pada pati garut. Tepung talas OC-1S, OC-2S, FOC-1S, dan FOC-2S sangat tepat diaplikasikan sebagai sumber prebiotik dan bahan pangan fungsional bagi penderita
penyakit diabetes karena daya cernanya yang rendah sehingga lebih lambat diabsorbsi oleh tubuh. Perhitungan analisis daya cerna in-vitro TTM dapat dilihat di Lampiran 7.
4.2.8. Analisis korelasi kadar pati, gula pereduksi, serat pangan dan daya cerna TTM
Analisis korelasi merupakan teknik analisis dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel. Diantara sekian banyak teknik-
teknik pengukuran asosiasi, terdapat dua teknik korelasi yang sangat populer sampai sekarang, yaitu Korelasi Pearson Product Moment dan Korelasi Rank Spearman.
Koefesien korelasi R adalah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan -1. Koefesien
korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linier dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah artinya jika
nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai
variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua
variabel, Mattjik dan Sumertajaya 2002 memberikan kriteria sebagai berikut: 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel; 0
– 0,25: Korelasi sangat lemah; 0,25 – 0,5: Korelasi cukup; 0,5
– 0,75: Korelasi kuat; 0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat; 1: Korelasi sempurna.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar total pati memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kadar gula pereduksi dengan nilai koefisien korelasi
mencapai R = 0,913 Gambar 13 a. Penurunan kadar total pati akibat perlakuan fermentasi kultur campuran BAL, pemanasan bertekanan-pendinginan maupun
kombinasi keduanya berkorelasi negatif dengan peningkatan kadar gula pereduksi. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zaragoza et al. 2010,
Jenie et al. 2012 dan Nurhayati et al. 2014 pada tepung pisang. Degradasi pati talas akibat pemanasan otoklaf menyebabkan putusnya sebagian kecil ikatan glikosidik pada
amilosa maupun amilopektin yang berkontribusi terhadap terbentuknya gula pereduksi. Demikian halnya dengan perlakuan fermentasi kultur campuran BAL yang dapat
meningkatkan kadar gula pereduksi akibat terjadinya hidrolisis ikatan linier α-1,4 amilosa oleh enzim amilase dan ikatan perca
bangan α-1,6 amilopektin. Berdasarkan hasil analisis korelasi diketahui bahwa kadar amilosa memiliki
korelasi kuat terhadap kadar amilopektin dengan nilai koefisien korelasi yaitu R = 0,677 Gambar 13 b. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kadar
amilosa dan amilopektin selama produksi TTM disebabkan oleh proses pemanasan otoklaf maupun fermentasi kultur campuran BAL penghasil amilase dan pululanase
yang menghidrolisis kedua substrat tersebut. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Zaragoza et al. 2010 dan Moongngarm 2013.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten memiliki korelasi yang sangat kuat hampir sempurna terhadap kadar serat pangan total dengan nilai
koefisien korelasi mencapai R = 0,986 Gambar 13 c. Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa peningkatan kadar pati resisten melalui perlakuan pemanasan bertekanan-
pendinginan OC maupun kombinasi fermentasi dengan OC berkorelasi positif
terhadap peningkatan kadar serat pangan total. Hal ini disebabkan pati resisten teranalisis sebagai sumber serat pangan yang tidak larut, namun secara fisilogis
memiliki peranan sebagai serat pangan larut di dalam tubuh. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Ozturk et al. 2011 pada pati jagung dan
Vatanasuchart et al. 2012 pada pati pisang.
a b
c d
e f
g h Gambar 13.
Kurva korelasi hubungan antara berbagai parameter kimia TTM
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten memiliki korelasi yang sangat kuat hampir sempurna terhadap daya cerna pati talas secara in-vitro
dengan nilai koefisien korelasi sebesar R = 0,979 Gambar 13 d. Hasil ini semakin membuktikan hipotesis bahwa kadar pati resisten berkorelasi negatif terhadap daya
cerna pati talas. Peningkatan kadar pati resisten pada akan menyebabkan terjadinya penurunan daya cerna pati. Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilaporkan oleh Sajilata et al. 2006 pada pati gandum, Ozturk et al. 2011 pada pati jagung dan Vatanasuchart et al. 2012 pada pati pisang.
Hampir serupa dengan analisis korelasi antara pati resisten dengan daya cerna, hasil analisis korelasi antara kadar serat pangan memiliki korelasi yang sangat kuat
hampir sempurna terhadap daya cerna pati talas dengan nilai koefisien korelasi mencapai R = 0,995 Gambar 13 e. Hasil ini membuktikan hipotesis bahwa kadar serat
pangan berkorelasi negatif terhadap daya cerna pati talas secara in-vitro. Peningkatan kadar serat pangan akan menyebabkan terjadinya penurunan daya cerna pati. Korelasi
ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Anderson et al. 2002 pada pati beras dan Njintang et al. 2006 pada tepung talas tanpa modifikasi.
Tabel 12.
