Pengaruh pembelajaran konstektual terhadap kemampuan koneksi Matematika siswa : studi eksperimen di Kelas X SMK Negeri 11 Jakarta
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh:
Dwi Kurniati Zaenab
105017000416
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1431 H
(2)
Skripsi berjudul “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa”, disusun oleh Dwi Kurniati Zaenab, Nomor Induk Mahasiswa 105017000416, Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, Juni 2010
Yang Mengesahkan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Kadir, M.Pd Firdausi, M.Pd NIP. 19670812 199402 1 001 NIP. 19690629 200501 1 003
(3)
Kemampuan Koneksi Matematik Siswa” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 14 Juni 2010 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar sarjana S1 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Matematika.
Jakarta, Juni 2010
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Jurusan/Prodi Tanggal Tanda Tangan
Maifalinda Fatra, M.Pd
NIP. 19700528 199603 2 002 ... ...
Sekertaris Jurusan/Prodi Otong Suhyanto, M.Si
NIP. 19681104 199903 1 001 ... ...
Penguji I
Otong Suhyanto, M. Si
NIP. 19681104 199903 1 001 ... ...
Penguji II
Dra. Muhlisrarini, M.Pd
NIP. 19680712 199903 2 001 ... ... Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A. NIP. 19571005 198703 1 003
(4)
Nama : Dwi Kurniati Zaenab NIM : 105017000416 Jurusan : Pendidikan Matematika Angkatan : 2005
Alamat : Jl. Pengukiran V no. 47 RT. 008/RW. 02, Tambora, Jakarta-Barat, 11240
MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA
Bahwa skripsi yang berjudul Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:
1. Nama : Dr. Kadir, M.Pd
NIP : 19670812 199402 1 001 Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika 2. Nama : Firdausi, M.Pd
NIP : 19690629 200501 1 003 Dosen Jurusan : Pendidikan Matematika
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.
Jakarta, Juni 2010 Yang Menyatakan
(5)
i
ABSTRAK
DWI KURNIATI ZAENAB (105017000416), “Pengaruh Pembelajaran
Kontekstual Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juni 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemampuan koneksi matematik siswa setelah diterapkan pembelajaran kontekstual dan pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematik. Penelitian ini dilakukan di SMK Negeri 11 Jakarta tahun ajaran 2009/2010.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian randomize subjects postest only control group desain.
Subyek penelitian ini adalah 62 siswa yang terdiri dari 32 siswa untuk kelompok eksperimen dan 30 siswa untuk kelompok kontrol yang diperoleh dengan teknik
cluster random sampling pada siswa kelas X.
Pengumpulan data dilakukan setelah diberi perlakuan diperoleh dari nilai tes kemampuan koneksi matematik siswa pada pokok bahasan program linear. Tes yang diberikan terdiri dari 7 soal bentuk uraian, dengan koefisien reliabilitas interater 0,67.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa setelah diterapkan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada kemampuan koneksi matematik siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional, dan pembelajaran kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan koneksi matematik siswa. Rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.
(6)
ii
ABSTRACT
DWI KURNIATI ZAENAB (105017000416), “The effect of Contextual Teaching
and Learning to Students Mathematical Connection”. Thesis for Math Education, Faculty of Tarbiya and Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, June 2010.
The purpose of this research is to discover the effect of Contextual Teaching and Learning to Students Mathematical Connection. The research was conducted at SMK Negeri 11 Jakarta for academic year 2009/2010.
The method used in this research is quasi experimental method with the randomize subjects postest only control group desain. Subject for this research are 62 students consist of 32 students for experimental group and 30 for control group which selected in cluster random sampling technique from 10th grade. The data collection after being given obtained from the test score of students mathematical connection at the subject of linear programming. Test consisted of 7 question in essay, with the coefficient of interater reliability is 0,67.
The result of this research reveald that the students mathematical connection who taught with contextual teaching and learning is better than who taught with conventional learning, and there is effect of Contextual Teaching and Learning to Students Mathematical Connection. The students who taught with Contextual Teaching and Learning have mean score of students mathematical connention higher then who taught with conventional learning.
(7)
iii
KATA PENGANTAR
ﻳﺤرﻟاﻦ ﺤرﻟاﷲا ﺳﺑ
Alhamdulillah segala puji kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat serta hidayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Matematika pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerja keras, do’a, perjuangan, kesungguhan hati dan bimbingan, pengarahan, serta dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika. 3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si, selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan
Matematika.
4. Bapak Dr. Kadir, M.Pd, selaku pembimbing I yang penuh kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan-masukan penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Firdausi, M.Pd, selaku pembimbing II yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dra. Muhlisrarini, M.Pd, selaku penasehat akademik yang selalu memberikan bimbingan dan nasihat kepada penulis selama proses mengikuti perkuliahan.
7. Seluruh Dosen dan Staff Jurusan Pendidikan Matematika.
8. Bapak Drs. H. Badrun Sjabirin, MM selaku kepala SMK Negeri 11 Jakarta Barat yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung.
(8)
iv
9. Ibu Dwi Novianti, S.Pd, selaku guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian.
10. Teristimewa untuk kedua orang tuaku, Bapak Abul Khair dan Umi Maryam yang selalu penulis banggakan dan sayangi. Mereka tak henti-hentinya mendo’akan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teristimewa untuk keluargaku, kakak dan adikku tersayang, Sakinah dan Muhammad Rayhan yang senantiasa memberikan motivasi, dukungan, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Siswa dan siswi SMK Negeri 11 Jakarta Barat, khususnya kelas AP 1 dan AP 2 yang telah membantu selama penulis mengadakan penelitian.
13. Sahabat-sahabat seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2005, kelas A dan B yang tidak dapat disebutkan satu persatu. semoga kebersamaan kita menjadi kenangan indah untuk mencapai kesuksesan dimasa mendatang.
14. Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, dan informasi serta pendapat yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT dapat menerima sebagai amal kebaikan atas jasa baik yang diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan karena terbatasnya kemampuan penulis. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya.
