Pengaruh Pendekatan Concrete - Representasional - Abstract (CRA) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

(1)

PENGARUH PENDEKATAN

CONCRETE-REPRESENTASIONAL-ABSTRACT (CRA) TERHADAP

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

(Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas VII SMP Al – Hasra)

Skripsi

DiajukankepadaFakultasIlmuTarbiyahdanKeguruan

untukMemenuhi Salah SatuSyaratMencapaiGelarSarjana

Pendidikan

Oleh:

DewantiMustika Sari

NIM 1110017000099

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

DEWANTI MUSTIKA SARI (NIM: 1110017000099). Pengaruh Pendekatan Concrete-Representational-Abstract (CRA) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa (Kuasi Eksperimen di SMP Al-Hasra Depok). Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji dan menganalisis kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan

Concrete-Representational-Abstarct (CRA), (2) membandingkan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan Concrete-Representational-Abstarct (CRA) dan konvensional. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen dengan desain penelitian two group randomized subject posttest only. Teknik cluster random sampling digunakan untuk menentukan 2 kelas sebagai sampel penelitian, dengan kelas 7.1 sebagai eksperimen dan kelas 7.2 sebagai kelas kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok eksperimen mendapatkan nilai rata-rata 80,71 dan nilai rata-rata kelas kontrol sebesar 66,67. Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunakan analisis Independent Sample T Test, P-value < α sehingga

H0 ditolak. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Concrete-Representational-Abstract (CRA) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

Kata Kunci: Komunikasi Matematis, Concrete – Representational – Abstract


(6)

ii

ABSTRACT

DEWANTI MUSTIKA SARI (NIM: 1110017000099), The Effect of Concrete – Representational – Abstract (CRA) to Students Mathematical Communication Skill (Quasi Experiments research at SMP Al-Hasra Depok)

The purpose of the study are : (1) inspect and analyze how students mathematical communication skill who are thought using Concrete – Representational – Abstract and the conventional learning. (2) compare students mathematical communication skill who are thought using Concrete – Representational – Abstract with the conventional learning. The methods of study is used a quasi-experimental method with the research design by two group randomized subject post-test only. Cluster Random Sampling technique used to determine 2 group, 7.1 for experimental group and 7.2 for control group. The results of this study indicates that experimental group obtained the average is Xe=80,71 and control group is Xk =66,6. Based on hypothesis with Independent Sample T Test analyze, P-value < α H0 was rejected. The result of this research shows that the application of Concrete-Representational-Abstract (CRA) could increase the student’s mathematical communication skill.

Keyword: Mathematical Communication, Concrete – Representational – Abstract (CRA).


(7)

iii

KATA PENGANTAR

ﻢﺴﺑ

ﷲا

ﻦﻤﺣّﺮﻟا

ﻢﯿﺣّﺮﻟا

Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia nikmatNya yang tiada batas sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Concrete-Representational-Abstract (CRA) terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa” ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan atas baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan cahaya dalam hidup penulis berupa cahaya Islam.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Walaupun waktu, tenaga dan pikiran telah diperjuangkan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki, demi terselesaikannya skripsi ini agar bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga atas bimbingan, pengarahan, dukungan serta bantuan dari berbagai pihak kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, M.Pd, Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd, Sebagai sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Afidah Mas’ud, selaku Dosen Pembimbing Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

iv

memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

7. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan pada umumnya dan Jurusan Pendidikan Matematika khususnya yang telah memberikan kontribusi pemikiran melalui pengajaran dan diskusi yang berkaitan dengan skripsi ini.

9. Andi Suhandi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMP Al-Hasra Depok, serta segenap guru dan karyawan sekolah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian.

10. Paling istimewa untuk ayahanda dan Ibunda tercinta yang nuraninya mengalir indah dalam darahku, yang telah tulus merawat, membesarkan, mendidik, dan mencurahkan kasih sayang serta tak bosan-bosannya memberikan dukungan moril, materil, semangat dan do’a untuk penulis.

11. Kakak ku Aji Purnomo dan adik ku Caca Wulandari yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

12. Sahabat terkasih Jahra, Pance, Depi, Henoy, Dije, Pature, Idoy, Mae, Anis, dan M. Rian, terima kasih karena selalu menebar canda tawa, keisengan, serta semangat kebersamaannya, together we can yosha.

13. Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’10, Sparta, Wasabi, dan terutama Cuspid. Terima kasih atas kebersamaan dan bantuannya selama ini baik langsung maupun tidak langsung.


(9)

v

Penulis berharap dan berdo’a kepada Allah SWT, agar seluruh pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis, akan mendapatkan balasan yang setimpal disisiNya, jazakumullah akhsanal jaza.

Jakarta, Mei 2015 Penulis,


(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR GRAFIK ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah... 9

D.Perumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 11

A.Deskripsi Teoretis ... 11

1. Pendekatan Pembelajaran Concrete-Representational-Abstract (CRA) ……….. 11

a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran………. 11

b. Pendekatan Pembelajaran Concrete-Representational-Abstract (CRA) ... 12

c. Tahapan Pendekatan Pembelajaran Concrete-Representational-Abstract (CRA) ... 14

2. Kemampuan Komunikasi Matematis.………... 17

a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis………….... 17

b. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis……….. 21


(11)

vii

B.Hasil Penelitian yang Relevan ... 24

C. Kerangka Berpikir……… 25

D.Hipotesis Penelitian ... 28

BAB III METODOLODI PENELITIAN... 29

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

B. Metode dan Desain Penelitian ... 29

C. Populasi dan Sampel ... 30

D.Teknik Pengumpulan Data ... 31

E. Instrumen Penelitian ... 32

F. Analisis Instrumen ... 33

1. Validitas Instrumen ... 33

2. Reliabilitas Instrumen ... 35

3. Taraf Kesukaran ... 35

4. Daya Pembeda ... 37

G.Teknik Analisis Data ... 38

1. Uji Prasyarat ... 38

a. Uji Normalitas ... 38

b. Uji Homogenitas Varians... 40

2. Uji Hipotesis ... 40

H. Hipotesis Statistik... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 42

A. Deskripsi Data ... 42

1. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen.. 44

2. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 45

B. Analisis Data ... 46

1. Uji Normalitas Posttest Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 47

2. Uji Homogenitas Data ... 47

3. Uji Hipotesis ... 48

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 49 1. Kemampuan Komunikasi Matematis pada Aspek Written Text . 55


(12)

viii

2. Kemampuan Komunikasi Matematis pada Aspek Mathematical

Expression ... 57

D.Keterbatasan Penelitian ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A.Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Agenda Penelitian ... 29 Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis .. 32 Tabel 3.3 Rubrik Penilaian Tes Kemampuan Komunikasi Matematis 33 Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Validitas Uji Coba Instrumen... 34 Tabel 3.5 Rekapitulasi Taraf Kesukaran Uji Coba Instrumen ... 36 Tabel 3.6 Rekapitulasi Daya Pembeda Uji Coba Instrumen ... 38 Tabel 4.1 Deskriptif Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematis . 43 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Kelas Eksperimen ... 44 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Kelas Kontrol………. 45 Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Posttest Kelas Eksperimen dan

Kontrol... 47 Tabel 4.5 Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-rata Kemampuan Komunikasi

Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 48 Tabel 4.6 Hasil Uji Hipotesis……… 49 Tabel 4.7 Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa


(14)

x

Gambar 4.2 Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Representational ... 54 Gambar 4.3 Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Abstract………. 55 Gambar 4.4 Jawaban Siswa Kelas Kontrol pada Aspek Written Text .... 56 Gambar 4.5 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen pada Aspek Written Text 56 Gambar 4.6 Jawaban Siswa Kelas Kontrol pada Aspek Mathematical

Expression ... 58 Gambar 4.7 Jawaban Siswa Kelas Eksperimen pada Aspek


(15)

xi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Skor Akhir

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol 45 Grafik 4.2 Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Skor Akhir

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol 46 Grafik 4.3 Hasil Pekerjaan Siswa Tahap Abstract………. 50


(16)

xii

Lampiran 2 Hasil Wawancara ... 70

Lampiran 3 RPP Kelas Eksperimen ... 72

Lampiran 4 RPP Kelas Kontrol ... 76

Lampiran 5 LKS Kelas Eksperimen ... 81

Lampiran 6 Kisi-Kisi Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 84

Lampiran 7 Soal Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis………. 85

Lampiran 8 Kunci Jawaban Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis... 87

Lampiran 9 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 89

Lampiran 10 Perhitungan Uji Validitas ... 90

Lampiran 11 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 92

Lampiran 12 Perhitungan Uji Realibilitas ... 93

Lampiran 13 Reliabilitas Instrumen ... 94

Lampiran 14 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ... 96

Lampiran 15 Taraf Kesukaran Instrumen ... 97

Lampiran 16 Perhitungan Uji Daya Pembeda ... 98

Lampiran 17 Daya Pembeda Instrumen ... 99

Lampiran 18 Hasil Rekapitulasi ... 101

Lampiran 19 Skor Kelas Eksperimen ... 102

Lampiran 20 Skor Kelas Kontrol ... 104

Lampiran 21 Uji Normalitas, Homogenitas dan Uji T Skor Posttest ... 106


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan orang banyak, memiliki peran yang penting bagi perkembangan suatu individu yang selanjutnya berujung pada maju dan mundurnya suatu bangsa dan Negara. Pendidikan juga merupakan suatu proses pembentukan pola pikir manusia yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Agar orang-orang terdidik di masa depan menjadi manusia yang berkualitas diperlukan adanya reformasi dalam pembelajaran matematika yang telah dicantumkan dalam kurikulum 2013.

