Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acne)

(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Limbah

Kulit Pisang Kepok Kuning (

Musa balbisiana

) Terhadap

Bakteri Penyebab Jerawat (

Staphylococcus epidermidis,

Staphylococcus aureus,

dan

Propionibacterium acne)

SKRIPSI

FARADHILA NUR SARASWATI

NIM : 1111102000038

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(2)

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol 96% Limbah

Kulit Pisang Kepok Kuning (

Musa balbisiana

) Terhadap

Bakteri Penyebab Jerawat (

Staphylococcus epidermidis,

Staphylococcus aureus,

dan

Propionibacterium acne)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

FARADHILA NUR SARASWATI

NIM : 1111102000038

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

OKTOBER 2015


(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Faradhila Nur Saraswati NIM : 1111102000038

Tanda tangan :


(4)

(5)

(6)

vi

Jerawat merupakan penyakit kulit yang biasa muncul pada wajah, leher, dada, dan punggung. Jerawat disebabkan oleh aktivitas kelenjar minyak yang berlebihan dan diperburuk oleh infeksi bakteri. Kulit pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan limbah dari produk olahan pisang kepok (Musa balbisiana) yang biasanya tidak dimanfaatkan. Di Indonesia, kulit pisang dipercaya dapat digunakan untuk melembutkan, mencegah jerawat, dan mengencangkan kulit. Kulit pisang kepok (Musa balbisiana) mengandung alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan kulit pisang kepok (Musa balbisiana) yang diekstraksi dengan etanol 96% sebagai agen antibakteri, khususnya terhadap bakteri penyebab jerawat (Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Staphylococcus aureus ATCC 25923, dan Propionibacterium acne ATCC 11827). Metode difusi cakram digunakan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok (Musa balbisiana). Klindamisin sebagai kontrol positif digunakan untuk menjadi pembanding aktivitas antibateri. Kulit pisang kepok (Musa balbisiana) yang diekstraksi dengan etanol 96% menunjukan adanya aktivitas antibakteri terhadap ketiga bakteri uji penyebab jerawat (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acne). Aktivitas antibakteri paling tinggi dari kulit pisang kepok (Musa balbisiana) yang diekstraksi dengan etanol 96%, terjadi pada konsentrasi 100.000 ppm. Diameter zona hambat dari bakteri Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus, dan

Staphylococcus epidermidis sebesar 12,8 mm,12,4 mm, dan 10,2 mm.

Kata kunci : Kulit Pisang (Musa balbisiana), jerawat, antibakteri, difusi cakram Nama : Faradhila Nur Saraswati

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acne)


(7)

vii

ABSTRACT

Acne is a skin disease that usually appears on the face, neck, chest, and back. Acne is caused by excessive oil gland activity and aggravated by a bacterial infection. Kepok banana peel (Musa balbisiana) is a waste of kepok banana products (Musa balbisiana) which is normally not used. In Indonesia, banana peel is believed to be used to soften, tighten, and prevent acne skin. Kepok banana peel (Musa balbisiana) contain alkaloids, flavonoids, saponins and tannins that able to inhibit the growth of bacteria. This study was conducted to determine the ability of kepok banana peel (Musa balbisiana) that was extracted with etanol 96% as an antibacterial agent, especially against strain of acne-causing bacteria (Staphylococcus epidermidis ATCC 12228, Staphylococcus aureus ATCC 25923, and Propionibacterium acne ATCC 11827). Disc diffusion method was used to determine the antibacterial activity of kepok banana peel (Musa balbisiana). Clindamycin as control positive was used as comparison of the antibacterial activity. The result showed kepok banana peel (Musa balbisiana) that was extracted with 96% etanol had antibacterial activity against the three acne-causing bacteria (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus and Propionibacterium acne). The Best antibacterial activity of kepok banana peel (Musa balbisiana) that was extracted with 96% etanoloccurred in concentration 100.000 ppm. The diameter of inhibition zone of Propionibacterium acne,

Staphylococcus aureus, and Staphylococcus epidermidis were 12.8 mm, 12.4 mm, and 10.2 mm.

Key Words: Banana Peel (Musa balbisiana), Acne, Antibacteria, Disc Diffusion Name : Faradhila Nur Saraswati

Department : Farmasi

Title : Antibacterial Activity Test of 96% Ethanol Extract Peel of Yellow Kepok Banana (Musa balbisiana) Against Strain of Acne-Causing Bacteria (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, and Propionibacterium acne)


(8)

viii

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur selalu terpanjatkan atas kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala berkah dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada keharibaan junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari akhir zaman.

Skripsi dengan judul “Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol 96% Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana ) Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan

Propionibacterium acne)” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya, mendidik dan membimbing, memberikan secercah harapan, dan mendoakan yang terbaik kepada penulis. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Eka Putri, M.Si., Apt dan Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi, petunjuk, serta dorongan bagi penulis dari awal hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Bapak Saiful Bahri., M.Si selaku dosen mikrobiologi yang telah memberikan saran serta masukan kepada penulis.


(9)

ix

3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M. Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Yardi, Ph. D., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan berkah dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Aamiin.

6. Ibunda tercinta Retnowati dan ayahanda M. Muhadi yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang, semangat, dukungan, doa, dan nasihatnya agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 7. Adik tersayang Tieneke Rachmawati yang tiada henti memberikan suport

dan doa agar penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.

8. Untuk orang spesial Yogie Tri Pratama yang memberikan waktu dan tenaganya selama penulis menjalankan penelitian, serta untuk dukungan dan doa yang diberikan.

9. Adit, Ambar, Ana, Askandari, Elsa, Fattah, Khaerunisa, Miyadah, dan Niekha sebagai teman yang seperjuangan yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan kebersamaan selama kuliah di farmasi ini dan semoga terus berlanjut hingga seterusnya.

10.Teman-teman seperjuangan Farmasi Angkatan 2011“Effervescence” yang

selalu memberikan warna baru dalam hidup penulis, kebersamaan yang begitu indah, dan ilmu tentang hidup dan kehidupan yang begitu berharga. 11.Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala bantuan dan dukungannya kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan dan kekurangan. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca agar lebih sempurnanya skripsi ini.


(10)

x

Penulis HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Faradhila Nur Saraswati NIM : 1111102000038

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL 96% LIMBAH KULIT PISANG KEPOK KUNING (Musa balbisiana) TERHADAP BAKTERI PENYEBAB JERAWAT (Staphylococcus epidermidis,

Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acne)

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 16 Oktober 2015


(11)

xi

(Faradhila Nur Saraswati) DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ...viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pisang Kepok (Musa balbisiana L.) ... 5

2.1.1 Klasifikasi Pisang Kepok ... 6

2.1.2 Kandungan Kimia ... 7

2.1.3 Kegunaan ... 8

2.2 Ekstrak ... 9

2.2.1 Pengertian Ekstraksi ... 9

2.2.1.1 Ekstraksi Cara Dingin ... 10


(12)

xii

2.4 Vacum Rotary Evaporator ... 13

2.5 Bakteri ... 13

2.5.1 Penggunaan Istilah Nomenklatur dan Klasifikasi... 13

2.5.2 Bentuk Bakteri ... 13

2.5.3 Struktur Tubuh Bakteri ... 14

2.5.4 Ukuran Bakteri... ....15

2.5.5 Susunan Kimia Bakteri ... 15

2.5.6 Cara Memperbanyak Bakteri ... 15

2.5.7 Fase Pertumbuhan Bakteri ... 16

2.6 Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif ... 17

2.7 Jerawat dan Bakteri Penyebab Jerawat ... 18

2.7.1 Bakteri Staphylococcus epidermidis ... 20

2.7.2 Bakteri Staphylococcus aureus ... 21

2.7.3 Bakteri Propionibacterium acne... 22

2.7.4 Penentuan Aktivitas Antimikroba... 24

2.7.5 Pengukuran Zona Hambat ... 26

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

3.2 Alat dan Bahan ... 27

3.2.1 Alat ... 27

3.2.2 Sampel Tumbuhan ... 27

3.2.3 Bahan Kimia ... 28

3.2.4 Bakteri yang Digunakan ... 28

3.3 Metode Penelitian ... 28

3.3.1 Penyiapan Sampel ... 28

3.3.2 Ekstraksi Limbah Kulit Pisang Kepok ... 29

3.3.3 Karakterisasi Ekstrak ... 29

3.3.4 Skrining Fitokimia ... 30


(13)

xiii

3.4.1 Sterilisasi Alat ... 31

3.4.2 Peremajaan Bakteri ... 32

3.4.3 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram ... 33

3.4.4 Pembuatan Kurva Pertumbuhan ... 33

3.4.5 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji ... 34

3.4.6 Pelaksanaan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Limbah Kulit Pisang Kepok ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Pemeriksaan Sampel ... 36

4.2 Penyiapan Sampel ... 36

4.3 Ekstraksi Limbah Kulit Pisang Kepok ... 37

4.4 Karakterisasi Ekstrak ... 38

4.5 Skrining Fitokimia ... 39

4.6 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram ... 41

4.7 Pembuatan Kurva Pertumbuhan ... 42

4.8 Uji Aktivitas Antibakteri ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1 Kesimpulan ... 49

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Uji Skrining Fitokimia ... 40 Tabel 2. Hasil Kurva Pertumbuhan ... 44 Tabel 3. Hasil Uji Aktivitas Antibakteri ... 46


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pisang Kepok(Musa balbisiana) ... 7

