Latar Belakang Analisis nilai tambah dan pemasaran minyak gaharu (Studi kasus di CV Aromindo)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luasnya hutan di Indonesia menjadikan negara Indonesia sebagai paru- paru dunia dan dengan kekayaan hutan yang dimilikinya tentu begitu banyak pula potensi yang dapat dikembangkan dari hasil hutan tersebut. Hutan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tentang Kehutanan Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan memiliki kontribusi terhadap perekonomian nasional melalui perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan Tabel 1. Akan tetapi, persentase kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB terus menurun dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi peringatan penting bagi para pelaku usaha di sektor kehutanan agar meningkatkan produktivitas usahanya sehingga sektor kehutanan tetap mampu memberikan kontribusi yang tinggi bagi negara. Tabel 1 . Kontribusi Sektor Kehutanan dan Hasil-Hasilnya dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto Harga Konstan 2000 Tahun Uraian PDB milyar rupiah Kehutanan Persen- tase Terha- dap PDB Industri Kayu dan Produk Lainnya milyar rupiah Persen- tase Terha- dap PDB Kehutanan dan Hasil- Hasilnya 1+2 milyar rupiah Persen- tase Terha- dap PDB 2004 1.656.516,80 17.433,80 1,05 20.325,50 1,23 37.759,30 2,28 2005 1.750.656,10 17.176,90 0,98 20.138,50 1,15 37.315,40 2,13 2006 1.846.654,90 16.784,10 0,91 20.006,20 1,08 36.693,10 1,99 2007 1.963.974,30 16.401,40 0,84 19.657,60 1 36.059,00 1,84 2008 2.082.315,90 16.543,30 0,79 20.335,80 0,98 36.879,10 1,77 2009 2.176.975,50 16.793,80 0,77 20.039,20 0,92 36.833,00 1,69 2010 2.310.689,80 17.192,50 0,74 - - - - 2011 2.463.242,00 17.361,80 0,70 - - - - Sumber: Statistik Kehutanan 2011 2 Hasil hutan dibedakan menjadi dua, yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu HHBK. HHBK dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibanding hasil kayu sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya Sudarmalik dkk. 2006. HHBK merupakan salah satu hasil hutan selain kayu dan jasa lingkungan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2007, HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Produk HHBK Indonesia diminati oleh masyarakat, baik domestik maupun luar negeri. HHBK mampu memberikan penghasilan bagi masyarakat sekitar hutan dan juga memiliki peran dalam penambahan devisa negara. HHBK memiliki berbagai macam jenis dan golongan Lampiran 1. Menteri kehutanan pun telah menetapkan jenis-jenis HHBK yang terdiri dari 9 kelompok HHBK yang di dalamnya terdiri dari 558 spesies tumbuhan dan hewan sesuai dengan yang tercantum pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 35Menhut-IITahun 2007. Departemen Kehutanan telah mengembangkan lima jenis HHBK yang menjadi prioritas pengembangan, yaitu rotan, bambu, lebah, sutera dan gaharu. Di antara kelima prioritas tersebut, gaharu merupakan salah satu produk primadona ekspor bagi HHBK. Hal tersebut dilihat dari perdagangan HHBK untuk tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri yang didominasi oleh ekspor gaharu dan arwana. Keduanya berkontribusi menyumbang 65 persen penerimaan devisa hingga 1,7 milyar rupiah untuk kelompok tumbuhan dan satwa liar pada penerimaan devisa yang dihasilkan dari ekspor produk HHBK 1 . Perdagangan gaharu di Indonesia berlangsung sejak tahun 1918 pada masa penjajahan Hindia Belanda. Volume perdagangan gaharu saat itu hanya sekitar 11 ton per tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor perdagangan gaharu terus berkembang tidak saja ke daratan China, tetapi juga ke Korea, Jepang dan USA serta ke beberapa negara Timur Tengah dengan permintaan yang tidak terbatas Biro KLN dan Investasi 2002. Volume perdagangan gaharu mengalami 1 Bambang, Novianto. 