Latar Belakang Kegiatan

1. Latar Belakang Kegiatan

Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri atas berbagai etnis, ras dan budaya yang tersebar di berbagai pulau di seluruh Nusantara. Keberagaman etnis dan budaya tersebut menjadikan bangsa Indonesia sarat dengan kemajemukan sehingga masyarakat Indonesia sering disebut sebagai masyarakat plural dan multikultural (Salatalohy & Pelu, 2004).

Adanya multikulturalisme tersebut menunjukkan bahwa telah tercipta sebuah pengakuan dari masyarakat tersebut atas martabat manusia lain untuk saling menerima serta hidup bersama dengan manusia lainnya yang memiliki latar belakang budaya berbeda (Baidhawy, 2006).

Sebagai mahluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa eksisitensi orang lain, maka masyarakat Indonesia senantiasa berhubungan dengan individu atau kelompok. Ada kecenderungan juga masyarakat hidup berkelompok dengan masyarakat lain yang memiliki kesamaan dengannya. Persamaan tersebut dapat berupa kesamaan geografis atau kedekatan

Jakarta, 23-24 November 2017

proksimika atau kesamaan latar belakang budaya, kesamaan kelas ekonomi, kesamaan visi dan misi atau kesamaan lainnya yang membuat manusia tersebut merasa lebih nyaman untuk berhubungan satu dengan lainnya. Di sisi lain kecenderungan tersebut juga dapat menimbulkan kesadaran atas perbedaan terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya (http://www.kompasiana.com/ diunduh pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 16:04).

Kesadaran tersebut antara lain dipicu oleh semakin terbukanya lalu lintas ideologi sebuah negara sehingga membuka peluang munculnya banyak persoalan politik, ekonomi hingga sosial.

Pada hakikatnya masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat multikultural dewasa ini juga memiliki kecenderungan untuk bersikap semakin intoleran dengan dengan orang orang yang berbeda dengan dirinya. Kecenderungan tersebut dilakukan untuk menunjukan perbedaan dengan orang-orang yang berbeda atau orang orang yang berada di luar kelompok atau “out group”. Hal ini terutama terjadi di media sosial. Orang-orang yang berbeda tersebut disebut “Liyan” atau “The Other”. Pemberian istilah “Liyan” atau “The Other” tersebut

membuat manusia melakukan pembedaan seperti membedakan diri atau kelompoknya sebagai subjek dan kelompok lain sebagai objek yang kemudian subjek tersebut melakukan pertimbangan kepada objek dan diberikan nilai (KOMPAS, Jumat 25 November 2016).

Dewasa ini dalam menyikapi sebuah isu atau informasi yang disebarkan di media sosial masyarakat yang memiliki pendapat sama cenderung mengelompok dengan anggota lain yang memiliki pemikiran yang sama tanpa bersedia bersentuhan pandangan dengan kelompok lain yang memiliki pendapat berbeda. Kedua kelompok ini kemudian saling menghujat pendapat dan pandangan masing-masing. Bahkan Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya tentang tersebar luasnya ujaran kebencian, kejahatan, fitnah, informasi palsu (hoax) dan makian di dalam media sosial (KOMPAS, Jumat 25 November 2016).

Pada dasarnya media sosial merupakan sebuah situs yang memungkinkan setiap individu untuk membuat web page pribadinya dan kemudian terhubung dengan individu lainnya untuk berbagi informasi dan menjalin komunikasi (Kaplan & Haenlein, 2010).

Namun tampaknya saat ini media sosial tidak lagi difungsikan seperti semula yakni seperti yang tertulis di dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 mengenai informasi dan transaksi elektronik (ITE). Menurut pasal 4 Undang Undang ini tujuan penyebaran informasi yang pertama adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Tujuan kedua adalah untuk

Jakarta, 23-24 November 2017

mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan publik. Tujuan ketiga adalah untuk membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dengan bertanggung jawab. Tujuan keempat adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Dan terakhir tujuan kelima adalah memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi (https://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU1108.pdf diunduh pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 20.00).

