Sesajen (Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu Etnis Karo di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara).

(1)

SESAJEN

( Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu Etnis Karo di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten

Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara ) SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

D I S U S U N Oleh :

Noprianto Adiguna Tarigan

060905034

Depertemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara


(2)

KATA PENGANTAR

Pertama - tama penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas berkat dan kehendak-Nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “SESAJEN (Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu Etnis Karo di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis sangat mengucapkan terimakasih yang sangat besar kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas kuasa dan anugrah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih Bapa atas semua yang Engkau berikan kepada aku selama ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yaitu bapak Rincuh Tarigan dan mamak Mariati Br Sitepu. Terima kasih atas semua kasih sayang, didikan, perhatian, yang penulis terima sejak lahir hingga tumbuh dewasa seperti sekarang ini. Begitu juga, terima kasih kepada kedua adik saya yaitu Alpriadi Tarigan dan Tommy P Tarigan.

Terima kasih yang setinggi - tingginya kepada keluarga besar Sitepu margana yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama melaksanakan kuliah dan dalam penulisan skripsi ini.


(3)

Pada kesempatan ini, penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin Rengkuti,MSi, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs.Zulkifli Lubis,MA, sebagai ketua Departemen Antopologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs.Irfan Simatupang,M.Si, sebagai sekretaris Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Dra.Rytha Tambunan,MSi, selaku Dosen penasehat akademik yang telah mendidik dan mengarahkan saya selama kuliah di Departemen Antropologi.

5. Ibu Dra.Sabariah Bangun,MSoc.Sc, sebagai dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan banyak waktu untuk membimbing dan memberikan saran selama mengerjakan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Agustrisno,MSP, selaku ketua penguji pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Bapak Drs Lister Brutu,MA, selaku dosen penguji pada saat penulis melakukan ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan


(4)

pengetahuan kepada penulis selama melaksanakan perkuliahan.

9. Seluruh staf dan pegawai yang ada di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

10. Kepada seluruh umat Hindu yang ada di Desa Lau Rakit, khususnya yang ada di Dusun I Pintu Besi yang telah menerima saya selama melakukan penelitian.

11. Kepada seluruh informan penelitian yang bersedia memberikan informasi yang seakurat mungkin sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

12. Kepada saudara, kerabat, teman dan sahabat saya yaitu Carles DS Gultum’06, Feber R Sihotang’06, Arnovandala Tampubolon’04, Heksanta N Br Bangun’06, Hizkia Sagala’04, Alles S Turnip’04, Ruli Tumanggor’06, Kevin Ginting’06, Hery Sianturi’05, Hemalea Br Ginting’06, Elmanuala Pasaribu’06, Helena T Damanik’06, Joseph Silalahi’04. Terimakasih atas cerita dan kenang - kenangan yang telah kita buat selama kuliah di Departemen Antropologi FISIP USU.

13. Teman - teman Antropologi 2006, Inggrid Sihombing, Firman Tambunan, Mardiana Harahap, Rebeca, Sri Novika, Daniely Aros, Wilprit , Umar Abdilah, Badai, Imelda, Eny S, Sari A Ginting,S.Sos, Aloynina Ginting,S.Sos, Lisnawati Tinendung,S.Sos, Atika Riskiani,S.Sos, Henda G, Danur, Erika, Looksun Pakpahan, Sindriani H Desky, M Ziad Ananta, Arnold Sibarani, Denny Silaen, M Alfian Azis, dan lain - lainnya. Antropologi 2008, Ervina M Br Pinem, Maria Silalahi, Helen Silalahi, Rambo Sitio, Hendra Sitinjak, Harni Sibero, dan lain - lainnya. Serta


(5)

teman - teman Antropologi lainnya yakni Antropologi 2007, Antropologi 2005, Antropologi 2004.

Dalam penulisan skripsi ini telah dicurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, serta juga waktu dalam penyelesaiannya. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangannya. Dengan kerendahan hati, saya harapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari para pembaca. Harapan dari penulis, agar skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pembacanya.

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Lokasi Penelitian ... 8

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Tinjauan Pustaka ... 9

1.6 Metode Penelitian ... 17

1.7 Analisa Data ... 19

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 20

2.1 Lokasi dan Letak Desa ... 20

2.2 Sejarah Desa ... 21

2.3 Keadaan Alam ... 22

2.4 Pola Pemukiman ... 25

2.5 Keadaaan Penduduk ... 26

2.5.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 26

2.5.2 Komposisi Penduduk Menurut Usia ... 27

2.5.3 Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 28

2.5.4 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa ... 29

2.5.5 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 30

2.5.6 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 31

2.6 Sarana dan Prasarana ... 33

2.6.1 Sarana Pendidikan ... 33

2.6.2 Sarana Ibadah ... 34


(7)

2.6.5 Sarana Umum ... 36

2.7 Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan ... 36

BAB III PENGANUT AGAMA HINDU ETNIS KARO ... 40

3.1 Sejarah Agama Hindu ... 40

3.1.1 Lahirnya Agama Hindu di India ... 40

3.1.2 Masuknya dan Penyebaran Agama Hindu di Indonesia .... 41

3.1.3 Masuk Agama Hindu pada Etnis Karo ... 43

3.2 Sistem Kepercayaan pada Agama Hindu ... 46

3.2.1 Percaya Adanya Tuhan (Sang hyang Widhi / Brahman) ... 46

3.2.2 Percaya Adanya Atman (Roh / Jiwa) ... 47

3.2.3 Percaya Adanya Hukum Karmaphala ... 47

3.2.4 Percaya Adanya Punarbhawa / Reinkarnasi ... 49

3.2.5 Percaya Adanya Moksa ... 49

3.3 Kitab Suci ... 50

3.4 Pura ... 53

3.5 Hubungan Agama Hindu Dengan Kebudayan Etnis Karo ... 56

3.6 Pengaruh Hindu dari Daerah Bali Terhadap Hindu Etnis Karo ... 59

3.7 Sikap Hidup ... 62

3.7.1 Keterkaitan Terhadap Sang Hyang Widhi / Brahma ... 62

3.7.2 Keterkaitan Terhadap Begu Jabu dan Begu ... 65

3.7.3 Keterkitan Terhadap Alam Semesta ... 68

BAB IV MAKNA SESAJEN ... 71

4.1 Konsep Sesajen ... 71

4.2 Jenis dan Bentuk Sesajen ... 73

4.2.1 Sesajen Berupa Daun dan Bunga ... 73

4.2.2 Sesajen Berupa Buah - Buahan ... 74

4.2.3 Sesajen Berupa Air ... 74

4.2.4 Sesajen Berupa Api ... 75


(8)

4.3 Aktivitas - Aktivitas Pelaksanaan Sesajen

Serta Makna Sesajen ... 76

4.3.1 Sembahyang ... 76

4.3.2 Odalan ... 81

4.3.3 Saraswati ... 83

4.3.4 Erpangir Ku Lau ... 85

4.3.5 Nabur Rudang (menaburkan Bunga) ... 88

4.4 Tujuan Pemberian Sesajen ... 90

4.4.1 Ekonomi ... 91

4.4.2 Kesehatan ... 92

4.4.3 Psikologi ... 92

4.4.4 Alam Sekitar ... 93

4.5 Fungsi Sesajen ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 102 LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

Tarigan, Noprianto Adiguna. Sesajen (Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu Etnis Karo di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara) : 101 halaman + 1 lampiran + 12 gambar.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana makna sesajen pada penganut agama Hindu etnis Karo, jenis dan bentuk sesajen yang digunakan, serta cara persembahan sesajen. Sesajen tersebut dipersembahkan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur yang disebut sebagai begu jabu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat menggambarkan (deskripsi). Untuk memperoleh informasi tentang makna, bentuk dan jenis, serta cara persembahan sesajen. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pemimpin umat Hindu, kepala desa, dan beberapa umat Hindu sendiri (baik dari yang ada di desa maupun diluar desa). Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu, khususnya etnis Karo dalam hal upacara pemberian sesajen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dan bentuk sesajen yang digunakan adalah berupa bunga yang bermakna cinta kasih, ketulusan, rasa hormat. Buah - buahan memiliki makna hasil jerih payah manusia di dalam berkerja yang akan dipersembahkan. Air merupakan sarana penyucian jiwa dan badaniah seseorang. Api yang di simbolkan dalam bentuk dupa yang memiliki makna sebagai peghubung antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai saksi penghantar persembahan, serta penetalisir dari roh - roh jahat. Beras sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan. Minyak wangi sebagai lambang ketenangan jiwa, pengendalian diri, serta sebagai penambah kaharuman dari sesajen. Makanan berupa roti dan makanan tradisional lainnya merupakan makna dari hasil kreatifitas dan pengetahuan manusia, dan sebagai pelengkap dan memperindah isi dari sesajen. Uang perak sebagai lambang dari kemakmuran. Kurban ayam memiliki makna menjaga hubungan keharmonisan manusia dengan alam yang menjadi tempat tinggal dan berkerja.

Berbagai macam tata cara pemberian sesajen yang dilakukan yaitu pada saat persembahyangan dan odalan, dilakukan dengan meletakkan sesajen pada

padmasana dan penglurah. Pada hari Saraswati, sesajen diletakkan diatas kitab

suci dan buku - buku ilmu pengetahuan. Sesajen yang digunakan pada saat nabur

bunga, diletakkan pada makam saudara ataupun leluhur, dan dalam upacara erpangir ku lau, sesajen yang telah dipersiapkan digunakan dengan cara

memandikannya. Semua kegiatan sesajen tersebut merupakan perwujudtan rasa bakti dan hormat seseorang terhadap Tuhan dan segala manifestasi-Nya yaitu Dewa dan dewi, serta roh leluhur ( begu jabu ).