Jakarta, Juni 2010 Penulis
(9)
v
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Maslah ... 7
D. Perumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Penelitian ... 8
BAB II DESKRIPSI TEORITIK DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 10
A.Deskripsi Teoritik ... 10
1. Kemampuan Koneksi Matematik ... 10
a. Pengertian Matematika ... 10
b. Koneksi Matematik ... 12
1. Pengertian dan Tujuan Koneksi Matematik ... 12
2. Jenis-jenis Koneksi Matematik ... 15
c. Kemampuan Koneksi Matematik ... 18
2. Pembelajaran Kontekstual ... 19
a. Pengertian Belajar dan Pembelajaran ... 19
b. Pembelajaran Kontekstual ... 22
3. Pembelajaran Konvensional ... 32
(10)
C.Kerangka Berpikir ... 36
D.Hipotesis Penelitian ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
B. Metode dan Desain Penelitian ... 38
C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 39
D. Teknik Pengumpulan Data ... 40
1. Variabel yang Diteliti ... 40
2. Sumber Data ... 40
3. Instrumen Penelitian ... 40
a. Definisi Konsep Kemampuan Koneksi Matematik ... 40
b. Definisi Operasional Kemampuan Koneksi Matematik ... 41
4. Uji Instrumen Penelitian ... 41
a. Uji Validitas ... 41
b. Reliabilitas Interrater ... 44
E. Teknik Analisis Data ... 44
1. Uji Persyaratan Analisis ... 44
a. Uji Normalitas ... 45
b. Uji Homogenitas ... 46
2. Uji Hipotesis Penelitian ... 47
F. Hipotesis Statistik ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Deskripsi Data ... 49
1. Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen ... 50
2. Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Kontrol ... 51
B. Hasil Analisis Data ... 54
1. Hasil Pengujian Prasyarat ... 54
a. Uji Normalitas ... 54
(11)
2. Hasil Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ... 55
a Pengujian Hipotesis ... 56
b Pembahasan ... 58
C. Keterbatasan Penelitian ... 60
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
(12)
viii
Tabel 1. Perbandingan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran
Konvensional ... 33
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Tes ... 42
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen ... 50
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Kontrol ... 52
Tabel 5. Perbandingan Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 54
Tabel 6. Hasil perhitungan Uji Normalitas ... 55
Tabel 7. Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 56
(13)
ix
Gambar 1. Standar Proses Koneksi Matematik ... 13 Gambar 2. Desain Penelitian ... 38 Gambar 3. Grafik Historam dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan
Koneksi Matematik Kelompok Eksperimen ... 51 Gambar 4. Grafik Histogram dan Poligon Distribusi Frekuensi Kemampuan
Koneksi Matematik Kelompok Kontrol ... 53 Gambar 5. Kurva Uji Perbedaan Data Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 57
(14)
x
Lampiran 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas Eksperimen .... 68
Lampiran 3. Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 92
Lampiran 4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas Kontrol ... 119
Lampiran 5. Penilaian Instrumen Kemampuan Koneksi Matematik Oleh para rater ... 136
Lampiran 6. Hasil Penilaian Validitas Isi Oleh Para Rater ... 143
Lampiran 7. Reliabilitas Interrater ... 144
Lampiran 8. Instrumen Tes ... 146
Lampiran 9. Pedoman Penskoran ... 149
Lampiran 10. Nilai Kemampuan Koneksi Matematik ... 155
Lampiran 11. Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan, dan Kurtosis Kelompok Ekspermen ... 156
Lampiran 12. Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi, Mean, Median, Modus, Varians, Simpangan Baku, Kemiringan, dan Kurtosis Kelompok Kontrol ... 159
Lampiran 13. Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen ... 162
Lampiran 14. Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol ... 164
Lampiran 15. Perhitungan Uji Homogenitas ... 166
Lampiran 16. Perhitungan Uji Hipotesis Statistik ... 167
Lampiran 17. Nilai Kritis Distribusi Kai Kuadrat (Chi Square) ... 169
(15)
1
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa kalah bersaing dalam menjalani era globlisasi tersebut. Pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11 yaitu:
Artinya: …. niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadilah: 11)
Berdasarkan ayat di atas, Allah memberikan perbedaan untuk orang yang berilmu serta meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu manusia memiliki kewajiban untuk selalu belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan.
Pendidikan merupakan keseluruhan proses dimana seorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai positf dalam masyarakat ditempat hidupnya.1 Salah satu jalur pendidikan yang sangat akrab di lingkungan kita adalah pendidikan formal yang pelaksanaannya telah diatur oleh pemerintah. Pendidikan formal pada intinya
1
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar&Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 2
(16)
adalah kegiatan belajar mengajar. Komponen yang terlibat dalam proses belajar ini meliputi: guru, siswa, kurikulum dan sarana penunjang pendidikan. Siswa merupakan komponen utama diantara komponen-komponen yang lain, sebab siswa merupakan obyek yang akan dididik dan dibimbing untuk menjadi manusia-manusia yang berkualitas dan tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin maju.
Salah satu mata pelajaran yang diberikan disetiap jenjang pendidikan adalah matematika. Pendidikan matematika yang diberikan di sekolah memberikan sumbangan penting bagi siswa dalam pengembangan kemampuan yang sejalan dengan tujuan pendidikan. Menurut Depdiknas (2006:388) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika di SD, SMP, SMA, dan SMK bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:2
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Tujuan tersebut di atas hanya bisa dicapai melalui pembelajaran yang berakhir pada pemahaman siswa yang komprehensif tentang materi yang disajikan. Artinya pemahaman siswa tidak sekedar memenuhi tuntutan pembelajaran matematika secara substansif saja, akan tetapi diharapkan muncul “efek ringan” dari pembelajaran matematika. Astuti dan Zubaidah mengatakan bahwa efek ringan tersebut adalah (1) memahami keterkaitan antar topik
2
Fadjar Shadiq, Apa dan Mengapa Matematika itu Begitu Penting?, dari www.fadjarp3g.files.wordpress.com, 30 Oktober 2009. 14.30 WIB hal: 8
(17)
matematika, (2) memahami akan pentingnya matematika bagi bidang lain, (3) mampu berpikir logis, kritis dan sistematis, (4) kreatif dan inovatif dalam mencari solusi pemecahan masalah, (5) peduli pada lingkungan sekitar.3
Berdasarkan data hasil studi TIMSS tahun 2007 untuk siswa kelas VIII, menempatkan siswa Indonesia pada urutan ke-36 dari 49 negara dengan nilai rata-rata untuk kemampuan matematika secara umum adalah 397. Nilai tersebut masih jauh dari standard minimal nilai rata-rata kemampuan matematika yang ditetapkan TIMSS yaitu 500. Prestasi siswa Indonesia ini berada dibawah siswa Malaysia dan Singapura. Siswa Malaysia memperoleh nilai rata-rata 474 dan Singapura memperoleh nilai rata-rata 593.4 Skala matematika TIMSS-Benchmark Internasional menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada peringkat bawah, Malaysia pada peringkat tengah, dan Singapura berada pada peringkat atas. Padahal jam pelajaran matematika di Indonesia 136 jam untuk kelas VIII, lebih banyak dibanding Malaysia yang hanya 123 jam dan Singapura 124 jam.5 Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya prestasi belajar matematika.
Rendahnya prestasi belajar matematika dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya pemahaman terhadap konsep-konsep yang telah diajarkan karena proses pembelajaran di sekolah pada umumnya berpusat pada guru. Pelaksanaan pembelajaran matematika sebaiknya harus mengacu pada empat pilar pendidikan universal yang disarankan UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together.6
Melalui proses learning to know siswa akan memiliki pemahaman dan penalaran akan matematika dari hasil dan proses yang terkoneksikan, serta dari mana asal muasal konsep, dan ide-ide matematika terbentuk. Melalui proses mengetahui akan matematika, siswa akan memiliki potensi untuk
3 Dwi Astuti, dan Zubaidah, 2007, Pengembangan Model Pembelajaran yang
Berorientasi Contextual Open-Ended Problem Solving untuk Meningkatkan Koneksi Matematika Siswa dalam Pembelajaran Matematika di SMA, (Pontianak: Universitas Tanjungpura, Laporan Penelitian) hal.1
4
Ina V.S. Mullis, dkk, “TIMSS 2007 International Mathematics Report”, dari http://timss.bc.edu/TIMSS2007/techreport.html, 6 September 2009, 17.00WIB, hal. 38.
5
Ibid., hal: 195.
6
Wina Sanjaya, M.Pd. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. (Jakarta: kencana) h.97
(18)
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau bidang studi lainnya. Proses learning to do memberi kesempatan pada siswa untuk terampil dalam mengkoneksikan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan baru, sehingga dalam benaknya tercipta bahwa ide-ide/konsep matematika terjalin dari suatu hubungan yang erat, dan tak dapat terpisah berdiri sendiri. Proses
learning to be matematika bersamaan dengan proses learning to do, sehingga siswa akan memahami dan menghargai terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses serta terbentuknya matematika. Sedangkan melalui learning to live together siswa akan diberi kesempatan untuk belajar secara berkelompok, bekerja sama, bertukar pikiran-sharing dan saling menghargai.
Untuk mencapai kemampuan yang diharapkan keempat pilar UNESCO, maka pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan pada pengembangan daya matematis (mathematical power). Istilah daya matematis tidak tercantum secara eksplisit dalam kurikulum pembelajaran matematika di Indonesia, namun tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum di Indonesia mengisyaratkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai yaitu7: kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan berargumentasi (reasoning), kemampuan berkomunikasi (communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan representasi (representation).
Hal serupa dikemukakan Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa “belajar matematika akan berhasil jika proses pengajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur”.8 Kemampuan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan yang lainnya; kemampuan untuk mengaitkan matematika dengan disiplin ilmu lain; dan kemampuan untuk mengaitkan matematika dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari; merupakan kemampuan koneksi matematik.
7
Mumum Syaban, ”Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa” dari:
http://educare.e-fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=7 (EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, volume 5, nomor 2, Februari 2008), hal: 2, 20 September 2009, 13.00 WIB.
8
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, Startegi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA Universitas Pendidikan Indonesia, 2001) hal:44
(19)
Kemampuan koneksi matematik penting dimiliki siswa karena kemampuan tersebut akan membuat pemikiran dan wawasan siswa semakin luas; siswa memandang bahwa matematika adalah suatu keseluruhan yang padu, bukan sebagai materi yang berdiri sendiri-sendiri; siswa dapat mengetahui manfaat matematika di sekolah maupun di luar sekolah. Namun Ruspiani (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa kemampuan koneksi matematik siswa masih tergolong rendah.9 Ruspiani mengungkap bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain, 44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematikdengan kehidupan keseharian.
Hal ini disebabkan oleh pembelajaran matematika di kelas masih cenderung menggunakan paradigma lama dengan menyajikan pengetahuan matematika tanpa mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Masalah-masalah aplikasi dari konsep matematika jarang diberikan dalam pembelajaran. Selain itu konsep yang diberikan dalam bentuk jadi dan pembelajaran ditekankan pada drilling untuk mengejar perolehan nilai Ujian Nasional. Hal serupa juga dikemukakan oleh Lia Kurniawati berdasarkan hasil studi pendahuluannya ditemukan bahwa pembelajaran dimulai dengan guru menjelaskan materi terlebih dahulu di depan kelas dilanjutkan memberi beberapa latihan soal, untuk soal serupa dengan contoh yang diberikan oleh guru, tampak sebagian besar siswa melihat cara-cara yang ada di papan tulis untuk menyelesaikannya, tetapi ketika soal yang diberikan sedikit berbeda dengan contoh, siswa terlihat tidak mampu dalam menyelesaikannya.10
Untuk memperoleh kemampuan koneksi matematik yang dapat menunjang hasil belajar matematika, diperlukan suatu pembelajaran yang memberikan banyak peluang kepada siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dari masalah dunia nyata, melatih siswa untuk mencari hubungan/menghubungkan
9
Ruspiani, Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika, (Tesis Bandung: UPI), td
10
Lia kurniawati dan Siti Chodijah, ”Pengaruh Pendekatan Contextual Learning pada Materi Bangun Ruang Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas VII”. Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika vol.2 no.2,
(20)
konsep-konsep yang akan dan sudah dikuasai dan menemukan hubungan antar konsep matematika dengan pelajaran lain.
Menurut Hernowo pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.11
Hal tersebut berarti bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendorong mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya. Beberapa penelitian mengenai pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika memberikan hasil bahwa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep dan hasil belajar matematik siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, timbullah keinginan penulis untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut, yang diberi judul “PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIK SISWA”
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Masih rendahnya hasil belajar matematika siswa 2. Masih rendahnya kemampuan koneksi matematik siswa 3. Pembelajaran matematika selama ini cenderung konvensional
11
(21)
C.
Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah proses penelitian maka penulis membatasi permasalahan hanya pada:
1. Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil suatu masalah, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi mengenai masalah kontekstual yang diberikan, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas.
Pembelajaran kontekstual disini adalah siswa lebih banyak belajar sendiri, tidak semua materi program linear disampaikan secara final tetapi beberapa bagian harus dicari dan diidentifikasikan oleh pelajar sendiri dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru, sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan mereka. Dalam pembelajaran ini tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu diberikan kepada siswa untuk dipecahkan.
2. Koneksi matematika
Koneksi matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah koneksi internal dan eksternal yaitu kemampuan siswa dalam mengaitkan konsep matematika yang sedang dibahas dengan konsep matematika lain dan koneksi matematika dengan bidang ilmu lain yang berhubungan dengan konsep yang sedang dibahas atau berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. 3. Penelitian dibatasi pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan
sampel sebanyak dua kelas untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Adapun pokok bahasan yang akan dijadikan penelitian adalah program linear
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kemampuan koneksi matematik siswa setelah diterapkan pembelajaran kontekstual?
(22)
2. Apakah kemampun koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih baik dari siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional?
E.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. bagaimana kemampuan koneksi matematik setelah diterapkan pembelajaran kontekstual.
2. apakah kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
F.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk digunakan oleh beberapa pihak, diantaranya:
1. Bagi siswa
Penerapan pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep, meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa, mendorong siswa untuk menyenangi matematika sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar matematika dan dapat berperan aktif dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya sehingga dapat melatih dan mengembangkan daya matematis siswa
2. Bagi guru
Guru memperoleh pengalaman dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran kontekstual. Diharapkan guru dapat mengembangkan model, pendekatan atau strategi pembelajaran yang bervariasi dalam rangka memperbaiki kualitas pembelajaran matematika bagi siswanya.
3. Bagi sekolah
Memanfaatkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan maksud untuk meningkatkan kualitas sekolah dan peningkatan mutu pendidikan.
(23)
4. Bagi peneliti
Penelitian ini dapat memberikan pengalaman langsung kepada peneliti sebagai calon guru dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif serta implementasinya di sekolah/di lapangan, yaitu dengan menerapkan pembelajaran kontekstual.
(24)
10
A.
Deskripsi Teoritik
1.
Kemampuan Koneksi Matematik
a.
Pengertian Matematika
Istilah mathematics (Inggris), mathematic (Jerman), mathematique (Perancis), matematico (Italia), matematiceski (Rusia) atau mathematick/wiskunde (Belanda) berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike, yang berarti “relating to learning”. Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar atau berfikir.1
Menurut Rusefendi matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran2. Sedangkan menurut beberapa ahli seperti Kline, Lerner, Johnson dan Myklebust berpendapat bahwa matematika adalah bahasa simbolis3. NRC (National Reasearch Council) di Amerika Serikat menyatakan dengan singkat bahwa: ”Mathematics is a science of pattern in order”.4 Matematika adalah ilmu yang membahas tentang pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order).
Sedangkan menurut Paling (1982) dalam Abdurahman berpendapat bahwa:
matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi; menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran,
1
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, Startegi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA Universitas Pendidikan Indonesia, 2001) hal:18
2 Ibid.
3 Mulyono Abdurahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hal: 252
4
Fadjar Shadiq, Apa dan Mengapa Matematika itu Begitu Penting?, dari www.fadjarp3g.files.wordpress.com , 30 Oktober 2009, 14.00 WIB hal: 6
(25)
menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan mnggunakan hubungan-hubungan.5
Berdasarkan pendapat Paling tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas setiap masalah yang dihadapinya, manusia akan menggunakan (1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi; (2) pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran; (3) kemampuan untuk menghitung; dan (4) kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Menurut Soejadi beberapa karakteristik yang dimiliki oleh matematika adalah:6 (1) memiliki obyek kajian yang abstrak, maksudnya adalah obyek dasar yang dipelajari matematika merupakan sesuatu yang abstrak sering juga disebut obyek mental yaitu fakta, konsep, operasi atau relasi, dan prinsip (2) bertumpu pada kesepakatan, dalam matematika kesepakatan yang digunakan adalah aksioma dan konsep primitif yang sering digunakan untuk pembuktian dan pendefinisian, (3) memiliki simbol yang kosong, yaitu bahwa matematika mempunyai banyak simbol yang kemudian membentuk serangkaian simbol, selanjutnya membentuk model matematika seperti persamaan dan pertidaksamaan yang kosong sehingga akan tergantung terhadap permasalahan yang menakibatkan model itu, (4) memperhatikan semesta pembicaraan, (5) konsisten dalam sistemnya ini dapat dilihat jika a + b = x dan x + y = p maka a + b + x = p.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang terdiri dari suatu kumpulan sistem matematika yang setiap sistemnya memiliki struktur tersendiri dan bersifat deduktif. Penalaran deduktif bekerja atas dasar asumsi, yaitu kebenaran logis dari kebenaran sebelumnya, sehingga keterkaitan antar konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten.