Tingkat ketercapaian pelaksanaan reformasi pendidikan dan pembelajaran matematika tersebut dapat diketahui melalui ketercapaian tujuan mata pelajaran matematika yang telah dicantumkan dalam salah satu Kompetensi Inti Kurikulum 2013 yang menyebutkan bahwa peserta didik diharapkan mampu mengolah, menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.1

Kemampuan yang diharapkan dalam Kompetensi Inti Kurikulum 2013 yang telah dikemukakan di atas tidak lain merupakan pengembangan daya matematis (mathematical power). Hal ini diungkapkan oleh NCTM yang dikutip oleh Sumarmo menyatakan, daya matematis adalah kemampuan untuk mengeksplorasi, menyusun konjektur, dan memberikan alasan secara logis; kemampuan menyelesaikan masalah non rutin; mengomunikasikan ide mengenai matematika dan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi;

1

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Madrasah Tsanawiyah (MTs), 2013. h. 45


(18)

menghubungkan ide-ide dalam matematika, antar matematika, dan kegiatan intelektual lainnya.2 Dengan kata lain daya matematis memuat kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, koneksi, komunikasi dan penalaran matematis. Sebagai implikasinya, daya matematis merupakan kemampuan yang perlu dimiliki siswa yang belajar matematika pada jenjang sekolah manapun.

Mutu pendidikan Indonesia khususnya pada pelajaran matematika masih rendah. Dapat dilihat dari hasil studi TIMSS (Trends In International Mathematics and Science Study) tahun 2007. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh TIMSS bahwa diantara 58 negara peserta TIMSS, peserta didik Indonesia berada pada urutan ke-38 dengan skor skala rata-rata kemampuan matematik siswa secara keseluruhan sebesar 386. Aspek yang dinilai yaitu pengetahuan dengan skor 378, penerapan dengan skor 384, dan penalaran dengan skor 386.3 Skor rata-rata Indonesia ini mengalami penurunan, yang mana pada tahun 2007 skor rata-rata Indonesia yaitu 397. Hal ini menunjukkan bahwa prestasi matematika di Indonesia menurun. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru di SMP Al-Hasra menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih tergolong rendah. Hal ini dikarenakan siswa tidak dibiasakan dengan soal-soal yang membutuhkan komunikasi dalam penyelesaiannya.4

Salah satu yang harus ditekankan dalam pembelajaran matematika adalah kemampuan komunikasi matematis, hal ini dikarenakan matematika merupakan bahasa dan alat, matematika menggunakan definisi-definisi yang jelas dan simbol-simbol khusus dan sebagai alat matematika digunakan setiap orang dalam kehidupannya. Matematika memberi peluang berkembangnya kemampuan bernalar yang logis, sistematik, kritis dan cermat, kreatif, menumbuhkan rasa percaya diri, dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat

2

Utari Sumarmo, “Berfikir dan Disposisi Matematik : Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik”. 2010. h. 3

3

Ina V.S. Mullis, et.al., TIMSS 2011 International Results in Mathematics, (USA: TIMSS & PIRLS International Study Center, 2012), p.150.

4


(19)

3

matematika, serta mengembangkan sifat objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah.

Menurut The Intended Learning Outcomes (ILOs) yang dikutip Armiati, komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya secara lisan dan tulisan.5 Melalui keterampilan ini siswa mengembangkan dan memperdalam pemahaman matematika mereka bila mereka menggunakan bahasa matematika yang benar untuk berbicara dan menulis tentang apa yang mereka kerjakan. Bila siswa berbicara dan menulis tentang matematika, mereka mengklarifikasi ide-ide mereka dan belajar bagaimana membuat argumen yang meyakinkan dan merepresentasikan ide-ide matematika secara verbal, gambar dan simbol.

Kemampuan komunikasi matematika siswa penting untuk dikembangkan karena mencakup kemampuan mengkomunikasikan pemahaman konsep, penalaran, dan pemecahan masalah sebagai tujuan pembelajaran matematika. Matematika yang dipelajari di sekolah adalah matematika yang materinya dipilih sedemikian rupa agar mudah dialihfungsikan kegunaannya dalam kehidupan siswa yang mempelajarinya.

Dalam pembelajaran matematika, seorang siswa yang sudah mempunyai kemampuan pemahaman matematis dituntut juga untuk bisa mengkomunikasikannya, agar pemahamannya tersebut bisa dimengerti oleh orang lain. Dengan mengkomunikasikan ide-ide matematisnya kepada orang lain, seorang siswa bisa meningkatkan pemahaman matematisnya. Seperti yang diungkapkan Huggins yang dikutip Abdul bahwa untuk meningkatkan pemahaman konseptual matematis, siswa bisa melakukannya dengan mengemukakan ide-ide matematisnya kepada orang lain.6 Komunikasi

5 Armiati, “Komunikasi Matematis dan Kecerdasan Emosional” dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. 5 Desember 2009. h. 271

6

Abdul Qohar, “Pengembangan Instrumen Komunikasi Matematis Untuk Siswa SMP” dalam Lomba dan Seminar Matematika. h. 45


(20)

merupakan suatu cara berbagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Melalui komunikasi, ide-ide menjadi obyek refleksi, diskusi, dan pengembangan. Proses komunikasi juga membangun makna dan kekokohan ide. Ketika siswa ditantang berfikir dan bernalar tentang matematika dan mengkomunikasikan hasilnya kepada yang lain secara verbal ataupun tertulis, mereka belajar untuk menjadi lebih memahami dan lebih yakin.7

Komunikasi diperlukan untuk memahami ide-ide matematika secara benar. Kemampuan komunikasi yang lemah akan berakibat pada lemahnya kemampuan-kemampuan matematika yang lain.8 Siswa yang memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik akan dapat membuat representasi yang beragam, hal ini akan lebih memudahkan dalam menemukan alternatif-alternatif penyelesaian yang berakibat pada meningkatnya kemampuan menyelesaikan permasalahan matematika. Oleh karena itu, siswa perlu dibiasakan dalam pembelajaran untuk memberikan argumen terhadap setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi bermakna baginya.

Mengembangkan kemampuan komunikasi matematis sejalan dengan paradigma baru pembelajaran matematika. Pada paradigma lama, guru lebih dominan dan hanya bersifat mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan para siswa dengan diam dan pasif menerima transfer pengetahuan dari guru tersebut. Namun pada paradigma baru pembelajaran matematika, guru adalah manajer belajar dari masyarakat belajar di dalam kelas, guru mengkondisikan agar siswa aktif berkomunikasi dalam belajarnya. Guru membantu siswa untuk memahami ide-ide matematis secara benar serta meluruskan pemahaman siswa yang kurang tepat.

7

Hamdani, “Pengembangan Pembelajaran Dengan Mathematichal Discourse dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik pada Siswa Sekolah Menengah Pertama” dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. 2009. h.164


(21)

5

Namun demikian, mendesain pembelajaran sedemikian sehingga siswa aktif berkomunikasi tidaklah mudah. Dalam suatu wawancara yang dilakukan peneliti dengan salah satu guru matematika SMP Al-Hasra Depok terungkap bahwa siswa masih kurang baik dalam melakukan komunikasi, baik komunikasi secara lisan atau tulisan. Siswa kesulitan untuk mengungkapkan pendapatnya, walaupun sebenarnya ide dan gagasan sudah ada di pikiran mereka. Guru menduga bahwa siswa takut salah dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya, disamping itu siswa juga kurang terbiasa dengan soal-soal yang memerlukan komunikasi matematis dalam penyelesaiannya, misalnya “Pak Ali mempunyai kebun berbentuk persegi panjang dengan ukuran lebar 8 m dan panjangnya 10 m. Seperempat bagian kebun ditanami kol, seperenam bagian kebun ditanami cabe dan sisanya ditanami jagung. a) Gambarlah sketsa kebun pak Ali seluruhnya dan bagian kebun yang ditanami kol, cabe dan jagung. b) hitung luas kebun seluruhnya dan luas kebun kol, kebun cabe, dan kebun jagung.”9 soal-soal seperti ini yang masih membingungkan siswa. Pada soal ini siswa masih merasa bingung untuk menentukan luas kebun yang ditanami cabe, kol, dan jagung. Karena biasanya siswa hanya mengerjakan soal yang tidak memerlukan komunikasi matematis dalam penyelesaiannya.