(10)

ABSTRAK

Tarigan, Noprianto Adiguna. Sesajen (Studi Deskripsi Mengenai Makna Sesajen pada Penganut Agama Hindu Etnis Karo di Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara) : 101 halaman + 1 lampiran + 12 gambar.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana makna sesajen pada penganut agama Hindu etnis Karo, jenis dan bentuk sesajen yang digunakan, serta cara persembahan sesajen. Sesajen tersebut dipersembahkan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur yang disebut sebagai begu jabu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat menggambarkan (deskripsi). Untuk memperoleh informasi tentang makna, bentuk dan jenis, serta cara persembahan sesajen. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci seperti pemimpin umat Hindu, kepala desa, dan beberapa umat Hindu sendiri (baik dari yang ada di desa maupun diluar desa). Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan - kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu, khususnya etnis Karo dalam hal upacara pemberian sesajen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dan bentuk sesajen yang digunakan adalah berupa bunga yang bermakna cinta kasih, ketulusan, rasa hormat. Buah - buahan memiliki makna hasil jerih payah manusia di dalam berkerja yang akan dipersembahkan. Air merupakan sarana penyucian jiwa dan badaniah seseorang. Api yang di simbolkan dalam bentuk dupa yang memiliki makna sebagai peghubung antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai saksi penghantar persembahan, serta penetalisir dari roh - roh jahat. Beras sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan. Minyak wangi sebagai lambang ketenangan jiwa, pengendalian diri, serta sebagai penambah kaharuman dari sesajen. Makanan berupa roti dan makanan tradisional lainnya merupakan makna dari hasil kreatifitas dan pengetahuan manusia, dan sebagai pelengkap dan memperindah isi dari sesajen. Uang perak sebagai lambang dari kemakmuran. Kurban ayam memiliki makna menjaga hubungan keharmonisan manusia dengan alam yang menjadi tempat tinggal dan berkerja.

Berbagai macam tata cara pemberian sesajen yang dilakukan yaitu pada saat persembahyangan dan odalan, dilakukan dengan meletakkan sesajen pada

padmasana dan penglurah. Pada hari Saraswati, sesajen diletakkan diatas kitab

suci dan buku - buku ilmu pengetahuan. Sesajen yang digunakan pada saat nabur

bunga, diletakkan pada makam saudara ataupun leluhur, dan dalam upacara erpangir ku lau, sesajen yang telah dipersiapkan digunakan dengan cara

memandikannya. Semua kegiatan sesajen tersebut merupakan perwujudtan rasa bakti dan hormat seseorang terhadap Tuhan dan segala manifestasi-Nya yaitu Dewa dan dewi, serta roh leluhur ( begu jabu ).


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia memiliki kebudayaannya masing masing, dan masing -masing manusia tersebut mewujudkan kebudayaannya dalam bentuk ide - ide, gagasan, nilai - nilai, norma - norma, peraturan - peraturan yang ada pada masyarakat, dan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, serta benda - benda hasil karya manusia ( Koentjaraningrat, 1990 : 186 - 187 ). Wujud dari kebudayaan yang diungkapkan tersebut terdapat juga di dalam sistem religi ( kepercayaan ) yang ada pada setiap masyarakat, dan juga merupakan kenyataan hidup dari masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat merupakan alat pengatur dan memberi arahan kepada setiap tindakan, prilaku dan karya manusia yang menghasilkan benda - benda kebudayaan. Kebudayaan yang ada pada masyarakat juga mempengaruhi pola - pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikir dari setiap masyarakat.

Manusia adalah makhluk berbudaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola - pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Simbol merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang terkandung sebuah makna yang dapat menjelaskan kebudayaan dari manusia. Geertz ( 1992 ) berpendapat bahwa,


(12)

hal - hal yang berhubungan dengan simbol yang dikenal oleh masyarakat yang bersangkutan sehingga untuk mengetahui kebudayaan dari masyarakat dapat dilihat dari simbol yang mereka gunakan, dan makna harus dicari dalam fenomena budaya. Sehingga untuk memahami makna yang terdapat di dalam simbol, harus mengetahui terlebih dahulu tentang pengetahuan dan pemahaman dari masyarakat mengenai simbol - simbol kebudayan yang mereka wujudkan di dalam tingkah laku dan perbuatannya.

Di lain pihak Turner ( Winangun, 1990 : 19 ) berpendapat bahwa, Simbol adalah unit ( bagian ) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. Selain itu Turner juga menyatakan bahwa tindakan ritual itu banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbol - simbol ritual tersebut. Berdasarkan pernyataan Turner tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian - bagian terkecil ritual pun perlu mendapat perhatian, seperti : sesajen, mantra, dan lain -lain.

Sesajen merupakan sesajian - sesajian yang berbentuk benda, makanan, binatang, bunga, dan lain - lain yang dipersembahkan ( diberi ) sebagai tanda penghormatan atau rasa syukur kepada Tuhan, dewa, roh nenek moyang, mahluk halus yang dianggap dapat mendatangkan keberuntungan, menolak kesialan dan rasa syukur terhadap semua yang terjadi di masyarakat dengan berbagai macam ritual religi ( Suyono, 1985 : 358 ). Sesajen juga salah satu bentuk objek atau


(13)

peristiwa ritual yang terdapat dalam sebuah religi. Sesajen dapat memberitahukan tanda kepada seseorang dalam tingkah laku ritual.

Sesajen merupakan warisan budaya tradisional yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat ( pohon, batu, persimpangan, dan lain - lain ) yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti : Upacara menjelang panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri ( dewi padi dan kesuburan ) yang masih dipraktekkan di sebagian daerah Jawa. Upacara nglarung ( membuang kesialan ) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudera Indonesia ( Mustafid, www.makna-sesajen.htm ). Sesajen memiliki nilai yang sangat sakral bagi pandangan masyarakat yang masih mempercayainya, Tujuan dari pemberian sesajen ini untuk mencari berkah. Pemberian sesajen ini biasanya dilakukan di tempat - tempat yang dianggap keramat dan mempunyai nilai magis yang tinggi. Prosesi tersebut telah terjadi sudah sangat lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang mempercayai adanya pemikiran - pemikiran yang religius. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai sesuatu keinginan atau terkabulnya sesuatu yang bersifat duniawi. Saat ini orang beranggapan bahwa menyajikan sesajen adalah suatu kemusyrikan. Tapi sebenarnya ada suatu simbol dan makna di dalam sesajen yang harus dipelajari.

Agama Hindu merupakan salah satu agama yang menyatu dengan kebudayan suku bangsa. Sehingga agama Hindu melebur dengan kebudayaan lokal yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda - beda. Agama Hindu


(14)

menggunakan sesajen di dalam melakukan kegiatan religinya. Sepertinya sesajen yang terdapat pada Hindu, merupakan kewajiban yang tidak dapat ditiadakan. Sesajen dan Hindu sudah menjadi satu kesatuan yang utuh, Sehingga setiap penganut agama Hindu di manapun berada dalam melaksanakan kegiatan religinya menggunakan sesajen. Akan tetapi agama yang di luar Hindu menganggap pemberian sesajen kepada Tuhan ataupun kepercayaan terhadap sesuatu ( roh leluhur, mahluk halus, dan lain - lain ) dianggap tidak masuk akal dan kolot.

India merupakan tempat asal dan menjadi pusat agama Hindu berada. Agama Hindu yang ada di India dan yang beretnis Tamil yang ada di Indonesia tidak begitu mononjol dalam mempergunakan sesajen dalam kegiatan religinya, tetapi lebih menonjolkan tatwa 1. Namun masih menggunakan sesajen, adapun

sesajen ( persembahan ) yang digunakan oleh agama Hindu di India adalah berupa salah satu persembahan yang bersifat satvik yaitu bunga, buah dan masakan yang bersifat vegetarian. Bahkan makanan yang disantap bersama di Kuil atau di rumah setelah acara persembahyangan juga vegetarian ( Hira D Ghindawani, www.printnews.php.htm ).

Penganut agama Hindu yang ada di Bali menggunakan kata banten untuk menyebutkan sesajen yang mereka gunakan. Hindu Bali dan Jawa sangat menonjolkan tatwa dan upakara2 ( sesajen persembahan ). Di dalam kegiatan upacara religi Hindu Bali dan Jawa selain menggunakan sesajen yang bersifat

1

Tatwa adalah Mantra - mantra dan lagu - lagu pujian yang terdapat pada Agama Hindu.

2


(15)

satvik juga menggunakan sesajen dalam bentuk hewani yaitu sapi, kambing,

ayam, dan lain - lain. Penganut agama Hindu yang ada di Bali memberikan sesajen kepada dewa, roh para leluhur, dan roh jahat melalui upacara religi. Sesajen terdiri dari makanan, buah - buahan, bunga, dan lain - lain. Sesajen tersebut dibentuk dan dirangkai sedemikian rupa sehingga kelihatan menarik, sebagai persembahan yang akan diberikan kepada dewa dan roh. Peletakan sesajen disesuaikan dengan tujuan dan fungsinya. Sesajen untuk para dewa dan roh leluhur yang lebih tinggi, sesajen harus diatur sedemikian rupa agar menarik dan diletakkan di altar yang tinggi. Sedang sesajen untuk roh - roh jahat diletakkan di bagian dasar. Sesajen yang diberikan untuk para roh jahat berisi daging mentah. Pemberian sesajen tersebut adalah pemberian terbaik sebagai pernyataan terima kasih kepada para dewa, dan membujuk roh jahat agar tidak mengganggu keharmonisan kehidupan manusia (Made Mariana, www.HinduIndiaVSHinduIndonesia(Bali)«Kebenaran…Kedamaian..Keindahan.h tm ).

Sesajen yang digunakan sebagai persembahan pada agama Hindu Bali memiliki arti simbolis yang kuat. Oleh karena itu, persiapan sesajen merupakan bagian dari bentuk seni tradisi yang penting yang berlaku di Bali. Salah satu bentuk dan jenis sesajen yang mereka gunakan adalah bentuk kerucut yang terbuat dari nasi secara keseluruhan yang dimasukkan dalam sesajen, merupakan lambang dari gunung yang garis dasarnya terhubung dengan alam dunia bawah tanah, dunia bagian tengah dan dunia bagian atas, dan merupakan simbol dari keseluruhan ruang dan sumber kehidupan di bumi ( www.sesajen.php.htm ).


(16)

Penganut agama Hindu yang ada di Jawa khususnya sekitar Gunung Bromo, setiap tahunnya mengadakan upacara kasodo ( www.Umat Hindu Mulai Upacara Kasodo Lempar Sesajen ke Gunung Bromo.htm ). Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan

Kasodo ( Kesepuluh ) menurut penanggalan Jawa. Dari desa, masyarakat berjalan

menuju kawah Gunung Bromo dan menebarkan sesajen berupa buah - buahan, tanam - tanaman, yang berasal dari lahan pertanian serta ternak. Umat agama Hindu Jawa menganggap upacara kasodo dengan menebarkan sesajen ke dalam kawah Gunung Bromo akan memberi berkah kesuburan bagi tanah mereka.

Etnis Karo yang ada di Sumatera Utara, belum begitu lama menjadi penganut agama Hindu yaitu sekitar tahun 1972. Sehingga etnis Karo dapat dikatakan masih baru mengenal Hindu dibandingkan etnis - etnis lainnya yang ada di Indonesia. Pada waktu 1985 diresmikannya Parisada Hindu Dharma Karo (PHDK) dan etnis Karo mejadi pemeluk agama Hindu yang terbesar di Indonesia setelah Bali. Jumlah etnis Karo yang menjadi penganut agama Hindu tercatat 5.000 anggota dan 5.000 simpatisan ( Juara Ginting, 2009 ). Sebelum agama Hindu ada pada etnis Karo, etnis Karo sudah menggunakan sesajen pada kegiatan religi tradisionalnya. Karena pada saat itu, etnis Karo masih menganut agama

perbegu atau pemena 3. Jenis sesajen yang digunakan berupa bunga, air, buah - buahan ( jeruk, apel, dan lain - lain ), makanan, hewan berupa ayam yang dipersembahkan kepada Tuhan, roh nenek moyang dan mahluk halus melalui

3


(17)

berbagai upacara religi yaitu erpangir ku lau, ndilo tendi 4 dan lain - lain dengan perantara guru sibaso 5. Hal tersebut dilakukan dengan maksud tujuan ucapan terima kasih kepada Tuhan, menghindari mala petaka yang mungkin terjadi, menyembuhkan suatu penyakit, mencapai maksud tujuan tertentu ( Darwan prinst, 2008 : 242 ).

Seperti yang dijelaskan di atas sesajen sangat erat kaitannya dengan Hindu. Walaupun setiap etnis menjadi penganut agama Hindu, namun jenis dan bentuk sesajen, cara persembahan sesajen, serta makna sesajen berbeda. Dengan memahami arti pentingnya sesajen tersebut, maka sangat perlu dilakukan kejian - kajian mengenai makna sesajen. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menggambarkan makna sesajen pada etnis Karo setelah menjadi penganut agama Hindu.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini dapat digolongkan menjadi 3 ( tiga ) pertanyaan yaitu :

1. Bagaimanakah bentuk dan jenis sesajen yang terdapat pada penganut agama Hindu etnis Karo ?

4

Erpangir ku lau adalah upacara pembersihan tubuh untuk mencapai maksud tujuan tertentu yang dilakukan pada air yang mengalir.

Ndilo tendi adalah upacara religi untuk memanggil roh seseorang yang pergi meninggalkan tubuhnya, dengan upacara ini diharapkan roh yang yang telah pergi tersebut dapat kembali lagi keasalnya seperti semula. Dapat juga upacara ini berfungsi untuk memanggil roh nenek moyang dengan menggunakan media

Guru sibaso.

5


(18)

2. Bagaimana cara persembahan sesajen ?

3. Apakah makna sesajen bagi penganut agama Hindu etnis Karo ?

1.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Lau Rakit, yang terletak di Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian di daerah tersebut, karena daerah tersebut terdapat penganut agama Hindu etnis Karo yang berjumlah 85 jiwa.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dilakukannya penelitian ini dengan tujuan untuk menggambarkan (deskripsi) secara mendalam mengenai bentuk dan jenis sesajen, tata cara persembahan sesajen, serta makna sesajen pada penganut agama Hindu etnis Karo di Desa Lau Rakit. Sesajen merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam melakukan upacara agama Hindu khususnya yang beretniskan Karo.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dan memperkaya literatur pengetahuan ilmu Antropologi khususnya dalam bidang budaya. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi etnis Karo, lembaga keagamaan ( khususnya Hindu ) dan lembaga pemerintahan, agar dapat melestarikan dan memelihara kebudayaan yang ada pada etnis Karo sendiri.


(19)

1.5 Tinjauan Pustaka

Pada kepercayaan tradisional etnis Karo mengunakan kata ercibal untuk menyebutkan sesajian dan persembahan yang mereka gunakan. Akan tetapi pada penganut agama Hindu etnis Karo menyebutkan sesajen sebagai persembahan atau sesajian kepada Tuhan, dewa, dan roh leluhur. Penganut agama Hindu etnis Karo menganggap ercibal yang dilakukan etnis Karo pada tempo dulu, merupakan persembahan yang diberikan kepada roh yang telah meninggal saja. Sedangkan pada penganut agama Hindu etnis Karo tidak hanya memberikan persembahan dan sesajian kepada roh yang telah meninggal saja, tetapi juga memberikan sajian kepada Tuhan, dewa, roh leluhur dengan berbagai macam kegiatan upacara religi keagamaan, namun tidak melupakan kebiasaan - kebiasaan yang ada pada etnis Karo sendiri. Dengan demikian penganut agama Hindu etnis Karo menyebutkan sesajen sebagai persembahan dan sajian yang mereka gunakan.

Setiap masyarakat memiliki beraneka ragam kepercayaan ( Religi ) yang menjadi keyakinannya. Setiap kepercayaan dan keyakinannya tersebut diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari - hari. Menurut E. Durkheim (Koentjaraningrat, 2005 : 201), unsur - unsur dari kepercayaan ( Religi ) yang terdapat pada masyarakat adalah :

1. Emosi keagamaan ( getaran jiwa ) yang menyebabkan bahwa manusia didorong untuk berperilaku keagamaan.

Emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu saat dapat menghinggapi seorang manusia. Getaran jiwa seperti itu ada


(20)

kalanya hanya berlangsung beberapa detik saja. Emosi keagamaan tersebutlah yang mendorong orang berperilaku serba religi. Emosi keagamaan disebabkan karena manusia takut menghadapi berbagai krisis dalam hidupnya, manusia tidak mampu menjelaskan berbagai gejala dengan akalnya, percaya akan adanya kekuatan sakti dalam alam. Emosi keagamaan inilah yang menyebabkan timbulnya sifat keramat dari setiap perilaku manusia.

2. Sistem Kepercayaan.

Setiap manusia sadar bahwa selain dunia nyata ini, ada suatu alam dunia yang tidak tampak olehnya dan berada diluar batas akalnya. Berbagai kebudayaan menganut kepercayaan bahwa dunia yang tidak tampak ( gaib ) tersebut dihuni oleh berbagi mahluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara - cara biasa, dan karena itu dunia yang tidak tampak tersebut sering ditakuti oleh manusia. Mahluk dan kekuatan yang menghuni dunia yang tidak tampak tersebut adalah dewa - dewa yang baik maupun yang jahat, mahluk - mahluk halus ( para leluhur, hantu, dan lain - lain ) yang bersifat baik ataupun jahat dan kekuatan sakti yang dapat bermanfaat bagi manusia maupun yang dapat membawa bencana.

3. Sitem Upacara Religi

Sistem upacara religi mengandung empat komponen yaitu a. Tempat upacara.


(21)

c. Benda - benda dan alat - alat upacara.

d. Orang - orang yang melakukan dan memimpin upacara. 4. Kelompok Keagamaan ( Religi) .

Kelompok keagamaan adalah kesatuan kemasyarakatan yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi berserta sistem upacara keagamaannya. Adapun kesatuan - kesatuan kemasyarakatan yang menjadi pusat dari religi dalam kenyataan kehidupan sosial, bisa berupa empat tipe yaitu keluarga inti sebagai kelompok keagamaan, kelompok kekerabatan unilineal sebagai kelompok keagamaan, komunitas sebagai kelompok keagamaan dan perkumpulan -perkumpulan khusus sebagai kelompok keagamaan.

Sesajen merupakan salah satu kepercayaan yang terdapat pada agama Hindu yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur ( nenek moyang ), dan lain - lain yang dilakukan dengan berbagai macam kegiatan upacara ritual religi. Suwardi Endraswara (www.Studi Religi dan Ritual-Antro « TeguhIman Prasetya.htm) berpendapat bahwa sesajen yang diberikan kepada Tuhan, dewa, roh nenek moyang, dan lain - lain, kadang - kadang memang kurang masuk akal. Namun demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang dipentingkan adalah sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika. Karena itu, dalam tradisi sesajen biasanya terdapat upacara berupa sesaji sebagai bentuk persembahan atau pengorbanan kepada mahluk spiritual yang kadang - kadang sulit diterima nalar. Hal ini semua sebagai perwujudtan bakti mahluk kepada


(22)

kekuatan supranatural. Selain itu, ritual pemberian sesajen menurutnya mempunyai fungsi bagi setiap masyarakat yaitu :

1. Mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan. Berarti ritual menjadi alat pemersatu atau integrasi.

2. Ritual menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu - nafsu negatif.

3. Ritual akan mampu melepaskan tekanan - tekanan sosial.

Pada saat manusia menghidangkan sesaji, menurut Robertson Smith ( dalam Koentjaraningrat, 1990 : 68 ) memiliki fungsi sebagai aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap sebagai komunitas istimewa. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi dan kepercayaan adalah ritus atau upacara. Menurutnya, upacara religi akan bersifat kosong, tak bermakna, apabila tingkah laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tertinggi yang menurutnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut.

Sehubungan dengan hal tersebut, Van ball ( Koentjaraningrat, 1993 : 42 ) menyatakan bahwa sesajian adalah pemberian kepada dewa dan mahluk halus dalam dunia gaib yang mana pada umumnya mempunyai fungsi sebagai pemberian. Marcel Mauss ( Suparlan, 1992 ) berpendapat pemberian dalam suatu


(23)

interaksi sosial ialah sebagai lambang pengukuhan suatu hubungan antara si pemberi dan penerima. Kemudian lebih dikukuhkan lagi dengan pemberian balasan dan pemberian ini melibatkan kelompok - kelompok dan masyarakat yang bersangkutan secara menyeluruh. Pemberian sesajen kepada Tuhan, dewa, dan roh halus merupakan sebuah hadiah yang mempunyai tujuan yang lebih baik untuk membeli perdamaian.

Berkorban merupakan suatu perbuatan membunuh binatang yang dikorbankan. Binatang korban tersebut dijadikan sebagai sesajen, secara upacara. Jalan pikiran yang ada di belakang perbuatan serupa itu ada banyak. Kadang kadang ada maksud bahwa binatang yang dibunuh itu disajikan kepada dewa -dewa, tetapi biasanya dalam perbuatan - perbuatan upacara seperti itu orang sendirilah yang akan memakan binatang yang dikorbankan itu, dan bukan dewa-dewa. Dalam hal ini binatang yang dibunuh itu rupanya dianggap dari lambang dewa - dewa atau leluhur. Dengan makan binatang korban tadi, orang akan memasukkan dewa kedalam dirinya sendiri. Kadang - kadang ada pula suatu jalan pemikiran lain dibelakang upacara berkorban itu. Binatang yang dibunuh dianggap sebagai tempat dosa orang dan segala hal yang menyebabkan kesedihan dan kesengsaraan manusia dapat dibuang. Dengan membunuh binatang, segala dosa manusia untuk sementara telah dibersihan terhadap dosa dan kesengsaraan dalam masyarakat ( Koentjaraningrat, 1992 : 263 ).