5
Mulyono Abdurahman, loc.cit. 6
R. Soejadi, Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi DepDiknas, 2000), hal: 13-19
(26)
b.
Koneksi Matematik
1.
Pengertian dan Tujuan Koneksi Matematik
Pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Ada lima tujuan mendasar dalam belajar matematika yang dikenal dengan istilah standar proses daya matematis (mathematical power proses standards) yaitu:7
1) Kemampuan pemecahan masalah (problem solving); 2) Kemampuan berargumentasi/penalaran (reasoning); 3) Kemampuan berkomunikasi (communication); 4) Kemampuan membuat koneksi (connection); 5) Kemampuan representasi (represntation).
Salah satu standar kurikulum yang dikemukakan oleh NCTM di atas adalah koneksi matematik atau mathematical connection yang merupakan pengaitan matematika dengan pelajaran lain atau dengan topik lain.
Sumarmo (2003) menyatakan bahwa koneksi matematika (mathematical connection) adalah kegiatan yang meliputi:8 (1) mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur, (2) memahami hubungan antar topik matematik, (3) menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari, (4) memahami representasi ekuivalen konsep yang sama, (5) mencari representasi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, (6) menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.
Sedangkan menurut Suhenda koneksi matematik adalah ”hubungan satu ide atau gagasan dengan ide atau gagasan lain dalam lingkup yang sama atau bidang lain dalam lingkup yang lain”.9 Dari uraian di atas dapat
7
Mumum Syaban, ”Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa” dari: http://educare.e-fkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=7
(EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, volume 5, nomor 2, Februari 2008), hal: 2, 20 September 2009, 13.00 WIB
8
Ibid., hal: 6 9
Suhenda, Materi Pokok Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika 1-9, (Jakarta: Univversitas Terbuka, 2007), h.7.22
(27)
disimpulkan bahwa koneksi matematik adalah pemahaman menggunakan hubungan antara satu konsep matematika dengan konsep matematika lain atau dengan disiplin ilmu lain atau dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut NCTM standar koneksi untuk kelas IX – XII hendaknya memuat koneksi sehingga siswa mampu:10
1. Mengenal dan menggunakan koneksi/hubungan antara ide-ide matematika (recognize and use connection among mathematical ideas).
2. Memahami bagaimana ide-ide dalam matematika berhubungan dan membangun satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang padu (understand how mathematical ideas interconnect and build on one another to produce a coherent whole).
3. Mengenal dan mempergunakan matematika dalam konteks diluar matematika atau bidang lain (recognize and apply mathematics in contexts outside of mathematics).
Gambar 1. Standar Proses Koneksi Matematik.11
10
Principles and Standars for School Mathematics, (va: National Council of Teacher of Mathematics, 2000), dari http://www.nctm.org/standards/default.aspx?id=58 , h.300, 24 oktober 2009, 16.25 WIB
11
Pinellas County Schools Division of Curriculum and Instruction Secondary
Mathematics, Mathematical Power for All Students K-12, dari
(28)
Berdasarkan standar proses koneksi matematik di atas, dapat disimpulkan bahwa koneksi matematik di sekolah bertujuan untuk:
1. Membantu siswa menghubungkan konsep-konsep matematik untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematik, sehingga siswa dapat memandang matematika suatu keseluruhan yang padu bukan konsep atau materi yang berdiri sendiri
2. Mengembangkan pengetahuan siswa.
3. Menunjukkan bahwa matematika dapat bermanfaat untuk menyelesaikan kehidupan sehari-hari.
Didalam NCTM juga disebutkan “when students can see the connection across different mathematical content areas, they develop a view of mathematics as an integrated whole. As they build on their previous mathematical understandings while learning new concepts, students become increasingly aware of the connection among varios mathematical topics. As students knowledge of mathematics, their ability to use a wide range of mathematical representation , and their access to sophisticated technolohy and software increase. The connection they make with other academic diciplines, especially the science and social science, give them greater mathematical power”.12
Artinya ketika siswa mampu menghubungkan antar topik matematika yang berbeda, mereka mengembangkan pandangan bahwa matematika merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi. Sebagaimana mereka membangun pemahaman matematika sebelumnya sambil mempelajari konsep baru, siswa menjadi bertambah pengetahuannya tentang hubungan antar bermacam-macam topik matematika. Dengan pengetahuan matematika yang dimilikinya, mereka mampu menggunakan kemampuannya untuk cakupan yang lebih luas dengan kemampuan representasi matematik, dan mereka mampu menggunakan software dan teknologi yang canggih. Hubungan/koneksi yang mereka buat antar disiplin akademik, terutama dalam bidang science dan sosial memberikan mereka kemampuan matematika yang lebih tinggi.
12
(29)
2.
Jenis-jenis Koneksi Matematik
Berdasarkan tujuan dari koneksi matematik di atas, NCTM mengklasifikasikan koneksi matematik menjadi tiga macam yaitu:13 (1) koneksi antar topik matematika, (2) koneksi matematika dengan disiplin ilmu yang lain, dan (3) koneksi matematika dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Mikovch dan Monroe (1994: 371) menyatakan tiga koneksi matematik yaitu, koneksi dalam matematika, koneksi untuk semua kurikulum, dan dengan konteks dunia nyata.14 Kutz (1991: 272) berpendapat hampir serupa, ia menyatakan koneksi matematika berkaitan dengan koneksi internal dan koneksi eksternal. Koneksi internal memuat koneksi antar topik matematika, sedngkan koneksi eksternal memuat koneksi matematika dengan displin ilmu dan dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari.15 Sedangkan Riedesel (1996: 33-34) membagi koneksi matematika sebagai berikut: (1) koneksi antar topik dalam matematika, (2) koneksi antara beberapa macam tipe pengetahuan, (3) koneksi antara beberapa macam representasi, (4) koneksi dari matematika ke daerah kurikulum lain, (5) koneksi siswa dengan matematika.16
Koneksi matematika yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi koneksi internal dan eksternal sesuai dengan pendapat Kutz. Koneksi internal meliputi koneksi antar topik matematika, sedangkan koneksi eksternal meliputi koneksi matematika dengan pelajaran lain atau dengan kehidupan sehari-hari.
13
Gusni Satriawati dan Lia Kurniawati, Menggunakan Fungsi-Fungsi Untuk Membuat Koneksi-Koneksi Matematik, (Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika vol.3 no.1, Juni 2008), hal: 97
14 Ibid 15
Ibid 16
(30)
a. Koneksi Internal
Koneksi internal atau koneksi antar topik matematika yaitu keterkaitan antara konsep/topik matematika yang sedang dipelajari dengan konsep/topik matematika yang lain. Bruner mengemukakan dalam dalil pengaitannya (konektivitas) bahwa ”matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat”.17 Materi yang satu mungkin merupakan materi prasyarat untuk menjelaskan materi yang lain. Pernyataan ini menunjukkan bahwa setiap topik terkait dengan topik lain dalam matematika sendiri. Ruspiani (2000) mengklasifikasian koneksi antar topik matematika sebagai berikut:18
1) Koneksi matematika yang digambarkan oleh NCTM, yaitu satu permasalahan yang diselesaikan dengan dua cara yang berbeda. Salah satu contohnya dalam materi sistem persamaan linear dua variabel, siswa dapat menyelesaikan soal atau permasalahan tersebut dengan cara geometri (grafik) atau dengan cara aljabar (eliminasi atau substitusi).
2) Koneksi bebas yakni topik-topik yang berhubungan dengan persoalan tidak ada hubungannya satu sama lain, namun topik-topik itu menyatu dalam satu soal. Salah satu contohnya adalah: Diketahui 4 suku pertama barisan aritmatika yaitu:
I. 5, 3, 2, 0, … II. 0, 2, 4, 6, … III. 4, 6, 8, 10, …
a. Tentukan rumus suku ke – n dari barisan I, II, dan III kemudian butlah grafik dari persamaan rumus tersebut
b. Diketahui x ≥ 0; y ≥ 0; jika E merupakan daerah yang dibatasi oleh barisan I, II, dan III, tentukan daerah E dan buatlah sistem pertidaksamaannya
17
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, op.cit., hal: 48 18
Ruspiani, Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika, (Tesis Bandung: UPI, 2000), h.13, td
(31)
Pada soal di atas topik utamanya adalah program linear. Masing-masing topik lepas satu sama lain dalam arti topik yang satu tidak bergantung pada topik yang lain.
