2.15 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies Berbeda
Banyak penelitian mengenai masalah pengembangan ilmu dasar, klinis dan sosial menggunakan model hewan coba karena keterbatasan
toleransi terhadap efek perlakuan yang tidak memungkinkan diaplikasikan pada manusia Gambar 2.36. Oleh karena itu pengetahuan tentang
anatomi dan fisiologi pendengaran telah dilakukan antara lain konfigurasi profil audiometri, sensitivitas auditorius, simetris ke dua sisi dan lainnya.
Gambar 2.36 Perbandingan Audiogram Manusia dan Tikus Heffner Heffner, 2003
Keterangan: Frekuensi yang paling peka pada manusia pada 2-4 kHz, sedangkan tikus pada frekwensi 8-16 kHz
Pada perkembangannya, fungsi pendengaran hewan dibanding manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara
sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia
Universitas Sumatera Utara
fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran
manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada
frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang dibanding spesies manusia Gambar 2.37 Heffner Heffner, 2003.
Gambar 2.37 Rentang Ambang Pendengaran Pada Hewan Coba Laboratorium Heffner, 2007
Keterangan: Ambang pendengaran pada manusia lebih peka pada rentang frekwensi yang lebih rendah dibanding tikus rat
Rattus norvegicus merupakan hewan coba laboratoris yang umum digunakan sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk
menjelaskan berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan kesamaan patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat berkembang biak sehingga mendapatkan populasi homogen yang
diperlukan untuk kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya homolog, dengan demikian tikus mempunyai potensi untuk
pengembangan studi ketulian genetik. Selain itu perubahan histopatologis yang diamati dari hasil penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi
klinis dengan manusia Gravel Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel, 1998. Studi pada hewan coba juga telah banyak dilakukan untuk
mengetahui efek bising pada pendengaran. Pada umumnya eksperimen dilakukan jangka pendek short-term exposure conditions. Diketahui
bahwa terdapat hubungan antara dosis pajanan dengan tingkat gangguan pendengaran Gambar 2.38. Sesuai dengan penelitian sebelumnya
didapatkan data bahwa pendengaran mulai terganggu dapat terukur pada intensitas 100 sampai 110 dB SPL yang mewakili kondisi bising daerah
industri Cappaert, et al., 2000.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.38 Perbandingan Noise-Induced Threshold Shifts pada
Beberapa Studi Cappaert, et al., 2000 Keterangan: Garis ordinat adalah peningkatan maksimal ambang dengar.
Garis aksis adalah tingkat pajanan bising yang disesuaikan dengan dosis ekivalen 8 jam perhari, 5 hari dalam seminggu
2.16 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein