Beban pelajaran yang tinggi. Menurut pendapat Pakar beban pelajaran yang Alokasi pelajaran untuk Pendidikan Lingkungan Hidup yang belum ada. Rasio guru dan siswa yang ideal. Menurut pendapat Pakar dalam pelaksanaan

tentang lingkungan hidup terutama jika dikaitkan dengan materi mata pelajaran dan inovasi dalam metodologi pembelajaran.

12. Materi pelajaran yang diintegrasikan dengan Pendidikan Lingkungan Hidup yang rendah

. Menurut pendapat Pakar, dalam proses belajar mengajar materi pelajaran yang dikaitkan dengan PLH belum dilakukan oleh guru. Hal ini selain tidak ada penekanan dari Departemen Pendidikan Nasional dan Kepala Sekolah juga erat kaitannya dengan terbatasnya kompetensi guru.

13. Beban pelajaran yang tinggi. Menurut pendapat Pakar beban pelajaran yang

tinggi merupakan salah satu kendala pada PLH, karena pada umumnya sekolah akan berkonsentrasi untuk menyiapkan siswa menghadapi mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional. Hal ini berkaitan dengan pencapaian persentase kelulusan siswa sehingga mempengaruhi kondite sekolah di masyarakat.

14. Alokasi pelajaran untuk Pendidikan Lingkungan Hidup yang belum ada.

Menurut pendapat Pakar tidak ada sekolah yang menambahkan waktu belajar secara khusus untuk PLH. Disamping itu guru dan siswa belum terbiasa dengan pola pikir yang holistik, sehingga ada persepsi pada sebagian guru dan siswa bahwa setiap mata pelajaran berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya dengan lingkungan.