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Mikroba ... 17

Gambar 3. Perhitungan Diameter Zona Hambat Antibakteri ... 26

Gambar 4. Hasil Pewarnaan Gram ... 42

Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Bakteri ... 44

Gambar 6. Hasil uji aktivitas antibakteri... 47

Gambar 7. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus ... 63

Gambar 8. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis ... 64


(16)

xvi

DATAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penyiapan Sampel ... 57

Lampiran 2. Hasil Determinasi Tanaman Pisang Kepok ... 58

Lampiran 3. Pembuatan Ekstrak Limbah Kulit Pisang Kepok ... 59

Lampiran 4. Proses Maserasi ... 60

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Rendemen ... 60

Lampiran 6. Perhitungan Persentase Kadar Air Ekstrak ... 60

Lampiran 7. Perhitungan Pengenceran Konsetrasi dari Larutan Induk ... 61

Lampiran 8. Uji Aktivitas Antimikroba ... 63


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Jerawat merupakan penyakit pada permukaan kulit wajah, leher, dada, dan punggung yang muncul pada saat kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif sehingga pori-pori kulit akan tersumbat oleh timbunan lemak yang berlebihan. Jika timbunan itu bercampur dengan keringat, debu dan kotoran lain, maka akan menyebabkan timbunan lemak dengan bintik hitam di atasnya yang disebut komedo. Jika pada komedo itu terdapat infeksi bakteri, maka terjadilah peradangan yang dikenal dengan jerawat yang ukurannya bervariasi mulai dari ukuran kecil sampai ukuran besar serta berwarna merah, kadang-kadang bernanah serta menimbulkan rasa nyeri (Djajadisastra, 2009).

Bakteri yang umum menginfeksi jerawat adalah Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, dan Propionibacterium acnes. Pengobatan jerawat di klinik kulit biasanya menggunakan antibiotik yang dapat menghambat inflamasi dan membunuh bakteri, contohnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, dan klindamisin. Selain dari itu sering juga digunakan benzoil peroksida, asam azelat dan retinoid, namun obat-obat ini memiliki efek samping dalam penggunaannya sebagai anti jerawat antara lain iritasi, sementara penggunaan antibiotika jangka panjang selain dapat menimbulkan resistensi juga dapat menimbulkan kerusakan organ dan imunohipersensitivitas (Djajadisastra, 2009).

Masalah yang timbul akibat peggunaan antibiotik, maka dicari alternatif lain dalam mengobati jerawat yaitu dengan menggunakan bahan-bahan dari alam, dengan harapan dapat meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan seperti yang terjadi pada pengobatan jerawat dengan antibiotik atau zat-zat aktif lain (Djajadisastra, 2009).

Pada masyarakat Indonesia, kulit pisang sering digunakan sebagai masker. Masyarakat percaya bahwa masker kulit pisang dapat melembutkan, mencegah jerawat, dan mengencangkan kulit. Banyak artikel kecantikan yang


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memuat tentang informasi manfaat kulit pisang bagi kecantikan. Salah satunya yaitu sebagai anti jerawat (Dewi, 2009).

Pemanfaatan buah pisang menyisakan limbah kulit pisang, yang belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu produk olahan pisang adalah keripik pisang dan pisang goreng. Produk samping pedagang keripik pisang dan pisang goreng adalah limbah kulit pisang.

Tanaman pisang memiliki banyak kandungan senyawa aktif (metabolit sekunder) yang berperan sebagai senyawa antimikroba dan agen kemoterapi. Pada ekstrak bonggol pisang ambon kuning memiliki kandungan metabolit sekunder senyawa fenol seperti saponin dalam jumlah yang banyak, glikosida dan tanin (Soesanto dan Ruth, 2009). Organ pelepah pisang memiliki kandungan metabolit sekunder saponin dalam jumlah banyak, flavonoid dan tanin (Priosoeryanto et al., 2006). Organ jantung pisang mengandung alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, dan fenol (Mahmod et al., 2011 dalam Ningsih, 2013). Buah pisang pada umumnya mengandung alkaloid, terpenoid, sterol, dan flavonoid (Rastogi dan Mehrota, 1999 dalam Ningsih, 2013).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zainab et al., (2013) dalam Fadhilah (2014), komponen fitokimia dari kulit pisang adalah tanin dan kuinon yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Komponen lainnya juga dijelaskan oleh Subrata et al. (2011) dalam Fadhilah (2014) yaitu alkaloid, flavonoid, dan saponin.

Kulit buah pisang masak yang berwarna kuning kaya akan senyawa flavonoid, maupun senyawa fenolik, disamping itu kulit buah pisang banyak mengandung karbohidrat, mineral seperti kalium dan natrium, serta selulosa. Flavonoid dan senyawa fenolik merupakan senyawa bioaktif yang menunjukkan berbagai aktivitas yang berguna, seperti antioksidan, antidermatosis, kemopreventif, antikanker, maupun antiviral. Senyawa flavonoid dan senyawa fenolik lainnya yang ada pada kulit pisang perlu diidentifikasi dan diuji aktivitasnya, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan limbah kulit buah pisang lebih optimal (Sri Atun, et al., 2007).

Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa kandungan kulit pisang adalah katekulamin, serotonin dan depamin (Waalkes, et al., 1958),


(19)

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

karbohidrat (Anwange, 2008), saponin, tannin, alkaloid, indol alkaloid, flavanoid, phylobattanin, antrakuinon dan kuinon (Salau, et al., 2010). Kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) mengandung alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Musalam, 2001).

Penelitian aktivitas antimikroba dari limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) sebagai antibakteri, sejauh ini belum dilaporkan, sehingga perlu dilakukan penelitian. Pada penelitian ini, limbah kulit pisang kepok kuning akan diekstraksi dengan etanol 96%, kemudian ekstraknya akan diujikan kepada bakteri penyebab jerawat (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Propionibacterium acnes), sehingga dapat diketahui aktivitas antimikrobanya (Dewi, 2009).

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dan belum adanya laporan mengenai uji aktivitas antimikroba, maka perlu dilakukan penelitian uji aktivitas antimikroba ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balisiana) terhadap bakteri penyebab jerawat (Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, Propionibacterium acne).

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balisiana).

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memperoleh aktivitas antimikroba ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning yang aktif terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Propionibacterium acnes.

2. Untuk memperoleh nilai konsentrasi ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok yang aktif terhadap bakteri penyebab jerawat (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.4Manfaat penelitian 1.4.1 Secara teoritis

Secara teoritis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) terhadap bakteri penyebab jerawat yang nantinya akan memberikan manfaat terhadap pembuatan obat baru.

1.4.2 Secara metodologi

Secara metodologi penelitian ini menggunakan ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) sebagai agen antimikroba terhadap bakteri penyebab jerawat dan dapat digunakan pada penelitian selanjutnya untuk uji aktivitas lainnya.

1.4.3 Secara aplikatif

Secara aplikatif hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dalam usaha mendapatkan sumber obat baru yang bermanfat bagi ilmu pengetahuan sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam.


(21)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana)

Pisang kepok adalah pisang kultivar hidrida triploid yang berasal dari Filipina. Pisang kepok adalah salah satu varietas pisang yang paling penting dalam masakan Filipina. Pisang ini juga kadang-kadang dikenal sebagai pisang Cardaba, kultivar yang sangat mirip juga diklasifikasikan dalam subkelompok Saba (Munadjim, 1988).

Pisang kepok memiliki ukuran yang sangat besar, batangnya kuat yang dapat mencapai ketinggian 20 sampai 30 kaki (6,1-9,1m). Batang bisa mencapai diameter 0,91m. Batang dan daun berwarna biru-hijau. Seperti semua pisang, masing-masing bunga menghasilkan buah hanya sekali sebelum mati (Munadjim, 1988).

Buah pisang yang siap panen adalah 150-180 hari setelah berbunga, lebih lama dari varietas pisang lainnya. Setiap tanaman memiliki berat 26-38 kg pertandan. Biasanya ada 16 tangan pertandan, dengan masing-masing sisir memiliki 12 sampai 20 buah (Munadjim, 1988).

Pisang kepok tumbuh baik dengan pengairan baik di tanah yang subur dengan paparan sinar matahari penuh. Pisang kepok mewarisi sebagian besar karakteristik Musa balbisiana, membuat sifat pisang kepok toleran terhadap tanah kering dan kondisi dingin dari daerah beriklim sedang. Pisang kepok membutuhkan curah hujan minimum dan dapat bertahan musim kemarau panjang selama irigasi yang memadai disediakan. Buah-buah pisang kepok mungkin tidak matang dalam kondisi seperti itu. Pisang kepok juga memiliki ketahanan yang baik terhadap Sigatoka penyakit bercak daun (Munadjim, 1988).

Panjang buah 8-13 cm dan diameternya 2,5-5,5 cm. Tergantung pada kematangan tersebut, buah yang khas persegi dan bersudut. Dagingnya berwarna putih dan mengandung zat tepung. Pisang kepok biasanya dipanen saat masih hijau setelah 150-180 hari setelah penanaman, terutama jika mereka harus diangkut jarak jauh (Munadjim, 1988).


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pisang kepok kuning (Musa balbisiana) termasuk dalam klon pisang dari kelompok triploid. Berdasarkan klasifikasi taksonomi pisang kepok kuning ini termasuk ke dalam famili Musaceae yang berasal dari India Selatan. Pisang kepok bisa dimakan dalam keadaaan segar, tetapi bisa juga untuk diolah lebih lanjut menjadi hasil olahan. Pisang kepok merupakan komoditi pertanian yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena sifat dan kegunaannya itu, sehingga banyak digunakan oleh seluruh pelosok kepulauan Indonesia (SNI, 1998).

2.1.1 Klasifikasi Pisang Kepok

Pisang kepok (Musa balbisiana), diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu pisang kepok kuning dan pisang kepok putih. Secara kasat mata dari luar bentuknya hampir sama. Perbedaan pisang kepok kuning dan pisang kepok putih terletak pada saat daging buahnya diiris, baru terlihat kalau kepok kuning berwarna kekuningan, sedangkan kepok putih lebih pucat. Rasa kepok kuning lebih manis, sedangkan yang kepok putih lebih asam (Munadjim, 1988).

Dalam dunia tumbuhan, klasifikasi pisang kepok selengkapnya adalah sebagai berikut (Munadjim, 1988):

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu/monokotil) Sub kelas : Commelinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae (suku pisang-pisangan) Genus : Musa


(23)

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 1. Pisang Kepok (Musa balbisiana) (Munadjim, 1988)

Kulit buah pisang kepok sangat tebal dengan warna kuning kehijauan dan kadang bernoda cokelat, dan daging buahnya manis. Pisang kepok tumbuh pada suhu optimum untuk pertumbuhannya yaitu pada suhu sekitar 27°C, dan suhu maksimumnya 38°C. Bentuk buah pisang kepok agak gepeng dan bersegi. Ukuran buahnya kecil, panjangnya 10–12 cm dan beratnya 80-120 gram. Kulit buahnya sangat tebal dengan warna kuning kehijauan dan kadang bernoda cokelat (Munadjim, 1988).

2.1.2 Kandungan Kimia

Buah pisang pada umumnya banyak mengandung karbohidrat baik isinya maupun kulitnya. Umumnya masyarakat hanya memakan buahnya saja dan membuang kulit pisang begitu saja. Di dalam kulit pisang ternyata memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup. Hasil analisis fitokimia menunjukan bahwa kandungan pisang pada umumnya adalah katekulamin, serotonin dan depamin (Waalkes, et al,. 1985), karbohidrat (Anwange, 2008), saponin, tanin, alkaloid, flavanoid, phylobattanin, antrakuinon, dan kuinon (Salau, et al., 2010).

Kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) mengandung alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut Ajizah (2004) tanin bersifat antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antimikroba tanin melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, destruksi atau inaktivasi fungsi


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

materi genetik. Alkaloid, flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Saponin termasuk golongan senyawa triterpenoid dapat digunakan sebagai zat antimikroba (Musalam, 2001).

2.1.3 Kegunaan

Kegunaan tanaman pisang menurut Munadjim (1988), tanaman pisang merupakan tanaman yang banyak memiliki manfaat, mulai dari akar sampai daun dapat digunakan.

a. Umbi batang (Bonggol)

Pati yang terkandung dalam umbi batang pisang dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat bahkan bisa dikeringkan untuk menjadi abu. Dimana abu dari umbi ini mengandung soda yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sabun dan pupuk (Munadjim 1988).

b. Batang pohon

Bagian batang pohon pisang dapat digunakan sebagai makanan ternak dimusim kekurangan air dan secara sederhana dapat dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk kompos yang humusnya sangat tinggi (Munadjim 1988).

c. Daun pisang

Daun yang segar dapat digunakan sebagai makanan ternak dimusim kering dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pembungkus makanan secara tradisional (Munadjim 1988).

d. Bunga pisang

Bunga pisang yang masih segar (jantung pisang) bisa dijadikan makanan sebagai sayur (Munadjim 1988).

e. Buah pisang

Buah pisang bisa dijadikan selai pisang yang daya awetnya tinggi dan bisa dibuat tepung pisang dari buah yang tua yang belum masak (Munadjim 1988).


(25)

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

f. Kulit buah pisang

Kulit dari buah pisang biasa digunakan untuk makanan ternak. Kulit buah pisang bisa untuk menghasilkan alkohol yaitu etanol karena mengandung gula yang mempunyai aroma yang menarik. Kulit buah pisang juga bisa dimanfaatkan sebagai masker untuk kecantikan, dengan menempelkan bagian dalam kulit pisang ke wajah (Munadjim 1988).

2.2Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut dan masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Soesilo, 1995).

2.2.1 Pengertian Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif dari jaringan tumbuhan ataupun hewan menggunakan pelarut yang sesuai melalui prosedur yang telah ditetapkan (Tiwari et al., 2011). Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi sampai ke material padat dari tumbuhan dan akan melarutkan senyawa dengan polaritas yang sesuai dengan pelarutnya. Efektifitas ekstraksi senyawa kimia dari tumbuhan bergantung pada (Tiwari et al., 2011) :

a. Bahan-bahan tubuhan yang diperoleh b. Keaslian dari tumbuhan yang digunakan c. Proses ekstraksi

d. Ukuran partikel

Macam-macam perbedaan metode ekstraksi yang akan mempengaruhi kuantitas dan kandungan metabolit sekunder dari ekstrak, antara lain (Tiwari, et al., 2011) :

a. Tipe ekstraksi b. Waktu ekstraksi


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Suhu ekstraksi d. Konsentrasi pelarut e. Polaritas pelarut

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin (Ditjen POM, 2000).

2.2.1.1 Ekstraksi Cara Dingin a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000).

Keuntungan ekstraksi dengan cara maserasi adalah pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana, sedangkan kerugiannya yaitu cara pengerjaannya yang lama, membutuhkan pelarut yang banyak dan penyarian kurang sempurna. Dalam maserasi (untuk ekstrak cairan), serbuk halus atau kasar dari tumbuhan obat yang kontak dengan pelarut disimpan dalam wadah tertutup untuk periode tertentu dengan pengadukan yang sering, sampai zat tertentu dapat terlarut. Metode ini paling cocok digunakan untuk senyawa yang termolabil (Tiwari et al., 2011).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna (exhaustive extraction) yang umunya dilakukan pada temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali dari bahan (Ditjen POM, 2000).

Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman, tahap perkolasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak


(27)

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(perkolat). Untuk menentukan akhir dari pada perkolasi dapat dilakukan pemeriksaan zat secara kualitatif pada perkolat akhir. Ini adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk mengekstrak bahan aktif dalam penyusunan tincture dan ekstrak cairan (Ditjen POM, 2000).

2.2.1.2 Ekstraksi Cara Panas a. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi mengunakan pelarut yang selalu baru, dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

b. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

c. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 900C selama 15 menit. Infusa adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air dimana bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur yang digunakan (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000). Cara ini menghasilkan larutan encer dari komponen yang mudah larut dari simplisia (Tiwari et al., 2011).

d. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30oC) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit. Metode ini digunakan untuk ekstraksi konstituen yang larut dalam air


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dan konstituen yang stabil terhadap panas dengan cara direbus dalam air selama 15 menit (Tiwari et al., 2011).

e. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik pada temperatur lebih tinggi dari temperatur suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Ditjen POM, 2000).

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinyu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruang (umumnya 25-30oC). Ini adalah jenis ekstraksi maserasi dimana suhu sedang digunakan selama proses ekstraksi (Tiwari et al., 2011).

2.3 Pelarut

Pelarut adalah zat yang digunakan sebagai media untuk melarutkan zat lain. Kesuksesan penentuan senyawa biologis aktif dari bahan tumbuhan sangat tergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi (Ncube et al., 2008). Sifat pelarut yang baik untuk ekstraksi yaitu toksisitas dari pelarut yang rendah, mudah menguap pada suhu yang rendah, dapat mengekstraksi komponen senyawa dengan cepat, dapat mengawetkan dan tidak menyebabkan ekstrak terdisosiasi (Tiwari et al., 2011).

Pemilihan pelarut juga akan tergantung pada senyawa yang ditargetkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah jumlah senyawa yang akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman senyawa yang akan diekstraksi, kemudahan dalam penanganan ekstrak untuk perlakuan berikutnya, toksisitas pelarut dalam proses bioassay, potensial bahaya kesehatan dari pelarut (Tiwari et al., 2011).

2.3.1 Alkohol

Pelarut etanol memiliki sifat yang dapat melarutkan seluruh bahan aktif yang terkandung dalam bahan alami, baik bahan aktif yang bersifat polar, semipolar maupun non polar (Tiwari et al., 2011).


(29)

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4 Vacum Rotary Evaporator

Vaccuum rotary evaporator adalah alat yang berfungsi untuk memisahkan suatu larutan dari pelarutnya sehingga dihasilkan ekstrak dengan kandungan kimia tertentu sesuai yang diinginkan. Cairan yang ingin diuapkan biasanya ditempatkan dalam suatu labu yang kemudian dipanaskan dengan bantuan penangas, dan diputar. Uap cairan yang dihasilkan didinginkan oleh suatu pendingin (kondensor) dan ditampung pada suatu tempat (receiver flask). Pelarut diuapkan, kemudian akan dihasilkan ekstrak yang dapat berbentuk padatan atau cairan (Nugroho, et al., 1999).

Kelebihan dari alat ini adalah diperolehnya kembali pelarut yang diuapkan. Penggunaan rotary evaporator meningkatkan presentase air yang terevaporasi dibandingkan dengan menggunakan waterbath. Prinsip kerja alat ini didasarkan pada titik didih pelarut dan adanya tekanan yang menyebabkan uap dari pelarut terkumpul di atas, serta adanya kondensor (suhu dingin) yang menyebabkan uap ini mengembun dan akhirnya jatuh ke tabung penerima (receiver flask) (Mutairi & Jasser, 2012).