2011. Kemenhut Desak Perubahan Tarif Perdagangan Tanaman Satwa Liar. http:www.republika.co.idberitaekonomimakro120425m30diq-kemenhut-desak-perubahan- tarif-perdagangan-tanamansatwa-liar [diakses 10 Januari 2012] 3 peningkatan yang sangat drastis pada tahun 2010. Total volume ekspor gaharu saat itu mencapai 573 ton, naik signifikan dari tahun 2006 sebesar 170 ton. Persentase kenaikan volume perdagangan tersebut mencapai lebih dari 100 persen yaitu 337 persen dengan perkiraan perolehan devisa pada tahun 2006 sebesar US 26.086.350 dan meningkat menjadi US 85.987.500 pada tahun 2010 Bintoro 2011. Perdagangan gaharu yang semakin meningkat menyebabkan intensitas perburuan gaharu alam tidak terkendali karena gaharu yang diperdagangkan selama ini merupakan gaharu yang tumbuh di hutan alam. Masyarakat mengambil gaharu dengan cara menebang pohon hidup dan mencacahnya untuk memperoleh bagian kayu bergaharu tanpa memikirkan dampak yang terjadi pada pohon penghasil gaharu. Tabel 2 . Ekspor Gaharu Indonesia Tahun 2000-2010 Tahun Total Volume Ekspor Gaharu Ton 2000 155,790 2001 197,426 2002 175,000 2003 174,085 2004 175,000 2005 171,424 2006 170,000 2007 ≠ 2008 ≠ 2009 ≠ 2010 573,000 Keterangan: ≠ alasan ketidaktersediaan tidak diketahui Sumber: CITES 2003 dan PHKA 2011 Pada tahun 1995 pohon penghasil gaharu Aquilaria sp dimasukkan dalam daftar kelompok Apendix II CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora karena perburuan yang tidak terkendali. Sejak dimasukkan dalam daftar kelompok Apendix II CITES, kuota ekspor gaharu dibatasi hanya 250 ton per tahun. Namun sejak tahun 2000, total 4 ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh dibawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon gaharu Aquilaria sp dan Gyrinops sp dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok. Eksploitasi hutan dan perburuan gaharu yang tidak terkendali menyebabkan penurunan kemampuan ekspor gaharu Indonesia. Sebagai gambaran, pada Tabel 2 disajikan data hasil kajian tentang perdagangan ekspor gaharu di Indonesia. Kekhawatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia membuat Departemen Kehutanan menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton per tahun sejak tahun 2005. Hingga saat ini, belum terdapat akurasi data produksi dari berbagai daerah penghasil. Namun, produksi gaharu dapat diperkirakan oleh departemen kehutanan seperti yang tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 . Produksi Gaharu Indonesia Tahun 2004-2009 Tahun Produksi Ton 2004 6.175 2005 231 2006 668 2007 - 2008 - 2009 714 Sumber: BPS Kehutanan 2010 Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa terdapat penurunan yang tajam produksi gaharu dari tahun 2004 ke 2009. Departemen Kehutanan melihat potensi penurunan produksi gaharu tersebut sejak beberapa tahun lalu. Oleh karena itu, pada tahun 2001 eksportir gaharu diwajibkan memiliki lahan seluas minimal dua hektar untuk membudidayakan pohon gaharu. Pembudidayaan gaharu oleh masyarakat menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi pasokan gaharu dunia dengan total kebutuhan dunia sebesar 4.000 ton per tahun. Setelah tahun 2006, kuota untuk masing-masing jenis tumbuhan gaharu semakin mengalami fluktuasi begitu pula dengan realisasi ekspornya. Hal tersebut terlihat pada Tabel 4. 5 Tabel 4 . Perkembangan Kuota dan Realisasi Ekspor Gaharu Indonesia Tahun Jenis Gaharu Kuota kg Realisasi kg Persentase realisasi terhadap kuota 2007 Aquilaria Malaccensis 30.000 23.709 79 Aquilaria Filaria 76.000 76.000 100 Gyrnops 24.000 8.000 33 2008 Aquilaria Malaccensis 30.000 30.000 100 Aquilaria Filaria 65.000 65.000 100 Gyrnops 25.000 25.000 100 2009 Aquilaria Malaccensis 173.250 74.890 43 Aquilaria Filaria 455.000 326.882 72 Gyrnops - - - Sumber: Siran Turjaman 2011 Kuota ekspor gaharu pada tahun 2007 dari ketiga jenis yang dapat dipenuhi hanya dari jenis Aquilaria filaria, sedangkan untuk Aquilaria malaccensis tidak dapat dipenuhi, bahkan untuk Gyrinops realisasi ekspornya hanya mencapai 33 persen dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2008, realisasi ekspor gaharu untuk ketiga jenis dapat terpenuhi 100 persen dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2009, kenaikan kuota yang signifikan terjadi pada jenis Aquilaria malaccensis sebanyak hampir enam kali lipat, sedangkan pada Aquilaria filaria sebanyak tujuh kali lipat. Penurunan kemampuan ekspor gaharu Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun ditingkat pedagang pengumpul dikarenakan Indonesia merupakan produsen terbesar gaharu dunia. Pada tahun 1980, harga gaharu ditingkat pedagang pengumpul berkisar Rp 80.000 per kg untuk kualitas super. Awalnya, kenaikan harga gaharu relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp 100.000 per kg pada tahun 1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, dimana harga gaharu mencapai Rp 3-5 juta per kg. Kenaikan harga gaharu berlanjut dan makin tajam hingga mencapai Rp 10 juta per kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta per kg pada tahun 2009 Adijaya 2006 dan Wiguna 2009. 