Pergerakan Siklikal Index of Banking Crisis IBC

dua periode, dengan jumlah titik balik yang diperoleh berdasarkan Bry-Boschan routine adalah enam titik balik. Fase ekspansi menggambarkan kondisi perbankan menuju titik puncak yang menggambarkan tingkat kesehatan perbankan semakin memburuk dengan resiko terjadinya krisis yang semakin meningkat. Fase pertama yaitu ekspansi dari L1-P1 Desember 1996-Juni 1998, kondisi perbankan yang cenderung menuju kerentanan dengan IBC yang semakin tinggi disebabkan oleh banyaknya kredit macet yang dialami bank-bank nasional. Tabel 4.2. Karakteristik Titk Balik IBC FaseSiklus Lembah Puncak Lembah Durasi Ekspansi Kontraksi Siklus 1 Desember 1996 Desember 1996 Juni 1998 Juni 1998 Juli 1999 Juli 1999 18 bulan 13 bulan 31 bulan Ekspansi Kontraksi Siklus 2 Juli 1999 Juli 1999 Maret 2001 Maret 2001 Agustus 2003 Agustus 2003 20 bulan 29 bulan 49 bulan Ekspansi Agustus 2003 Mei 2005 21 bulan Jika ditelusuri akar permasalahannya kredit macet meningkat karena adanya Pakto 1998 yang memudahkan berdirinya bank-bank baru yang umumnya didirikan oleh siapa saja yang memiliki banyak uang sehingga bank didirikan untuk kepentingan mereka sendiri. Banyaknya bank-bank baru yang didirikan akan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan nasabah, mulanya bank-bank akan bersaing dalam tingkat bunga kemudian muncul persaingan nonbunga, dimana hanya bank-bank besar yang mampu menanggung biaya yang akan menang dan mengakibatkan bank-bank kecil berguguran. Bank-bank besar akan mendominasi mobilisasi dana dari masyarakat dan sebagian besar pemilik bank- bank tersebut adalah kelompok-kelompok usaha konglomerat. Bagaimanapun, pembatasan penyaluran kredit dan kecenderungan untuk mengalokasikan pinjaman hanya kepada anggota kelompoknya sendiri akan semakin besar, maka penguasaan aset ekonomi nasional akan terpusat pada kelompok-kelompok usaha ini, akibatnya penyaluran kredit untuk sektor-sektor yang produktif dan kompetitif semakin terbatas. Selain itu, persaingan yang keras antar bank tersebut membuat bank-bank menjadi berani untuk membiayai usaha yang beresiko tinggi dan berjumlah besar seperti sektor properti. Besarnya pemberian kredit kepada kelompok usaha yag terkait dengan bank telah mendorong tingginya resiko kredit macet. Situasi ini diperburuk dengan rendahnya kualitas pengelola, manajemen dan pemilik bank-bank yang tidak mengerti manfaat bank dengan baik sehingga pengelolaan bank menjadi tidak maksimal dan menimbulkan banyak penyimpangan. Penyaluran kredit yang terlalu ekspansif dan beresiko tinggi juga dipicu oleh pemasukan dana luar negeri jangka pendek yang sangat rentan terhadap gejolak perekonomian, hal ini diakibatkan adanya perbedaan suku bunga dalam negeri dan luar negeri yang cukup besar sehingga meningkatkan kredit luar negeri yang kemudian disalurkan oleh bank-bank nasional kepada sektor usaha beresiko tinggi tersebut. Akibatnya ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, bank-bank tidak dapat membayar kewajibannya tersebut. Pemerintah meredam guncangan perekonomian dengan berusaha menahan pertumbuhan kredit perbankan melalui penghentian penyaluran dana kepada bank-bank. Akibatnya bank-bank meningkatkan suku bunga depositonya untuk menambah aliran dana dan meningkatkan suku bunga kredit untuk melindungi modal bank karena situasi perekonomian yang melemah akan meningkatkan resiko usaha tinggi pada para nasabah. Akhirnya, sektor dunia usaha mengalami kesulitan likuiditas dalam mendapatkan pinjaman baru dan tidak dapat mengembalikan kredit yang terdahulu sehingga sektor perbankan pun mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas mengakibatkan kredit macet semakin meningkat hingga menjadi lebih dari 20 persen dan aset yang dikuasai bank nilainya mulai menurun. Hal ini paling parah dialami oleh bank-bank yang banyak menyalurkan kreditnya ke sektor properti Sugema et.al. 2005. Menurunya kualitas aset yang dimiliki perbankan membuat sistem kepercayaan masyarakat melemah, masyarakat mulai menarik simpanannya dari bank yang kemudian mengantarkan Indonesia ke puncak krisis perbankan. Selanjutnya memasuki fase kontraksi dari P1-L2 Juni 1998-Juli 1999, kondisi perbankan mulai menunjukan perbaikan akibat upaya penyehatan perbankan. Pemerintah mengambil alih kepemilikan bank dan menutup bank-bank yang tidak sehat. Kebutuhan modal baru untuk menyehatkan perbankan diperkirakan mencapai Rp . 257.5 triliun dan 80 persen dari jumlah tersebut harus disediakan pemerintah. Pada bulan Desember 1998, modal industri perbankan telah mencapai defisit Rp . 80 triliun sampai Rp 90 triliun Sugema et.al. 2005. Kemudian dimulai siklus yang kedua dengan fase ekspansi dari L2-P2 Juli 1999- Maret 2001 dan berdurasi selama 20 bulan. Meskipun ada kecenderungan IBC yang semakin meningkat, namun fase ekspansi ini lebih mendatar dibandingkan fase ekspansi sebelumnya seperti terlihat pada gambar, hal ini menandakan fluktuasi pada sektor perbankan tidak terlalu besar. Setelah itu kembali memasuki fase kontraksi dari P2-L3 Maret 2001- Agustus 2003 dimana perbankan sudah mulai stabil karena restrukturisasi perbankan terus dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat dan sektor rill mendukung upaya proses pemulihan tersebut. Kinerja keuangan perbankan mengalami perbaikan signifikan, sisi kualitas aset semakin membaik yang terlihat pada kenaikan kecukupan modal perbankan secara bertahap hingga berada di atas 20 persen, dan ada kecenderungan penurunan kredit macet dari periode ke periode. Meskipun telah terjadi peningkatan kinerja perbankan, kepercayaan yang mulai dibangun masyarakat masih menyisakan keraguan, kondisi tersebut akan sangat rentan terhadap adanya gejolak yang mungkin terjadi dan dapat dengan mudah menghancurkan kembali kepercayaan masyarakat tersebut. Fase terakhir yaitu ekspansi dari L3-P3 Agustus 2003-Mei 2005 yang diakibatkan oleh menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat tersebut. Ledakan kasus pembobolan Bank Negara Indonesia lewat Letter of Credit LC fiktif dan Bank Rakyat Indonesia lewat kredit yang diduga diaguni dari deposito fiktif membuat masyarakat ragu menyongsong masa depan perbankan nasional, dimana kasus kejahatan perbankan itu akan membajak program pemulihan perbankan Supriyanto, 2003. Masih belum lancarnya proses intermediasi perbankan untuk menyalurkan kredit kepada sektor usaha terlihat dari rendahnya LDR meskipun CAR-nya tinggi.

