Hipotesis Penelitian Penangkapan Berlebih Overfishing

Untuk mengatasi kapasitas berlebih di perairan timur Kabupaten Bangka diperlukan pengelolaan perikanan dengan mempertimbangkan aspek kapasitas penangkapan ikan. Salah satu model alternatif yang mengakomodasi aspek tersebut adalah pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan. Namun masih minimnya informasi dalam menentukan kapasitas penangkapan ikan sering menjadi kendala bagi pengambil kebijakan untuk menerapkan strategi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian analisis kapasitas unit penangkapan perikanan pelagis skala kecil di Kabupaten Bangka. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan accountable bagi perumusan strategi kebijakan pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan secara berkelanjutan. Untuk memberikan gambaran secara utuh mengenai kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.6 Hipotesis Penelitian

1 Keragaan perikanan tangkap skala kecil di perairan pantai timur Kabupaten Bangka berubah secara dinamis. 2 Pola musim dan daerah penangkapan ikan pelagis dominan di perairan pantai timur Kabupaten Bangka berbeda antar musim. 3 Kapasitas unit penangkapan perikanan pelagis skala kecil di perairan pantai timur Kabupaten Bangka tidak optimal dan berbeda antar musim. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. PERIKANAN PANTAI KABUPATEN BANGKA : BERSIFAT OPEN ACCESS KAPASITAS PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL TIDAK EFISIEN PERIKANAN KABUPATEN BANGKA: 90 DIDOMINASI PERIKANAN SKALA KECIL Tingkat Pemanfaatan SDI Intensif DIDUGA GEJALA PADAT TANGKAP KAPASITAS BERLEBIH KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KAPASITAS PENANGKAPAN Analisis Kapasitas Unit Penangkapan Ikan Analisis Musim Penangkapan Ikan IMP Pemanfaatan SDI Kurang Memperhatikan Musim Penangkapan Ikan Jumlah Kapal dan Alat Tangkap Terus Meningkat Analisis Daerah Penangkapan Ikan EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN § Efisiensi Perikanan Tangkap § Kapasitas Penangkapan Optimal 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Perikanan Tangkap

Sistem perikanan tangkap tersusun oleh tiga komponen utama yaitu subsistem alam biologi dan lingkungan perairan, subsistem manusia dan subsistem pengelolaan, diantara ketiga komponen utama tersebut memiliki berbagai bentuk interaksi yang kompleks Charles 2001. Dinamika sistem perikanan tangkap mencakup aspek sumberdaya ikan, armada perikanan, dan komunitas nelayan. Sumberdaya ikan dikendalikan melalui dinamika populasi di alam berupa proses reproduksi dan kematian. Armada perikanan bervariasi dalam dinamika modal, seperti investasi kapal dan alat tangkap baru yang mengalami depresiasi sepanjang waktu. Penangkapan secara langsung akan mengurangi jumlah stok sumberdaya ikan, tetapi disisi nelayan hasil tangkapan merupakan keuntungan yang dapat digunakan untuk menambah modal kembali Hermawan 2006. Lebih lanjut Charles 2001 menggambarkan interaksi multi-dimensional antara subsistem perikanan tangkap sebagai hubungan kesatuan sistem perikanan tangkap, seperti disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Deskripsi sistem perikanan tangkap yang menunjukkan dinamika sumberdaya ikan, armada modal dan nelayan Charles 2001. Ikan Armada Nelayan Dinamika Populasi Ikan Dinamika Modal Dinamika Tenaga Kerja Panen Pasar Keuntungan Pasca Panen Kondisi Pasar Ekosistem Lingkungan Biofisik Rumah tangga Lingkungan Sosial