Kadar pati resisten dalam basis sampel TTM dan basis total pati
Sampel tepung talas Pati Resisten basis sampel TTM
Pati Resisten basis total pati Tanpa fermentasi
K 4,13±0,05
a
5,15±0,09
a
OC-1S 7,92±0,18
b
10,11±0,28
b
OC-2S 11,15±0,11
c
14,49±0,19
c
Dengan fermentasi F
3,82±0,11
a
5,09±0,20
a
FOC-1S FOC-2S
11,45±0,04
c
11,76±0,12
c
15,30±0,10
c
15,93±0,28
c
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan taraf nyata λ5 , α= 5 , setelah dilakukan uji statistik dengan BNT pada SPSS 17.0
Notasi: K kontrol, tanpa fermentasi dan OC, OC-1S 1 siklus OC, OC-2S 2 siklus OC, F fermentasi, tanpa OC, FOC-1S fermentasi dengan 1 siklus OC FOC-2S fermentasi dengan 2 siklus OC.
Sementara itu hasil analisis korelasi antara kadar amilosa dengan kadar pati resisten menunjukkan nilai korelasi yang cukup dengan koefisien sebesar R = 0,293
Gambar 13 f. Hal ini menunjukkan bahwa kadar amilosa yang tinggi pada suatu bahan pangan tidak terlalu signifikan peranannya dalam upaya peningkatan kadar pati resisten.
Korelasi ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Jenie et al. 2013 dan Nurhayati et al. 2014 pada tepung pisang. Peningkatan kadar pati resisten tidak
selalu disebabkan oleh tingginya kadar amilosa total, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh tingginya jumlah amilosa rantai pendek DP 19-29 yang terbentuk melalui hidrolisis
amilase dan pululanase maupun lintnerisasi dengan hidrolisis asam kuat. Jumlah amilosa rantai pendek dapat dianalisis dengan teknik Gel Permeation Chromatography
GPC sebagaimana penelitian Faridah et al. 2010 pada pati garut. Faridah et al. 2010 dan Srichuwong et al. 2005 melaporkan bahwa pada nilai DP 25-30
komponen amilosa rantai pendek mampu berikatan dengan iodin I
2
sehingga membentuk warna biru tua kehitaman. Amilosa rantai pendek dengan DP 25-30
tersebut dapat dihasilkan dari hidrolisis amilopektin pada ikatan percabangan α-1,6
glikosidik oleh enzim pululanase Srichuwong et al. 2005 dan Faridah et al. 2010. Hasil analisis korelasi antara gula pereduksi dengan pati resisten menunjukan
bahwa kedua variabel tersebut memiliki tingkat korelasi yang sangat lemah dengan nilai koefisien yaitu R = 0,132 Gambar 13 g. Dengan demikian peningkatan kadar gula
pereduksi dalam pati talas tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan kadar pati resisten selama pengolahan. Korelasi ini sesuai dengan laporan Zaragoza et al. 2010
dan Moongngarm 2013. Beberapa faktor lain yang berpengaruh dalam penurunan kadar pati resisten pada TTM diantaranya adalah kadar lemak dan protein. Kadar
protein dan lemak pada pati talas berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi dan kadar pati resisten yang terbentuk. Kadar lemak 0,64-0,74 dan protein 1,87-2,53 pada talas
akan menghambat proses retrogradasi pati talas sehingga menyebabkan rendahnya kadar pati resisten pada TTM. Moongngarm 2013 melaporkan bahwa setelah dilakukan
hidrolisis protein dan lemak, maka kadar pati resisten meningkat secara signifikan.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa kadar pati resisten dalam basis bobot sampel TTM memiliki korelasi yang sangat kuat hampir sempurna terhadap
kadar pati resisten dalam basis total pati dengan nilai koefisien korelasi mencapai R = 0,998 Gambar 13 h. Hasil ini membuktikan bahwa terjadinya peningkatan kadar pati
resisten dalam sampel sangat berkorelasi positif terhadap peningkatan kadar pati resisten dalam total pati Tabel 12. Korelasi ini sesuai dengan laporan Zaragoza et al.
2010 dan Moongngarm 2013. 4.3. Sifat Prebiotik Tepung Talas Modifikasi
Pengujian sifat prebiotik dilakukan pada TTM terpilih dengan perlakuan fermentasi dengan 1 siklus OC FOC-1S karena memiliki kadar RS yang tinggi dan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan OC-2S maupun FOC-2S. BAL probiotik yang diujikan yaitu L. plantarum D-240 dan L. acidophilus LIPIMC-080 telah diklaim
sebagai bakteri probiotik yang bermanfaat bagi sistem pencernaan manusia Huebner et al. 2007 dan Robertfroid et al. 2007. Kedua BAL tersebut memiliki sifat
mikroaerofilik sampai anaerobik fakultatif. Pada penelitian ini juga dilakukan evaluasi sifat prebiotik terhadap tepung talas kontrol tanpa fermentasi. Pengujian sifat prebiotik
yang dilakukan meliputi: ketahanan RS terhadap cairan lambung artifisial, viabilitas bakteri asam laktat, efek prebiotik dan indeks prebiotik, serta aktivitas prebiotik TTM
terhadap bakteri penyebab diare.
4.3.1. Ketahanan RS terhadap cairan lambung artifisial