Penyebab rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa adalah pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran bersifat konvensional, yaitu pendekatan yang dalam pembelajarannya menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran. Guru menjelaskan materi sedangkan siswa hanya duduk dan mendengarkan penjelasan guru sambil mencatat. Hal ini terjadi pada hampir setiap materi yang diajarkan, akibatnya pembelajaran menjadi monoton dan menyebabkan motivasi siswa untuk belajar matematika menjadi berkurang. Siswa akan merasa jenuh dengan pola pembelajaran yang sama terus menerus. Pada akhirnya, siswa hanya mengikuti proses pembelajaran sebagai rutinitas tanpa diiringi dengan kesadaran untuk menambah ilmu atau keterampilan.

9

Utari Sumarmo, “Mengembangkan Instrumen Untuk Mengukur High Order Mathematical Thinking Skilss dan Affective Behavior”, Makalah disajikan dalam Workshop Pendidikan Matematika di Universitas Islam Negeri Jakarta. 22 Oktober 2014, h. 9


(22)

Aktivitas siswa di kelas hanya memerhatikan penjelasan guru tanpa berperan aktif selama proses pembelajaran. Pembelajaran matematika yang melibatkan siswa secara aktif akan menyebabkan siswa dapat menggunakan kemampuan matematikanya secara optimal dalam menyelesaikan masalah matematika. Guru harus membangun komunitas dimana para siswa merasa bebas mengekspresikan ide mereka dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai aktivitas salah satunya berkomunikasi.

Begitu pentingnya kemampuan komunikasi matematis karena berkaitan dengan peningkatan pemahaman konseptual matematis, sehingga para guru perlu menerapkan suatu pendekatan khusus untuk menciptakan suatu pembelajaran yang efektif yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Pendekatan tersebut meliputi langkah-langkah guru dalam penyampaian materi, dan bagaimana peranan guru untuk membelajarkan siswa. Salah satu pendekatan yang memungkinkan adalah pendekatan

Concrete Representational Abstract (CRA).

Pendekatan CRA merupakan instruksi dalam pembelajaran matematika yang menggabungkan representasi visual. CRA adalah pendekatan yang memiliki tiga bagian instruksional yang memungkinkan guru menggunakan Concrete (seperti chip berwarna, angka geometris, pola blok, kubus, dan aktivitas langsung siswa) untuk model konsep matematika yang harus dipelajari, kemudian menunjukkan konsep melalui

Representational (seperti menggambar bentuk), dan yang terakhir adalah

Abstract atau simbolis (seperti angka, notasi, atau simbol matematika lainnya).10

Pendekatan CRA menggunakan suatu model sebagai jembatan pemahaman siswa. Dengan pendekatan ini, guru dapat memberikan kesempatan mempraktikkan dan mendemonstrasikan untuk membantu siswa dalam mencapai kemampuan komunikasi matematis. Aktivitas yang langsung dikerjakan oleh siswa dapat membantu pemahaman materi ajar dan ingatan yang lama pada otak. Model juga mampu mengeluarkan ide-ide matematis


(23)

7

siswa dalam berpikir. De Walle mengemukakan bahwa model dapat memainkan peran yang sama untuk menguji ide-ide yang muncul.11 Dengan pendekatan ini siswa dapat merepresentasikan ide-ide matematis dalam simbol-simbol matematika dengan benar sehingga dapat menyelesaikan persoalan matematika dengan tepat.

Ada dua pandangan penting menurut Freudenthal yaitu matematika dihubungkan dengan realitas dan matematika dipandang sebagai aktivitas manusia.12 Berdasarkan dua pandangan tersebut, maka matematika harus diusahakan dekat dengan kehidupan siswa, harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, dan bila memungkinkan real bagi siswa. Siswa harus diberi kesempatan yang leluasa untuk belajar melakukan aktivitas matematik atau matematisasi.

Berdasarkan uraian tersebut, pendekatan CRA sangat cocok dalam menunjang kemampuan komunikasi matematis siswa. Hal ini dikarenakan dalam tahap pengajaran CRA guru memulai dengan pemodelan konsep matematika dengan benda konkret, kemudian tahap selanjutnya guru mengubah model menjadi tahap representasi (semikonkret) dan diakhiri memodelkan konsep matematika dengan hanya menggunakan angka, notasi, dan simbol matematika. Penerapan tahap konkret lalu ke tahap representasi dan diakhiri dengan tahap abstrak mengajarkan siswa untuk mengasah kemampuan komunikasi matematisnya. Karena untuk mengubah suatu konsep matematik dengan benda konkret menjadi semikonkret siswa harus mengekspresikan ide-ide matematisnya. Selanjutnya mengubah semikonkret menjadi abstrak, siswa diharuskan mengkomunikasikan tahap representasi dengan menggunakan angka, notasi, dan simbol matematika.

11

John A. Van De Walle, Matematika Sekolah Dasar dan Menengah Jilid 2. (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 37

12

Trisnawati, dan Dwi Astuti, “Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas VII Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) di SMP Negeri 1 Muntilan”, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Yogyakarta, 9 November 2013, h. 611


(24)

Pembelajaran dengan pendekatan CRA dapat berhasil diterapkan karena, adanya interaksi antara benda konkret dengan representasi gambar-gambar yang dapat meningkatkan kemungkinan bagi siswa untuk mengingat dan memilih prosedur yang tepat untuk memecahkan masalah matematika. Siswa lebih mungkin untuk menghafal, menulis, dan mengambil informasi ketika informasi disajikan dalam format multiindrawi: visual, auditorally, tactilely, dan kinesthetically. Menggunakan benda-benda konkret dan mengaitkannya dengan representasi gambar yang dijelaskan dalam program ini akan membantu siswa mendapatkan akses tambahan untuk memunculkan ide-ide saat menemukan kesulitan dalam pembelajaran abstrak. Bahkan, ketika siswa disajikan dengan pertanyaan-pertanyaan abstrak dalam matematika, mereka dapat kembali ke level sebelumnya (konkret atau representasi) untuk memecahkan masalah.

Dari beberapa uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai “Pengaruh Pendekatan Concrete-Representational-Abstract (CRA) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP”. Pendekatan ini diharapkan bisa menjembatani siswa untuk memahami konsep dan mampu mengeluarkan ide-ide matematisnya sehingga kemampuan komunikasi matematisnya bisa meningkat.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Siswa kesulitan untuk mengungkapkan pendapatnya.

2. Siswa takut salah dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya.

3. Siswa kurang terbiasa dengan soal-soal yang memerlukan komunikasi matematis dalam penyelesaiannya, sehingga kemampuan komunikasi matematis yang dimiliki siswa masih rendah.

4. Guru lebih dominan dan hanya bersifat mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa.


(25)

9

5. Pendekatan pembelajaran yang digunakan masih berpusat pada guru sehingga kurang efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran.

C.

Pembatasan Masalah

Agar penelitian lebih terarah dan mengingat permasalahan yang cukup luas, maka perlu dilakukan pembatasan masalah. Masalah akan dibatasi pada: 1. Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan Concrete

Representational Abstract (CRA). Pendekatan CRA mengajarkan siswa melalui tiga tahap belajar, yaitu: (1) konkret, (2) representasi, dan (3) abstrak. Pengajaran dengan CRA adalah tiga tahap proses pembelajaran dimana siswa memecahkan masalah matematika melalui manipulasi fisik benda konkret atau aktivitas langsung, diikuti dengan pembelajaran melalui representasi bergambar dari aktivitas langsung maupun manipulasi benda konkret, dan diakhiri dengan pemecahan masalah matematika melalui notasi abstrak.

2. Kemampuan komunikasi matematis pada penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematis dengan indikator :

a. Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa

sendiri untuk mengekspresikan ide-ide matematika, menjelaskan ide, dan situasi matematik.

b. Mathematical Expression, yaitu menyatakan peristiwa sehari-hari dalam konsep matematika.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas maka dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah pendekatan Concrete-Representasional

-Abstract (CRA) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis


(26)

E.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji dan menganalisis kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Concrete Representational Abstarct (CRA).

2. Membandingkan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan Concrete

Representational Abstarct (CRA) dan siswa yang pembelajarannya

dilakukan secara konvensional.

F.

Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi:

1. Peneliti, dapat memperluas wawasan tentang cara pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan Concrete Representational Abstarct (CRA).

2. Siswa, mendapatkan pengalaman belajar matematika melalui pendekatan

Concrete Representational Abstarct (CRA) dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa.

3. Guru, pendekatan Concrete Representational Abstarct (CRA) dapat menjadi pendekatan pembelajaran yang dapat diaplikasikan dalam menigkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

4. Sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan atau menerapkan pendekatan Concrete Representational Abstarct (CRA) dikelas-kelas lain.

