BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di negara-negara industri, kebisingan merupakan masalah utama kesehatan kerja Sumamur, 1993. Kebisingan juga merupakan salah
satu faktor dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja yang tercantum dalam Kepres No. 22 Tahun 1993. Kebisingan di
tempat kerja dapat mengurangi kenyamanan dan ketenangan kerja, mengganggu indera pendengaran, mengakibatkan penurunan daya
dengar dan bahkan pada akhirnya dapat mengakibatkan ketulian yang menetap Mulia, 2005.
Berdasarkan laporan WHO 2004, diperkirakan hampir 14 dari total tenaga kerja di negara industri terpapar bising melebihi 90 dB di tempat
kerjanya. Lebih dari 30 juta orang di Amerika terpapar bising 85 dB atau lebih NIOSH, 1998. Diperkirakan 5-10 juta orang di Amerika yang
terpapar kebisingan 85 dB di tempat kerja berisiko terhadap gangguan pendengaran akibat bising Aditama Hastuti, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Pada pertemuan konsultasi WHO-SEARO South East Asia Regional
Office Intercountry Meeting 2002, menyebutkan bahwa kebisingan merupakan salah satu yang menjadi masalah utama dalam penyebab
terjadinya gangguan pendengaran di Indonesia. Gangguan pendengaran akibat bising lingkungan kerja ONIHLOccupational Noise-Induced
Hearing Loss menduduki proporsi terbanyak dibandingkan gangguan akibat bising lainnya Bashiruddin Soetirto, 2007.
WHO memperkirakan di tahun 2001 terdapat 250 juta orang di dunia mengalami kecacatan gangguan pendengaran yang sedang ataupun
berat, angka ini meningkat menjadi lebih dari 275 juta orang di tahun 2004. Dari jumlah tersebut 80 diantaranya terdapat di negara
berkembang. Angka ini terus meningkat sejak penelitian pertama kali yang dilakukan oleh WHO pada tahun 1986 WHO, 2006.
Berdasarkan survei multi center study di Asia Tenggara pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang
cukup tinggi yaitu 4.6, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka 8.8, Myanmar 8.4 dan India 6.3. Walaupun bukan yang tertinggi
tetapi prevalensi 4.6 tergolong cukup tinggi, sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat Suwento, 2007.
Gangguan pendengaran akibat bisingGPAB Noise Induced Hearing
LossNIHL ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan
biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja Bashiruddin Soetirto, 2007.
Universitas Sumatera Utara
GPAB seharusnya dapat dicegah. Upaya untuk itu telah dilakukan dengan dicanangkan suatu program strategi kebijakan WHO, Sound
Hearing 2030. Langkah selanjutnya melalui pembentukan Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian PGPKT di
Indonesia yang menetapkan bahwa GPAB merupakan salah satu target penurunan prevalensi kejadian gangguan pendengaran di masyarakat
Soetjipto, 2007. Sejauh ini telah banyak studi dilakukan, baik epidemiologi maupun
eksperimental, berbagai bukti empirik telah didapatkan dan berbagai teori telah diajukan untuk mendapatkan penjelasan GPAB sampai di tingkat
molekuler. Pada kenyataannya sampai saat ini belum ada obat yang dapat digunakan sebagai landasan secara biologi molekuler dalam
tindakan preventif dan protektif terhadap dampak pajanan bising yang dapat berakibat pada gangguan pendengaran Cappaert, et al., 2000;
Altschuler, Fairfield Cho, 2002; Liberman Hirose, 2003; Le Prell, 2003; Henderson, et al., 2006.
Pada penelitian terakhir ditemukan bahwa adanya peranan jaringan penyangga pada dinding lateral koklea yang mengakibatkan gangguan
pendengaran akibat pajanan bising walaupun tanpa disertai kerusakan sel sensoris, sel rambut luar dan stereosilia Purnami, 2009.
Dinding lateral koklea tersusun dari jaringan matriks ekstraseluler sebagai struktur penyangga, dimana terdapat fibroblas
yang menghasilkan kolagen. Fibroblas peka terhadap stimulus bising yang
berlebihan secara kontinyu dan jangka panjang. Perubahan yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada fibroblas berpengaruh pada kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran. Studi sebelumnya mendapatkan kerusakan pada Kolagen
Tipe IV selain Tipe II. Kolagen Tipe IV disebut paling rawan the most vulnerable terhadap efek bising, sehingga kerusakan terjadi lebih
dominan Purnami, 2009. Pajanan bising mengakibatkan stres seluler yang selanjutnya memicu
aktivitas chaperon dan mengaktifkan jalur inflamasi sinyal berikutnya Wang, Hirose Liberman, 2002; Hirose Liberman, 2003; Purnami,
2009. Matriks ektraseluler yang berfungsi mempertahankan elastisitas membrana basalis terletak dalam organ Corti, mempunyai peran penting
dalam proses transduksi suara. Pada keadaan pajanan bising yang berlebihan akan mempengaruhi fibroblas koklea, terjadi peningkatan
permeabilitas membran sel dan memicu peningkatan Ca
2+
intraseluler Purnami, 2009. Peningkatan Ca
2+
yang berlebihan dalam sel tersebut akan memicu kematian sel dan mengaktifkan jalur sinyal intraseluler.