2.5 Bakteri

2.5.1 Penggunaan Istilah Nomenklatur

Istilah bakteri berasal dari kata “bakterion” (bahasa Yunani) yang

berarti tongkat atau batang. Istilah bakteri ini sekarang banyak dipakai untuk setiap mikroba yang bersel satu. Banyak negara di dunia belum sepakat dalam klasifikasi spesies bakteri, demikian pula penggunan istilah dalam mikrobiologi (Diah, 2004).

2.5.2 Bentuk Bakteri

Bentuk morfologi bakteri dapat dibagi menjadi 5 jenis (Adam, 1992): A. Bentuk Basil (Basillus)

Basil berbentuk seperti tongkat pendek, agak silindris. Bentuk basil meliputi sebagia besar bakteri (Adam, 1992).


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

B. Bentuk Coccus (Bulat)

Coccus adalah bentuk bakteri seperti bola-bola kecil. Golongannya tidak sebanyak basil. Baik berupa basil maupun bentuk coccus, secara kelompok dapat berupa (Adam, 1992) :

1) Seperti rantai bergandegan panjang : streotobasil atau

streptococcus

2) Berdua-dua bergandengan : diplobasil atau diplococcus

3) Mengelompok berempat : tetracoccus

4) Bergerombol seperti anggur : staphylococcus

5) Berkelompok seperti kubus : sarcina

C. Bentuk Spiral

Bentuk spiral adalah bakteri yang berbentuk seperti spiral, atau panjang berbengkok-bengkok. Golongan ini tidak banyak bila dibandingkan dengan basil dan coccus (Adam, 1992).

D. Bentuk Vibrio (Koma)

Vibrio adalah bentuk seperti batang bengkok, seperti berupa tanda koma (Adam, 1992).

E. Bentuk Spirocheta (Spirochet)

Spirocheta adalah bentuk seperti batang berbelit-belit panjang dan banyak belitannya (Adam, 1992).

2.5.3 Struktur Tubuh Bakteri

Bakteri adalah makhluk hidup bersel tunggal, meskipun bakteri dapat berpasang-pasangan dan tiap sel hidup sendiri-sendiri. Sel tersebut merupakan sitoplasma yang nampak berdinding tegas, akan tetapi inti selnya tidak nampak jelas. Bakteri terlalu kecil untuk dapat mengatur inti sel, bila dibandingkan dengan protozoa. Pada beberapa bakteri terlihat butir-butir kecil yang tersebar di dalam sitoplasma (Adam, 1992).

Ada pula bakteri yang agak berbentuk batang dan pada kedua ujung dari sel terdapat titik yang agak besar, akan tetapi titik-titik ini bukanlah intisel. Pada bakteri terdapat pula bulu. Bulu-bulu ini berguna


(31)

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk bergerak (bulu getar), ada pula yang terlihat berselubung sebagai pembungkus (kapsul) (Adam, 1992).

2.5.4 Ukuran Bakteri

Ukuran bakteri bermacam-macam, diantaranya (Adam, 1992) :

a. Bentuk basil : lebar 0,3-1µm, panjang 1,5-4 µm, kadang- kadang sampai 8µm.

b. Bentuk coccus : ukuran tengahnya (diameter) rata-rata 1µm. c. Bentuk spiril : lebar 0,5-1µm, panjang 2-5µm, kadang-

kadang sampai 10µm.

d. Bentuk vibrio : lebar 0,5µm panjang sampai 3µm. e. Bentuk spirocheta : lebar 0,2-0,7µm, panjang 5-10µm.

2.5.5 Susunan Kimia Bakteri

Susunan kimia bakteri terdiri dari (Adam, 1992) : a. 85% air

b. Zat hidrat arang c. Protein

d. Lemak

e. Garam-garaman : Na, K, Ca, Mg, Fe, Zn, P, dan sebagainya. f. Enzim atau fermen

g. Vitamin

2.5.6 Cara Memperbanyak Diri Bakteri

Telah dikemukakan bahwa bakteri umumnya memperbanyak diri (berkembang) dengan jalan membagi diri. Di dalam suasana yang cukup baik, misalnya dalam media pembenihan, bakteri memperbanyak diri degan cepat. Telah dapat diperhitungkan bahwa dalam waktu 10 jam, dari satu bakteri bisa menjadi berjuta-juta jumlahnya (Adam, 1992).


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5.7 Fase Pertumbuhan Bakteri

Bakteri memiliki permukaan yang luas sesuai dengan perbandingan volume tubuhnya. Bakteri akan cepat memperoleh makanan dari lingkungannya, baik secara difusi maupun melalui mekanisme transpor aktif. Kondisi yang cocok dengan bakteri akan membuat bakteri tumbuh dengan cepat (Sudjaji et al., 2006).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Faktor-faktor tersebut adalah suhu, ketersediaan nutrisi, pH, konsentrasi ionik, serta oksigen, khususnya untuk bakteri aerob obligat (Sudjaji et al., 2006).

Pertumbuhan bakteri berlangsung sangat cepat. Dalam kondisi normal, bakteri membelah diri menjadi dua setiap 20 menit. Catatan waktu demikian dikenal sebagai waktu generasi. Jadi, dalam waktu 40 menit bakteri membelah diri menjadi empat sel, dalam waktu satu jam menjadi delapan sel, dan dalam waktu 7 jam menghasilkan 2.097.152 anakan sel (Sudjaji et al., 2006).

Hubungan antara jumlah sel bakteri dengan kurva waktu pertumbuhan. Kurva pertumbuhan dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu

fase lag (fase adaptasi), fase logaritma (fase pembiakan cepat), fase stasioner (fase diperlambat), dan fase penurunan (fase kematian) (Sudjaji

et al., 2006).

a. Fase Lag :

Fase lag merupakan fase bakteri beradaptasi terhadap lingkungannya yang baru. Pada fase ini bakteri belum mencapai pertumbuhan maksimum. Panjang fase lag tergantung pada jenis bakteri dan kondisi pertumbuhannya, misalnya komposisi medium, faktor lingkungan, dan sebagainya (Sudjaji et al., 2006).

b. Fase Log (logaritma) :

Fase log merupakan fase pertumbuhan mencapai maksimum. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah. Fase log disebut juga fase eksponensial. Dalam fase ini, bakteri sudah dapat beradaptasi dengan


(33)

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

baik terhadap lingkungan pertumbuhannya sehingga mempunyai waktu penggandaan (doubling time) yang lebih singkat dibanding fase sebelumnya (Sudjaji et al., 2006).

c. Fase Stasioner :

Fase stasioner merupakan fase pertumbuhan mencapai titik nol. Pada fase ini tidak terjadi penambahan jumlah sel bakteri. Dalam fase ini jumlah sel yang hidup seimbang dengan jumlah sel yang mati sehingga grafiknya terlihat mendatar. Jika fase ini diteruskan maka jumlah sel yang mati akan menjadi lebih besar dibandingkan jumlah sel yang hidup sehingga sel akan memasuki fase kematian (Sudjaji et al., 2006).

d. Fase Penurunan :

Fase penuruan disebut juga fase kematian. Pada fase ini, sel berhenti memperbanyak diri dan rata-rata kematian meningkat (Sudjaji et al., 2006).

Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroba (Sudjaji et al., 2006).

2.6 Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif

Bakteri gram positif adalah bakteri yang memiliki dinding sel dengan lapisan peptidoglikan yang tebal. Bakteri ini akan berwarna ungu jika diwarnai dengan pewarnaan Gram, contohnya Neisseria gonorrhoeae, Bacillus subtilis, Vibrio cholerae, Staphylococcus epidermidis,


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Staphylococcus aureus, Propionibacterium acne dan Troponema pallidum

(Diah, 2004).

Beberapa bakteri Gram positif membentuk endospora. Endospora dibentuk ketika lingkungan kekurangan zat makanan. Sel induk pecah dan endospora dilepaskan. Endospora dapat bertahan dalam keadaan lingkungan yang ekstrim, misalnya suhu tinggi, suhu rendah, atau kekeringan. Pada kondisi lingkungan yang membaik, endospora menjadi aktif dan membelah diri, membentuk sel-sel seperti induknya (Diah, 2004).

Bakteri Gram positif yang dapat membentuk endospora adalah

Bacillus dan Clostridium, contoh lain bakteri Gram positif adalah kelompok

Actynomycetes dan Mycoplasma. Actinomycetes berbentuk filamen bercabang yang menyerupai jamur. Actinomycetes yang tidak membentuk spora berkembang biak dengan cara memutuskan ujung filamen dalam bentuk bulat atau batang, selanjutnya filamen tersebut membelah diri (Diah, 2004).

Bakteri yang termasuk kedalam contoh Actynomycetes adalah

Mycobacterium tuberculosis (penyebab penyakit TBC) dan Streptomyces

(penghasil antibiotik streptomisin). Actynomycetes banyak dimanfaatkan sebagai penghasil beberapa macam antibiotik (Diah, 2004).