5. Pembaca, dapat memberi gambaran/informasi tentang penerapan pendekatan Concrete Representational Abstarct (CRA) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP.


(27)

11

BAB II

DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR

DAN HIPOTESISPENELITIAN

A.

Deskripsi Teoritis

1. Pendekatan Pembelajaran Concrete-Representasional-Abstract (CRA) a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran

W. Gulo mengemukakan bahwa, pendekatan pembelajaran adalah suatu pandangan dalam mengupayakan cara siswa berinteraksi dengan lingkungannya.1 Sedangkan menurut Sanjaya “pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum”.2

Berdasarkan kajian terhadap pendapat ini, maka pendekatan merupakan titik tolak atau sudut pandang terhadap pembelajaran untuk pembentukan suatu ide dalam memandang suatu masalah atau objek kajian. Pendekatan akan menentukan arah pelaksanaan ide tersebut untuk menggambarkan perlakuan yang diterapkan terhadap masalah atau objek kajian yang akan dipelajari.

Roy Kellen mencatat bahwa terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teachers-centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches).3

Pendekatan pembelajaran berorientasi pada guru yaitu pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai objek dalam belajar dan kegiatan belajar bersifat klasik atau konvensional.Pendekatan ini memiliki ciri bahwa pengelolaan pembelajaran ditentukan sepenuhnya oleh guru.Peran siswa

1

Eveline Siregar, Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), cet. 1, h. 75

2

Rusman, Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), cet. 2, h. 380

3


(28)

dalam pendekatan ini hanya melakukan aktivitas sesuai dengan petunjuk guru.Siswa hampir tidak memiliki kesempatan untuk melakukan aktivitas sesuai dengan minat dan keinginannya.Selanjutnya pendekatan ini menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif dan pembelajaran ekspositori.4

Sedangkan pendekatan pembelajaran berorientasi pada siswa adalah pendekatan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek belajar.Pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada siswa, manajemen, dan pengelolaannya ditentukan oleh siswa.Pada pendekatan ini siswa memiliki kesempatan yang terbuka untuk melakukan kreativitas dan mengembangkan potensinya melalui aktivitas secara langsung sesuai dengan minat dan keinginannya.Pendekatan ini, selanjutnya menurunkan strategi pembelajaran

discoverydan inquiryserta strategi pembelajaran induktif, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa.Pada strategi ini peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing sehingga kegiatan belajar siswa menjadi lebih terarah.5

b. Pendekatan Pembelajaran Concrete-Representasional-Abstract (CRA)

Pendekatan Concrete-Representasional-Abstract (CRA).pertama kali digunakan oleh Mercer dan Miller. Mereka menggunakan pendekatan CRA untuk mengajarkan konsep dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian pada anak yang mengalami kesulitan belajar matematika. Secara signifikan siswa yang diajarkan dengan pendekatan CRA memperoleh hasil yang lebih baik daripada siswa yang diajarkan dengan pendekatan konvesional.6 Kemudian penelitian terhadap pendekatan CRA terus dikembangkan oleh peneliti yang lain. Bradley S. Witzel dalam penelitiannya mengemukakan pendekatan instruksional

4

Rusman, Deni Kurniawan, Cepi Riyana, Pembelajaran Berbasis Tekhnologi Informasi dan Komunikasi Mengembangkan Profesionalitas Guru, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), cet. 3, h. 45

5

Ibid., h. 46

6

Margaret M. Flores, Teaching Substraction with Regrouping to Students Experiencing Difficulty in Mathematics, Journal of Mathematics, 2009, p. 145.


(29)

13

Abstract(CRA) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: Concrete (belajar melalui benda-benda nyata) – Representasional (belajar melalui perwakilan gambar) –

Abstract (belajar melalui notasi abstrak).7

Pendekatan CRA merupakan instruksi dalam pembelajaran matematika yang menggabungkan representasi visual. CRA adalah pendekatan yang memiliki tiga bagian instruksional yang memungkinkan guru menggunakan

Concrete (seperti chip berwarna, angka geometris, pola blok, atau kubus, serta aktivitas langsung yang dilakukan oleh siswa) untuk model konsep matematika yang harus dipelajari, kemudian menunjukkan konsep melalui

Representational (seperti menggambar bentuk), dan yang terakhir adalah

Abstract atau simbolis (seperti angka, notasi, atau simbol matematika lainnya).8

Pendekatan CRA menggunakan suatu model atau alat peraga sebagai jembatan pemahaman siswa.Dengan pendekatan ini, guru dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untukmempraktikkan dan mendemonstrasikan model atau alat peraga tersebut dalam mencapai kemampuan komunikasi matematis.Aktivitas tersebut dapat membantu pemahaman materi ajar dan ingatan yang lama pada otak.Model juga mampu mengeluarkan ide-ide matematis siswa dalam berpikir.

Selain itu, tujuan dari pendekatan CRA ini sendiri adalah untuk memperkuat pemahaman konsep matematika siswa yang mereka pelajari. Ketika siswa yang mempunyai masalah matematika diizinkan untuk mengembangkan pemahaman matematika secara konkret mereka akan lebih memahami konsep pada level abstrak.

7

Bradley S. Witzel, “Using CRA to Teach Algebra to Students with Math Difficulties in Inclusive Settings”. Learning Disabilities: A Contemporary Journal 3(2), 2005, p. 50

8

Kathlyn Steedly, Kyrie Dragoo, Sousan Arafeh and Stephen D.Luke, Effective Mathematics Instruction. NICHCY. 2008. p.8.


(30)

c. Tahapan Pendekatan Pembelajaran Concrete-Representasional-Abstract (CRA)

Pendekatan CRA mengajarkan siswa melalui tiga tahap belajar, yaitu: (1) konkret, (2) representasi,dan (3) abstrak.9 Berikut akan dipaparkan lebih lanjut mengenai ketiga tahap tersebut.

1) Concrete

Concrete yaitu tahapan “melakukan” dengan menggunakan objek konkret menjadi suatu model permasalahan. Pada tahap ini setiap konsep matematika dimodelkan dengan bahan konkret (misalnya chip berwarna, pola blok, kubus, balok dll).10 Pembelajaran concrete memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan menunjukkan penguasaan memanipulasi benda-benda konkret atau melakukan aktivitas langsung yang berkaitan dengan konsep matematika sehingga dapat memecahkan masalah. Bagi siswa yang memiliki masalah dalam belajar matematika, guru melakukan pemodelan eksplisit menggunakan benda-benda konkret yang spesifik untuk memecahkan masalah matematika tersebut.

Pada tahap “melakukan” ini, siswa secara berkelompok mencari informasi yang dibutuhkan untuk membuat suatu model permasalahan dari konsep statistika. Dengan cara mewawancarai responden atau pun observasi untuk mendapatkan data dan menjadikannya suatu model permasalahan matematika yang kemudian dapat diselesaikan.

2) Representasional

Selanjutnya adalah tahapan “melihat” dengan menggunakan representasi atau benda semikonkret menjadi suatu model permasalahan.Pada tahap ini konsep matematika dimodelkan pada tingkat

representasional (semikonkret) yang melibatkan gambar yang mewakili objek konkret yang digunakan sebelumnya.

9

Susan P. Miller and Meghan Kennedy, Using the Concrete-Representational-Abstract Sequence with Integrated Strategy Instruction to Teach Subtraction with Regrouping to Students with Learning Disabilities,Learning Disabilities Research & Practice, 27(4), 152-166, 2012, p. 153.

10

Kathlyn Steedly, and etc., Effective Mathematics Instruction,(United States: NICHCY, 2008), p.8.


(31)

15

Pada tingkat pemahaman representasi, siswa belajar untuk memecahkan masalah dengan menggambar.Gambar tersebut merepresentasikan objek konkret yang menjadi sumber informasi pengumpulan data oleh siswa saat pemecahan masalah pada tahap

concrete. Hal ini tepat bagi siswa untuk mulai menggambar solusi dari masalah yang akan diselesaikan. Meskipun tidak semua siswa perlu untuk menggambarkan suatu solusi permasalahan sebelum berpindah dari tingkat pemahaman konkret ke tingkat pemahaman abstrak, pada khususnya siswa yang belajar mengenai suatu masalah membutuhkan latihan memecahkan masalah melalui gambar.

3) Abstract

Tahapan abstract merupakan tahapan “penyimbolan” dengan menggunakan lambang matematika yang abstrak menjadi suatu model permasalahan.Pada tahap ini, konsep matematika tersebut akhirnya dimodelkan pada tingkat abstrak menggunakan angka dan simbol matematika. Dengan data yang diperoleh pada tahap concrete, siswa dapat menyimbolkan dengan istilah-istilah yang biasa digunakan pada materi statistika seperti Xmaks, Xmin, , ∑ dan sebagainya.