4.2. Identifikasi Periode Krisis Nilai Tukar dan Perbankan

Identifikasi periode krisis dilakukan dengan menetapkan threshold dari rata-rata ISP atau IBC yang dijumlahkan dengan 1.5 standar deviasinya. ISP atau IBC yang mengalami kenaikan sampai dengan batas threshold yang ditentukan akan diidentifikasikan sebagai periode terjadinya krisis. Periode yang digunakan dalam penelitian mengalami sistem nilai tukar yang berbeda yaitu fixed exchange rate dan floating exchange rate oleh karena itu digunakan dua threshold untuk periode pre floating Januari 1995-Agustus 1997 disebut threshold 1 dan periode post floating September 1997-Desember 2005 adalah threshold 2. Tabel 4.3. Nilai threshold ISP dan IBC Periode pre floating Periode post floating Variabel Rata-rata Standar deviasi Threshold 1 Rata-rata Standar deviasi Threshold 2 ISP 0.01089 0.073374 0.099169 0.003377 0.097229 0.149221 IBC 0.02561 0.064843 0.07166 0.007938 0.186008 0.28695

4.2.1. Identifikasi Periode Krisis Nilai Tukar

Agregasi variabel ER, IR dan I3 dalam bentuk data siklikal yang sebelumnya telah dihitung tingkat pertumbuhannya, dihilangkan pengaruh trend- nya agar hanya menghasilkan bentuk siklikalnya, setelah itu dinormalisasi agar amplitudo siklikal yang besar tidak akan mendominasi ketika dilakukan proses agregasi. Agregasi dari ketiga variabel yang mengidentifikasikan krisis nilai tukar tersebut dilambangkan dengan Index Speculative Pressures ISP. Ketika pemerintah tidak berhasil menurunkan nilai tukar berarti tekanan spekulatif semakin tinggi yang tercermin dari meningkatnya ISP. Hasil identifikasi nilai tukar yang dipresentasikan dari ISP yang melebihi nilai threshold-nya untuk periode 1995-2005 yang dapat diperoleh yaitu periode Agustus 1997 sampai Oktober 1998, berarti krisis nilai tukar terjadi selama 14 periode atau 1 tahun lebih dua bulan. Satu bulan setelah terdevaluasinya Bath, berdasarkan penelitian ini, Indonesia langsung terkena imbas dari krisis Asia tersebut akibat pergerakan modal yang terbuka antara Indonesia dengan negara Asia lainnya. Episode krisis nilai tukar tersebut, merupakan dampak dari krisis Asia yang sebelumnya melanda Thailand, yang harus mendevaluasi kurs BathUSD pada Juli 1997. Perubahan ekspektasi keuntungan bagi investor membuat mereka menarik dananya dari kawasan Asia termasuk Indonesia, yang akhirnya memberikan tekanan pada kurs Rupiah. Setelah upaya untuk mempertahankan kurs mengambang terkendali mengalami kegagalan, diputuskan untuk mengambangbebaskan nilai tukar rupiah, nilai tukar mengambang bebas secara penuh pada tanggal 14 Agustus 2002. Setelah keputusan itu, kurs rupiah terus terdepresiasi sehingga mengakibatkan posisi utang luar negeri melonjak tajam yang selanjutnya mengakibatkan masalah serius bagi sektor swasta dan sektor perbankan. Permasalahan pada sektor swasta terus berlanjut pada ketidaklancaran pembayaran kewajiban utang dan meningkatkan NPL sektor perbankan. Peningkatan NPL perbankan mengakibatkan fenomena credit crunch yang makin memberatkan sektor rill.