Munurut Koentjaraningrat ( 1992 : 262 ) memberikan sesajen meliputi perbuatan perbuatan upacara yang biasanya diterangkan sebagai perbuatan -perbuatan untuk menyajikan makanan, benda - benda, atau sebagainya kepada


(24)

dewa - dewa, roh - roh nenek moyang, atau mahluk halus lainya. Pada banyak upacara sesajen, dewa diberi makanan yang oleh manusia dianggap lezat, seolah-olah dewa - dewa atau roh itu mempunyai kegemaran yang sama dengan manusia. Dalam upacara sesajen, api dan air sering mempunyai peranan yang penting. Sesajen dilempar kedalam api atau air ( sungai, laut ), dengan demikian akan sampai kepada dewa - dewa. Seringkali dari persembahan sesajen kepada para leluhur hanya merupakan lambang saja. Sajian diletakkan ditempat - tempat keramat, dan dengan demikian rasa dari makanan tersebut akan sampai kepada tujuannya, atau para leluhur hanya datang untuk menghirup saja. Seringkali kita lihat bahwa upacara pemberian itu dikerjakan oleh sipelaku tanpa kesadaran akan kepentingan para leluhur. Upacara menjadi perbuatan kebiasaan, dan dianggap seolah - olah suatu aktifitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa yang diinginkan.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, pada saat menghidangkan sesajen, Tuhan, dewa, mahluk halus dianggap akan datang untuk menikmati sesajian. Kehadiran Tuhan, dewa, mahluk halus diserap dalam bentuk benda - benda lambang ( Hendropuspito, 1983 ) dengan dua cara yaitu :

1. Kehadiran Tuhan, dewa, mahluk halus, secara spontan.

Tuhan, dewa, mahluk halus sendiri yang hadir dalam lambang yang dipilih-Nya.

2. Secara dimohon

Tuhan, dewa, maluk halus hadir dalam benda ( lambang ) atau manusia karena dimohon. Tuhan, dewa, maluk halus dimohon turun dan mengambil


(25)

tempat dan bentuk dalam suatu lambang, sehingga dapat bergaul dengan manusia.

Ada dua macam permohonan ialah invokasi magis dan invokasi religius. Invokasi

magis mendasarkan kekudusan kepada kekuatan gaib seseorang ( Dukun ).

Sehingga kekudusan benda lambang bervariasi intensitasnya menurut gradasi kekudusan sipemohon. Bentuk invokasi magis adalah kutukan, jampi - jampi, dan lain - lain. Invokasi religius mengandalkan kekuatan pada Tuhan, dewa, mahluk halus sendiri serta kerelaannya untuk turun pada lambang. Tuhan dimohon, bukan dipaksa. Bentuk - bentuk invokasi religius adalah doa, sembahyang, nyayian.

Salah satu usaha yang dominan pengaruhnya dalam pengukuhan nilai - nilai ajaran dan sekaligus untuk menunjukkan nilai - nilai keagamaan dan kepercayaan dalam mentransformasikannya adalah dalam melalui simbol - simbol pada setiap upacara. Simbol dalam hal ini yaitu lambang - lambang dari bentuk pemikiran dari perbuatan yang dimaksud dalam agama ( religi ). Pada umumnya setiap upacara religi merupakan rangkaian perangkat lambang - lambang berupa benda atau materi, kegiatan - kegiatan dan isyarat - isyarat yang penggunaannya dilakukan secara simbolis yang dapat ditangkap dan diinterprestasikan oleh orang - orang yang terlibat langsung ataupun oleh para pengamat. Simbol - simbol yang mereka gunakan tersebut berfungsi untuk menertibkan tata cara upacara. Suatu simbol atau lambang merupakan sesuatu yang dikaitkan dengan hal tertentu atau menggantikan sesuatu yang mungkin merupakan tanggapan dari situasi tertentu. Reaksi terhadap lambang tergantung kepada pengakuan adanya hubungan sesuatu yang digantikan lambang tersebut ( Su’ib, 1992 : 9 ).


(26)

Clifford Geertz ( 1992 : 149 - 150 ) melihat simbol sebagai lambang kebudayaan yang dijadikan kendaraan budaya, dalam mengirimkan simbol - simbol sebagai makna dan cara berkomunikasi di mana orang harus melihat, merasakan, dan berpikir tentang sesuatu. Selain itu, Clifford Geertz mengartikan simbol - simbol yang bertindak adalah simbol yang ada di alam pola pikir manusia, dan bagaimana mereka membentuk cara orang berpikir dan berkomunikasi tentang sesuatu, bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian dan hubungan sosial. Sedangkan Menurut Spradley ( 1997 : 121 ) simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual.

Di dalam upacara religi yang menggunakan sesajen terdapat berbagai macam bentuk lambang - lambang yang digunakan sebagai simbol. Untuk dapat menangkap makna simbol yang tersembunyi dari sesajen, menurut Vitor Tuner (Winangun, 1990 : 19) ada 3 cara yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Multivokal artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal,

pribadi, dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol ritual.

2. Polarisasi simbol karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol

yang bertentangan.


(27)

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi (menggambarkan) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan metode penelitian deskripsi kualitatif, maka akan dapat menggambarkan secara mendalam makna sesajen sebagi salah satu bagian yang sangat penting pada setiap upacara religi Hindu, khususnya yang beretnis Karo.

Agar dapat menggambarkan ( mendiskripsikan ) makna sesajen yang terdapat pada penganut agama Hindu etnis Karo, maka dibutuhkan informasi yang lengkap, sehingga dibutuhkan alat pengumpulan data.

Adapun alat yang digunakan dalam penggumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah salah satu data yang diperoleh dari observasi (pengamatan) dan wawancara lapangan.

- Observasi ( pengamatan )

Observasi yang digunakan adalah observasi pastisipasi yaitu dengan cara berada dalam setiap aktifitas, dan turut serta mengikuti dan mengamati segala kegiatan penganut agama Hindu pada masyarakat yang beretnis Karo dalam hal mengunakan sesajen. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi lengkap dan kongrit. Dari hasil pengamatan atau observasi, peneliti lalu menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan.


(28)

- Wawancara Lapangan

Wawancara lapangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dengan di bantu pedoman wawancara ( interview guide ). Dengan menggunakan wawancara mendalam, maka akan dapat memperoleh segala informasi yang dibutuhkan secara lengkap mengenai sesajen yang digunakan oleh penganut agama Hindu etnis Karo.

Adapun informan yang digunakan dan diwawancarai dalam penelitian ini adalah

a. Informan Pangkal

Informan pangkal yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang sesajen yang digunakan oleh penganut agama Hindu pada etnis Karo dan digunakan sebagai informasi awal. Adapun informan pangkal tersebut adalah pemuka adat, kepala desa setempat.

b. Informan Pokok ( kunci )

Informan pokok yang akan digunakan adalah orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah penelitian yang akan dilakukan yaitu makna sesajen bagi penganut agama Hindu etnis Karo. Adapun informan pokok tersebut adalah pemimpin umat Hindu, pengurus pura, umat Hindu.

c. Informan Biasa

Informan biasa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang akan dimintai dan memberikan informasi mengenai


(29)

masalah penelitian yang dilakukan yaitu penduduk Desa Lau Rakit yang pernah melihat atau mengetahui tentang sesajen yang digunakan oleh penganut agama Hindu, ataupun penduduk setempat. 2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi yang ada pada kepala desa, buku kepustakaan, artikel, surat kabar, jurnal, internet, dan lain - lain. Data sekunder tersebut digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari obserfasi dan wawancara.

1.7 Analisa Data

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Data yang telah terkumpul dan diperoleh melalui metode penelitian akan dipilah - pilah dan diorganisasikan kedalam konsep - konsep, tema, serta nilai - nilai budaya yang ada pada penganut agama Hindu etnis Karo mengenai makna sesajen. Setelah data diorganisasikan, maka akan di cari hubungan - hubungan yang saling keterkaitan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya. Dari hasil tersebut akan ditemukan kognitif penganut agama Hindu etnis Karo terhadap makna sesajen yang digunakan. Hasil dari analisis data yang telah dilakukan akan disusun secara sistematis.

Tahap akhir analisis data yang akan dilakukan adalah membaca kembali hasil analisis yang telah dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap makna sesajen. Dari hasil keseluruhannya di tulis secara deskripsi kedalam sebuah laporan penelitian ( Skripsi ).


(30)

B A B II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Letak Desa

Desa Lau Rakit merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Desa Lau Rakit berjarak lebih kurang 30 km dari kota Kecamatan STM Hilir yaitu Talun Kenas, dari ibu kota kabupaten yaitu Lubuk Pakam berjarak 70 km dan 65 km dari ibu kota propinsi yaitu Medan.

Batas - batas Desa Lau Rakit adalah:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Peria - ria ( Kec. Biru - Biru ) - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Talapeta

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Siguci - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Penungkiren

Desa Lau Rakit terdiri dari 3 dusun dan masing - masing dusun dikepalai oleh seorang kepala dusun. Adapun nama dusun yang terdapat di Desa Lau Rakit adalah dusun I adalah Pintu Besi, dusun II adalah Lau Rakit, dusun III adalah Rambung. Dusun Pintu Besi menjadi pusat pemerintahan desa dan terdapat kantor kepala desa. Setiap dusun yang ada di desa ini memiliki jarak saling berjauhan. Jarak antara Dusun Pintu Besi dengan Dusun Lau Rakit adalah 5 Km. Jarak dusun Pintu Besi dengan Dusun Rambung adalah 5 Km. Jarak antara Dusun Rambung dengan Dusun Lau Rakit adalah 10 Km.


(31)

Kondisi jalan dari Medan menuju Desa Lau Rakit sudah di aspal, namun pada bagian badan jalan masih terdapat jalan yang rusak. Adanya lubang pada badan jalan tersebut disebabkan oleh seringnya dilalui oleh truk - truk pengangkut pasir dan batu yang berasal dari sungai yang ada di sekitar Kecamatan STM Hilir.

Untuk menuju Desa Lau Rakit dari ibu kota propinsi yaitu Medan diperkirakan memakan waktu sekitar 120 menit jika menggunakan mobil pribadi. Dengan menggunakan angkutan umum memakan waktu sekitar 150 menit. Dari kota Medan tidak ada angkutan umum yang langsung menuju ke Desa Lau Rakit. Dari kota Medan terlebih dahulu menggunakan angkutan yang menuju Deli Tua. Dari Deli Tua terdapat angkutan yang langsung menuju Desa Lau Rakit. Angkutan yang menuju Desa Lau Rakit hanya satu jenis yaitu Robinson jaya, namun angkutan tersebut hanya 2 kali sehari saja menuju desa ini. Jika menggunakan sepeda motor, dibutuhkan waktu 90 menit.

