada masing- masing saluran yang berbeda. Lembaga yang mengeluarkan biaya terbesar dalam suatu saluran pemasaran belum tentu akan menerima margin keuntungan yang terbesar pula. Berdasarkan analisis keterpaduan pasar yang dilakukan pada penelitian diatas diperoleh hasil bahwa tingkat keterpaduan pasar baik dalam jangka panjang maupun pendek belum tercapai secara maksimal. Hal ini disebabkan informasi pasar yang belum transparan di antara lembaga- lembaga yang terlibat, serta tidak disalurkan secara cepat dan penuh ke tingkat petani, dimana posisi tawar petani masih lemah. Dalam penelitian analisis tataniaga komoditi kelapa kopyor kali ini melakukan penelusuran melalui jalur distribusi pemasaran yang diawali dari petani, kemudian melibatkan sejumlah pedagang pengumpul I, pedagang pengumpul II, pedagang besar dan pengecer. Dimana pedagang pengumpul I melakukan pembelian secara langsung dari petani di Desa Ngagel, Kecamatan Dukuhseti. Penelitian ini menganalisis saluran pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar, margin pemasaran, rasio keuntungan dan biaya, serta farmer’s share, yang diamati dari pasar di wilayah Kabupaten Pati. Analisis tataniaga komoditi kelapa kopyor ini tidak diketahui dari analisis keterpaduan pasar jangka pendek maupun jangka panjang, karena harga di pasar lokal lebih dominan dipengaruhi oleh harga pasar itu sendiri dan tidak adanya transparansi informasi harga.

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN