Syarat Sahnya Perjanjian Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU NO.8 Tahun 1999 (Studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan )

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda pengertian subyektif maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1338 ayat 3 pengertian obyektif. 17 5. Asas kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pada pasal 1315 dinyatakan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya, Pasal 1340 dinyatakan bahwa perjanjian- perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

D. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila terpenuhi 4 syarat, yaitu: 1. Adanya kata sepakat; 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3. Adanya suatu hal tertentu; 17 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42 Universitas Sumatera Utara 4. Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhioleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat obyektif. Adapun penjelasan masing-masing adalah sebagai berikut. a. Kata sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. 18 Jadi sepakat merupakan pertemuan kedua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendakai oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara formalitas apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang- undang bagi mereka yang mebuatnya. J. Satrio, menyatakan kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang dimana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus 18 Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4 Universitas Sumatera Utara dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. 19 Dengan demikian adanya kehendak aja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain. Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam pasal 1321 KUH Perdata ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa psychis, jadi bukan paksaan badan fisik. 20 Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal- hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. 19 J.Satrio, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 129 20 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24 Universitas Sumatera Utara b. Cakap untuk membuat perjanjian bertindak Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagaiorang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu: 1 Orang yang belum dewasa. 2 Mereka yang berada dibawah pengampuanperwalian dan. 3 Orang perempuanisteri dalam hal telah ditetapka oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun hal ini sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUH Perdata diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata. Maka status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang dilakukannya. Selain SEMA, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal 108 dan pasal 110 KUH Perdata. Dengan demikian maka istri termasuk kedalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Universitas Sumatera Utara 4 Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat 1 dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan 1333 ayat 2 5 Adanya suatu sebabkausa yang halal Yang dimaksud dengan sebabkausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, 21 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian Oorzaak causa yang halal. Didalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi : “suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sedangkan pengertian sebab causa disini adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian. 21 Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 319 Universitas Sumatera Utara Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak dalam perjanjian itu tidak ada yang berkeberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.

E. Wanprestasi