Disepanjang jalan memasuki Desa Lau Rakit akan ditemukan perkampungan penduduk, ladang, dan perkebunan penduduk setempat. Jenis tanaman yang ditanam dan dikelola oleh penduduk setempat adalah coklat, pepaya, pisang, karet, dan kelapa sawit.

2.2 Sejarah Desa

Penyebutan Desa Lau Rakit, di karena di desa tersebut terdapat sebuah batu yang berbentuk rakit yang berada di atas lau ( air ). Tempat ini dianggap keramat oleh setiap penduduk desa. Namun pada saat ini batu tersebut tidak ada lagi kelihatan, karena habis terkikis oleh air dan di makan oleh zaman. Orang yang


(32)

pertama kalinya yang membuka kampung ( si manteki kuta ) adalah marga Barus yang berasal dari daerah Paribun.

Pada awalnya dusun - dusun yang terdapat di Desa Lau Rakit merupakan sebuah kuta ( perkampungan ) yang masing - masing kuta dikepalai oleh

penghulu kuta ( pemimpin kampung ). Namun setelah terjadinya penciutan

(penggabungan) oleh pihak pemerintahan, maka beberapa kuta tersebut digabungkan menjadi satu desa yang disebut Desa Lau Rakit. Setelah dilakukan pemilihan kepala desa, yang terpilih adalah dari Dusun Pintu Besi, sehingga daerah ini dijadikan sebagai dusun satu dan di daerah tersebut juga dibangun kantor kepala desa berserta stafnya dan menjadi pusat pemerintahan desa.

2.3 Keadaan Alam

Bentuk permukaan tanah yang ada di Desa Lau Rakit secara keseluruhan adalah tanah datar dan berbukit - bukit. Secara geografis Desa Lau Rakit terletak pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut, dengan curah hujan rata - rata 37 °C.

Dengan kondisi geografis yang demikian maka daerah ini menerima sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan yang cukup. Iklim yang demikian memungkinkan pertumbuhan yang baik bagi tumbuh - tumbuhan yang diusahakan oleh penduduk setempat yang bermatapencaharian sebagai petani. Musim penghujan biasanya berlangsung pada bulan September hingga bulan Desember. Pada saat musim penghujan penduduk setempat mulai membuka sawahnya dan menanam padi untuk kebutuhan pangan sehari - hari. Musim kemarau biasanya


(33)

terjadi pada bulan Januari hingga ke bulan Agustus. Pada saat musim kemarau penduduk pergi keladang untuk membersihan lahan pertaniannya.

Tumbuh - tumbuhan yang terdapat di Desa Lau Rakit adalah tumbuhan muda dan tumbuhan keras. Tumbuhan muda merupakan tanaman yang usia produktifitasnya lebih kurang dari setahun. Tanaman tersebut adalah padi, timun, pepaya, pisang, dan ubi. Tumbuhan keras adalah tanaman yang usia produktifitasnya lebih dari setahun. Tanaman tersebut adalah sawit, cokelat, karet. Dari hasil pertanian tersebut dijual kepasar sebagai tambahan keuangan keluarga dan membeli kebutuhan - kebutuhan yang diperlukan.

Sebagian besar jenis fauna yang ada di Desa Lau Rakit adalah hewan ternak penduduk setempat. Adapun jenis hewan yang diternakkan oleh penduduk adalah babi, lembu, kambing, ayam, dan bebek. Selain binatang yang diternakkan tidak ada lagi jenis binatang yang lainnya. Hal tersebut, di karenakan tidak adanya hutan di desa tersebut. Semua lahan digunakan penduduk sebagai tempat pemukiman, perladangan, perkebunan, persawahan.


(34)

Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci jenis tanah yang ada di Desa Lau Rakit, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel I

Jenis Tanah di Desa Lau Rakit

No Jenis Tanah Luas ( Ha ) %

1 Tanah Datar 273 43.1

2 Tanah Miring > 45 192 30.2

3 Tanah Miring < 45 81 12.7

4 Tanah Sawah 89 14.0

Jumlah 635 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Dari tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa luas tanah datar yang ada di Desa Lau Rakit yaitu 273 Ha ( 43.1 % ), tanah yang kemiringnya > 45 yaitu 192 Ha (0.2 %), tanah yang kemiringannya < 45 yaitu 81 Ha ( 12.7 % ). Tanah datar dan tanah miring yang terdapat di Desa Lau Rakit hampir sama luasnya. Tanah tersebut dipergunakan oleh penduduk setempat sebagai perladangan, perkebunan, pemukiman. Luas tanah sawah yaitu 89 Ha ( 14.0 % ) yang dipergunakan penduduk sebagai tempat menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari - hari.


(35)

2.4 Pola Pemukiman

Desa Lau Rakit terdiri dari 3 dusun, dan setiap dusun meiliki jarak saling berjauhan. Antara dusun yang satu dengan dusun yang lainya memiliki jarak 5 Km. Jarak setiap dusun dipisahkan oleh ladang - ladang dan perkebunan penduduk setempat. Penduduk yang tinggal di setiap dusun memiliki pemukiman yang padat dan mengelompok pada suatu daerah.

Posisi rumah penduduk memanjang mengikuti jalan lintas desa. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lainya, di pisahkan oleh gang kecil yang berjarak antara 1 - 2 meter. Gang kecil yang memisahkan rumah penduduk yang satu dengan yang lainnya, digunakan penduduk sebagai jalan menuju rumah - rumah penduduk yang ada di Desa Lau Rakit.

Jumlah bangunan rumah warga yang terdapat di Desa Lau Rakit mencapai 367 unit. Mayoritas jenis rumah penduduk adalah rumah yang terbuat dari kayu. Jumlah rumah penduduk yang terbuat dari kayu yaitu 189 unit, semi permanen 97 unit, dan rumah permanen 81 unit.

Sebagian penduduk sudah mempunyai kamar mandi sendiri, sedangkan air yang digunakan berasal dari sumur. Bagi penduduk yang tidak memiliki sumber air sendiri di rumah, mereka pergi kesungai dan tapin ( pancuran yang digunakan sebagai tempat MCK ) yang berada di luar pemukiman mereka. Air sungai dan

tapin tersebut mereka gunakan untuk keperluan sehari - hari. Jarak antara sungai


(36)

2.5 Keadaaan penduduk

Menurut data yang diperoleh dari kantor kepala Desa Lau Rakit, jumlah penduduk desa yang ada pada tahun 2010 adalah 1.413 jiwa. Jumlah 1.413 jiwa tersebut terdiri dari 376 kepala keluarga yang tersebar pada tiga dusun yang terdapat di desa tersebut. Dari jumlah tersebut masyarakat Desa Lau Rakit dapat diklasifikasikan kedalam beberapa jenis yaitu menurut jenis kelamin, usia, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian.

2.5.1 Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Jenis Kelamin

Tabel berikut ini akan memaparkan komposisi penduduk Desa Lau Rakit menurut jenis kelamin.

Tabel II

Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jiwa %

1 Laki - laki 722 51.1

2 Perempuan 691 48.9

Jumlah 1413 1 0 0

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Berdasarkan tabel II di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Desa Lau Rakit menurut jenis kelamin pada tahun 2010 lebih banyak terdapat jumlah jenis kelamin laki - laki dari pada perempuan. Dengan perincian, penduduk


(37)

berjumlah 1413 jiwa yang terdiri dari laki - laki berjumlah sebanyak 722 jiwa (51.1 %) dan perempuan berjumlah 691 jiwa ( 48.9 % ).

2.5.2 Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Usia

Tabel berikut ini akan memaparkan komposisi penduduk Desa Lau Rakit menurut usia.

Tabel III

Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Usia

No Golongan Umur Jiwa %

1 0 - 9 196 13.9

2 10 - 19 253 17.8

3 20 - 29 304 21.5

4 30 - 39 199 14.5

5 40 - 49 164 11.4

6 50 - 59 149 10.4

7 60 - 69 89 6.3

8 70 - ke atas 59 4.2

Jumlah 1413 100 %

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Berdasarkan tabel II di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk Desa Lau Rakit, Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang berdasarkan kelompok umur yang paling besar adalah kelompok usia 20 - 29 tahun dengan jumlah 304 jiwa ( 21.5 % ). Jumlah penduduk terbesar kedua adalah kelompok usia 10 - 19


(38)

tahun dengan jumlah 253 jiwa ( 17.8 % ). Jumlah penduduk terkecil adalah kelompok usia 70 - ke atas dengan jumlah 59 jiwa ( 4.2 % ).

2.5.3 Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Agama

Tabel berikut ini akan memaparkan komposisi penduduk Desa Lau Rakit menurut Agama.

Tabel IV

Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Agama

No Agama Jumlah %

1 Kristen Protestan 667 42.9

2 Katolik 603 46.5

3 Hindu 85 6.1

4 Islam 58 4.1

Jumlah 1 4 1 3 1 0 0

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Dari tabel III di atas dapat dilihat bahwa, penduduk Desa Lau Rakit mayoritas beragama Kristen Protestan dengan jumlah 667 ( 42.9 % ), jumlah agama Katolik yaitu 658 jiwa ( 46.5 % ), jumlah agama Hindu yaitu 85 jiwa (6.1 %) , dan jumlah agama Islam 58 ( 4.1 ).

Walaupun di Desa Lau Rakit terdapat agama yang beraneka ragam, namun hal tersebut tidak terjadi konflik di antara pemeluk agama. Antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lainnya terjalin hubungan yang harmonis


(39)

dengan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya masing - masing. Kerukunan antara umat beragama di desa ini tetap terpelihara dengan baik.

2.5.4 Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Suku Bangsa

Tabel berikut ini akan memaparkan komposisi penduduk Desa Lau Rakit menurut suku bangsa.

Tabel V

Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Suku Bangsa

No Suku Bangsa Jumlah jiwa %

1 Karo 1363 96.4

2 Batak Toba 30 2.1

3 Jawa 15 1.1

4 Lain - lain 5 0.4

J u m l a h 1 4 1 3 1 0 0

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Dari tabel IV di atas dapat dilihat bahwa, mayoritas penduduk yang ada di Desa Lau Rakit adalah suku bangsa Karo dengan jumlah 1363 jiwa ( 96. 4 % ). Di samping suku bangsa Karo, masih ada suku bangsa lainnya yaitu Batak Toba dengan jumlah 30 jiwa ( 2.1 % ), Jawa 15 jiwa ( 1.1 % ) dan lainnya berjumlah 5 jiwa ( 0.4 % ).