3) Koneksi terikat yakni antara topik-topik yang saling terlibat koneksi bergantung satu sama lain. Salah satu contohnya adalah: Diketahui 4 buah matriks sebagai berikut:
jika
fungsi dengan syarat:
; ;
Tentukan nilai maksimum di M
Topik-topik yang terlibat dari permasalahan diatas adalah determinan matriks, dengan pertidaksamaan linear.
b. Koneksi eksternal
Koneksi eksternal terdiri dari koneksi matematik dengan pelajaran lain dan dengan kehidupan sehari-hari. Selain dalam ilmu pengetahuan eksak matematika juga membantu pengembangan disiplin ilmu lain, maupun dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan program linear adalah:
Ami menabungkan uangnya di bank Rp.20.000.000,00 dengan bunga 20% per tahun, bunga yang diberikan berbentuk bunga majemuk atau bunganya berbunga lagi pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun ke-4 uang Ami diambil, dan digunakan untuk memperbaiki kiosnya sebesar Rp.1.472.000 sisanya dijadikan modal usaha tas. Ami menjual dua jenis tas, yaitu tas model A dan tas model B. untuk tas model A ami menjual Rp.110.000,00 dengan keuntungan Rp.10.000,00/tas sedangkan untuk tas model B ami menjual Rp.87.500,00 dengan
(32)
keuntungan Rp.7.500,00/tas, jika kiosnya hanya dapat menampung 450 tas. Tentukan keuntungan maksimum yang diperoleh Ami.
c.
Kemampuan Koneksi Matematik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang diberi awalan ke- dan akhiran -an. Mampu memiliki arti kuasa (sanggup, bisa) melakukan sesuatu, dapat, sedangkan kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan kita berusaha dengan-diri sendiri.19 Kemampuan menurut (Littrell, 1984) seperti yang dikutip oleh Firdausi adalah ”kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktek”.20
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematik adalah kesanggupan siswa dalam menggunakan hubungan topik/konsep matematika yang sedang dibahas dengan konsep matematika lainnya, dengan pelajaran lain atau disiplin ilmu lain, dan dengan kehidupan sehari-hari dalam menyelesaikan masalah matematika.
Secara umum, kemampuan koneksi matematik dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal koneksi. Menurut Suhenda, seseorang dikatakan mampu mengaitkan antara satu hal dengan yang lainnya bila dapat melakukan beberapa hal dibawah ini:21
a) Menghubungkan antar topik atau pokok bahasan matematika dengan topik atau pokok bahasan matematika lainnya
b) Mengaitkan berbagai topik atau pokok bahasan dalam matematika dengan bidang lain atu hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
19
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka), hal: 707
20 Firdausi, ”Studi Korelasi Pengetahuan Matematika dengan Kemampuan guru mengevaluasi Hasil Belajar Siswa pada SMU Unggulan di DKI Jakarta ”. Algoritma Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika vol.1 no.002, h.182
21
(33)
Untuk dapat megukur sejauh mana siswa mampu melakukan koneksi matematik instrumen yang dibuat dapat memenuhi hal-hal berikut:
a) Membuat siswa menemukan keterkaitan antar proses dalam suatu konsep matematika
b) Membuat siswa menemukan keterkaitan antar topik matematika yang satu dengan topik matematika yang lain
c) Membuat siswa menemukan keterkaitan matematika dengan kehidupan nyata siswa.
2.
Pembelajaran Kontekstual
a.
Pengertian Belajar dan Pembelajaran
Belajar dapat diartikan suatu proses bagi seseorang untuk memperoleh kecakapan, keterampilan, dan sikap.22 Dalam perspektif psikologi pendidikan belajar adalah suatu perubahan tingkah laku dalam diri seseorang yang relatif menetap sebagai hasil dari sebuah pengalaman.23 Seperti dikutip dari Sardiman, menurut Cronbach, Harold Spears dan Geoch mengatakan bahwa ”belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya”.24 Sedangkan belajar menurut Gagne adalah perubahan kemampuan yang diperoleh seseorang melalui aktivitas.25
Biggs mendefinisikan belajar dalam 3 macam rumusan, ”yaitu: rumusan kuantitatif, institusional, dan kualitatif. Dalam rumusan ini kata-kata seperti perubahan dan tingkah laku tak lagi disebut secara eksplisit
22
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar & Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 117
23 Ibid.
24 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) hal. 20
25
Agus Suprijono, Cooperatif Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), hal:2
(34)
mengingat kedua istilah ini sudah menjadi kebenaran umum yang diketahui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan”26
Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa. Secara institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses ”validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang menunjukan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai dengan proses mengajar. Ukurannya, semakin baik mutu guru mengajar akan semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor. Pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia disekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Menurut pandangan konstruktivisme belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang.27
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar pada hakikatnya adalah perubahan seluruh tingkah laku seseorang yang besifat relatif konstan sebagai hasil pengalaman dan interaksi langsung dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama
26
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Jakarta: PT.Remaja Rosdakarya, 2008), hal: 91-92
27
(35)
keberhasilan pendidikan.28 Menurut Corey (1986:195) mengatakan bahwa pembelajaran adalah suatu prosess dimana lingkungan seseorang, secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi –kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.29
Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri maupun potensi yang ada di luar diri siswa.30 Menurut Zurinal pembelajaran adalah suatu usaha dan proses yang yang dilakukan secara sadar dan mengacu pada tujuan (pembentukan kompetensi) yang dengan sistmatik dan terarah pada terwujudnya perubahan tingkah laku.31
Sedangkan Pembelajaran menurut Fontana adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian proses belajar bersifat internal dan unik dalam diri individu siswa, sedangkan proses pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja direncanakan dan bersifat rekayasa prilaku.32 Sedangkan mengajar menurut H. Burton adalah upaya memberikan bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.33 Pengajaran adalah usaha menunjukkan atau membantu seseorang untuk belajar dan bagaimana melakukan sesuatu, memberi pengetahuan dan manfaat bagi seseorang.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal untuk mengarahkan peserta didik kedalam suatu proses belajar dengan
28
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Problematika Belajar dan Mengajar, (Bandung: Alfa Beta, 2007) hal. 61
29 Ibid 30
Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008) hal.26
31
Zurinal Z dan Wahyudi Sayuti, op.cit, hal: 117 32
Tim MKKB Jurusan Pendidikan Matematika, op.cit., hal: 8 33
(36)
memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri maupun potensi yang ada di luar diri siswa.
Pembelajaran memiliki dua karakteristik yaitu:34 (1) dalam proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal, bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berfikir. (2) dalam pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses tanya jawab terus-menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa, sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.
b.
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.35 Menurut Sanjaya Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.36
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal untuk mengarahkan peserta didik kedalam suatu proses belajar dimana guru
34
Ibid. hal: 63
35 Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007) , hal: 103
36
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. (Jakarta: kencana, 2005), hal: 108
(37)
menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus dipahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata siswa, artinya siswa dituntut untuk menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL:37
1. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru. Pengetahuan baru ini diperoleh dengan cara deduktif artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian memperhatikan detainya.
3. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
4. Memperaktekkan pengalaman dan pengetahuan tersebut (applying knowledge) artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat di aplikasikandalam kehidupan siswa.
5. Melakukan refleksi (reflection knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
37
(38)
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:38 (1) constructivisme (konstruktivisme, membangun, membentuk), (2) inquiry (penemuan), (3) questioning (bertanya), (4) learning comunity (masyarakat belajar), (5) modelling (pemodelan), (6) reflection (refleksi atau umpan balik), (7) authentic assesment ( penilaian yang sebenarnya).
Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni sebagai berikut:
1. Konstruktivisme
Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghapal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri, pengetahuan tumbuh berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam semakin kuat apabila selalu diuji oleh pengalaman baru. Menurut pandangan konstruktivisme guru hanya berperan sebagai motivator (memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar) dan fasilitator dalam membimbing siswa selama proses pembelajaran. Seperti yang dikemukakan Cobb bahwa belajar matematika merupakan proses dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.39 Dalam konstruktivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi kelas dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika.
Tujuan pembelajaran dalam pandangan konstruktivis adalah pemahaman. Pemahaman memberi makna apa yang dipelajari.
38
Trianto, op.cit., hal: 105 39
(39)
Pembelajaran merupakan proses aktif artinya pengetahuan baru tidak terbentuk dengan diberikan kepada siswa dalam bentuk jadi tetapi pengetahuan dibentuk oleh siswa itu sendiri dengan berinteraksi terhadap lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengetahuan baru dibangun dari struktur pengetahuan yang sudah ada, sedangkan akomodasi adalah struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengalaman baru.40 Konstruktivisme dalam hal ini berarti membangun atau membentuk sendiri pengetahuan mereka, dalam proses ini siswa dilatih untuk menemukan sendiri informasi atau masalah yang diberikan dengan difasilitasi pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kepada penemuan satu konsep.
2. Memfasilitasi kegiatan penemuan (inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan siswa diharapkan bukan hanya hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi juga hasil menemukan sendiri. Siklus inkuiri meliputi:41 (1) observasi (observation), (2) bertanya (questioning), (3) mengajukan dugaaan (hipotesis), (4) pengumpulan data, (5) penyimpulan sendiri.
Beberapa tahapan yang mungkin dilakukan dalam kegiatan inkuri adalah:42 (1) guru merangsang siswa dengan pertanyaan, masalah, permainan dan teka-teki, (2) sebagai jawaban atas rangsangan yang diterimanya, siswa menentukan prosedur, mencari dan mengumpulkan informasi atau data yang diperlukannya untuk memecahkan pertanyaan, pernyataan, atau masalah, (3) siswa menghayati pengetahuan yang diperolehnya dengan inkuri yang baru dilaksanakan, (4) siswa menganalisis metode inkuiri dan prosedur yang ditemukan untuk dijadikan metode umum yang dapat diterapkan ke situasi lain.
40 Masnur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstektual, (Jakarta: Bumi aksara, 2007), hal: 44
41
Syaiful Sagala, op.cit., hal: 89 42
(40)
Berdasarkan tahapan diatas, inkuiri diawali dengan langkah pengamatan dalam rangka pemahaman suatu konsep, dengan memberi pertanyaan yang dapat mengarahkan pengamatan menuju satu konsep yang menjadi tujuan pembelajaran. Untuk itu, siswa akan mencari tahu yang tentang hal-hal belum diketahuinya. Setelah apa yang belum diketahuinya terkumpul, siswa perlu merancang dan menganalisa data-data agar dapat menarik kesimpulan dari suatu masalah.
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan (questioning).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya dipandang sebagai upaya guru untuk mengaktifkan siswa, mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, sekaligus mengetahui kemampuan berpikir siswa. Sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya menunjukkan ada perhatian terhadap materi yang dipelajari dan ada upaya untuk menemukan jawaban sebagai bentuk pengetahuan. Bertanya diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang baru yang didatangkan di kelas. Realisasinya dalam pembelajaran bentuk questioning dilakukan pada semua aktivitas belajar, seperti: ketika siswa berdiakusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya.
4. Masyarakat Belajar (learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu kepada yang tidak tahu sehinnga terjadi komunikasi dua atau multi arah. Learning community terjadi apabila masing-masing pihak di dalamnya bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.43
43
(41)
Pada proses pembelajaran, guru hendaknya mampu menciptakan lingkungan belajar yang alamiah dan dinamis sehingga terjadi interaksi yang sehat antara guru dengan siswa atau antara siswa dengan siswa baik di dalam maupun di luar kelas.
5. Pemodelan (modeling)
Maksudnya dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Model berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olahraga, cara menyelesaikan soal, atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu.44 Dalam matematika, salah satu contoh pemodelan adalah bagaimana guru menyelesaikan soal. Guru memperagakan bagaimana langkah-langkah yang ditempuh dalam menyelesaikan soal dengan baik, bagaimana menemukan kata kunci dalam membuat model matematika.
Prosedur ini perlu ditiru oleh siswa, guru memberi model tentang bagaimana cara menyelesaikan soal dengan baik, namun demikian guru bukan satu-satunya model, seorang siswa bisa meniru melalui temannya atau pihak lain untuk hal-hal yang perlu ditiru.
6. Refleksi (reflection)
Reffleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu.45 Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas yang dilakukan atau pengetahuan yang diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses belajar. Pengetahuan yang diperoleh siswa diperluas melalui bimbingan guru. Guru membantu siswa membuat hubungan–hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan refleksi, merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru ia pelajari.
44
Sardiman, Interaksi&Motivasi Belajar-Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hal: 226
45
(42)
Wujud refleksi antara lain:46(1) pernyataan langsung siswa tentang apa-apa yang diperoleh siswa setelah melakukan pembelajaran; (2) catatan atau jurnal di buku siswa; (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran itu; (4) diskusi; (5) hasil karya.
Realisasinya dalam pembelajaran bentuk refleksi dilakukan dengan guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang setelah melakukan pembelajaran.
7. Penilaian sesungguhnya (authentic assesment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.47 Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melalui hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya salah satunya itulah hakekat penilaian yang sebenarnya. Ciri-ciri penilaian autentik adalah:48 (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) bisa digunakan formatif atau sumatif, (3) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, (4) berkesinambungan, (5) terintegrasi, (6) dapat digunakan sebagai feed back.
Realisasinya dalam pembelajaran bentuk penilaian sesungguhnya dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung yaitu dilakukan ketika diskusi kelompok dan setelah proses pembelajaran dilakukan dengan memberikan latihan.
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual, jika menerapkan komponen utama dalam pembelajarannya. Penerapan pembelajaran kontekstual secara garis besar langkah-langkahnya adalah:49 (1) kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan barunya; (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan; (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya; (4) menciptakan masyarakat belajar; (5)
46 Sardiman, opcit, hal: 227 47
Ibid, hal:227-228 48
Ibid, hal: 228-229 49
(43)
menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; (6) melakukan refleksi diakhir pertemuan; (7) melakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara.
Berdasarkan karakteristik dan komponen pendekatan kontekstual, beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual antara lain sebagai berikut:50
1. Pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu bentuk pengajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah.
2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar
Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan diberbagai konteks lingkungan siswa antara lain disekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar diluar kelas.
3. Memberikan aktivitas kelompok
Aktivitas belajar kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakpan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima, maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.
4. Membuat aktivitas belajar mandiri
Siswa mampu mencari, menganalisis, dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Agar dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang mereka peroleh).
50
(44)
5. Membuat aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat
Sekolah dapat melakukan kerjasama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus sebagai guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung, dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga apat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya siswa diminta untuk magang ditempat kerja.
6. Menerapkan penilaian autentik
Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar mengajar. Adapun bentuk penilaian yang dapat dilakukan oleh guru, yaitu portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.
Sedangkan Blancard (M.Nur, 2001) mengidentifikasi 6 strategi CTL sebagai berikut:51
1. Menekankan pada pemecahan masalah
2. Menyadari kebutuhan akan pengajaran dan pembelajaran yang terjadi dalam berbagai konteks seperti dirumah, masyarakat dan pekerjaan 3. Mengarahkan siswa memonitor dan mengarahkan pembelajaran mereka
sendiri sehingga mereka menjadi pembelajar yang mandiri
4. Mengaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
5. Mendorong untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama 6. Menerapkan penilaian autentik.
51
Mohammad Askin, Daspros Pembelajaran Matematika I, dari http://www.unnes.ac.id, 20 Januari 2010, 10:00 WIB
(45)
Berdasarkan karakteristik, komponen, serta strategi dalam pembelajaran kontekstual, maka beberapa tahapan yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Siswa dibuat kelompok kecil sekitar 4-5 orang dengan kemampuan yang heterogen.