Siswa yang memecahkan masalah pada tingkat abstrak, melakukan pemecahannya tanpa menggunakan benda konkret atau tanpa menggambar.Pemahaman abstrak sering disebut sebagai “mengerjakan matematika di kepala anda”.Melengkapi masalah matematika dimana masalah matematika tersebut dituliskan dan siswa memecahkan masalah ini dengan menggunakan kertas dan pensil adalah contoh umum dari pemecahan suatu masalah abstrak.

Pendekatan CRA memberikan kerangka kerja yang secara konseptual membantu siswa untuk membentuk hubungan yang bermakna antara kemampuan dalam tingkat konkret, representasi dan abstrak.Pemahaman siswa dimulai dari pengalaman visual, dan kinestetik untuk membangun pemahaman, siswa memperluas pemahaman mereka melalui representasi bergambar dari benda konkret dan pindah ke tingkat pemahaman secara


(32)

abstrak.11De Walle mengemukakan bahwa model dapat memainkan peran yang sama untuk menguji ide-ide yang muncul.12 Dengan pendekatan ini siswa dapat merepresentasikan ide-ide matematis dalam simbol-simbol matematika dengan benar sehingga dapat menyelesaikan persoalan matematika dengan tepat.

Pembelajaran dengan pendekatan CRA memiliki kemiripan dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).Pendekatan RME adalah pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan kenyataan dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran.13Jadi pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat dan selanjutnya diikuti dengan contoh-contoh soal.Namun sifat-sifat, definisi, teorema itu diharapkan ditemukan kembali oleh siswa.

Kegiatan RME dalam pembelajarannya di kelas, dimulai dari masalah kontekstual dan memberi kebebasan kepada siswa untuk dapat mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut dengan caranya sendiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki. Proses penjelajahan, penginterpretasian, dan penemuan kembali dalam RME menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal, yang diinspirasi oleh cara-cara pemecahan masalah informal yang digunakan oleh siswa.14

Matematisasi horizontal berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersama intuisi mereka digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah dari dunia nyata. Aktivitas yang dapat digolongkan dalam matematisasi horizontal antara lain: mengidentifikasi masalah, memvisualisasikan masalah dengan cara yang berbeda, mentransformasikan masalah dunia nyata ke masalah matematik. Sedangkan

11

Jane Hauser, Concrete-Representational-Abstract Instructional Approach, (U.S: American Institutes for Research, 2010), p.1.

12

John A. Van De Walle, Elementary and Midle School Mathematics Teaching Devellopmentally. (USA: Pearson Education Inc., 2006), p. 34

13

Tri Diyah Prastiti, “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran RME dan Pengetahuan Awal terhadap Kemampuan Komunikasi dan Pemahaman Matematika Siswa SMP Kelas VII”, (Dosen FKIP Universitas Terbuka di UPBJJ Surabaya), h. 201

14


(33)

17

matematisasi vertikal berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali pengetahuan yang telah diperoleh dalam simbol-simbol matematika yang lebih abstrak. Aktivitas matematisasi vertikal contohnya: representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian.

Pendekatan CRA berkaitan dengan prinsip matematisasi horizontal dan vertikal dalam RME, dimana prinsip pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik yang diawali dengan pengenalan konsep melalui hal yang konkret, erat hubungannya dengan pembelajaran pada tahap concrete pada CRA.Kemudian prinsip matematisasi horizontal mengenai pemvisualisasian masalah berkaitan dengan tahap representational.Selanjutnya, pada prinsip matematisasi vertikal menyangkut representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam tahap abstract pada CRA.

2. Kemampuan Komunikasi Matematis

a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

Kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena dengan komunikasi akan terjadi interaksi timbal balik dan terjadinya transfer informasi. Kemampuan komunikasi yang baik akan memungkinkan siswa aktif dalam pembelajaran dan memudahkannya dalam memberikan penalaran terhadap informasi tersebut.

Kata “komunikasi” berasal dari kata latincum, yaitu kata depan yang berarti dengan dan bersama dengan, dan unnus, yaitu kata bilangan yang berarti satu. Dari kedua kata itu terbentuk kata benda communio yang dalam bahasa inggris menjadi communion dan berarti kebersamaan.”15Menurut Cronkhite ada empat asumsi pokok untuk memahami suatu komunikasi, yaitu

15

Ngainun Naim, Dasar-Dasar Komunikasi Pendidikan. (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), h.17.


(34)

Pertama, komunikasi adalah suatu proses (communication is a process). Kedua, komunikasi adalah pertukaran pesan (communication is transactive). Ketiga, komunikasi adalah interaksi yang berarti multidimensi (communication is multi-dimensional). Artinya, karakteristik sumber (source), saluran (channel), pesan (massage), audiensi, dan efek dari pesan, semuanya berdimensi kompleks.Keempat, komunikasi merupakan interaksi yang mempunyai tujuan-tujuan atau maksud-maksud ganda (communication us multiproposeful).16

Evertt M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses yang didalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk mengubah perilakunya.17 Pendapat senada dikemukakan oleh Theodore Herbert yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang didalamnya menunjukan arti pengetahuan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus.18

Menurut Hardjana, dalam sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu.19

Berdasarkan definisi yang ada di atas dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lainmelalui media tertentu. Pertukaran makna merupakan inti yang terdalam kegiatan komunikasi karena yang disampaikan orang dalam komunikasi bukanlah kata-kata, melainkan arti atau makna-makna dari kata-kata. Di dalam berkomunikasi tersebut harus dipikirkan bagaimana caranya agar pesan yang disampaikan seseorang itu dapat dipahami oleh orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi, orang dapat menyampaikan dengan berbagai bahasa termasuk bahasa matematis.

16

Ibid, h. 19. 17

Abdul Majid, Strategi Pembelajaran. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2013. h.282 18

Ibid.h. 282 19


(35)

19

Untuk dapat berkomunikasi diperlukan alat.Alat utama dalam melakukan komunikasi adalah bahasa.Matematika merupakan salah satu bahasa yang juga dapat digunakan dalam berkomunikasi selain bahasanya sendiri.Matematika merupakan bahasa yang universal, dimana untuk satu simbol dalam matematika dapat dipahami oleh setiap orang dengan bahasa apapun didunia, misalnya dalam matematika untuk menyatakan jumlah digunakan lambang Σ, dan semua orang memahami bahwa lambang itu menyatakan jumlah.

Menurut The Intended Learning Outcomes (ILOs), komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya secara lisan dan tulisan.20 Melalui keterampilan ini siswa mengembangkan dan memperdalam pemahaman matematika mereka bila mereka menggunakan bahasa matematika yang benar untuk berbicara dan menulis tentang apa yang mereka kerjakan. Bila siswa berbicara dan menulis tentang matematika, mereka mengklarifikasi ide-ide mereka dan belajar bagaimana membuat argumen yang meyakinkan dan merepresentasikan ide-ide matematika secara verbal, gambar dan simbol.

Sri menyatakan bahwa siswa dikatakan mampu dalam komunikasi secara matematik bila ia mampu mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.21 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Sumarmo bahwa kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematik di antaranya adalah:22

a. Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematik.

b. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan.

20

Armiati, “Komunikasi Matematis dan Kecerdasan Emosional” dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.5 Desember 2009. h. 271

21

Sri Wardhani, Paket Fasilitas Pemberdayaan KKG/MGMP Matematika, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008), h.19

22

Utari Sumarmo dkk, Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan,(Bandung. UPI Press, 2007), h.684


(36)

c. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.

d. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis. e. Menggunakan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam

bahasa sendiri.

Baroody menyebutkan sedikitnya ada dua alasan penting mengapa komunikasi dalam matematika perlu ditumbuhkembangkan dikalangan siswa. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir (a tool to aid thinking), alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai suatu alat yang berharga untuk mengkomunikasikan berbagai ide atau gagasan secara jelas, tepat, dan cermat. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya sebagai aktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, juga sebagai wahana interaksi antar siswa, dan juga komunikasi antara guru dan siswa.23

Cockroft dalam laporannya menyatakan bahwa “we believe that all these perseptions of the usefulness of mathematics arise from the fact that mathematics provides a means of communication which is powerful, concise, and unbiguou.”24 Pernyataan ini menunjukkan tentang pentingnya para siswa belajar matematika dengan alasan bahwa matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak membingungkan.

Komunikasi diperlukan untuk memahami ide-ide matematika secara benar. Kemampuan komunikasi yang lemah akan berakibat pada lemahnya kemampuan-kemampuan matematika yang lain. Siswa yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik akan bisa membuat representasi yang beragam, hal ini akan lebih memudahkan dalam menemukan alternatif-alternatif penyelesaian yang berakibat pada meningkatnya kemampuan menyelesaikan permasalahan matematika.