Fenomena ujaran kebencian (hate speech) dan hoax bermula dari Pemilihan Presiden tahun 2014 yang diikuti oleh dua calon yaitu Joko Widodo dengan Jusuf Kalla pada satu sisi. Dan Prabowo Subianto dengan Hatta Rajasa pada sisi yang lain. Sejak itulah marak terjadi penyebaran informasi palsu serta isu-isu yang tidak benar yang dikenal dengan istilah hoax yang sering terjadi di dalam media sosial saat ini. Terpilihnya Presiden Joko Widodo tidak membuat penyebaran kebencian dan hoax ini menurun. Bahkan semakin memprihatinkan ketika kasus penistaan agama dituduhkan pada (mantan) Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama sejak tahun lalu. Bangsa ini seolah terbelah tajam oleh ujaran kebencian yang mengedepankan sentiment ras dan keagamaan.

Secara singkat kata hoax dalam Cambridge Dictionary memiliki arti tipuan atau lelucon (http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax#translations diunduh pada tanggal

16 Januari 2017 pukul 20.00). Jadi hoax merupakan sebuah kegiatan untuk menipu atau mencetak cerita dan informasi palsu yang terjadi di dalam sosial media. Menurut Rovien Ayunia selaku koordinator Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Surabaya Hoax atau berita palsu yang disampaikan tidak hanya merugikan objek dari sebuah informasi atau berita namun juga merugikan pembaca karena mereka secara terus menerus diberikan hoax yang mengakibatkan masyarakat menjadi kurang kritis. Apalagi jika pembaca hoax memiliki kecenderungan atau tendensi kepada satu pihak sehingga sebuah berita yang dibaca menjadi pembenaran dan cenderung mengabaikan cross-check dengan membandingkan berita satu dengan berita lainnya. Tidak hanya itu laporan hoax umumnya berasal dari jalur pribadi dan penyebarannya lebih banyak dari Blackberry Messenger dan grup WhatsApp (JAWA POS, Sabtu 14 Januari 2017).

Rendahnya kemampuan masyarakat dalam menganalisis informasi yang dibawa oleh media sosial dapat menciptakankan berbagai permasalahan. Sebab kelima tujuan yang terkait dengan Undang-Undang Penggunaan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seperti

Jakarta, 23-24 November 2017

dikemukakan di atas hanya dapat dicapai apabila seseorang bersifat kritis dalam menganalisis dan menyaring informasi yang diterima.

Oleh karena itu perlu adanya literasi media khususnya kepada kaum pemuda yang merupakan opinion leaders serta penerus generasi bangsa Indonesia selanjutnya. Sebab kaum muda adalah agent of change dalam sebuah masyarakat.

Menurut Konferensi Kepemimpinan Nasional di Amerika Serikat pada tahun 1992 definisi Literasi media menjadi kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan (Tim KPI, 2011:34).

Lebih lanjut James W. Potter mendefinisikan literasi media sebagai satu perspektif seseorang secara aktif guna memberdayakan dirinya sendiri dalam menafsirkan sebuah pesan-pesan yang diterima serta cara mengantisipasinya (Potter, 2005:22).

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa literasi media merupakan pendidikan yang mengajari khalayak media agar memiliki kemampuan dalam menganalisis pesan media serta memahami bahwa semua informasi atau pesan yang disampaikan harus disaring terlebih dahulu.

James W. Potter di dalam bukunya yang berjudul Media Literacy (2005) mengatakan bahwa terdapat tujuh kemampuan yang diupayakan untuk muncul dari sebuah kegiatan literasi media yaitu:

1. Analyze/Menganalisa Kemampuan yang harus dimiliki yakni mampu menganalisa struktur pesan yang dikemas dalam media serta mendayagunakan konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan untuk memahami konteks dalam pesan pada media tersebut.

2. Evaluate/Menilai Setelah mampu menganalisa maka kompetensi berikutnya adalah membuat sebuah penilaian (evaluasi). Seseorang yang mampu menilai artinya mampu menghubungkan informasi yang ada di media massa dengan kondisi dirinya dan membuat penilaian mengenai keakuratan dan kualitas relevansi informasi tersebut dengan dirinya.