Mycoplasma tidak memiliki dinding sel, tetapi beberapa jenis memiliki struktur yang mengeras di luar membran plasma. Beberapa

Mycoplasma berukuran leih kecil dibandingkan Clamydias, contohnya

Mycoplasma gallisepticum (dikenal dengan bakteri terkecil) (Diah, 2004). Bakteri Gram negatif adalah bakteri yang memiliki dinding sel dengan lapisan peptidoglikan yang tipis. Bakteri ini akan berwarna merah muda atau merah, jika diwarnai dengan pewarnaan Gram, contohnya Streptococcus mutans dan Escherchia coli (Diah, 2004).

2.7 Jerawat dan Bakteri Penyebab Jerawat

Jerawat adalah kondisi abnormal kulit akibat terjadi gangguan berlebihan produksi kelenjar minyak (sebaceous gland) yang menyebabkan penyumbatan saluran folikel rambut dan pori-pori kulit. Jerawat dapat timbul


(35)

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

di permukaan kulit muka, bagian dada dan atas lengan. Ada 3 tipe jenis jerawat yang sering dijumpai, yaitu (Dewi, 2009) :

a. Tipe yang pertama adalah komedo.

Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, bisa terbuka atau tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya bukan kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna karena teroksidasi dengan udara. Komedo yang tertutup atau whiteheads, biasanya memiliki kulit yang tumbuh di atas pori-pori yang tersumbat maka terlihat seperti tonjolan putih kecil-kecil di bawah kulit. Jerawat jenis ini disebabkan sel-sel kulit mati dan kelenjar minyak yang berlebihan pada kulit (Dewi, 2009).

b. Tipe yang kedua adalah Jerawat biasa atau klasik.

Jenis jerawat klasik ini mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil berwarna pink atau kemerahan. Hal ini terjadi karena pori-pori yang tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat di permukaan kulit, kuas make-up, dan jari tangan. Stress, hormon, dan udara yang lembab dapat memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena menyebabkan kulit memproduksi minyak yang merupakan tempat berkembangbiaknya bakteri. Pengobatan pada tipe ini dapat diatasi dengan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat dengan suatu zat antibakteri misalnya benzoil peroksida, tetrasiklin, dan lain-lain (Dewi, 2009).

Kadar benzoil peroksida 2,5-10% sangat aktif dalam melawan bakteri penyebab jerawat, namun kerugian utama antibakteri ini adalah dapat menyebabkan iritasi (Pramasanti, 2008). Antibakteri tetrasiklin dan oksitetrasiklin yang diberikan dengan dosis 500 mg, rutin dua hari sekali selama 2 bulan terbukti efektif mengobati jerawat. Demikian pula dengan

Erythromycin dengan dosis 250-500 mg 2 kali sehari secara rutin juga efektif mengobati jerawat (Pramasanti, 2008).


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Tipe yang ketiga adalah Cystic Acne (Jerawat Batu atau Jerawat Jagung).

Biasanya jerawat batu memiliki bentuk yang besar dengan tonjolan-tonjolan yang meradang hebat dan berkumpul di seluruh wajah. Penderita jerawat ini dikarenakan faktor genetik yang memiliki banyak kelenjar minyak sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak normal dan tidak dapat mengalami regenerasi secepat kulit normal (Dewi, 2009).

Jerawat dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri seperti

Propionibacterium acne, Staphylococcus epidermidis, dan

Staphylococcus auerus (Loveckova dan Havlikova, 2002).

Staphylococcus epidermidis tumbuh cepat pada kondisi kulit yang anerob yaitu pada saat pori-pori kulit tersumbat akibat adanya produksi kelenjar minyak yang berlebih. Bakteri ini juga dapat mensintesis enzim lipase yang dapat mengubah triasigliserol pada kelenjar minyak menjadi asam lemak bebas yang memacu terjadinya infeksi pada kulit. Infeksi ini membuat jerawat makin bertambah parah dan berwana kemerahan (Oakley, 2009).

2.7.1 Bakteri Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang sering ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia.

Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri Gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini merupakan penyebab infeksi kulit ringan yang disertai abses (Syarurachman et al., 1994). Bakteri ini juga berperan dalam pelepasan asam oleat, hasil hidrolisisnya oleh lipase yang diduga berpengaruh terhadap perkembangan jerawat (Saising et al., 2008). Klasifikasi Staphylococcus epidermidis menurut Nilsson et al. (1998) adalah:

Kerajaan : Bacteria Devisi : Firmicutes Kelas : Bacilli


(37)

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bangsa : Bacilliales

Suku : Staphylococcaceae Marga : Staphylococcus

Jenis : S. Epidermidis

2.7.2 Bakteri Staphylococcus aureus

A. Morfologi dan Sifat

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif anggota famili Micrococcaceae berbentuk bulat, bergerombol seperti susunan buah anggur koloni berwarna abu-abu hingga kuning tua, koagulase positif dan sifatnya sebagai bakteri komensal dalam tubuh manusia yang jumlahnya berimbang dengan flora normal lain. Staphylococcus aureus

pada manusia diantaranya ditemukan pada hidung, kulit, tenggorok dan lain-lain (Syahrurachman et al., 1994). Bakteri ini dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis, jerawat, pioderma atau impetigo (Brooks et al., 2005).

Klasifikasi Bakteri Staphylococcus aureus menurut Syahrurachman (1994) :

Kerajaan : Eubacteria Devisi : Firmicutes Bangsa : Eubacteruales Suku : Micrococcaceae Marga : Staphylococcus

Jenis : Staphylococcus aureus

B. Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen penyebab infeksi. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang ringan sampai yang berat bahkan sampai sepsis. Staphylococcus aureus sering menyebabkan jerawat dan frunkulosis pada kulit, infeksi

Staphylococcus aureus pada tulang juga sering menyebabkan osteomielitis, infeksi Staphylococcus aureus pada organ dalam dapat


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menyebabkan endokarditis, pneumonia dan infeksi berat lainnya. Pada luka terbuka Staphylococcus aureus juga sering menyebabkan infeksi (Syahrurachman et al., 1994).

Staphylococcus aureus mempunyai bagian-bagian dan produk yang mendukungnya sebagai salah satu bakteri patogen diantaranya adalah dinding sel Staphylococcus sp sebagian besar terdiri dari peptidoglikan. Peptidoglikan mempunyai aktivitas seperti endotoksin, menstimulasi keluarnya sitokin dari makrofag yaitu interleukin-1 dan aktivasi komplemen, kapsul akan mencegah fagositosis, adanya toxin dan enzim yang dihasilkan untuk merusak sel inang. Selain itu, faktor dari bakteri Staphylococcus aureus yang menyebabkan sukarnya penanganan infeksi adalah adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Syahrurachman et al., 1994).

C. Pengobatan dan Resistensi

Pengobatan terhadap infeksi Staphylococcus aureus biasanya menggunakan berbagai jenis antibiotik seperti tetrasiklin, vankomisin atau penisilin resisten β-laktamase. Perbedaan jenis obat yang diberikan dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik. Antibiotik yang biasa digunakan dalam penelitian adalah tetrasiklin, oxacillin, gentamicin, eritromicin, kloramfenikol dan trimetroprim-sulfametoxazole (Endang Sri Lestari, 2009).

2.7.3 Bakteri Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes adalah flora normal kulit terutama di wajah yang tergolong dalam kelompok bakteri Corynebacteria. Bakteri ini berperan pada patogenesis jerawat yang dapat menyebabkan inflamasi. Bakteri ini berbentuk batang dan dapat hidup di udara serta menghasilkan spora. Inflamasi timbul karena perusakan stratum corneum dan stratum germinativum dengan mensekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori. Jerawat timbul karena asam lemak dan minyak kulit tersumbat. Obat-obat yang digunakan untuk terapi topikal kebanyakan


(39)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengandung sulfur dan astrigen lainnya. Sementara untuk terapi sistemik digunakan tetrasiklin dan enteromisin (Khan, 2009).

Propionibacterium acnes berperan pada patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat (Khan, 2009).

Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang tumbuh relatif lambat. Bakteri ini tipikal bakteri anaerob Gram positif yang toleran terhadap udara. Genome dari bakteri ini telah dirangkai dan sebuah penelitian menunjukkan beberapa gen yang dapat menghasilkan enzim untuk meluruhkan kulit dan protein, yang mungkin immunogenik (mengaktifkan sistem kekebalan tubuh). Ciri-ciri penting dari bakteri

Propionibacterium acnes adalah berbentuk batang tak teratur yang terlihat pada pewarnaan Gram positif. Bakteri ini dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Bakteri ini dapat berbentuk filamen bercabang atau campuran antara bentuk batang/filamen dengan bentuk kokoid.

Propionibacterium acnes memerlukan oksigen mulai dari aerob atau anaerob fakultatif sampai ke mikroerofilik atau anaerob. Beberapa bersifat patogen untuk hewan dan tanaman (Khan, 2009).

Klasifikasi Propionibacterium acnes (Khan, 2009) : Kerajaan : Bacteria

Devisi : Actinobacteria Kelas : Actinobacteridae Bangsa : Actinomycetales Suku : Popionibacteriaceae Marga : Propionibacterium

Jenis : Propionibacterium acnes

Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri Propionibacterium acnes merusak stratum corneum dan stratum germinat dengan cara menyeksresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori-pori. Kondisi ini dapat menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan minyak kulit


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tersumbat kemudian mengeras. Jika jerawat disentuh maka inflamasi akan meluas sehingga padatan asam lemak dan minyak kulit yang mengeras akan membesar (Sugita, 2010).

Obat-obat yang biasa digunakan untuk terapi topikal kebanyakan mengandung unsur sulfur dan astrigen lainnya. Benzoil peroksida 2,5-10% sangat aktif dalam melawan Propionibacterium acnes. obat ini bersifat komedolitik, karena obat ini mengandung antimikroba, antikomedo, dan efek antiinflamasi. Namun kerugian utamanya adalah dapat menyebabkan iritasi. Topikal eritromisin dan klindamisin juga sama efektifnya dengan benzoil peroksida (Sugita, 2010).

Obat terapi sistemik yang digunakan adalah tetrasiklin dan eritromisin. Namun demikian, pemakaian pada sistem gastrointestinal pada penggunaan ketika perut kosong akan mengakibatkan dampak yang buruk. Studi terbaru menyatakan bahwa doksisiklin, minosiklin, dan trimetroprim-sulfametoksazol lebih efektif daripada tetrasiklin (Sugita, 2010).

2.7.4 Penentuan Aktivitas Antimikroba

Potensi dari suatu antimikroba diperkirakan dengan membandingkan zona hambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil penghambatan suatu konsentrasi larutan uji dibandingkan dengan antibiotik (Anonim, 2001).

Penentuan aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode difusi dan metode dilusi. Pada metode difusi termasuk didalamnya metode disk diffusion (tes Kirby & Baur), E-test,

ditch-plate technique, cup-plate technique. Sedangkan pada metode dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair dan dilusi padat (Pratiwi, 2008). a. Metode difusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya :

1) Metode disk diffusion (tes Kirby & Baur) menggunakan piringan yang berisi agen antimikroba, kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya telah ditanami mikroorganisme sehingga agen antimikroba dapat berdifusi pada media agar tersebut. Area


(41)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.

2) Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkan yang menunjukan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

3) Ditch-plate technique. Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakka pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan kearah parit yang bersi agen antimikroba tersebut. 4) Cup-plate technique. Metode ini serupa dengan disk diffusion,

dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

b. Metode dilusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya adalah :

1) Metode dilusi cair / broth dilution test (serial diution). Metode ini digunakan untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penanaman mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi umumnya selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.

2) Metode dilusi padat (solid dilution test). Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.

2.7.5 Pengukuran Zona Hambat

Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa zona bening disekeliling kertas cakram. Bagian yang dihitung dengan jangka sorong adalah diameter dari zona hambat yang terbentuk (Pratiwi, 2008). Diameter zona hambat dideskripsikan dengan gambar dibawah ini :

Gambar 3. Perhitungan diameter zona hambat antibakteri (Pratiwi, 2008).

Keterangan: a = Diameter kertas cakram (6 mm)

b = Diameter zona hambat yang terbentuk (mm) c = Daerah yang ditumbuhi bakteri

Menurut Suryawiria (1978) dalam Pradana (2013), berdasarkan zona hambat yang terbentuk maka aktivitas antibakteri dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yaitu antibakteri yang tergolong lemah (zona hambat < 5 mm), sedang (zona hambat antara 5-10 mm), kuat (zona hambat antara 10-20 mm), dan tergolong sangat kuat (zona hambat > 20 mm).


(43)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 3 laboratorium. Proses maserasi dan pembuatan ekstrak etanol 96% dilakukan di Laboratorium Penelitian I. Sterilisasi alat dilakukan di Laboratorium Formulasi Sediaan Steril. Uji antimikroba dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta. Waktu penelitian dimulai bulan Februari 2015 sampai bulan Agustus 2015.

3.2Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : seperangkat alat destilasi (Barnstead), labu destilasi (Iwaki), backer glass

(Schott duran), erlenmeyer (Schott duran), gelas ukur 10 mL (Pyrex), gelas ukur 1000 mL (Herma), pipet tetes, hot plate (Are Heating), batang pengaduk, corong, kaca arloji, tabung reaksi (Pyrex), labu ukur (Pyrex), cawan petri (Normax), botol maserasi, ose, kertas wattman 52, vacum rotary evaporator (Eyela CCA-1111), spatula, pinset, termometer, alkoholmeter, incubator (France Etuves), shaker (Advantec TKB202DA),

refrigerator, oven (Memmert), sentrifuge, autoklaf (Allamerican), tali kasur, label (Self-adhesif), kapas, kasa steril, timbangan analitik (AND GX-200), mikroskop cahaya, jangka sorong (Trickle Brand), magnetic stirrer, micro pipet dan tip (Renin), kaca objek (Slides), kertas cakram, spektrofotometer, bunsen, dan Laminar Air Flow (Minihelix II).

3.2.2 Sampel Tumbuhan

Sampel tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) yang diperoleh dari salah satu pedagang pisang goreng di daerah Ciputat, Tangerang Selatan,


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Banten. Limbah kulit pisang kepok kuning didapat tanggal 24 November 2014, pukul 19.00 WIB. Bagian tanaman pisang kepok (Musa balbisiana) yang utuh didapat dari pemasok pisang untuk pedagang tersebut. Pemasok mengirim bagian lengkap tanaman pisang kepok dari salah satu perkebunan di daerah Cilawu, Garut, Jawa Barat. Bagian tanaman tersebut dibutuhkan untuk determinasi di LIPI Cibinong Sains Center, Jawa Barat.

3.2.3 Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol 96% (pelarut), aquades, FeCl3, alkohol 70%, pereaksi dragendorff, HCl pekat, kloroform, spirtus, pereaksi Mayer, serbuk Mg, antibiotik sebagai kontrol positif (klindamisin), larutan NaCl (0,9%) fisiologis, pewarna bakteri (pewarna Gentian violet, pewarna lugol, dan pewarna safranin) dan media agar (Nutriet Agar sebaga media padat dan Nutrient Broth sebagai media cair).

3.2.4 Bakteri yang Digunakan

Pada penelitian ini bakteri penyebab jerawat yang digunakan adalah Staphylococcus aureus ATCC 25923, Staphylococcus epidermidis

ATCC 12228, dan Propionibacterium acne ATCC 11827 yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Klinis, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penyiapan Sampel

Limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) diperoleh dari seorang pedagang kripik pisang di daerah Ciputat. Limbah kulit pisang kepok kuning dipilih yang sudah matang sempurna atau sudah menguning kulitnya. Limbah kulit pisang kepok kuning dicuci bersih (terlihat secara fisik), kemudian dikeringkan dengan diangin-anginkan sampai tiris airnya. Limbah kulit pisang kepok yang sudah bersih dirajang kecil-kecil untuk mepermudah proses pengeringan, baru setelah itu


(45)

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ditimbang beratnya. Berat awal limbah kulit pisang kepok kuning yang sudah di rajang adalah ±5 kg. Pengeringan sampel limbah kulit pisang kepok dan pengecekan kadar air, dilakukan di Balittro (Balai Peneliti Bahan Alam dan Senyawa Aromatik) pada tanggal 26 November 2014. Proses pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu 45⁰C sampai kadar airnya stabil (kurang dari 10%, yaitu 8,90%) selama 5 hari. Simplisia yang didapat dari Balitro sudah berupa serbuk seberat ±1 kg. Serbuk hasil pengeringan sudah siap untuk dimaserasi.

3.3.2 Ekstraksi Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana)

Serbuk kering limbah kulit pisang kepok ditimbang sebanyak 500 gram, kemudian dimaserasi dengan 2 liter etanol 96%. Maserasi dilakukan sampai semua senyawa tertarik sempurna (2-3 hari), terlindung dari sinar matahari langsung, dan berada pada suhu ruang, dengan beberapa kali pengadukan. Proses maserasi selesai setelah 3 hari, kemudian disaring dengan kapas, dianggap sebagai penyaringan tahap satu. Penyaringan tahap kedua, disaring menggunakan kertas saring (kertas wattman no.52), sehingga diperoleh maserat dan ditampung dalam wadah penampungan yang tertutup dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Maserasi dilakukan sampai warna maserat yang diperoleh jernih atau mendekati jernih. Seluruh maserat yang diperoleh dipekatkan dengan vacum rotary evaporator pada suhu 45⁰C hingga diperoleh ekstrak kental etanol 96% (Noorhamdani, 2012).

3.3.3 Karakterisasi Ekstrak

A. Pemeriksaan Organoleptis Ekstrak

Ekstrak yang telah diperoleh, kemudian diidentifikasi secara organoleptis. Pemeriksaan organoleptis meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa (Permawati, 2008).


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

B. Uji Kadar Air pada Ekstrak

Menimbang kurs porselen dengan tutupya, kemudian kurs porselen dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105⁰C. Kurs porselen yang sudah dipanaskan, kemudian dimasukkan kedalam desikator, setelah dingin kemudian kurs porselen ditimbang kembali. Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam krus porselen. Ekstrak dalam kurs porselen tertutup, kemudian dikeringkan pada suhu 105°C selama 60 menit. Pemanasan dilakukan hingga bobot tetap. Sampel yang sudah didapat bobot tetapnya yaitu sampai perbedaan penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%, kemudian dikeluarkan dari oven. Krus porselen dibiarkan dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya. Dilakukan replikasi atau pengulangan sebanyak 3 kali (Rostinawati, 2010).

Rumus kadar air pada ekstrak :

% Kadar Air Ekstrak = massa awal – masa setelah dikeringkan x 100% Massa awal

3.3.4 Skrining Fitokimia 1. Uji Alkaloid

Ekstrak ditimbang 0,5 gram, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, dilarutkan dalam HCl, kemudian ditmbahkan 2-3 tetes pereaksi Dragendorff (larutan potasium bismut iodida), jika terdapat endapan merah maka positif adanya alkaloid, namun jika ditambahkan dengan 2-3 tetes pereaksi Mayer (larutan potasium merkuri iodida) menghasilkan endapan kuning maka positif mengandung senyawa alkaloid (Tiwari et al., 2011).

2. Uji Flavonoid

Ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 gram ditambahkan dengan etanol 70%, kemudian ditambahkan 5-6 tetes HCl pekat, membentuk warna


(47)

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

merah yang menunjukkan adanya flavonoid dan pembentukan warna orange menandakan adanya senyawa flavon (Tiwari et al., 2011).

3. Uji Saponin

Ditimbang 0,5 gram ekstrak, lalu ditambahkan dengan 2 mL air sampai semua bagian ekstrak terendam dan kemudian dikocok kuat-kuat. Terdapat busa setelah pengocokan, busa ditunggu selama 10 menit tetap konstan maka ekstrak positif mengandung senyawa saponin (Tiwari et al., 2011)

4. Uji Tanin

Ektrak sebanyak 0,5 gram ditambahkan 3 mL air hangat. Ekstrak diujikan dengan 1-2 tetes FeCl3 1%, terbentuk warna biru tua atau hijau kehitaman menunjukan adanya senyawa golongan tanin (Markham, 1988).

5. Uji Kuinon

Ekstrak 0,5 gram ditambahkan dengan 1 mL air hangat. Ekstrak diuji dengan 1-2 tetes pereaksi NaOH 1 N, terbentuk warna merah maka menunjukan adanya senyawa golongan kuinon (Markham, 1988).

3.4Uji Aktivitas Antimikroba 3.4.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan disterilkan terlebih dahulu dicuci bersih dan dikeringkan. Cawan petri dibungkus dengan kertas perkamen. Untuk alat-alat gelas (tabung reaksi, gelas beker, erlenmeyer) ditutup mulutnya dengan kapas steril yang dibalut dengan kain kasa steril, kemudian dibungkus dengan kertas perkamen, disterilkan dalam oven pada suhu 150⁰C, selama 2 jam. Kasa, kapas, tali, gelas ukur, pipet tetes dan kaca objek juga di bungkus dengan kertas perkamen dan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121⁰ C dengan tekanan 1atm selama 15 menit. Untuk alat seperti ose, batang L (untuk metode spread plate) dan pinset


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disterilkan dengan metode Flamber, yaitu direndam dengan alkohol 70% selama 5 menit kemudian dipijarkan dengan api bunsen. Alat yang terbuat dari karet seperti karet pipet, disterilkan dengan merendamnya didalam alkohol 70% selama 5 menit. Laminar air flow disterilkan dengan menyalakan lampu UV selama 2 jam, dibersihkan dari debu, disemprot dengan alkohol 70%, dibiarkan selama 15 menit (Raihana, 2011).

3.4.2 Peremajaan Bakteri

A. Pembuatan Media Agar Miring

Sebanyak 8 gram Nutrient Agar disuspensikan dalam 400 mL aquades steril, kemudian dipanaskan hingga mendidih. Dilakukan pengadukan dengan magnetic stirer untuk memastikan media telah tersuspensi secara sempurna. Media yang sudah tersuspensi sempurna, disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Ngajow, 2013).

Media yang sudah steril, kemudian dituang dalam tabung reaksi steril sebanyak 5 mL. Media dituang dalam kondisi hangat (40⁰C-45⁰C). Tabung reaksi yang berisi media, kemudian dimiringkan dengan kemiringan sekitar 30⁰-45⁰. Bagian mulut tabung reaksi disumbat dengan kapas yang dibalut kain kasa steril, kemudian ditunggu sampai media memadat. Pembuatan media dilakukan secara aseptis dalam Laminar Air Flow (Hidayat, 1999).

B. Proses Peremajaan Bakteri

Baketri uji ditumbuhkan pada medium Nutrient Agar (NA) dengan cara menggoreskan bakteri dari biakan murni menggunakan jarum ose pada permukaan agar miring. Bakteri yang sudah digoreskan pada media kemudian diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 48 jam untuk

Propionibacterium acnes sedangkan untuk Staphylococcus aureus dan


(49)

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.3 Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram

Pada identifikasi bakteri, tahap awal yang dilakukan adalah dengan membuat apusan bakteri uji. NaCl fisiologis, diambil 2 loop dengan menggunakan ose, kemudian ditempatkan di atas object glass. Ose yang telah digunakan untuk mengambil NaCl fisiologis dipijarkan terlebih dahulu, kemudian didinginkan. Dengan menggunakan ose yang sama, diambil 1 koloni bakteri dari hasil peremajaan bakteri, ditempatkan di atas NaCl fisiologis yang sudah ada di atas kaca objek. Suspensi diratakan dengan membentuk area apusan. Suspensi dikeringkan pada suhu ruang untuk beberapa menit. Suspensi dilewatkan di atas api bunsen untuk fiksasi apusan (Damayanti, 2014).

Apusan bakteri yang telah dibuat, ditetesi dengan zat warna I (Gentian Violet) diteteskan ke atas area apusan, dibiarkan selama 60 detik. Hasil pewarnaan dengan gentian violet, dicuci perlahan dengan menggunakan aquades, kemudian dibiarkan 2 detik. Apusan bakteri kemudian ditetesi dengan pewarna lugol, lalu didiamkan selama 60 detik. Hasil pewarnaan dengan lugol dicucidengan Alkohol, hingga larutan yang mengalir sudah tidak berwarna (sekitar 10 – 20 detik). Dilakukan pencucian lagi dengan menggunakan aquades secara perlahan, didiamkan selama 2 detik. Terakhir, ditetesi dengan zat warna II (Safranin), kemudian didiamkan selama 20 detik. Hasil pewarnaan dengan safranin dicuci perlahan dengan menggunakan aquades, lalu didiamkan kembali selama 2 detik. Dikeringkan di suhu ruang, setelah mengering ditetesi dengan minyak imersi. Objek damati di atas mikroskop dengan perbesar 100x (Damayanti, 2014).

3.4.4 Pembuatan Kurva Pertumbuhan

Stok bakteri murni yang akan diujikan (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Propionibacterium acne) diremajakan dengan dipindahkan 1 ose kedalam NA agar miring lalu diinkubasi selama 24 jam. Peremajaan bakteri diakukan dengan tujuan untuk memperoleh stok bakteri yang masih baru, jadi kemungkinan terkontaminasi cukup


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kecil. Bakteri yang telah diremajakan diambil 5 ose, kemudian diinokulasikan ke dalam 50 mL Nutrient Broth, lalu diinkubasi pada suhu 37ºC (suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri) sambil dilakukan agitasi 120 rpm, tujuan dilakukan agitasi adalah untuk mempercepat bakteri dalam membelah diri. Pertumbuhan biakan diamati dengan mengukur densitas optik (Optical Density, OD) dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm, dengan selang waktu 60 menit hingga memasuki fase stasioner (Khodijah et al., 2006).

3.4.5 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji

Sebanyak 2 ose bakteri uji hasil peremajaan, disuspensikan dalam 2 mL NaCl fisiologis dalam tabung reaksi steril dan dihomogenkan dengan vortex selama 15 detik, kemudian kekeruhannya dilihat dengan membandingkan kekeruhan standar 0,5 Mc Farland (setara dengan 3x108 CFU/mL) (Raihana, 2011).

3.4.6 Pelaksanaan Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.)

A. Pembuatan Media Uji

Sebanyak 8 gram media Nutrient Agar (NA) dilarutkan dalam 400 mL aquades steril. Media dipanaskan sampai mendidih. Dilakukan pengadukan dengan menggunakan magnetic stirer untuk memastikan media tersuspensi sempurna. Setelah media tersuspensi sempurna, kemudian di autoklaf pada suhu 121° C selama 15 menit, lalu ditunggu sampai suhu hangat (40⁰C - 45⁰C). Nutrient Agar yang sudah siap, kemudian dituangkan sekitar 8 mL kedalam cawan petri steril dengan tingkat permukaan horisontal untuk memberikan kedalaman seragam ±0,5cm. Media didiamkan sampai memadat (Ngajow,2013).

B. Pembuatan Konsentrasi Larutan Uji

Pada pengujian aktivitas antibakteri ekstrak limbah kulit pisang kepok, konsentrasi yang dibuat merujuk pada penelitian Rizka Hastari (2012). Ekstrak dibuat larutan induk dengan konsentrasi 100.000 ppm.


(51)

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning ditibang sebanyak 5gram, kemudian dilarutkan dengan 50 mL etanol 96%. Dari larutan induk, diencerkan menjadi beberapa seri konsentrasi, yaitu 50.000 ppm, 25.000 ppm, 12.500 ppm, 6.250 ppm, dan 3.125 ppm.

C. Proses Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan Metode Difusi Kertas Cakram (Jawetz et al., 2005). Hasil daya uji antibakteri didasarkan pada pengukuran Diameter Daerah Hambat (DDH) pertumbuhan bakteri yang terbentuk di sekeliling kertas cakram. Pada masing-masing ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda, diambil sebanyak 20 μL dan diteteskan pada kertas cakram steril, lalu ditunggu sampai menjadi jenuh (Ningsih, 2013).