6 Perkembangan harga yang semakin baik, membuat prospek gaharu semakin baik untuk pasar luar negeri karena permintaan luar negeri cukup tinggi. Namun, produksi gaharu Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan gaharu dunia. Indonesia bersaing dengan negara-negara penghasil gaharu lainnya. Jika Indonesia dapat memanfaatkan peluang tersebut, maka Indonesia dapat menjadi negara pengekspor yang dapat diandalkan, selain meningkatkan keuntungan bagi setiap pengusaha juga dapat menunjang devisa dan perluasan kesempatan kerja. Berbagai daerah di Bangka, Sukabumi, Bogor, Lampung dan NTT mulai mengembangkan pembudidayaan gaharu untuk mengantisipasi berkurangnya produksi gaharu Indonesia. Daerah Bogor merupakan daerah yang sangat serius dalam melakukan budidaya gaharu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor sudah melakukan penelitian gaharu semenjak tahun 2000 dan sudah menemukan teknik budidaya gaharu yang dipastikan bisa menghasilkan gubal gaharu yang harum dan mempunyai nilai rupiah yang sangat tinggi. Nilai guna gaharu awalnya hanya digunakan sebagai bahan pengharum tubuh dan ruangan dengan cara pembakaran fumigasi serta sebagai bahan baku dupa atau hio yang digunakan dalam upacara ritual keagamaan masyarakat Hindu dan Budha. Pada saat ini, gaharu banyak dibutuhkan sebagai bahan baku industri pengikat fixatif minyak wangi serta bahan baku industri obat tradisional herbal. Sementara ini, produk ekspor gaharu Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk potongan kayu. Oleh karena itu, untuk memperoleh nilai tambah perlu digalang bermacam jenis produk perdagangan ekspor gaharu dalam berbagai bentuk produk barang setengah jadi dan barang jadi dengan kualitas dan kontinuitas yang tertata secara baik sesuai perkembangan permintaan pasar dunia. CV Aromindo adalah satu perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan gaharu di Bogor, tepatnya terletak di daerah Cilendek Barat. Perusahaan ini menjual berbagai jenis gaharu, mulai dari yang natural atau bahan baku mentah, sampai pada gaharu yang sudah melalui processing atau pengolahan menjadi produk jadi. Berkembangnya teknologi industri menyebabkan berkembangnya tataniaga gaharu dalam bentuk produk minyak atsiri yang secara teknis diperoleh melalui penyulingan. 7 CV Aromindo memanfaatkan peluang yang ada dengan membuat produk minyak gaharu yang dibutuhkan sebagai bahan dasar untuk membuat minyak wangi maupun minyak aromaterapi. Melalui penciptaan minyak gaharu yang semula hanya berupa potongan kayu gaharu menjadi minyak gaharu, maka menciptakan nilai tambah bagi produk tersebut. Besarnya nilai tambah produk minyak gaharu selama ini tidak diketahui secara pasti oleh perusahaan. Padahal, dengan mengetahui besarnya nilai tambah yang dihasilkan, perusahaan dapat mengetahui secara pasti besar keuntungan yang didapatkan dari proses pengolahan gaharu menjadi minyak gaharu sehingga memacu perusahaan untuk terus melakukan pengembangan terhadap produk yang dijual agar memiliki nilai tambah guna meningkatkan pendapatan perusahaan. Produksi Gaharu di dalam negeri, lebih sering untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor, seperti China, Eropa dan Arab Saudi 2 . Begitu pun dengan CV Aromindo turut menjual minyak gaharu ke pasar tersebut. Perilaku kebutuhan masyarakat terhadap produk olahan gaharu seperti dupa, hio, minyak wangi, dan minyak aromaterapi berbahan dasar gaharu yang memiliki wangi khas menyebabkan industri pengolahan gaharu di pasar ekspor berkembang. Oleh karena itu, CV Aromindo perlu melakukan proses manajemen pemasaran yang baik agar dapat bersaing di pasar tersebut dan mampu mencapai tujuan pemasaran perusahaannya. Proses manajemen pemasaran ini dapat menentukan keberhasilan perusahaan dalam menjangkau pasar-pasar yang tepat dan potensial. Pada prosesnya, dapat dilihat peluang pasar bagi CV Aromindo, penerapan strategi pemasaran yang dilakukan melalui analisis segmentasi, targeting, dan positioning, bauran pemasaran produk, harga, distribusi, dan promosi yang dilakukan, serta pelaksanaan dan pengendalian pemasaran CV Aromindo. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan pada analisis nilai tambah dan pemasaran gaharu.

1.2 Permasalahan