3. Grouping/Pengelompokkan Menentukan setiap unsur yang sama dalam beberapa cara salah satu caranya adalah dengan mengelompokkan informasi tersebut.

4. Induction/Induksi Menyimpulkan suatu pola yang biasanya disebarkan oleh media sosial salah satunya dalam bentuk informasi.

Jakarta, 23-24 November 2017

5. Deduction/Deduksi Menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menjelaskan hal-hal yang khusus yakni dari informasi yang disampaikan.

6. Synthesis/Sintesis Membiasakan diri dalam merakit unsur-unsur dari pesan tertentu ke dalam sebuah struktur yang baru.

7. Abstracting/abstrak Menjadikan sebuah pesan dengan singkat, jelas dan dengan tepat menangkap esensi atau tujuan dari pesan yang disampaikan tersebut.

Sementara agar dapat mendeteksi berita fitnah atau hasut (hoax) maka harus dilakukan enam langkah pencegahan sebagai berikut:

1. Melakukan kroscek judul berita Melakukan pengecekan kepada situs lain yang juga menuliskan berita serupa dengan membandingkan isi dan judul yang kemudian dapat disimpulkan dari beragam sudut pandang.

2. Melihat alamat situs web Memperhatikan media yang memuat berita karena jika web tersebut tidak terdaftar di dalam Dewan Pers maka berita atau informasi tersebut bukanlah berita atau informasi yang benar.

3. Melakukan pengecekan fakta Jika sebuah informasi berasal dari sumber otoritatif seperti KPK atau Polri maka pernyataan tersebut merupakan informasi yang resmi dan dapat dipercaya kebenarannya. Namun bila informasi berasal dari pegiat ormas, tokoh politik ataupun pengamat belum tentu kebenarannya. Jadi jangan langsung dipercaya.

4. Melakukan pengecekan terhadap foto berita Foto hasil editan atau pengambilan dari sumber lain kerap digunakan di dalam berita

palsu. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah seperti mengunduh foto dari artikel kemudian memasukkannya ke dalam search engine yakni Google Images untuk melihat sumber dan caption asli dari foto tersebut.

5. Mengikuti fanpage anti-hoax

Jakarta, 23-24 November 2017

Sekarang ini banyak bermunculan ruang diskusi dan tanya jawab di media sosial seperti di dalam Facebook yang di ciptakan oleh kelompok anti-hoax. Dalam ruang diskusi tersebut banyak memuat klarifikasi perihal berita palsu yang beredar.

6. Melaporkan konten yang negatif Jika menemukan unggahan yang bersifat negatif baik merupakan hoax, komentar kasar yang menyudutkan, mengancam hingga memprovokasi gunakan fasilitas report atau flag atau pengaduan melalui email [email protected]. Umumnya unggahan tersebut akan di hapus (JAWA POS, Sabtu 14 Januari 2017).

Penyebar hoax di media sosial atau internet akan dijerat dengan pasal 28 ayat 1 dan 2 UU ITE, yang berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik (ayat 1) dan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan hukuman paling lama enam tahun dan denda 1 miliar (ayat 2). Selain pasal 28 ayat 1 dan 2, ada juga pasal 14 yang berbunyi bahwa barangsiapa dengan

menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Serta pasal 15 yang berbunyi bahwa barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,

sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Oleh karena itu diperlukan kegiatan literasi media terkait dengan penggunaan media sosial yang berkaitan dengan hoax. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat menjadi lebih pintar, bijak, dan kritis dalam menggunakan media sosial. Sehingga tidak mudah terprovokasi dengan informasi palsu yang mengandung kebencian dan dapat menimbulkan perpecahan. Dan hal ini adalah tugas akademisi menyikapi membuat formula literasi media untuk menangkal berita hoax.

Kegiatan literasi media ini diselenggarakan di Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) di Manado Sulawesi Utara.

Jakarta, 23-24 November 2017