(40)

Penduduk pendatang yang ada di Desa Lau Rakit telah bercampur dengan penduduk setempat yaitu suku bangsa Karo. Penduduk pendatang mengikuti adat dan kebiasaan yang ada pada suku bangsa Karo. Sehingga penduduk pendatang tersebut membuat marga di belakang namanya sesuai dengan marga yang ada pada suku bangsa Karo yang ada di desa ini.

2.5.5 Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Tingkat Pendidikan

Tabel berikut ini akan memaparkan komposisi penduduk Desa Lau Rakit menurut tingkat pendidikan.

Tabel V I

Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Tingkat Pendidikan

No Nama Pendidikan Jumlah Jiwa %

1 Belum Sekolah 72 5.1

2 Tidak Tamat S D 215 15.2

3 T K 47 3.4

4 S D 273 19.3

5 S L T P 389 27.5

6 S L T A 329 23.3

7 Diploma ( D 3 ) 57 4.0

8 Sarjana ( S 1 ) 31 2.2

Jumlah 1413 100

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )


(41)

Berdasarkan tabel VI diatas, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan formal yang paling banyak jumlahnya adalah tamatan SLTP dengan jumlah 389 (27.5 %). Jumlah pendidikan formal yang peling banyak kedua adalah SLTA dengan jumlah 329 ( 23.3 % ). Jumlah penduduk desa yang belum sekolah adalah 72 orang ( 5.1 % ). Tidak tamat SD berjumlah 215 orang ( 15.2 %), ini biasanya terjadi pada orang tua yang sudah berumur. Tamatan SD berjumlah 273 orang (1.3 %). Tamatan perguruan tinggi berjumlah 89 orang ( 6. 2 % ), dengan pembagian diploma 57 orang ( 4.0 % ) dan sarjana 31 orang ( 2.2 % ).

2.5.6 Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Mata Pencaharian

Tabel berikut ini akan memaparkan komposisi penduduk Desa Lau Rakit menurut tingkat pendidikan.

Tabel VII

Komposisi Penduduk Desa Lau Rakit Menurut Tingkat Pendidikan

No Mata Pencaharian Jumlah Jiwa %

1 Petani 405 71.9

2 Buruh Tani 75 13.3

3 PNS 25 4.5

4 Pedagang 21 3.7

5 Wiraswasta 15 2.7

6 TNI / POLRI 12 2.1

7 Pertukangan 10 1.8

Jumlah 5 6 3 1 0 0


(42)

Berdasarkan tabel VII diatas, dapat dilihat bahwa penduduk di Desa Lau Rakit sebagian besar bermata pencaharian pokok sebagai petani dan persentasenya di antara mata pencaharian yang lainya sangat besar yaitu berjumlah 405 jiwa (71.9 %). Hal tersebut di dukung dengan keadaan alam Desa Lau Rakit yang sangat subur dan luas daerah yang dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian.

Selain bermata pencaharian sebagai petani, penduduk Desa Lau Rakit juga memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam. Adapun jenis mata pencaharian yang lainnya yang ada di desa ini adalah PNS dengan jumlah 25 jiwa (4.5 %), pedagang dengan jumlah 25 jiwa (3.7 %), wiraswasta dengan jumlah 15 jiwa ( 2.7 % ), TNI / POLRI dengan jumlah 12 jiwa ( 2.1 % ), pertukangan dengan jumlah 10 jiwa ( 1.8 %).


(43)

2.6 Sarana dan Prasarana 2.6.1 Sarana Pendidikan

Tabel berikut ini akan memaparkan sarana pendidikan yang ada di Desa Lau Rakit.

Tabel VIII

Sarana Pendidikan

No Sarana Pendidikan Jumlah

1 TK 1

2 SD 2

3 SMP -

4 SMA -

Jumlah 3

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Bersasarkan tabel VIII di atas, dapat dilihat bahwa sarana pendidikan yang ada di Desa Lau Rakit dirasa sangat belum memadai. Sarana pendidikan yang ada dimulai dari tingat pendidikan Taman Kanak - Kanak ( TK ) sampai tingkat Sekolah Dasar ( SD ) saja. Bangunan sekolah yang ada di Desa Lau Rakit berjumlah 3 buah. Bangunan sekolah terdiri dari 1 bangunan untuk Taman kanak-kanak dan 2 bangunan Sekolah Dasar ( SD ).

Bagi anak tamatan Sekolah Dasar yang ingin melanjut ke SLTP, dan anak tamatan SLTP yang ingin melanjutkan pendidikannya ke SMA, harus ke desa tetangga yaitu Desa Peria - Ria ( Kec. Sibiru - biru ). Ada juga orang tua yang mensekolahkan anaknya ke kota Medan.


(44)

Pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat penting pada saat ini. Penduduk Desa Lau Rakit juga menganggap pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat penting juga. Orang tua tidak menginginkan anak - anaknya kelak menjadi orang yang tidak berpendidikan. Sehingga pendidikan menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan mereka.

2.6.2 Sarana Ibadah

Tabel berikut ini akan memaparkan sarana ibadah yang ada di Desa Lau Rakit.

Tabel IX

Sarana Ibadah

No Sarana Ibadah Jumlah

1 Gereja ( Kristen Protestan ) 4

2 Gereja ( Katolik ) 1

3 Pura 1

4 Mesjid -

Jumlah 6

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis )

Berdasarkan tabel IX di atas, dapat dilihat bahwa sarana ibadah yang terdapat di Desa Lau Rakit hanya untuk agama Kristen Protestan, Katolik dan Hindu. Bangunan sarana ibadah yang ada berupa gereja dan pura. Jumlah bangunan gereja yang paling banyak adalah untuk agama Kristen Protestan dengan jumlah 4 gereja. Sedangkan untuk agama Katolik berjumlah 1 gereja, 1


(45)

pura untuk agama Hindu, sedangan sarana ibadah untuk agama Islam yaitu Mesjid tidak terdapat di Desa Lau Rakit.

2.6.3 Sarana Olah Raga

Tabel berikut ini akan memaparkan sarana olah raga yang ada di Desa Lau Rakit.

Tabel X

Sarana Olah Raga

No Sarana Oleh Raga Jumlah

1 Lapangan sepak bola 1

2 Lapangan bola Voli 2

3 Lapangan bulu tangkis 1

Jumlah 4

Sumber : Kantor Kepala Desa Lau Rakit Tahun 2010 ( data diolah kembali oleh penulis

Berdasarkan tabel X di atas, dapat dilihat bahwa kegiatan dan sarana olah raga yang terdapat di Desa lau rakit hanya beberapa jenis saja. Sarana olah raga yang ada yaitu lapangan sepak bola terdapat 1 buah, lapangan bola voli 2 buah, dan lapangan bulu tangkis 1 buah. Sarana olah raga yang terdapat di desa ini di buat atas swadaya masyarakat sendiri. Pemuda juga mengadakan pertandingan - pentandingan dengan pemuda yang berasal dari luar kampung mereka dengan menggunakan sarana oleh raga yang ada di Desa Lau Rakit.


(46)

2.6.4 Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang ada di desa Lau Rakit sangat belum memadai. Hal tersebut terlihat dengan hanya terdapat 1 buah puskesmas pembantu ( PUSTU ) dan seorang bidan. Obat - obatan yang terdapat di puskesmas pembantu tersebut juga sangat sedikit sekali. Sehingga penduduk setempat masih banyak menggunakan obat - obatan tradisional di dalam menyembuhkan penyakit yang mereka derita.

2.6.5 Sarana Umum

Sarana umum yang terdapat di Desa Lau Rakit adalah terdapatnya tapin (permandian umum) yang terdapat di setiap dusun. Tapin tersebut berada di luar pemukiman penduduk setempat. Kegunaan dari tapin adalah sebagai tempat mandi, cuci, dan kakus. Di samping itu, air dari tapin tersebut digunakan sebagai komsumsi sehari - hari.

Di setiap dusun yang ada di Desa Lau Rakit, masing - masingnya terdapat sebuah losd. Losd tersebut berada di tengah - tengah pemukiman penduduk. Kegunaan dari losd adalah sebagai tempat perayaan pesta - pesta adat yang akan dilakukan oleh penduduk setempat.

2.7 Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan

Organisasi sosial yang ada di Desa Lau Rakit yaitu organisasi yang bersifat keagamaan. Organisasi keagamaan dibentuk oleh masing - masing lembaga agama. Adapun organisasi keagamaan yang ada di desa ini adalah untuk muda -


(47)

mudi gereja GBKP ( Gereja Batak Karo Protestan) disebut PERMATA, muda - mudi Katolik disebut MUDIKA, dan PHD ( Parisada Hindu Dharma ) bagi agama Hindu.

Mayoritas penduduk di Desa Lau Rakit adalah beretniskan Karo. Etnis karo mengenal adanya kelompok kekerabatan yang anggota keluarganya diperhitungkan berdasarkan prinsip keturunan patrilineal. Sistem kekerabatan patrilineal adalah menarik garis keturunan dari pihak ayah. Pada etnis Karo, kelompok kekerabatan yang terkecil adalah Jabu ( keluarga ). Kesatuan kekerabatan tersebut terdiri dari ayah, ibu, dan anak - anaknya.

Hubungan kekerabatan di antara etnis Karo yang ada di Desa Lau Rakit dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk kekerabatan, baik karena hubungan darah dan hubungan perkawinan yaitu :

Rakut Sitelu

Hal lain yang penting dalam sistem kekerabatan etnis Karo yang ada di Desa Lau Rakit adalah rakut sitelu atau daliken sitelu. Arti dari rakut sitelu adalah

sangkep nggeluh ( kelengkapan hidup ) bagi orang Karo. Kelengkapan yang

dimaksud adalah suatu lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok yaitu :


(48)

a. Kalimbubu adalah sebagai keluarga pemberi isteri

b. Anak Beru adalah keluarga yang mengambil atau menerima isteri

c. Senina / Sembuyak

Senina merupakan keluarga satu gelar keturunan marga atau keluarga inti.

Sedangkan sembuyak merupakan saudara kandung yang berasal dari satu perut atau rahim.

Ego

Kalimbubu

Ego

Anak Beru

D A

E C

B

F

Keterangan :

- D dan E berhubungan senina / sembuyak


(49)

Tutur siwaluh

Tutur siwaluh adalah bentuk penyebutan kekerabatan pada suku bangsa

Karo, yang berhubungan dengan penuturan ( penyebutan kekerabatan ), yaitu terdiri dari delapan golongan :

a. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang atau mertua

dari mertua pemberi gadis.

b. Kalimbubu merupakan kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu. c. Senina yaitu mereka yang bersaudara karena mempunyai merga dan

submerga yang sama.

d. Sembuyak artinya kandungan, jadi dapat diartikan bahwa sembuyak adalah

orang - orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama.

e. Senina Sipemeren yaitu orang yang ibu mereka bersaudara kandung.

f. Senina Sepengalon / sedalanen yaitu orang yang bersaudara karena

mempunyai anak yang memperisteri dari beru yang sama.

g. Anak Beru berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu

untuk diperistri.