2. Pada awal pembelajaran guru memberikan apersepsi, manfaat materi yang akan dipelajarinya serta membahas beberapa soal PR yang terpilih.
3. Kelompok siswa diberikan permasalahan kontekstual (dalam bentuk LKS) yang menantang siswa, agar mencari solusinya.
4. Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkoneksikan pengetahuan yang sudah dimilikinya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, baik secara berkelompok ataupun sendiri. 5. Guru menggunakan sistem tanya jawab yang interaktif antara siswa
dengan siswa ataupun siswa dengan guru, untuk menjelaskan hal yang tidak dimengerti oleh siswa.
6. Saat siswa mengerjakan LKS per kelompok, guru berkeliling kelas bertindak sebagai fasilitator dan moderator, dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan.
7. Saat siswa selesai berdiskusi secara berkelompok, perwakilan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusinya ke depan kelas. Melalui interaksi siswa diajak membahas permasalahan yang disajikan.
8. Diakhir pertemuan, diadakan refleksi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung. Siswa dapat merangkum hasil pembelajaran, selanjutnya guru memberikan beberapa soal latihan untuk dikerjakan dirumah.
(46)
3.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan suatu istilah yang lazim diterapkan dalam pengajaran matematika. Konvensional adalah sebuah pendekatan secara klasikal yang biasa digunakan olek setiap pendidik dalam mendidik siswanya, yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah pendekatan pengajaran yang menempatkan guru sebagai inti dalam keberlangsungan proses belajar mengajar. Guru memegang peranan penting dalam keberlangsungan proses belajar mengajar karena guru harus menjelaskan materi secara panjang lebar untuk menjamin materi tersebut dapat dipahami oleh semua peserta pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran konvensional lebih berpusat pada guru.
Menurut Depdiknas, dalam pembelajaran konvensional cenderung pada hapalan yang mentolerir respon-respon yang bersifat konvergen, menekankan informasi konsep, latihan soal dalam teks. Belajar hapalan mengacu pada penghapalan fakta-fakta, hubungan, prinsip dan konsep.52
Menurut Nasution menjelaskan bahwa ciri-ciri pembelajaran biasa adalah:53 (1) tujuan tidak dirumuskan secara spesifik dalam bentuk kelakuan yang dapat diamati dan diukur, (2) bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual, (3) kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru, (4) siswa umumnya pasif karena dominan mendengarkan uraian guru, (5) dalam hal kecepatan belajar, semua siswa harus belajar dengan kecepatan yang umum ditentukan oleh kecepatan guru mengajar, (6) keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif, (7) diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja hanya menguasai bahan pelajaran secara tuntas, sebagian lagi akan menguasainya sebagian saja, dan ada lagi yang gagal,
52
Doantara Yasa, Pembelajaran Konvensional, dari http://ipotes.wordpress/com/pembelajaran-konvensional, 20 Januari 2010, 11:20 WIB
53
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara) h.209-211
(47)
(8) guru terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan (sebagai sumber informasi/pengetahuan).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada umumnya dimana guru mendominasi kelas dengan metode ekspositori dan siswa hanya menerima saja apa yang disampaikan oleh guru, sehingga aktivitas siswa dalam pembelajaran menjadi pasif dan proses belajar siswa menjadi kurang bermakna.
Berdasarkan keterangan di atas ada beberapa pokok perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensinal. Perbedaan tersebut antara lain tertera dalam tabel dibawah ini:
Tabel 1
Perbandingan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional
No Pembelajaran Kntekstual/CTL Pembelajaran Konvensional 1 CTL menempatkan peserta didik
sebagai subjek belajar. Peserta didik berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menggali sendiri materi pembelajaran
Pembelajaran konvensional menempatkan peserta didik sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif
2 Dalam CTL peserta didik belajar melalui kegiatan kelmpok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi
Dalam Pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat inividual dengan menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
3 Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara real
Dalam Pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak.
4 Dalan CTL, kemampuan didasarkan atas penggalian pengalaman
Dalam Pembelajaran konvensional, kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan
(48)
5 Tujuan akhir dalam proses pembelajaran CTL dalah kepuasan diri
Tujuan akhir dalam proses pembelajaran konvensional dalah nilai atau angka.
6 Dalam CTL, perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya individu tidak melakukan perbuatan tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku itu merugikan dan tidak bermanfaat
Dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau
perilaku didasarkan oleh faktor dari luar dirinya, misalnya individu tidak melakukan sesuatu dikarenakan hukuman 7 Dalam CTL, pengetahuan yang
dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap peserta didik bisa berbeda dalam memakai hakikat pengetahuan yang dimilikinya
Dalam pembelajaran konvensional, kebenaran yang
dimiliki individu bersifat absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
8 Dalam CTL, peserta didik bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing
Dalam pembelajaran konvensional guru adalah
penentu jalannya proses pembelajaran
9 Dalam CTL, pembelajaran bisa terjadi dalam konteks dan seting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
Dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran hanya terjadi didalam kelas
10 Tujuan CTL adalah seluruh aspek perkembangan peserta didik. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran diukur dari berbagai cara, misalnya dengan evaluasi proses peserta didik, observasi, wawancara, dll
Dalam pembelajaran konvensional, keberhasilan biasanya diukur melalui tes
(49)
B.
Hasil Penelitian Yang Relevan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruspiani (2000) diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan koneksi matematis siswa masih tergolong rendah. Ruspiani mengungkap bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain, 44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian. Namun demikian, sikap siswa terhadap kemampuan koneksi matematis menunjukkan kearah yang positif.54
Selain itu hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan Tia Setiawati (2007) menunjukkan pendekatan contextual learning dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa 8-4 SMP Jayakarta. Hal ini bisa dilihat dari data yang diperoleh nilai rata-rata tes kegiatan siklus 1 meningkat jika dibandingkan rata-rata pada tes kegiatan pendahuluan dari 22,4 menjadi 61,4. Nilai rata-rata pada siklus 2 juga mengalami peningkatan yaitu 63,98. Begitu pula nilai rata-rata pada siklus 3 mengalami peningkatan yaitu 76,5. Hal ini menyebutkan bahwa pendekatan contextual learning dapat meningkatkan pemahaman konsep geometri siswa.55
Adapun hasil penelitian eksperimen yang dilakukan oleh I Made Sumadi (2005) menunjukkan ada pengaruh positif pendekatan kontekstual terhadap kemampuan penalaran dan komunikasi matematika siswa kelas II SLTP Negeri 6 Singaraja, serta terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang belajar dengan pendekatan kontekstual dan yang belajar dengan pendekatan konvensional, sehingga pendekatan kontekstual dapat diimplementasikan dalam pembelajaran matematika di kelas.56
54
Ruspiani, Op.Cit, hal: i 55
Tia Setiawati, Peningkatan Pemahaman Konsep Melalui Pendekatan Contextual Learning (Pendidikan Tindakan Kelas di SMP Jayakarta Pada Kelas VIII-4), (Skripsi, Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah), hal: I, td.
56
I Made Sumadi, Pengaruh Pendekatan Kontekstual Terhadap Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematika Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Singaraja, (Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Volume 38 No.1 Januari 2005), hal: 14
(50)
C.