2.1.1 Sumberdaya Ikan

Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan UU RI No. 31 Tahun 2004. Komponen yang menyusun subsistem komunitas ikan meliputi 1 organisme secara individual, 2 populasi, dan komunitas biologi, masing-masing pada suatu tingkat organisasi yang berbeda, dapat diperlakukan sebagai sistem organismik. Meskipun sumberdaya ikan dapat pulihdiperbaharuimemperbaharui renewable, replenishable, tetapi juga bersifat dapat rusak depletableexhaustible. Faktor yang mengatur stok sumberdaya ikan adalah recruitment, pertumbuhan, mortalitas alami dan penangkapan oleh usaha perikanan Widodo dan Suadi 2006. Menurut Nikijuluw 2002, sumberdaya ikan terdiri dari beberapa jenis atau kelompok jenis, yaitu: ikan pelagis ikan yang hidup di kolom perairan dengan mobilitas tinggi, ikan demersal ikan yang hidup di dasar perairan dengan mobilitas rendah dan tinggi, dan ikan sedentari ikan yang dasar perairan dengan mobilitas sangat rendah dan lambat. Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup di lapisan permukaan perairan sampai tengah mid layer. Ikan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lain. Ikan ini bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu stream line dan perenang cepat. Ikan pelagis dikelompokan menjadi dua, yaitu: 1 ikan pelagis besar yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 100–250 cm ukuran dewasa, seperti tuna Thunnus spp., cakalang Katsuwonus pelamis, tenggiri Scomberomorus spp., tongkol Euthynnus spp., setuhuk Xiphias spp. dan lamadang Coryphaena spp.; dan 2 ikan pelagis kecil yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 5–50 cm ukuran dewasa, seperti kembung Rastreliger sp., layang Decapterus sp., jenis-jenis selar Selaroides sp. dan Atele sp., lemuru Sardinella sp. dan teri Stolephorus sp. Bakosurtanal 1998. Produktivitas sumberdaya ikan tertinggi berasal dari daerah perairan pantai. Ekosistem perairan pantai ini diperkirakan menyumbang lebih dari 90 sumber ikan dunia. Begitu juga produksi perikanan Indonesia 70 berasal dari perikanan pantai dengan skala dan struktur usaha, alat tangkap, dan nelayan yang beragam Garcia dan Moreno 2001. Sumberdaya ikan adalah salah satu sumberdaya alam yang bersifat renewable resources dan common property resources Gordon 1954. Pengertian sifat renewable adalah dapat dipulihkan, ini memberikan implikasi bahwa manusia dapat memanfaatkan sumberdaya ikan dengan hati-hati sehingga aliran manfaatnya akan ada sepanjang tahun. Adapun pengertian common property adalah hak kepemilikan bersama atas sumberdaya ikan sehingga setiap orang sebagai pemegang hak properti memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Dengan kata lain tidak ada kebebasan bagi setiap orang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut Nikijuluw 2002. Menurut Nikijuluw 2002 terdapat tiga sifat khusus pada sumberdaya alam milik bersama termasuk sumberdaya ikan, yaitu: 1 Eskludabilitas, berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya yang dimaksud semakin sulit dan mahal karena sifat sumberdaya ikan terus bergerak di lautan luas. Hal ini menimbulkan kebebasan pemanfaatan sumberdaya tersebut oleh siapa saja sedangkan pengawasan oleh otoritas manajemen menjadi sulit. 2 Substracabilitas, suatu kondisi bagi seseorang untuk menarik manfaat dan keuntungan yang dimiliki orang lain, walaupun telah ada kerjasama di antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kompetisi bahkan dapat mengarah ke konflik pemanfaatan sumberdaya. 3 Indivisibilitas, fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun pembagian secara administratif dapat dilakukan.

2.1.2 Armada Perikanan Tangkap

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan UU RI No 31 Tahun 2004. Sedangkan Perikanan tangkap didefinisikan sebagai perikanan yang berbasis usahanya berupa penangkapan ikan di laut maupun di perairan umum Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005. Usaha perikanan tangkap adalah semua usaha yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005. Armada perikanan tangkap merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan. Dengan kata lain, armada perikanan adalah sekelompok kapal- kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan fishing ground. Sedangkan unit penangkapan didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan terdiri dari perahukapal penangkapan dan alat penangkapan yang di gunakan Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005. UU RI No. 31 Tahun 2004, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksploitasi perikanan. Berdasarkan fungsinya kapal perikanan, meliputi: kapal penangkapan ikan, kapal pengangkut ikan, kapal pengolah ikan, kapal latih perikanan, kapal penelitianeksplorasi perikanan, dan kapal operasi penangkapan ikan. Menurut Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005, klasifikasi armada perikanan tangkap terdiri atas: 1 Armada penangkapan ikan skala kecil adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu tanpa motor, atau menggunakan perahu motor tempel, atau kapal motor berukuran 5 GT. 2 Armada penangkapan ikan skala menengah adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu motor tempel atau kapal motor berukuran 5 – 30 GT. 3 Armada penangkapan ikan skala besar adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu motor tempel atau kapal berukuran 30 GT. Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil sekitar 85, dan hanya 15 dilakukan oleh perikanan skala besar. Struktur armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor sekitar 50, perahu motor tempel 26 dan kapal motor 24. Armada kapal motor ini didominasi oleh kapal motor berukuran dibawah 5 GT sekitar 72, kapal motor berukuran 5 – 10 GT sekitar 14 dan kapal motor berukuran diatas 10 GT berkisar 14 Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005. Dominasi jumlah armada dibawah 10 GT memperlihatkan perikanan skala kecil sangat berperan dalam perikanan nasional. Kebijakan pembangunan perikanan tangkap diarahkan untuk 1 menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri; 2 rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan 3 penerapan pengelolaan perikanan fisheries management secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005. Kebijakan pertama mencerminkan peran perikanan tangkap yang diharapkan, sehingga kebijakan tersebut bersifat tujuan pembangunan perikanan; kebijakan kedua mencerminkan pendekatan yang diterapkan, yaitu strategi untuk memperbaiki kinerja armada penangkapan ikan dan keberpihakan kepada stakeholder domestik; sedangkan kebijakan yang ketiga mencerminkan strategi untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan sustainable fisheries. Paradigma perikanan berkelanjutan ini sangat penting dalam penangkapan ikan ketika populasi ikan menjadi semakin terbatas dan wilayah pengelolaan perikanan mengalami kelebihan pemanfaatan sumberdaya ikan overexploited. Perikanan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan ketersediaan stok ikan, guna menjamin aset sumberdaya ikan yang minimal sama untuk generasi mendatang.

2.1.3 Nelayan

Nelayan didefiniskan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan UU RI No 31 Tahun 2004. Pengertian lebih luas, nelayan adalah orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan Widodo dan Suadi 2006. Charles 2001 membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok, yaitu: 1 Nelayan subsisten subsistence fishers, yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. 2 Nelayan asli nativeindegenousaboriginal fishers, yaitu nelayan yang sedikit memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersil walaupun dalam skala yang lebih kec il. 3 Nelayan rekreasi recreationsport fisher, yaitu orang yang secara prinsip melakukan penangkapan ikan hanya untuk sekedar kesenangan atau olah raga. 4 Nelayan komersil commercial fishers, yaitu kelompokorang yang menangkap ikan untuk tujuan komersil. Kelompok ini terdiri dari nelayan skala kecilartisanal dan nelayan skala besarindustri. Lebih lanjut Charles 2001 menyatakan, usaha perikanan secara umum dibagi dua yaitu usaha perikanan skala kecilartisanal dan usaha perikanan skala besar industri. Usaha perikanan skala kecilartisanal adalah penangkapan ikan untuk komersil tetapi tingkatnya masih rendah dan usaha perikanan industri adalah penangkapan ikan untuk komersil dengan armada dan modal yang intensif. Karakteristik perikanan skala kecil berdasarkan technico-sosio-economic, dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional Smith 1979. Adapun ciri-ciri dari perikanan tradisional adalah sebagai berikut: 1 Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali. 2 Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan diluar penangkapan. 3 Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri. 4 Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin. 5 Investasi rendah dengan modal; pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6 Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada tingkat sedang sampai sangat rendah. 7 Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau di jual di laut. 8 Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya. 9 Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal. Nelayan dapat dibagi berdasarkan daya jangkau armada penangkapan dan juga lokasi penangkapan, nelayan dibagi tiga, yaitu: 1 perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil; 2 perikanan lepas pantai untuk ukuran kapal 30 GT; dan perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar diatas 100 GT Widodo dan Suadi 2006. Hampir sekitar 85 nelayan di Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di sekitar perairan pantai Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005; Wiyono 2005. Kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan skala kecil masih diidentikan dengan kemiskinan. Hal ini menunjukkan usaha perikanan skala kecil masih tidak efiesien, dimana upaya penangkapan melebihi ketersediaan dari sumberdaya yang ada Wiyono dan Wahju 2006.