23

Utari Sumarmo, “Mengembangkan Instrumen Untuk Mengukur High Order Mthematical Thinking dan Affective Behavior”, Makalah disampaikan pada Workshop Pendidikan Matematika, Universitas Islam Negeri Jakarta, Jakarta, 22 Oktober 2014

24

Fajar Shadiq, Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi, (Yogyakarta: PPPG Matematika, 2004), h. 19


(37)

21

Berdasarkan pengertian yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan kemampuan komunikasi matematis sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dalam matematika secara tulisan berupa aktivitas memberikan jawaban dengan tulisan, mengekspresikan ide-ide matematis, menjelaskan ide, situasi matematik secara tulisan serta menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika

b. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

Kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan menyampaikan ide/gagasan baik secara lisan maupun tulisan dengan simbol-simbol, grafik atau diagram untuk menjelaskan keadaan atau masalah dari informasi yang diperoleh. Seseorang dikatakan dapat berkomunikasi bilaia mampu mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.25

Indikator komunikasi matematis menurut NCTM dapat dilihat dari : 1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan,

dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual. 2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi

ide-ide matematika baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya.

3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi.26 Sedangkan menurut Sumarmo komunikasi matematis meliputi kemampuan siswa:27

25

Sri Wardhani, Paket Fasilitas Pemberdayaan KKG/MGMP Matematika, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008), h.19

26

Darto, “Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematika Dalam Pembelajaran Geometri di Sekolah Dasar”, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2013 UIN, Jakarta: 2013, h. 77

27

Utari Sumarmo dkk, Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan,(Bandung. UPI Press. 2007). h.684


(38)

1) Menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika.

2) Menjelaskan ide, situasi , dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar.

3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

4) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika. 5) Membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika tertulis. 6) Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan

generalisasi.

7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.

Satriawati membagi kemampuan komunikasi matematis menjadi tiga yaitu sebagai berikut:28

1) Written text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkrit, grafik, dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argumen dan generalisasi.

2) Drawing, yaitu merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram

ke dalam ide-ide matematika.

3) Mathematical Expression, yaitu mengekspresikan konsep matematika

dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa indikator kemampuan komunikasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

28

Gusni Satriawati, “Pembelajaran Dengan Pendekatan Open Ended Untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP”, dalam ALGORITMA, Vol. 1, No. 1, Tahun 2006, h. 111


(39)

23

1) Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa

sendiri untuk mengekspresikan ide-ide matematis, menjelaskan ide, dan situasi matematik.

2) Mathematical Expression, yaitu menyatakan peristiwa sehari-hari

dalam konsep matematika.

3. Pendekatan Konvensional

Pendekatan konvensional merupakan pendekatan pembelajaran yang selama ini masih banyak diterapkan oleh guru ketika mengajar. Pendekatan konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendekatan yang terdiri atas lima pengalaman belajar pokok, yaitu:29

a. Mengamati

Dalam kegiatan mengamati, guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. b. Menanya

Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas kepada peserta didik untuk bertanya mengenai apa yang sudah dilihat, disimak, dibaca atau dilihat. Guru membimbing peserta didik untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang konkret sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, ataupun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik.

c. Mengumpulkan informasi dan Mengasosiasi

Tindak lanjut dari bertanya adalah menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Untuk itu peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena atau objek yang

29

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, “Bahan Ajar Training Of Trainer (ToT) Implementasi Kurikulum 2013 Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) SD/SMP/SMA/SMK”, tahun 2013, hal. 17


(40)

lebih teliti atau bahkan melakukan eksperimen.Dari kegiatan tersebut terkumpul sejumlah informasi.

d. Mengkomunikasikan.

Kegiatan berikutnya adalah menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampaikan dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut.

B.

Hasil Penelitian yang Relevan

1) Winda Sudirja (2011). Pengaruh Strategi Pembelajaran Aktif dengan Metode Pengajaran Terbimbing Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematisk Siswa Pada Sub Bab Relasi dan Fungsi. Meneliti tentang kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas VIII SMP pada materi Relasi dan Fungsi dengan menggunakan strategi pembelajaran aktif dengan metode pengajaran terbimbing. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis yang meliputi tiga aspek yaitu

Written Text, Drawing dan Mathematical Expression yang pembelajaran matematikanya diterapkan strategi pembelajaran aktif dengan metode pengajaran terbimbing lebih tinggi dari pada rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional. Hal lain dari penelitian ini menunjukan bahwa strategi pembelajaran aktif dengan metode pengajaran terbimbing memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematis dalam tiga aspek kemampuan yaitu Written Text, Drawing dan Mathematical Expression.

2) Ati Yuliati (2013). Penerapan Pendekatan Concrete–Representational– Abstract (CRA) untuk Meningkatkan Kemampuan Abstraksi Matematis Siswa

SMP dalam Pembelajaran Geometri. Meneliti tentang penerapan pendekatan

CRA untuk meningkatkan kemampuan abstraksi matematis siswa. Dalam penelitiannya, Ati Yuliati menggunakan pendekatan CRA pada pokok bahasan Segiempat dan Segitiga. Hasil analisis penelitiannya menunjukkan


(41)

25

bahwa pelaksanaan pendekatan CRA mampu membuat siswa meningkatkan kemampuan abstraksi matematis dengan rata-rata pencapaian 74.33.

Dari kedua penelitian tersebut di atas maka penulis menganggap bahwa terdapat hubungan/keterkaitan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis akan lakukan. Indikator kemampuan komunikasi matematis yang akan diteliti meliputi Written Text, dan Mathematical Expression dengan menggunakan pendekatan Concrete–Representational–Abstract (CRA).

C.

Kerangka Berfikir

Untuk dapat berkomunikasi diperlukan alat, alat utama dalam melakukan komunikasi adalah bahasa.Matematika merupakan salah satu bahasa yang juga dapat digunakan dalam berkomunikasi selain bahasanya sendiri.Matematika merupakan bahasa yang universal, dimana untuk satu simbol dalam matematika dapat dipahami oleh setiap orang dengan bahasa apapun didunia, misalnya dalam matematika untuk menyatakan jumlah digunakan lambang Σ, dan semua orang memahami bahwa lambang itu menyatakan jumlah.

Komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan. Melalui keterampilan ini siswa mengembangkan dan memperdalam pemahaman matematika mereka bila mereka menggunakan bahasa matematika yang benar untuk berbicara dan menulis tentang apa yang mereka kerjakan. Bila siswa bicara dan menulis tentang matematika, mereka mengklarifikasi ide-ide mereka dan belajar bagaimana membuat argumen yang meyakinkan dan merepresentasikan ide-ide matematika secara verbal, gambar dan simbol.

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang diperlukan dalam belajar matematika dan sangat diperlukan dalam menghadapi masalah dalam kehidupan siswa serta perlu mendapat perhatian untuk lebih dikembangkan.Namun nyatanya terungkap bahwa siswa masih kurang baik dalam melakukan komunikasi, baik komunikasi secara lisan atau tulisan.Siswa kesulitan untuk mengungkapkan pendapatnya, walaupun sebenarnya


(42)

ide dan gagasan sudah ada di pikiran mereka. Guru menduga bahwa siswa takut salah dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya, disamping itu siswa juga kurang terbiasa dengan soal-soal yang memerlukan komunikasi matematis dalam penyelesaiannya.

Upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis tentunya tidak terlepas dari adanya kerja sama antara siswa dan guru. Untuk terciptanya situasi pembelajaran yang dapat mengoptimalkan kemampuan komunikasi matematis, sebaiknya siswa diberikan suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan untuk mempraktikkan dan mendemonstrasikan untuk membantu siswa dalam mencapai kemampuan komunikasi matematis.Aktivitas yang langsung dikerjakan oleh siswa dapat membantu pemahaman materi ajar dan ingatan yang lama pada otak.Model juga mampu mengeluarkan ide-ide matematis siswa dalam berpikir.

Pendekatan CRA (Concrete–Representational–Abstract) mengajarkan siswa melalui 3 tahap belajar, yaitu: (1) konkret, (2) representasi, dan (3) abstrak. Pengajaran dengan CRA adalah tiga tahap proses pembelajaran dimana siswa memecahkan masalah matematika melalui manipulasi fisik benda konkret, diikuti dengan pembelajaran melalui representasi bergambar dari manipulasi benda konkret, dan diakhiri dengan pemecahan masalah matematika melalui notasi abstrak.

Ketiga tahapan dalam CRA ini saling mendukung satu sama lain dan pelaksanaannya pun tidak dilakukan secara linear tetapi secara siklik. CRA tidak harus dilihat atau dipraktekkan sebagai pendekatan yang terpisah tetapi lebih sebagai pendekatan yang terintegrasi untuk memastikan bahwa setiap siswa berhasil.Setiap tahap dalam CRA membangun pengajaran sebelumnya untuk mendorong belajar siswa, kemampuan mengingat, dan untuk memanggil pengetahuan konseptual.