Walaupun etnis Karo yang ada di Desa Lau Rakit telah memeluk agama Hindu, namun sistem kekerabatan yaitu rakut sitelu dan tutur siwaluh tetap dipakai dalam kehidupan sehari - hari. Sistem kekerabatan tersebut dipakai dalam menentukan posisi dan kedudukan seseorang dalam keluarganya, pada saat pesta adat yaitu perkawinan, maupun upacara kematian, termasuk juga dalam hal pembagian harta warisan.


(50)

BAB III

PENGANUT AGAMA HINDU ETNIS KARO

3.1 Sejarah Agama Hindu

3.1.1 Lahirnya Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, menurut Soekmono ( 2009 ), pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu zaman Weda, zaman Brahmana, zaman Upanisad dan zaman Budha.

- Zaman Weda

Pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di lembah sungai Sindhu, sekitar 2500 - 1500 tahun SM, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. Bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah dewa - dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun dewa - dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang tunggal dan maha kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta. Pada zaman ini, masyarakat dibagi atas kaum brahmana yaitu golongan pendeta, ksatriya yaitu golongan pemerintahan dan tentara, waisya yaitu golongan pedagang dan sudra yaitu golongan para buruh atau pekerja kasar.

- Zaman Brahmana

Kekuasaan kaum brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan. Kaum


(51)

beragama yang teratur. Kitab brahmana adalah kitab yang menguraikan tentang upacara keagamaan. Penyusunan tentang tata cara upacara agama berdasarkan wahyu - wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat - ayat kitab suci Weda.

- Zaman Upanisad

Pada zaman upanisad, lebih meningkat pada pengetahuan batin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. zaman upanisad ini adalah zaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu zaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada zaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran purana. Sejak zaman purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

- Zaman Budha

Zaman budha dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama Sidharta, menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan

semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.

3.1.2 Masuknya dan Penyebaran Agama Hindu di Indonesia

Dalam bukunya R. Moh Ali ( 2005 ), Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai masuknya agama Hindu ke Indonesia, pendapat para ahli tersebut adalah :

- Krom ( ahli - Belanda ), dengan teori Waisya

Masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui kaum pedagang yang datang dari India ke Indonesia. Pada saat itu kontak para pedagang dengan masyarakat asli Indonesia saat itu terjadi proses saling mempengaruhi antara


(52)

mereka. Termasuk dalam bidang kepercayaan seperti yang terjadi ada agama Hindu.

- Mookerjee ( ahli - India tahun 1912 ).

Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di pulau Jawa ( Indonesia ), mereka mendirikan koloni dan membangun kota - kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat itulah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

- Moens dan Bosch ( ahli - Belanda )

Menyatakan bahwa peranan kaum ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu dari India ke Indonesia.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda - benda purbakala. Abad ke 4 Masehi diketemukannya tujuh buah yupa 6 peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah yupa, didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu, yang menyatakan bahwa yupa didirikan


(53)

untuk memperingati dan melaksanakan yadnya 7 oleh Mulawarman, sebagai kepercayaan Hinduisme.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan perubahan yang besar, yaitu berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab suci Weda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Selain di Kutai ( Kalimantan Timur ), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat, pada abad ke - 5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti

ciaruteun, kebonkopi, jambu, pasir awi, muara cianten, tugu dan lebak. Semua

prasasti tersebut berbahasa sansekerta dan memakai huruf palawa. Dari prasasti - prasasti didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu (Poesponegoro, 2008).

3.1.3 Masuknya Agama Hindu pada Etnis Karo

Etnis Karo sudah mengenal Hindu dari sejak 685 M, hal tersebut di buktikan dengan adanya kerajaan Karo yang di rajai oleh raja Haru. Kerajaan tersebut terletak di daerah Deli Tua dan merupakan kerajaan Hindu yang ada di Sumatera Utara ( Darwan Prinst, 2005 ).

7

Yadnya adalah persembahan suci yang dilakukan dengan hati yang tulus iklas dan merupakan salah satu kewajiban bagi umat Hindu.


(54)

Pada zaman penjajahan Belanda, etnis Tamil yang berasal dari India didatangkan ke daerah Sumatera Utara untuk dijadikan sebagai buruh kasar, yang diperkerjakan di perkebunan - perkebunan milik Belanda yang ada di Sumatera Utara. Etnis Tamil tersebut juga membawa kepercayaan - keparcayaannya, sehingga mempengaruhi kepercayaan penduduk asli.

Penyebaran ajaran Hindu, dilakukan oleh para kaum brahmana ( pendeta ) dari india yang sengaja langsung datang untuk menyebarkan agama Hindu kepada penduduk asli, khususnya etnis Karo yang ada di Sumatera Utara. Hal tersebut ditandai dengan adanya marga brahmana yang merupakan bagian dari marga

sembiring pada etnis Karo. Selain marga brahmana, terdapat juga marga yang

lainnya yang berasal dari India, marga tersebut adalah colia, pandia, keling,

meliala yang kesemuanya tersebut tergabung dalam sub marga sembiring. Selain

marga brahmana, semua sub marga sembiring tersebut berasal dari kotanya masing - masing yang ada di India.

Menurut Juara Ginting ( 2009 ), masuknya etnis Karo ke agama Hindu disebabkan, pada tahun 1972 dibentuklah organisasi bernama Parisada Hindu Karo (PHK), dengan dukungan kelompok Hindu Tamil dari Medan. Kelompok Hindu Tamil menganggap dan mengklem bahwa kepercayan dan upacara tradisional pada etnis Karo salah satu bentuk kepercayaan Hinduisme. Pada tahun 1985, Parisada Hindu Dharma Indonesia ( PHDI ) meresmikan Parisada Hindu Karo ( PHK ), menjadi cabang PHDI dengan nama Parisada Hindu Dharma Karo (PHDK). Pada tahun 1980, kerjasama antara Hindu etnis Karo dengan Hindu Tamil mulai melemah. Karena pada saat itu Hindu Bali mendominasi Parisada


(55)

Hindu Dharma Indonesia cabang provinsi Sumatera Utara. Hindu Karo perlahan - lahan beralih dari Hindu Tamil ke Hindu Bali.

Di Desa Lau Rakit, pada awalnya penduduk setempat menganut agama tradisional yaitu agama perbegu ( pemena ). Agama perbegu ( pemena ) adalah suatu kepercayan terhadap roh - roh nenek moyang dan benda - benda yang mempunyai kekutan gaib. Roh nenek moyang dan benda - benda tersebut disembah, karena mereka anggap dapat membantu mereka dalam menuntaskan masalah yang berasal dari luar logika mereka.

Penyembahan terhadap roh nenek moyang dan benda - benda tersebut dilakukan dengan berbagai macam kegiatan upacara religi tradisional Karo. Adapun upacara tersebut adalah ercibal ( pemberian sesjen ), erpangir ku lau yang dipimpim oleh seorang dukun yaitu guru sibaso yang dianggap mempunyai kekuatan mistik dan dapat menghubungkan mereka dengan roh yang telah meninggal.

Upacara agama perbegu ( pemena ) yang dilakukan dengan berbagai kagiatan upacara - upacara tradisonal Karo tersebut, dianggap mirip dengan upacara Hinduisme. Maka Sampalan Purba ( Karo ) yang berasal dari daerah Deli Tua bekerja sama dengan penganut agama pemena ( perbegu ), mengundang pendeta Hindu yang berasal dari Bali untuk datang ke Desa Lau Rakit. Pendeta Hindu yang berasal dari Bali mengajarkan mengenai konsep ke-Tuhan-an kepada mereka dan menghubungankan kepercayaan agama Hindu dengan kepercayaan agama tradisional Karo tersebut.


(56)

Pada tahun 1976 dibentuklah Parisada Hindu Dharma bagi etnis Karo yang ada di Desa Lau Rakit. Struktur pengurusan Parisada Hindu Dharma pada waktu itu adalah ketuanya Leket Tarigan, wakil ketua adalah Penjahitan ginting, sekretaris adalah umbun Barus dan dibantu oleh 2 orang lainnya yaitu Mucul Barus dan Prep Barus.

3.2 Sistem Kepercayaan pada Agama Hindu

Adapun sistem kepercayaan dan pokok - pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian yang disebut dengan panca sraddha (lima Kepercayaan atau Keimanan), yaitu 1. Percaya adanya Tuhan, 2. percaya adalanya atman, 3. Percaya adanya hukum karma phala, 4. Percaya adanya

reinkarnasi / punarbhawa, dan 5. Percaya adanya moksa.

3.2.1 Percaya adanya Tuhan ( Sang Hyang Widhi / Brahman )

Setiap agama bertitik tolak kepada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Ada sesuatu hal yang membuat seseorang harus percaya terhadap adanya Tuhan dan kepercayaan tersebut muncul secara alami. Adanya gejala, kejadian dan keajaiban yang tidak dapat dipecahkan secara logika oleh manusia, menyebabkan munculnya keyakinan. Semua kejadian pasti ada sebabnya, dan tempat yang terakhir adalah Tuhan yang maha kuasa.

Penganut agama Hindu etnis Karo yang ada di Desa Lau Rakit menyebutkan Tuhannya adalah Dibata. Kata dibata ditujukan untuk Tuhan yang maha esa yaitu Sang Hyang Wihdi / Brahman. Percaya terhadap Tuhan menurut mereka,


(57)

mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap Tuhan. Yakin dan iman merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha segala - galanya. Tuhan yang maha kuasa, yang disebut Sang Hyang Widhi / Brahman adalah yang berkuasa atas segala yang ada, tidak ada apapun yang luput dari Kuasa - Nya. Tuhan dipandang sebagai pencipta

( Brahmana ), sebagai pemelihara ( Wisnu ), dan Pelebur alam semesta dengan

segala isinya ( Siwa ).

3.2.2 Percaya Adanya Atman ( Roh / Jiwa)

Penganut agama Hindu etnis Karo di Desa Lau Rakit menyebutkan Atman sebagai Tendi. Tendi adalah roh dan jiwa yang ada pada tubuh manusia yang menyebabkan manusia hidup. Walaupun manusia mengalami kematian, namun

tendi yang ada pada tubuh mereka tidak akan mati, hanya tubuh saja yang hancur. Tendi digambarkan sebagai percikan terkecil dari Tuhan. Oleh karena sebab

itu, Tendi merupakan bagian dari Tuhan ( Sang Hyang Widhi / Brahman ). Tendi memiliki sifat yang sama dengan sumbernya yaitu sempurna, kekal abadi, tidak mengalami kematian, bebas dari suka dan duka.