15. Rasio guru dan siswa yang ideal. Menurut pendapat Pakar dalam pelaksanaan

kegiatan belajar mengajar guru memiliki kewajiban mengajar dengan jumlah jam mengajar dan jumlah kelas yang banyak, disamping itu guru juga dikejar target materi pelajaran akibatnya pembinaan siswa untuk PLH masih terabaikan. 16.Peranan keluarga dalam PLH yang rendah. Menurut pendapat Pakar, keluarga lebih menekankan kelulusan siswa dalam menempuh Ujian Nasional dan Ujian Sekolah, sehingga PLH merupakan program pendidikan yang kurang diperhatikan. Disamping itu Pakar mengemukakan bahwa keluarga belum sepenuhnya memberikan PLH di rumah. 17.Penghargaan terhadap prestasi lingkungan hidup yang kurang. Menurut pendapat Pakar, guru dan siswa yang memiliki perhatian yang terhadap lingkungan sekolah kurang mendapat apresiasi dari sekolah karena dianggap bukan prestasi yang dapat membawa nama sekolah. 18.Peranan Komite Sekolah terhadap Pendidikan Lingkungan Hidup yang rendah. Menurut pendapat Pakar, sekolah belum mengajak Komite Sekolah untuk berpartisipasi dalam PLH karena dianggap tidak ada kaitannya dengan Komite Sekolah. Selanjutnya faktor kendala dibuat model struktur elemen seperti yang disajikan pada gambar 5.4 berikut. Gambar 5.4. Diagram Model Struktural Elemen Kendala dalam PLH melalui KBK 11. Kompetensi Guru 3. Dukungan Dana 2. Sarana 9. Kerja sama dengan instansi 17. Penghargaan 5. Partisipasi 8. Informasi 12. Materi Pelajaran 15. Rasio ideal 1 Pengetahuan Masyarakat 14. Alokasi Waktu 13. Beban Pelajaran 4. Kebijakan Top down 6. Sangsi 7.MBS 10. Tim Monev V I II III IV VI VII VIII IX 16. Peranan Keluarga 18. Komite Sekolah Berdasarkan model yang disajikan pada gambar 5.4 dapat diketahui bahwa kendala yang dihadapi dalam PLH adalah kebijakan Pemerintah khususnya tentang Pendidikan Lingkungan Hidup yang masih bersifat sentralistik. Materi lingkungan hidup terintegrasi dalam mata pelajaran khususnya Biologi, Kimia, Geografi, Fisika, Sosiologi, Ekonomi, PKN sehingga dalam penyampaian materi tersebut guru dibatasi pada paket materi yang telah ditentukan dan kurang dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah serta potensi daerah. Dengan demikian kompetensi yang dapat dicapai hanya terbatas pada aspek pengetahuan yang sulit diaplikasikan. Dalam proses belajar mengajar guru hanya melaksanakan Silabus Mata Pelajaran yang telah ditetapkan pemerintah. Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah kini telah ada upaya dari pemerintah untuk memberikan kewenangan untuk mengembangkan Silabus Mata Pelajaran, akan tetapi di lapangan guru mengalami kesulitan untuk mengaitkan materi pelajaran dengan PLH. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya kompetensi guru. Kebijakan Pemerintah yang sentralistik pada waktu yang lalu masih berpengaruh pada pelaksanaan MBS sehingga ada kesan bahwa Kepala Sekolah hanya menjalankan kebijakan dari pusat. Dengan demikian Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah yang terintegrasi dalam mata pelajaran tidak dikembangkan dan diaplikasikan menjadi kegiatan yang bermanfaat bagi siswa dan masyarakat. Salah satu indikasi kurangnya perhatian pada PLH adalah sangsi bagi pelanggaran lingkungan hidup di sekolah yang rendah. Pada umumnya pemantauan terhadap siswa yang membuang sampah di sembarang tempat masih kurang dan sangsi terhadap pelanggaran hanya bersifat persuasif. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh lemahnya monitoring dan evaluasi terhadap sekolah. Dalam pelaksanaannya kegiatan Monitoring dan Evaluasi lebih menekankan pada kelengkapan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan lingkungan dan tidak memperhatikan pencapaian kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap lingkungan siswa. Pengaruh kebijakan yang sentralistik terhadap sekolah juga masih berdampak pada kegiatan belajar mengajar sehingga guru mengejar target kurikulum dengan cara memberikan beban pelajaran yang berat kepada siswa dan mengabaikan PLH. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya alokasi waktu di sekolah untuk PLH. Selain itu juga belum ada standar kompetensi tentang lingkungan yang perlu dicapai untuk ketiga aspek kompetensi yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku. Walaupun telah terjadi perubahan paradigma kurikulum, namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih menekankan kompetensi pengetahuan. Disamping itu terdapat peranan keluarga sebagai faktor intern siswa yang lebih menekankan kelulusan siswa dalam menempuh Ujian Nasional dan Ujian Sekolah dan kurang memperhatikan pendidikan lingkungan di rumah. Kurikulum Pendidikan yang mengabaikan PLH memberikan dampak pada rendahnya pengetahuan masyarakat tentang lingkungan yang ditunjukkan sikap masyarakat yang kurang peduli terhadap timbulnya berbagai masalah lingkungan. Pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap lingkungan menyebabkan masyarakat kurang merasakan manfaat lingkungan sebagai