Pembelajaran dengan pendekatan CRA memiliki kemiripan dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME).Pendekatan CRA berkaitan dengan prinsip matematisasi horizontal dan vertikal dalam RME, dimana prinsip pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik yang diawali dengan


(43)

27

pengenalan konsep melalui hal yang konkret, erat hubungannya dengan pembelajaran pada tahap concrete pada CRA.kemudian prinsip matematisasi horizontal mengenai penvisualisasian masalah berkaitan dengan tahap

representational. Selanjutnya, pada prinsip matematisasi vertikal menyangkut representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam tahap abstract pada CRA.

Berdasarkan uraian diatas terlihat terdapat keterkaitan antara pendekatan

Concrete-Representational-Abstract (CRA) dengan kemampuan komunikasi

matematis siswa.Dengan demikian, diduga bahwa penggunaan pendekatan

Concrete-Representational-Abstract (CRA) dapat mempengaruhi kemampuan


(44)

Bagan 2.1

D.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian serta kajian hasil penelitian relevan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan Concrete-Representasional-Abstract (CRA) lebih tinggi dari pada siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan konvensional.

Pendekatan Pembelajaran Concrete Representational Abstract (CRA)

Concrete

Representational

Abstract

1. Written Text

2. Mathematical

Expression

Kemampuan komunikasi matematis siswa meningkat Siswa kesulitan untuk

mengungkapkan pendapatnya.

Siswa takut salah dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya. Siswa kurang terbiasa

dengan soal komunikasi matematis.

Konsep Matematisasi Freudenthal

Matematisasi Horizontal

Berkaitan

dapat meningkatkan

Berkaitan

Matematisasi Vertikal Berkaitan


(45)

29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Al-Hasra Depok, Jalan Bojongsari Baru No. 24, Depok. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 di kelas VII pada bulan Maret.

Tabel 3.1 Agenda Penelitian

No. Kegiatan Feb Mar Apr Mei

1. Persiapan dan Perencanaan √

2. Observasi (Studi Lapangan) √ 3. Pelaksanaan Pembelajaran √

4. Analisis Data √

5. Laporan Penelitian √

B.

Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen. Sampel terdiri dari dua kelas berbeda yang nantinya akan mendapatkan pembelajaran dengan metode yang berbeda. Kelas eksperimen akan mendapat pendekatan pembelajaran Concrete-Representational-Abstract (CRA) dan kelas kontrol akan belajar dengan pembelajaran konvensional.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Randomized Post-test Only Control Group Design. Dalam desain ini objek yang ingin di teliti akan di tes pada tes akhir yang diberikan setelah kedua kelas mendapatkan perlakuan seperti yang telah dipaparkan di atas. Desain penelitian jenis ini dinilai sebagai desain yang paling efisien dan pilihan terbaik untuk jenis penelitian eksperimen seperti yang akan dilakukan peneliti kali ini.


(46)

Adapun skemanya1 sebagai berikut :

Dimana:

R1 = Kelompok eksperimen yang dipilih secara acak R2 = Kelompok kontrol yang dipilih secara acak X1 = Perlakuan dengan pendekatan CRA

X2 = Perlakuan dengan pembelajaran konvensional

O = Posttest dengan tes kemampuan komunikasi matematis

Simbol X menunjukan variabel eksperimental dalam hal ini adalah pendekatan pembelajaran Concrete-Representational-Abstract (CRA). Simbol O mewakili observasi yang dilakukan untuk memperoleh data dari objek yang diteliti tentang pengaruh yang diberikan oleh variabel ekperimental, lebih lengkapnya akan dibahas pada sub bab berikutnya.

C.

Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.2 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Al-Hasra Depok pada semester genap tahun ajaran 2014/2015. Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Cluster Random Sampling. Teknik ini mengambil 2 kelas dari empat kelas yang ada. Kemudian dari 2 kelas tersebut diundi, kelas mana yang akan dijadikan kelas eksperimen dan kontrol, maka terpilih kelas VII-1 dengan jumlah siswa 30 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-2 dengan jumlah siswa 29 orang sebagai kelas kontrol.

1

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 112.

2

Ibid, h. 117.

R1 X1 O R2 X2 O


(47)

31

D.

Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kauntitatif. Data ini merupakan data utama yang di ambil dari instrumen penelitian yang berupa observasi dan tes untuk mendapatkan informasi mengenai variabel yang akan diteliti.

1. Tahap Persiapan

a) melakukan observasi ke sekolah mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa.

b) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan bahan ajar pada pokok bahasan Statistika.

c) Menyusun Instrumen penelitian.

d) Melakukan uji coba instrumen penelitian. e) Analisis hasil uji coba instrumen.

f) Pemilihan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol secara acak menggunakan teknik Cluster Random Sampling (Pengambilan sampel menurut kelompok).

2. Tahap Pelaksanaan

a) Menerapkan pendekatan Concrete-Representational-Abstract (CRA) pada kelompok eksperimen, sedangkan pada kelompok kontrol diterapkan pendekatan konvensional dengan jumlah jam pelajaran dan pokok bahasan yang sama.

b) Pemberian tes akhir pada kedua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebagai evaluasi.

3. Tahap Akhir

a) Melakukan analisis data tes Posttest dengan menggunakan uji statistik. b) Penarikan kesimpulan berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan


(48)

E.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal tes untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa berupa soal-soal uraian sebanyak 6 butir soal yang diberikan dalam bentuk posttest. Instrumen tes ini diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol pada pokok bahasan Statistika, dimana tes yang diberikan kepada kedua kelas tersebut adalah sama. Adapun indikator yang akan diukur melalui tes uraian akan dijelaskan sebagaimana terdapat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.2

Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis

No Aspek Indikator Soal No.

Soal

Jumlah Soal

1. Written Text 1. Siswa dapat memberikan jawaban

dengan kalimatnya sendiri.

2. Siswa dapat menjelaskan situasi matematik dalam bentuk diagram ataupun sebaliknya.

1, 3, 5

3

2. Mathematical

Expression

1. Siswa dapat menyatakan peristiwa sehari-hari dalam konsep matematika untuk menyelesaikan masalah.

2, 4, 6

3

Skor yang diberikan pada penilaian hasil tes berkisar pada 0 sampai dengan 4. Pedoman pemberian skor yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.3


(49)

33

Tabel 3.3

Rubrik Penilaian Tes Kemampuan komunikasi Matematis

No Indikator Skor Kriteria

1 Written Text

0 Tidak ada jawaban

1 Menjawab dengan kalimat sendiri akan tetapi tidak mengekspresikan ide-ide matematika. 2 Menjawab dengan kalimat sendiri namun

kurang mengekspresikan ide-ide matematika. 3

Menggunakan kalimat sendiri serta dapat mengekspresikan ide-ide matematika namun jawaban salah.

4

Menggunakan kalimat sendiri serta dapat mengekspresikan ide-ide matematika dan jawaban benar.

2 Mathematical

Expression

0 Tidak ada jawaban

1 Tidak dapat menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.

2

Menyatakan peristiwa sehari-hari dengan bahasa atau simbol matematika namun tidak berkaitan dengan konsep.

3 Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam konsep matematika namun jawaban salah.

4 Menyatakan pertiwa sehari-hari dalam konsep matematika serta jawaban benar.

F.

Analisis Instrumen

Instrumen terlebih dahulu di uji cobakan sebelum digunakan sehingga di dapatkan instrumen yang baik. Uji coba ini dimaksudkan untuk memperoleh validitas, reliabilitas instrumen, daya pembeda, dan tingkat kesukaran.

1. Validitas Instrumen

Validitas adalah derajat ketetapan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur. Untuk menghitung validitas tes esai dapat menggunakan rumus korelasi product moment3, yaitu:

3

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 72.


(50)

=

Σ

XY

(

Σ

X) (

Σ

Y)

[

Σ

(

Σ

) ][

Σ −

(

Σ

) ]

Dimana:

X = skor butir soal Y = skor total

n = jumlah responden

Uji validitas instrumen dilakukan untuk membandingkan hasil perhitungan dengan pada taraf signifikansi 5%, dengan terlebih dahulu menetapkan degrees of freedom atau derajat kebebasan yaitu dk = n-2. Soal dikatakan valid jika,

ℎ ≥  butir soal valid ℎ <  butir soal tidak valid

Peneliti membuat 6 butir soal kemampuan komunikasi matematis siswa. Setelah dilakukan analisis dengan perhitungan statistika, jumlah butir soal yang valid adalah 6 butir. Jika suatu instrumen dikatakan valid, maka instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa. Adapun hasil perhitungan validitas uji coba instrumen sebagai berikut:

Tabel 3.4

Hasil Perhitungan Validitas Uji Coba Instrumen

Nomor Soal Keterangan

1 Valid

2 Valid

3 Valid

4 Valid

5 Valid


(51)

35

Hasil perhitungan validitas uji coba instrumen menunjukan dari 6 butir soal dinyatakan valid dan dapat digunakan dalam penelitian.

2. Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui keterpercayaan hasil tes. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur reliabilitas suatu tes yang berbentuk uraian adalah dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach4 :

=

1 1

Σ

Dimana:

= reabilitas yang dicari.

n = banyaknya butir soal (yang valid). ∑ 2

= jumlah varians skor tiap-tiap item.