Aktivasi gen HSF-1 meningkatkan HSP-70 yang merupakan famili molekul chaperon, dimana pada kadar tertentu berperan sebagai proteksi sel
untuk mempertahankan homeostasis terhadap pengaruh stres Le Prell, 2003; Purnami, 2009.
Universitas Sumatera Utara
HSP-70 dapat sebagai ligan agonis pada TLR-2 dan TLR-4 dalam meneruskan sinyal intraseluler dengan aktivasi reseptor transmembran
dan meneruskan sinyal selanjutnya pada molekul efektor di bawahnya. HSP-70 ekstrasel eHSP-70 mengaktifkan NF
κB di permukaan sel dan mengaktivasi NF
κB 30 menit dan meregulasi ekspresi sitokin pro inflamasi dalam human monosit 2 jam setelah pajanan. Molekul eHSP-
70 merupakan mediator dalam produksi sitokin pro inflamasi Asea, 2005; Calderwood, et al., 2007, Purnami, 2009.
Molekul TNF- α sebagai faktor kemotaktik berfungsi menarik monosit
bergerak menuju daerah inflamasi sehingga sel radang terakumulasi Purnami, 2009. Kumpulan sel radang tersebut akan memicu peningkatan
ekspresi MMP-9 yang mampu untuk mendegradasi Kolagen Tipe IV Vaday Lider, 2000; Purnami, 2009. Jalur tersebut memungkinkan
terjadi suatu proses inflamasi yang berlangsung secara berkepanjangan prolonged inflammation lesion Altschuler, Fairfield Cho, 2002;
Purnami, 2009. Jalur tersebut akan mempengaruhi progresivitas kelainan koklea, dipengaruhi oleh besar kecil intensitas dan lama waktu pajanan.
Perubahan tingkat molekuler koklea tersebut timbul pada sel yang mengalami distress, terkait dengan mekanisme mikromekanik dan
metabolik yang mengarah pada GPAB Sliwinska Jadlinska, 1998; Purnami, 2009.
Curcumin adalah zat pigmen kuning yang diekstrak dari rimpang yang umumnya berasal dari spesies Curcuma longa L. kunyit Lao, et al.,
2006; Shim, et al., 2001 dan Curcuma xanthorrhiza Roxb temulawak.
Universitas Sumatera Utara
Kunyit Curcuma domestica Val. dengan sinonim Curcuma longa L. termasuk salah satu tanaman rempah yang berasal dari wilayah Asia
terutama Asia Tenggara. Di Asia, kunyit telah digunakan sebagai obat sejak tahun 2000 SM. Penggunaan kunyit dalam dunia kedokteran
meningkat pesat setelah ditemukannya senyawa fenolik yang biasa disebut curcuminoid. Curcumin merupakan senyawa yang paling banyak
dipelajari karena paling banyak mempunyai aktivitas biologis. Selain mempunyai efek anti inflamasi biasa juga sebagai antioksidan dan anti
HIV. Pada penelitian secara in vivo dan in vitro, curcumin mempunyai sifat menginhibisi metabolisme asam arakidonat, aktivitas siklooksigenase dan
NFκB. Saat ini produk alami seperti ekstrak buah-buahan dan sayur- sayuran yang sangat diminati untuk digunakan sebagai pencegahan oleh
karena produk ini lebih dapat ditoleransi oleh tubuh walaupun dalam konsentrasi yang tinggi Surh, et al., 2001; Wright, 2002; Hong, et al.,
2004. Kunyit mengandung 3 curcuminoid aktif yang utama yaitu curcumin,
bisdemethoxycurcumin, demethoxycurcumin. Mereka memiliki klasifikasi ilmiah yang sama dan dilaporkan memiliki efek anti inflamasi dan efek
terapeutik. Mekanisme proteksi terhadap inflamasi dan kerusakan oksidatif membuat curcumin sebagai agen alami dalam melawan kerusakan
jaringan. Curcumin ini dapat menurunkan regulasi ekspresi sitokin seperti IL-1, IL-2, IL-6, IL-8 dan kemokin, juga berperan pada supresi aktifasi
NF κB Thaloor, et al., 1999; Johnson Mattia, 2006; Wyke, Russell
Tisdale, 2004. NF
κB adalah faktor transkripsi yang diperlukan untuk
Universitas Sumatera Utara
ekspresi gen termasuk proliferasi sel, invasi sel, metastasis, angiogenesis dan resistensi kemoterapi. Faktor ini teraktivasi oleh respon stimulus
inflamasi, karsinogen, tumor promotor dan hipoksia yang sering berada di dalam jaringan tumor. Curcumin menginduksi penurunan regulasi NF
κB melalui supresi aktivasi Inhibitor kappa B I
κB kinase, menghambat fosforilasi dan berlanjut pada degradasi I
K
B Wyke, Russell Tisdale, 2004.