2.2 Penangkapan Berlebih Overfishing

Pada umumnya sumberdaya ikan masih dianggap bersifat open access yakni pemanfaatannya secara terbuka oleh siapa saja dan kapan saja, sehingga menimbulkan persaingan antar nelayan, persaingan teknologi dan modal. Proses persaingan tersebut dalam perairan open access akan menimbulkan tangkap lebih secara ekonomis economic overfishing, karena pemanfaatan perikanan tidak terkontrol. Kondisi ini akan berlanjut sampai melampaui suatu titik profit total maksimum sehingga terjadi overcapacity melampaui kapasitas kemampuan menanggung dan mengakomodasi tekanan eksploitasi, investasi berlebihan over- capitalization dan tenaga kerja berlebihan over-employment Widodo dan Suadi 2006. Overfishing atau tangkap lebih dapat diartikan sebagai suatu jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu Fauzi 2005. Berdasarkan karakteristiknya overfishing dapat dikelompokan menjadi empat tipe, yaitu: 1 Recruitment overfishing, situasi dimana populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi melakukan reproduksi untuk memperbaharui spesiesnya lagi. 2 Growth overfishing, situasi dimana stok yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum. 3 Ekonomic overfishing, jika rasio biaya input dan harga output terlalu besar atau jumlah input yang digunakan lebih besar dari pada input yang dibutuhkan untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum. 4 Malthusian overfishing, terjadi jika nelayan skala kecil yang umumnya miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan, dengan menghadapi hasil tangkapan yang menurun. Selanjutnya Widodo dan Suadi 2006 menambahkan dua tipe overfishing lagi , yaitu: 1 Biological overfishing, kombinasi dari growth dan recruitment overfishing akan terjadi jika tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat MSY. Pencegahan terhadap tipe overfishing ini meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan ikan. 2 Ecosystem overfishing, dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis suatu stok ikan sebagai akibat dari upaya penangkapan berlebih, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Tipe overfishing ini menimbulkan pergantian dari ikan bernilai ekonomi tinggi kepada ikan kurang bernilai ekonomi. Secara sederhana overfishing dapat dideteksi dengan melihat hasil tangkapan per satuan upaya Catch Per Unit EffortCPUE yang semakin menurun. Adanya penurunan CPUE mencerminkan bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan semakin tidak efisien dan semakin terbatasnya sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan nelayan. Indikasi ketidak-efisienan dapat dilihat dari semakin banyaknya energi, dana dan waktu yang dikerahkan untuk memperoleh ikan serta semakin kecilnya individu ikan yang tertangkap dan penurunan total produksi perikanan King 1995; Gordon 1954. Overfishing telah menjadi masalah serius terhadap perikanan dunia, kelebihan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut menimbulkan over exploitation dan economic waste yang sangat besar FAO 1998. Gejala overfishing juga telah terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia, seperti Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa dan Bali. Overfishing tidak hanya menyebabkan penurunan sejumlah stok ikan tetapi juga menimbulkan krisis ekologi, ekonomi dan sosial di wilayah utama perikanan khususnya daerah pantai Nikijuluw 2002. Begitu pula perairan Kabupaten Bangka yang merupakan bagian perairan pantai timur Sumatera, potensi perikanan ikan tenggiri ikan pelagis sedang menghadapi gejala overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Upaya penangkapan aktual rata-rata ikan tenggiri ikan pelagis mencapai 798 trip per bulan, telah melebihi kondisi maximum sustainable yield MSY sebesar 491 trip per bulan dan kondisi maximum ekonomi yield MEY sebesar 381 trip per bulan Febrianto 2008. Pemecahan masalah overfishing merupakan suatu tugas yang kompleks, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial tetapi perlu melibatkan stakeholder. Pemberian subsidi pada sektor perikanan tanpa memperhatikan jumlah stok ikan bukan merupakan solusi yang tepat, karena pemberian subsidi tersebut akan menambah kapasitas penangkapan ikan tetapi stok ikan relatif tidak bertambah. Konsekuensinya akan menimbulkan masalah kapasitas berlebih, yang berkaitan dengan overfishing Fauzi 2005.

2.3 Kapasitas dan Kapasitas Berlebih Excess Capacity