2 = varians total.

Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut: 0,80 < 11 ≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik

0,60 < 11 ≤ 0,80 Derajat reliabilitas baik

0,40 < 11 ≤ 0,60 Derajat reliabilitas cukup

0,20 < 11 ≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah

0,00 < 11 ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah

Berdasarkan kriteria koefisien reliabilitas, nilai r11 = 0,700817 berada diantara kisaran 0,60 < 11 ≤ 0,80, maka dari 6 butir soal yang valid tersebut

memiliki derajat reliabilitas baik.

3. Taraf Kesukaran

Uji taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui soal-soal yang sukar, sedang dan mudah. Bilangan yang menunjukkan sukar, sedang dan mudahnya

4


(52)

suatu soal disebut indeks kesukaran.5 Uji taraf kesukaran instrumen penelitian dihitung dengan menghitung indeks besarannya dengan rumus :

= Dimana:

P = Indeks Kesukaran

B = Jumlah skor yang diperoleh responden pada item ke-i

JS =Jumlah skor maksimum item soal ke-i

Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran sering diklasifikasikan sebagai berikut:6

0,00 < P ≤ 0,30 : soal sukar 0,30 < P ≤ 0,70 : soal sedang 0,70 < P ≤ 1,00 : soal mudah

Berdasarkan hasil uji coba instrumen tes kemampuan komunikasi matematis siswa yang diujikan, terdapat soal dengan kategori mudah dan sedang seperti yang terlihat pada Tabel 3.5:

Tabel 3.5

Rekapitulasi Taraf Kesukaran Uji Coba Instrumen

Nomor Soal Nilai P Kriteria

1 0,69 Sedang

2 0,52 Sedang

3 0,55 Sedang

4 0,57 Sedang

5 0,56 Sedang

6 0,81 Mudah

5

Ibid, h. 208.

6


(53)

37

4. Daya Pembeda

Pengujian daya pembeda soal digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu soal dalam membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dengan peserta tes yang berkemampuan rendah.7 Rumus yang digunakan untuk pengujian daya pembeda adalah sebagai berikut:

=

=

Dimana:

= Indeks daya pembeda suatu butir soal

= Banyaknya siswa kelompok atas yang menjawab benar = Banyaknya siswa kelompok bawah yang menjawab benar = Skor maksimum yang bisa diperoleh siswa kelompok atas = Skor maksimum yang bisa diperoleh siswa kelompok bawah

Tolok ukur untuk menginterpretaikan daya pembeda tiap butir soal digunakan kriteria sebagai berikut :8

D = 0,00 : sangat jelek 0,00 < DP ≤ 0,20 : jelek

0,20 < DP ≤ 0,40 : cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 : baik 0,70 < DP ≤ 1,00 : baik sekali

Dari hasil perhitungan uji daya pembeda instrumen, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

7

Ibid, h. 213.

8


(54)

Tabel 3.6

Rekapitulasi Daya Pembeda Uji Coba Instrumen

Nomor Soal Nilai Dp Kriteria

1 0,25 Cukup

2 0,265 Cukup

3 0,176 Jelek

4 0,412 Baik

5 0,279 Cukup

6 0,132 Jelek

G.

Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul baik dari kelas kontrol maupun kelas eksperimen diolah dan dianalisis untuk dapat menjawab rumusan masalah dan hipotesis penelitian. Keseluruhan pengolahan data mulai dari menguji normalitas hingga menguji kesamaan dua rata-rata kelompok penelitian dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

1. Uji Prasyarat

Karena varians populasi tidak diketahui, untuk analisis data digunakan uji kesamaan dua rata-rata dengan menggunakan analisis Independent Samples T Test. Uji kesamaan dua rata-rata dilakukan pada hasil tes kemampuan komunikasi matematis secara keseluruhan. Namun sebelum pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data hasil penelitian berdistribusi normal atau tidak. Data yang berdistribusi normal apabila dibuat dalam bentuk kurva akan menghasilkan kurva normal. Pengujian normalitas data hasil penelitian dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk (uji W) dengan bantuan software SPSS. Syarat penggunaan uji Shapiro-Wilk ini adalah jumlah data yang


(55)

39

akan diuji ≤ 50,9 dan data berasal dari sampel dipilih secara acak dari suatu populasi. Adapun beberapa rumus yang digunakan dalam uji Shapiro-Wilk ini yaitu :10

1. Pembagi (d) uji W :

= ( − ) = −

n : jumlah data yang akan di ujikan

2. Pembatas (k) uji W:

= jika n genap = jika n ganjil 3. Rumus Whitung (W):

= [ ] − [ ]

Nilai d berasal dari perhitungan rumus yang pertama.

Nilai batas sigma (k) berasal dari perhitungan rumus yang kedua.

Seperti halnya uji normalitas lainnya uji Shapiro-Wilk ini juga memiliki 2 buah hipotesis yang diujikan, yaitu:

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal Kriteria pengujian yang digunakan dalm uji Shapiro-Wilk ini adalah apabila nilai Whitung ≤ 0,05 maka data dikatakan tidak berdistribusi normal (H0 ditolak). Sebaliknya apabila nilai Whitung ≥ 0,05 maka data dikatakan berdistribusi normal (H0 diterima).11

9

Richard, O. Gilbert, Statistical Methods for Environmental Pollution Monitoring, (New York : Vam Nostrand Reinhold Company Inc, 1987) p. 159

10

Ibid. p. 159

11


(56)

b. Uji Homogenitas Varians

Uji Homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel memiliki kesamaan karakteristik (homogen) atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian homogenitas menggunakan uji Levene. Penghitungan uji Levene dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan software SPSS. Adapun rumus yang digunakan dalam uji Levene ini adalah sebagai berikut:12

= ( − )

( − )

∑ ( − . . )

∑ ∑ − .

Adapun pasangan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:

H0 : Kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians sama atau homogen

H1 : Kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians berbeda atau tidak homogen

Kriteria pengujian yang digunakan dalam uji Levene ini adalah apabila nilai Whitung ≤ 0,05 maka kelompok data dikatakan memiliki varians yang tidak homogen (H0 ditolak). Sebaliknya apabila nilai Whitung ≥ 0,05 maka kelompok data dikatakan memiliki varians yang homogen (H0 diterima).

2. Uji Hipotesis

Setelah uji prasyarat analisis dilakukan ternyata sebaran distribusi rata-rata skor kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen maupun kontrol berdistribusi normal dan memiliki varians yang homogen. Oleh karena itu, untuk menguji kesamaan dua rata-rata digunakan analisis Independent Samples T Test

yang terdapat pada perangkat lunak SPSS. Namun sebelumnya telah ditetapkan terlebih dahulu hipotesis statistiknya, yaitu sebagai berikut:

12

National Institute of Standards and Technology : Levene Test, 2013

http://www.itl.nist.gov/div898/software/dataplot/refman1/auxillar/levetest, diakses pada tanggal 27 Februari 2015 pukul 11:04 WIB


(1)

106

Lampiran 21

UJI NORMALITAS, HOMOGENITAS DAN UJI T SKOR

POSTTEST

MENGGUNAKAN SPSS 20

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Skor

Komunikasi .094 59 .200

*

.974 59 .232

Skor Komunikasi

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.500 1 57 .483

Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig.

(2-tailed) Equal variances

assumed .500 .483 5.349 57 .000

Equal variances not


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Metode Write Pair Switch Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Berdasarkan Tingkat Kemampuan Kognitif

10 55 143

Pengaruh Pendekatan Problem Posing Terhadap Kemampuan Komunikasi matematis Siswa

1 16 42

PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN CRA (CONCRETE-REPRESENTATIONAL-ABSTRACT) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP.

2 7 34

PENERAPAN PENDEKATAN CONCRETE-REPRESENTATIONAL-ABSTRACT (CRA) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ABSTRAKSI MATEMATIS SISWA SMP DALAM BELAJAR GEOMETRI.

18 59 52

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN CRA (CONCRETE-REPRESENTATIONAL-ABSTRACT) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMP.

0 0 43

PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PESISIR TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP | Karya Tulis Ilmiah

0 0 11

PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PESISIR TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP

0 0 6

PENERAPAN PENDEKATAN CONCRETE-REPRESENTATIONAL-ABSTRACT (CRA) BERBASIS INTUISI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANALOGI DAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA SMP - repository UPI T MTK 1302836 Title

0 0 3

PENINGKATAN KEMAMPUAN VISUAL THINKING MATEMATIS MELALUI PENDEKATAN CONCRETE-REPRESENTATIONAL-ABSTRACT (CRA) BERBANTUAN SOFTWARE CABRI 3D - repository UPI S MAT 1200668 Title

0 2 7

PENERAPAN PENDEKATAN CONCRETE-REPRESENTATIONAL- ABSTRACT (CRA) BERBASIS INTUISI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

0 1 5