Curcumin telah terbukti mengganggu jalur sinyal beberapa sel, termasuk siklus sel cyclin D1 dan cyclin E, apoptosis aktivasi caspases
dan “down-regulation” dari produk gen anti apoptosis, proliferasi HER-2, EGFR dan AP-1, kelangsungan hidup jalur PI3KAKT, invasi MMP-9
dan molekul adhesi, angiogenesis VEGF, metastasis CXCR-4 dan peradanga
n NFκB, TNF, IL-6, IL-1, COX-2 dan 5-LOX Anand, et al., 2008.
Dari data yang ada menunjukkan bahwa curcumin menunjukkan efek protektif melawan beberapa bentuk toksin melalui mekanisme yang
membedakan peningkatan HSP-70 di hepar dan intestinal dan inhibisi aktivasi reseptor arylhydrocarbon Ishida, et al., 2004.
Curcumin memiliki efek protektif terhadap cedera hepatic warm ischemiareperfusion IR. Mekanismenya mungkin berhubungan dengan
peningkatan ekspresi HSP-70 dan enzim antioksidan Shen, et al., 2007.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan titer TLR- 4, MyD88, dan protein NFκB dalam jaringan
yang mengalami inflamasi juga dapat ditekan secara signifikan dengan pemberian curcumin. Dalam penelitian, dibuktikan bahwa curcumin dapat
menginhibisi proses inflamasi yang disebabkan TLR-4 dan MyD88 Lubbad, Oriowo Khan, 2009.
Hasil terapi curcumin tidak hanya menunjukkan penurunan signifikan pada ekspresi MMP-2 dan MMP-9, tetapi juga mengakibatkan inhibisi dari
kemampuan invasif in vitro. Curcumin juga mempengaruhi penurunan ukuran tumor, aktivitas MMP-2 dan MMP-9 pada daerah tumor Hong, et
al., 2004. Produksi kolagen meningkat dan produksi matriks metalloptoteinase-9
MMP-9 menurun pada kulit tikus yang baru sembuh yang diobati dengan curcumin dibandingkan dengan tikus yang diobati dengan Temovate
Bhagavathula, et al., 2009 Curcumin secara signifikan dapat meningkatkan Kolagen Tipe IV dan
III dalam supernatan sel mesangial yang diinduksi oleh LPS. Curcumin menurunkan ekspresi IL-1 beta. Curcumin juga dapat menghambat
proliferasi sel mesangial manusia dan mengubah perputaran matriks ekstraselular, sementara itu curcumin juga dapat menurunkan IL-1 beta
dan ekspresi MCP-1 mRNA yang diinduksi LPS Bao, et al., 2003.
Universitas Sumatera Utara
Bising merupakan campuran suara yang memiliki frekuensi bervariasi dari yang rendah ke tinggi. Pada penelitian ini dipilih frekuensi bising
dengan rentang 1 kHz sampai dengan 10 kHz berdasarkan pertimbangan karakteristik bising yang dipengaruhi oleh rentang sensitivitas kemampuan
penangkapan indra pendengaran manusia dan tikus Heffner, 2007. Dosis pajanan bising yang diberikan adalah 100 dB SPL selama 2 jam
karena didapati perbedaan ekspresi protein yang bermakna untuk HSP-70, NF
κB, TLR-2, TLR-4, MMP-9 dan Kolagen Tipe IV pada dosis tersebut Purnami, 2009.
Eksperimen menggunakan tikus sebagai hewan coba. Hal ini dilakukan sehubungan dengan prosedur perlakuan dan pemeriksaan akhir yang
berakibat fatal. Penelitian ini menggunakan
curcuminoid yang berasal dari
Curcuma longa L. karena diharapkan curcuminoid dapat mengobati bahkan mencegah kerusakan fibroblas koklea sebagai sel yang
mengalami stres akibat diberi pajanan bising. Berdasarkan berbagai masalah tersebut di atas dan dengan adanya
prevalensi GPAB yang cukup tinggi, dapat mengenai segala usia yang lebih muda yaitu golongan usia produktif, maka GPAB merupakan
masalah global yang sangat perlu mendapatkan perhatian besar.
Universitas Sumatera Utara
Metode pencegahan yang tepat perlu dipikirkan dengan harapan target dari upaya penurunan prevalensi GPAB dapat segera terpenuhi. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya menemukan langkah preventif GPAB secara biologi molekuler yang pada akhirnya
ditujukan untuk menurunkan secara klinis angka prevalensi GPAB.
1.2 Rumusan Masalah