3.2.3 Percaya Adanya Hukum Karmaphala

Karma adalah Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau

tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran. Menurut hukum sebab akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikianlah


(58)

sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil

(phala). Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Hukum karma phala.

Penganut agama Hindu etnis Karo di Desa Lau Rakit meyakini bahwa setiap orang berbuat baik, pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya. Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima. Phala ( hasil ) dari perbuatan tidak selalu langsung dapat dirasakan atau dinikmati. Setiap perbuatan yang dilakukan akan meninggalkan bekas, Oleh karena itu hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada kehidupan sekarang, maka akan diterima setelah di akherat kelak dan ada kalanya pula akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang.

Hukum karma phala dapat digolongkan menjadi 3 macam, sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasil (Phala), yaitu :

1. Sancita Karma Phala

Hasil perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati, dapat menentukan kehidupan kita yang sekarang.

2. Prarabda Karma Phala

Hasil perbuatan pada kehidupan sekarang tanpa ada sisanya lagi. Suatu perbuatan baik atapun jahat yang dilakukan seseorang pada waktu hidup sekarang, hasil dan balasan dari perbuatannya tersebut akan diterimanya dalam kehidupan sekarang juga.

3. Kriyamana Karma Phala

Hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat sekarang, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Seseorang yang masih hidup di


(59)

dunia pada saat ini belum mendapatkan balasan dari Tuhan dari hasil perbuatan baik atau jahat yang telah ia lakukan, dikarenakan telah dipanggil Tuhan terlebih dahulu. Maka balasan dari hasil perbuatan yang ia lakukan tersebut, akan dinikmati setelah ia bereinkarnasi kembali.

3.2.4 Percaya Adanya Reinkarnasi / Punarbhawa

Reinkarnasi / Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang - ulang.

Kelahiran yang berulang - ulang ini membawa akibat suka dan duka. Reinkarnasi

/ Punarbhawa terjadi karena Jiwa masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan

kematian akan diikuti oleh kelahiran.

Diantara semua mahluk hidup yang diciptakan Tuhan yang ada di dunia, manusia adalah mahluk yang utama. Ia dapat berbuat baik maupun buruk, serta dapat melebur perbuatannya yang buruk dengan perbuatan yang baik. Jiwa (tendi) seseorang dapat lahir kembali kedunia dalam bentuk hewan maupun manusia. Penganut Hindu sangat bersyukur apa bila terlahir ke dunia sebagai manusia, karena menurut mereka tidak mudah untuk dapat dilahirkan menjadi manusia.

3.2.5 Percaya Adanya Moksa

Penganut agama Hindu etnis Karo di Desa Lau Rakit menyakini adanya surga dan neraka, namun surga dan neraka tersebut hanya menjadi tempat persinggahan tendi ( jiwa ) dari seseorang yang telah meninggal dunia dan kemudian berengkarnasi kembali. Tujuan penganut agama Hindu setelah meninggal bukan surga ataupun neraka, melainkan tujuan mereka adalah Moksa.


(60)

Moksa merupakan kebebasan dari keterikatan benda - benda yang bersifat duniawi

dan bersatu kembali tendi ( jiwa ) dengan sumber - Nya yaitu Sang Hyang Widhi / Brahman dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi. Orang yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi kedunia, karena tidak ada apapun yang mengikatnya, ia telah bersatu dengan Tuhan

3.3 Kitab Suci

Kitap suci agama Hindu yang beretnis Karo sama dengan kitab suci agama Hindu lainnya. Kitab suci bagi agama Hindu adalah Weda. Kitab suci Weda yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi melalui para maha Rsi 8. Bahasa yang digunakan dalam kitab suci Weda adalah bahasa Sansekerta.

Kitab suci Weda terdiri ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti yang isinya memuat wahyu dan weda Smerti merupakan buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan Sruti.

3.3.1 Sruti

Sruti disebut juga catur weda merupakan kitab wahyu yang diturunkan

secara langsung oleh Tuhan ( Sang Hyang Widhi ) melalui para maha Rsi. Adapun kitab - kitab Catur Weda adalah:

- Rg Weda ( Rg Weda Samhita ) yang berisikan himpunan syair - syair dan

mantra dalam bentuk pujaan. 8


(61)

- Sama Weda Samhita adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan

memuat ajaran mengenai lagu - lagu pujaan yang terdiri dari 1.875 mantra untuk upacara agama.

- Yajur Weda Samhita adalah Weda yang terdiri atas mantra - mantra dan

sebagian besar berasal dari Rg Weda yang berisi doa yang berupa puisi dan prosa.

- Atharwa Weda Samhita adalah kumpulan mantra - mantra yang memuat

ajaran yang bersifat magis ( gaib ). Isinya berupa doa - doa untuk kehidupan sehari - hari, seperti mohon kesembuhan, Rejeki dan lain - lain.

3.3.2 Smerti

Kitab smerti merupakan kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia. Kitab dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu :

- Kelompok wedangga yang terdiri dari enam bidang Weda yaitu:

Siksa ( phonetika ) yang isinya adalah petunjuk - petunjuk tentang cara

pengucapan mantra, serta rendah tekanan suara.

Wyakarana ( tata bahasa ) yang merupakan penjelasan dari setiap isi Weda

dan dianggap sangat penting serta menentukan.

Chanda ( lagu ) adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan

bahasa dalam bentuk lagu dan nyanyian.

Nirukta yang memuat berbagai penafsiran yang jelas mengenai kata - kata


(62)

Jyotisa ( astronomi ) yang isinya memuat pokok - pokok ajaran astronomi

yang membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya.

Kalpa yang terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta yaitu

memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yadnya (persembahan suci), penebusan dosa dan lain - lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Kitab Grhyasutra yaitu memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yadnya (persembahan suci) yang harus dilakukan oleh orang - orang yang berumah tangga.

Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup

bermasyarakat dan bernegara. Sulwasutra adalah memuat peraturan - peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadahan.

- Kelompok Upaweda

Kitab upaweda sudah ditulis dalam bahasa Karo dan digunakan dalam kehidupan sehari - hari. Kitab upaweda terdiri dari beberapa kelompok yaitu :

Itihasa yang merupakan jenis cerita yang terdiri dari dua macam yaitu

Ramayana dan Mahabharata.

Purana yang merupakan kumpulan cerita - cerita kuno yang menyangkut

penciptaan dunia dan mengenai silsilah dewa - dewa. Kitab Purana juga memuat pokok - pokok pemikiran yang menguraikan tentang cerita kejadian alam semesta, mantra, dan cara melakukan puasa.

Arthasastra adalah kitab yang membahas mengenai ilmu pemerintahan


(1)

Poesponegoro, Marwati D. 2008. Sejarah Nasional Indonesia: Nusantara Di

Abad Ke - 18 Dan Ke - 19. Jakarta : Balai Pustaka

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Soekmono, R. 2009. Pengantar Sejarah Kebudayaan 2. Yogyakarta : Kanisius. Suparlan, Parsudi. 1992. Pemberian (terjemahan). Jakarta : yayasan obor

Indonesia

Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi : CV Akademika Presindo.

Winangun, Wartaya T.W. 1990. Masyarakat Bebas Struktur (Liminalitas dan

Komunitas Menurut Victor Tuner). Yogyakarta : Kanisius.

Sumber lainnya :

- http://www.printnews.php.htm

- http://www.Hindu India VS Hindu Indonesia (Bali) « Kebenaran…Kedamaian..Keindahan..htm

- http://www..Studi Religi dan Ritual-Antro « Teguh Iman Prasetya.htm - http://www.sesajen.php.htm

- http://www.makna-sesajen.html

- http://www.Umat Hindu Mulai Upacara Kasodo Lempar Sesajen ke Gunung Bromo.htm

- http://www.ASPEK UPACARA HINDU NUSANTARA DI MASA DEPAN « Suka Duka Lara Pati.htm


(2)

DAFTAR INFORMAN

Nama : Anwar Ginting Umur : 40 Tahun Agama : Hindu

Perkerjaan : Wiraswasta / Ketua Parisada Hindu Dharma Alamat : Desa Peria - ria

Nama : Bangku Tarigan Umur : 55 Tahun Agama : Katolik

Perkerjaan : Kepala Desa Lau Rakit

Alamat : Dusun I Pintu Besi, Desa Lau Rakit

Nama : Klini Barus Umur : 45 Tahun Agama : Hindu

Perkerjaan : Petani / Pengurus Pura

Alamat : Dusun I Pintu Besi, Desa Lau Rakit Nama : Seri Perangin - angin

Umur : 47 Tahun Agama : Hindu Perkerjaan : PNS

Alamat : Dusun I Pintu Besi, Desa Lau Rakit Nama : Ngengget Ginting

Umur : 41Tahun Agama : Hindu Perkerjaan : Petani

Alamat : Desa Ujung Meriah Nama : Reguna Tarigan Umur : 28 Tahun

Agama : Kristen Protestan Perkerjaan : Sekretaris Desa

Alamat : Dusun I Pintu Besi, Desa Lau Rakit Nama : Budi Ginting

Umur : 26 Tahun Agama : Hindu

Perkerjaan : Pegawai Swasta Alamat : Desa Lau Rakit


(3)

Nama : Dahin Perangin - angin Umur : 25 Tahun

Agama : Hindu Perkerjaan : Mahasiswa Alamat : Desa Lau Rakit

Nama : Malem Kerina Br Perangin - angin Umur : 40 Tahun

Agama : Hindu Perkerjaan : Petani

Alamat : Desa Lau Rakit Nama : Masta Br Ginting Umur : 45 Tahun

Agama : Hindu Perkerjaan : Petani

Alamat : Desa Lau Rakit Nama : Ronal Tarigan Umur : 35 Tahun

Agama : Kristen Protestan Perkerjaan : Petani


(4)

JALAN KE KECAMATAN

BIRU - BIRU

Batas Kecamatan DSN MBENTAR KERSIK DESA SIGUCI

DENAH

DESA LAU RAKIT

JALAN KE KECAMATAN

STM HILIR

DESA PERIA - RIA

Dusun II Lau Rakit

DESA TALAPETA

DSN I PINTU BESI

DSN III RAMBUNG DSN BANDAR BAYU DESA LAU RAKIT


(5)

(6)