Kerangka Berpikir
Salah satu standar proses dalam pembelajaran matematika adalah koneksi matematik. Kemampuan koneksi matematik adalah kemampuan siswa dalam mengaitkan atau menggunakan hubungan topik/konsep matematika yang sedang dibahas dengan konsep matematika lainnya, dengan pelajaran lain, atau dengan kehidupan sehari-hari didalam menyelesaikan latihan. Untuk dapat memperoleh kemampuan koneksi matematik yang menunjang hasil belajar matematika yang baik diperlukan suatu pembelajaran yang merangsang partisipasi aktif siswa. Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk memahami matematika keterkaitannya baik antar konsep matematika atau matematika kehidupan sehari-hari, sedangkan guru memberikan masalah kontekstual yang dapat merangsang siswa untuk menggunakan pengetahuan yang sudah dimilikinya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pembelajaran seperti ini diperoleh dengan menerapkan pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal untuk mengarahkan peserta didik kedalam suatu proses belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, guru dalam pembelajarannya mengaitkan antara materi yang akan diajarkannya dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama CTL yakni (1) constructivisme (konstruktivisme, membangun, membentuk), (2) questioning (bertanya), (3) inquiry (penemuan), (4) learning comunity (masyarakat belajar), (5) modelling (pemodelan), (6) reflection (refleksi atau umpan balik), (7) authentic assesment (penilaian yang sebenarnya).
(51)
Menurut pandangan konstruktivisme belajar merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang, sehinnga menjadi belajar bermakna seperti yang diungkapkan Ausubel dalam teorinya yaitu pada belajar bermakna proses belajar dimana pengetahuan baru yang dipelajari dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka pembelajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajajaran matematika karena pada pembelajaran kontekstual siswa melakukan suatu penemuan dengan mengaitkan atau menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, melalui serangkaian kegitan dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru. Dari kegiatan pembelajaran tersebut, terlihat ada keterkaitan antara pembelajaran kontekstual dengan kemampuan koneksi matematik siswa. Karena itu diduga pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik.
D.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti memberikan hipotesis penelitiannya adalah: “rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dari pada rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional”
(52)
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 11 Jakarta yang beralamat di Jl. Pinangsia I/20 Jakarta Barat 11110.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2009/2010 pada bulan Maret sampai dengan bulan April.
B.
Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen, yaitu penelitian yang mendekati percobaan sungguhan dimana tidak mungkin mengadakan kontrol atau memanipulasikan semua variabel yang relevan harus ada kompromi dalam menentukan validitas internal dan ekstenal sesuai dengan batasan-batasan yang ada.
Peneliti akan mengujicobakan pembelajaran kontekstual terhadap kemampuan koneksi matematik siswa, kemudian membandingkan hasil tes koneksi matematik siswa yang menggunakan pembelajaran kontekstual (kelas eksperimen) dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional (kelas kontrol) dalam pembelajaran matematika. Desain penelitian yang digunakan adalah randomize subjects postest only control group desain.1
R
Gambar 2. Desain Penelitian
1
Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakartta: Bumi Aksara, 2003), h. 185
E O1
x
(53)
Keterangan:
E : Kelompok eksperimen (pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual)
K : Kelompok kontrol (pembelajaran matematika dengan pembelajaran konvensional
R : Random X : Perlakuan
O1 : Hasil postest kelompok eksperimen
O2 : Hasil postest kelompok kontrol
C.
Populasi dan Teknik Pengambilan
Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya2. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut3. Keduanya merupakan salah satu syarat yang harus ditentukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengambil populasi target adalah seluruh siswa di SMK Negeri 11 Jakarta pada tahun ajaran 2009/2010. sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X yang terdaftar disekolah tersebut pada semester genapl tahun ajaran 2009/2010 sebanyak 6 kelas.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Setelah dilakukan sampling terhadap 6 kelas yang ada, diperoleh sampel adalah kelas AP (Administrasi Perkantoran) 1 sebagai kelas Eksperimen (yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran kontekstual) dan kelas AP2 sebagai kelas kontrol (yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional).
2
Sugiyono, 2002, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung:Alfa Beta), cet ke-9, hal: 57
3 Ibid.
(1)
Jika χ2hitung < χ2tabel , maka Ho diterima dan Ha ditolak
Jika χ2hitung≥χ2tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima
5. Membandingkan χ2tabel dengan χ2hitung
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
χ2
hitung < χ2tabel (4,99 < 7,82)
6. Kesimpulan
Karena χ2hitung < χ2tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya sampel
(2)
LAMPIRAN 14
PERHITUNGAN UJI NORMALITAS
KELOMPOK KONTROL
1. Hipotesis:
Ho : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Ha : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
2. Menentukan χ2tabel
Dari tabel kai kuadrat untuk jumlah sampel 30 pada taraf signifikasi (α) = 5% dan dk = K -3 = 6 – 3 = 3, diperoleh χ2tabel = 7,82
3. Menetukan χ2hitung
skor batas kelas z nilai z batas kelas luas z
tabel Ei Oi 14.5 -1.81 0.0349
15-21 0.1205 3.6150 3 0.1046 21.5 -1.01 0.1554
22-28 0.2600 7.8008 12 2.2605 28.5 -0.21 0.4154
29-35 0.3058 9.1732 9 0.0033 35.5 0.59 0.7212
36-42 0.1960 5.8804 2 2.5606 42.5 1.39 0.9172
43-49 0.0684 2.0530 3 0.4369 49.5 2.19 0.9856
50-56 0.0130 0.3896 1 0.9565 56.5 2.99 0.9986
Rata-rata 30.37
Simpangan baku 8.75
χ2
hitung 6.3224
χ2
(3)
Jika χ2hitung < χ2tabel , maka Ho diterima dan Ha ditolak
Jika χ2hitung≥χ2tabel , maka Ho ditolak dan Ha diterima
5. Membandingkan χ2tabel dengan χ2hitung
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
χ2
hitung < χ2tabel (6,32 < 7,82)
6. Kesimpulan
Karena χ2hitung < χ2tabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak artinya sampel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
(4)
LAMPIRAN 15
PERHITUNGAN UJI HOMOGENITAS
1. Hipotesis: Ho :
Ha :
2. Menentukan Ftabel dan Kriteria Pengujian
Dari tabel F untuk jumlah sampel 62 pada taraf signifikasi (α) = 5% untuk dk pembilang (varians terbesar) 31 dan dk penyebut (varians terkecil) 29, diperoleh dengan menggunakan microssoft excel Finv(0.025,31,29) = 2,08 ; maka
Ftabel = 2,08.
3. Kriteria pengujian
Dengan kriteria pengujian untuk uji homogenitas adalah:
jika Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima dan Ha ditolak maka homogen jika Fhitung ≥ Ftabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima maka tidak homogen 4. Menetukan Fhitung
Diketahui: varians terbesar (eksperimen) = 90,05 Varians terkecil (kontrol) = 76,65
5. Membandingkan Ftabel dengan Fhitung
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh, Fhitung≤ Ftabel (1,17 ≤ 2,08)
6. Kesimpulan
Berdasarkan pengujian dengan uji Fisher diperoleh Fhitung≤ Ftabel (1,17 ≤ 2,08)
dengan demikian Ho diterima, artinya kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang sama atau homogen.
2 2 2 1 σ σ = 2 2 2 1 σ σ ≠
(5)
PERHITUNGAN UJI HIPOTESIS STATISTIK
1. Hipotesis: Ho : µ1≤µ2 Ha : µ1 > µ2 Keterangan:
µ1 : rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa kelas eksperimen
µ2 : rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa kelas kontrol
2. Menentukan ttabel
Dari tabel distribusi t dengan taraf signifikasi (α) = 5% dan dk = (n1 + n2) – 2
= (32+ 30) – 2 = 60, diperoleh dengan menggunakan microssoft excel Tinv(0.1,60) = 1,6706 maka ttabel = 1,67
3. Kriteria pengujian
Jika thitung ≥ ttabel maka Ho ditolak
Jika thitung < ttabel maka Ho diterima
4. Perhitungan a. Varians (Sgab2)
b. Simpangan baku/Standar deviasi (Sgab)
(6)
c. Uji-t
5. Kesimpulan
Dari data yang diperoleh dan perhitungan menggunakan uji-t, terlihat bahwa thitung lebih besar atau sama dengan ttabel (2,76 ≥ 1,67), maka Ho ditolak yang
berarti Rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata kemampuan koneksi matematik siswa pada kelompok kontrol