Suspensi bakteri uji diambil sebanyak 100 µL, dituang secara merata pada medium Nutrient Agar (NA) menggunakan metode spread plate (Aziz, 2010). Ditunggu beberapa saat sampai mengering, lalu diletakkan kertas cakram yang telah dijenuhkan dengan 20 µL ekstrak etanol 96% limbah kulit pisang kepok kuning dengan konsentrasi yang telah ditentukan (100.000 ppm, 50.000 ppm, 25.000 ppm, 12,500 ppm, 6.250 ppm dan 3.125 ppm). Kontrol negatif (blangko) yang digunakan adalah etanol 96% sebanyak 10 μL yang dijenuhkan pada cakram steril dan sebagai kontrol positif digunakan kertas cakram antibiotik Klindamisin 30 μg/disk. Media yang sudah berisi bakteri uji, kontrol negatif, kontrol positif, dan cakram yang telah dijenuhkan dengan larutan uji, diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 24-48 jam. Diameter Daerah Hambat (DDH) yang terbentuk di sekitar cakram setelah 24 - 48 jam, diamati dengan menggunakan jangka sorong. Uji dilakukan dengan tiga kali pengulangan (Ningsih, 2013).


(52)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Pemeriksaan Sampel

Pada penelitian kali ini, kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana) yang digunakan diperoleh dari seorang pedagang pisang goreng di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, Banten yang dikumpulkan pada bulan November. Tanaman pisang kepok yang digunakan dalam penelitian ini dideterminasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi, Cibinong, Jawa Barat. Bagian lengkap tanaman pisang kepok diperoleh dari perkebunan pisang kepok di daerah Cilawu, Garut, Jawa Barat. Determinasi ini dilakukan untuk memastikan kebenaran tanaman yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil determinasi yang diperoleh adalah tanaman tersebut merupakan tanaman pisang kepok (Musa balbisiana) yang berasal dari suku

Musaceae (Lampiran 2).

4.2Penyiapan Sampel

Limbah kulit pisang kepok sebanyak 7 kg disortasi kering untuk memisahkan kulit pisang kepok kuning dengan yang masih kehijauan, bagian kulit pisang dipisahkan dari bagian bonggolnya. Limbah kulit pisang kepok kuning dicuci bersih dengan air mengalir untuk meghilangkan kotoran yang melekat pada bagian luar dan dalam kulit pisang kepok. Limbah kulit pisang kepok kuning yang sudah dicuci bersih kemudian ditiriskan airnya dengan diangin-anginkan, setelah itu limbah kulit pisang kepok kuning dirajang kecil-kecil untuk mempermudah proses pengeringan. Pengeringan limbah kulit pisang kepok kuning dilakukan di BALITTRO, Bogor, Jawa Barat. Sebanyak 5 kg limbah kulit pisang kepok kuning dikeringkan dengan oven blower pada suhu 45⁰C, dan menghasilkan 1 kg simplisia kering. Simplisia yang sudah kering kemudian dihaluskan sampai menjadi serbuk oleh pihak BALITTRO. Simplisia dibuat dalam bentuk serbuk karena bertujuan agar memperluas permukaan simplisia sehingga kontak antara pelarut dengan simplisia lebih maksimal.


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 3. Pembuatan Ekstrak Limbah Kulit Pisang Kepok

Mengumpumpulkan limbah kulit pisang kepok yang sudah matang (kuning sempurna)

Limbah kulit pisang dicuci bersih, kemudian dikeringkan

Limbah kulit pisang di rajang kecil-kecil

Pengeringan dan pengukuran kadar air dilakukan di BALITRO

Diperoleh simplisia serbuk

Serbuk limbah kulit pisang kepok (500 gram) dimaserasi dengan etanol 96% selama 3 hari (diulang sampai maserat jernih)

Hasil maseratnya kemudian di evporasi menggunakan evaporator untuk mendapatkan ekstrak kental

Ekstrak kental yang didapat, kemudian diskrining fitokimia


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 4. Proses Maserasi

a. serbuk direndam dengan b. toples ditutup rapat agar c. hasil maserasi 2 liter etanol 96% terhindar dari cahaya setelah 3 hari

d. penyaringan tahap 1 e. penyaringan tahap 2 f. filtrat siap dievap menggunakan kapas menggunakan kertas saring

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Rendemen Rendemen = Massa Ekstrak x 100%

Massa Simplisia = 67,52 x 100%

500 = 13,50 %

Lampiran 6. Perhitungan Persentase Kadar Air Ekstrak

% Kadar Air Ekstrak = massa awal – masa setelah dikeringkan x 100% Massa awal

= 26,840 gram – 25,041gram x 100% 26,840 gram


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 7. Perhitungan Pengenceran Konsentrasi dari Larutan Induk

Rumus = V1M1=V2M2

Keterangan = V1 =volume larutan induk yang dibutuhkan (mL) V2= volume yang akan dibuat (mL)

M1= konsentrasi larutan induk (ppm) M2= konsetrasi yang akan dibuat (ppm) 1. Pembuatan konsentrasi 50.000 ppm :

V1.100.000 ppm = 50.000 ppm. 10 mL V1 = 500.000

100.000 V1 = 5 mL

Volume etanol 96% yang dibutuhkan = 10 mL – 5 mL= 5 mL

Jadi, untuk membuat konsentrasi 50.000 ppm dibutuhkan 5 mL larutan induk, yang akan diencerkan dengan 5 mL etanol 96%.

2. Pembuatan konsentrasi 25.000 ppm : V1.100.000 ppm = 25.000 ppm. 10 mL

V1 = 250.000

100.000

V1 = 2,5 mL

Volume etanol 96%. yang dibutuhkan = 10 mL – 2,5 mL= 7,5 mL

Jadi, untuk membuat konsentrasi 25.000 ppm dibutuhkan 2,5 mL larutan induk, yang akan diencerkan dengan 7,5 mL etanol 96%.

3. Pembuatan konsentrasi 12.500 ppm : V1.100.000 ppm = 12.500 ppm. 10 mL

V1 = 125.000

100.000

V1 = 1,25 mL

Volume etanol 96%. yang dibutuhkan = 10 mL - 1,25 mL= 8,75 mL Jadi, untuk membuat konsentrasi 12.500 ppm dibutuhkan 1,25 mL larutan induk, yang akan diencerkan dengan 8,75 mL etanol 96%.


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Pembuatan konsentrasi 6.250 ppm :

V1.100.000 ppm = 6.250 ppm. 10 mL

V1 = 62.500

100.000

V1 = 0,625 mL

Volume etanol 96%. yang dibutuhkan = 10 mL – 0,625 mL= 9,375 mL Jadi, untuk membuat konsentrasi 6.250 ppm dibutuhkan 0,625 mL larutan induk, yang akan diencerkan dengan 9,375 mL etanol 96%.

5. Pembuatan konsentrasi 3.125 ppm : V1.100.000 ppm = 3.125 ppm. 10 mL

V1 = 31.250

100.000

V1 = 0,313 mL

Volume etanol 96%. yang dibutuhkan = 10 mL – 0,313 mL= 9,687 mL Jadi, untuk membuat konsentrasi 3.125 ppm dibutuhkan 0,313 mL larutan induk, yang akan diencerkan dengan 9,687 mL etanol 96%.


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 8. Uji Aktivitas Antimikroba

Lampiran 9. Hasil Uji Aktivitas Antimikroba

(a) (b)

Gambar 7. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan konsentrasi 3.125ppm, 6.250 ppm, 12.500 ppm (a) dan konsentrasi 25.000ppm, 50.000 ppm, 100.000 ppm (b).

Sterilisasi alat

Pembuatan Standar Turbiditas Mc. Farland

Peremajaan Bakteri

Identifikasi Bakteri

Pembuatan Suspensi Bakteri Uji

Pembuatan Media Agar, Uji Aktivitas Antimikroba


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(c) (d)

Gambar 8. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis dengan konsentrasi 3.125ppm, 6.250 ppm, 12.500 ppm (c) dan konsentrasi 25.000ppm, 50.000 ppm, 100.000 ppm (d).

(e) (f)

Gambar 9. Hasil uji aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acne dengan konsentrasi 3.125ppm, 6.250 ppm, 12.500 ppm (e) dan konsentrasi 25.000 ppm, 50.000 ppm, 100.000 ppm (f).


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-heksana Etilasetat dan Etanol Dari Rumput Laut Coklat (Sargassum polycystum C.Agardh.) Terhadap Bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis

8 127 76

Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Dan Ekstrak Etanol Dari Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Bakteri Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus Dan Pseudomonas aeruginosa

13 106 76

Uji Aktivitas Antibakteriekstrak Etanol Daun Kembang Bulan(Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus, Propionibacterium acnes dan Pseudomonas aeruginosa

10 75 66

Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)

4 30 90

Uji Efektifitas Ekstrak Madu Karet dalam Menghambat Pertumbuhan Staphylococcus aureus

0 14 46

Pengaruh Variasi Konsentrasi Asam dan Waktu Hidrolisis terhadap Produksi Bioetanol dari Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB)

0 14 86

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol dan Air Rimpang Pacing (Costus spiralis) terhadap Bakteri Escherichia coli, Shigella dysenteriae, Salmonella typhimurium, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus serta Fungi Candida albicans

3 17 79

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Herba Kemangi (Ocimum americanum L) terhadap Staphylococcus aureus dan Candida albicans

8 47 73

Uji efektifitas ekstrak madu karet dalam menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus

0 24 46

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN BERENUK ( Crescentia cujete L) TERHADAP BAKTERI PENYEBAB JERAWAT ( Propionib a cterium acne, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus ) - repository perpustakaan

0 0 16