faktor penting yang mendukung kehidupan. Pengetahuan masyarakat yang rendah juga berdampak pada rendahnya partisipasi masyarakat dalam mendukung PLH. Hal ini diperlihatkan dengan rendahnya tuntutan masyarakat terhadap sekolah untuk melaksanakan PLH. Selanjutnya terbatasnya pengetahuan masyarakat juga akan menyebabkan kurangnya masukan masyarakat dalam hal PLH kepada sekolah melalui Komite Sekolah. Dalam pelaksanaan pendidikan sehari-hari tuntutan Komite Sekolah terhadap PLH dapat dikatakan rendah karena pencapaian kompetensi yang diharapkan masyarakat hanya terbatas pada kelulusan dari Ujian Sekolah dan Ujian Nasional serta dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sedangkan bagi lulusan SMA yang tidak melanjutkan sekolah berharap dapat segera bekerja dengan bekal kompetensi tentang lingkungan yang terbatas. Tidak adanya tuntutan masyarakat terhadap PLH menyebabkan kurangnya inovasi guru untuk bekerjasama dengan instasi yang terkait dengan PLH. Kurangnya instansi untuk mendukung PLH di sekolah juga disebabkan oleh kegiatan sekolah yang lebih terkonsentrasi pada paket Silabus Mata Pelajaran yang harus diselesaikan. Disamping itu juga disebabkan oleh tugas guru yang padat sebagai dampak dari rasio guru dan siswa yang belum ideal sehingga menyebabkan kurangnya guru dalam melakukan pembinaan terhadap siswa. Tugas guru yang padat juga berdampak pada terbatasnya kesempatan guru untuk memperoleh informasi tentang lingkungan hidup yang erat kaitannya dengan pengembangan materi pelajaran. Dalam proses belajar mengajar informasi materi pelajaran hanya terbatas pada buku pegangan, sedangkan upaya untuk memperoleh informasi lain kurang dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Padahal menurut Sunaryo 2002 ada hubungan yang positif antara penerimaan informasi meskipun diberikan secara nonformal dan perilaku dalam pengelolaan lingkungan. Kurangnya perhatian Komite Sekolah juga memberikan dampak pada rendahnya penghargaaan bagi siswa dan sekolah yang berprestasi di bidang PLH. Kendala lainnnya adalah alokasi dana untuk PLH yang sangat terbatas sehingga mempengaruhi upaya peningkatan kompetensi guru terutama untuk menemukan metode yang kreatif dalam PLH. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kusuma 2003 bahwa hambatan dalam proses belajar mengajar di sekolah adalah terbatasnya jumlah tenaga pengajar yang menguasai pengetahuan lingkungan hidup. Hambatan lainnya adalah ketersediaan bahan-bahan dan materi ajar tentang lingkungan hidup masih kurang baik secara kualitas maupun kuantitas. Berbeda dengan yang dikemukakan Kusuma 2003, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi materi pelajaran khususnya Biologi, Kimia, Fisika, Geografi, Sosiologi, Ekonomi menunjukkan muatan materi lingkungan hidup yang sangat banyak. Namun muatan materi yang banyak tersebut sebagian besar tidak dihubungkan dengan masalah-masalah lingkungan yang dihadapi siswa sehingga menjadi faktor penghambat pencapaian kompetensi siswa. Sebagai contoh dalam pelajaran Biologi khususnya dalam materi fotosintesis siswa dituntut untuk dapat menjelaskan proses biokimia di dalam kloroplast tanpa dikaitkann dengan respirasi, pencemaran udara, dan pemanasan global. Hal tersebut menimbulkan persepsi bagi siswa bahwa fotosintesis dan masalah lingkungan merupakan hal yang terpisah, apalagi jika dikaitkan dengan gerakan penghijauan di sekolah dan keterkaitannya dengan kesehatan. Contoh lainnya dalam pokok bahasan tentang keanekaragaman hayati siswa hanya dituntut untuk mengingat jenis tumbuhan dan hewan pada ekosistem tersebut tanpa mengaitkannya dengan rantai makanan dan dampak yang ditimbulkan jika adanya komponen yang hilang dari ekosistem tertentu. Upaya untuk memberikan pemahaman tentang lingkungan hidup dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksanaan PLH di sekolah dan luar sekolah, pengembangan kualitas SDM stakeholder yang berkaitan dengan pendidikan, mengembangkan sarana dan prasarana PLH dengan cara berinteraksi langsung dengan ekosistem, laboratorium, perpustakaan dan sebagainya. Peningkatan anggaran PLH, adanya materi yang berkaitan dengan PLH, pemanfaatan teknologi informatika, peran serta masyarakat, dan pengembangan metode pelaksanaan PLH. Dari sebanyak 18 faktor hambatan dalam pelaksanaan PLH tersebut di atas sebagian sesuai dengan faktor hambatan pelaksanaan PLH melalui kurikulum 1994 seperti yang dikemukakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional 2003 yaitu padatnya kurikulum, guru yang belum banyak mendapat pelatihan, materi PLH di sekolah yang belum aplikatif, dan rendahnya komitmen warga sekolah untuk mengimplementasikan PLH. Beberapa pendapat Pakar tersebut juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kusuma 2003 bahwa faktor penghambat PLH dalam Kurikulum 1994 adalah: 1. Kurangnya inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PLH. 2. Terbatasnya jaringan kerjasama antara pihak terkait baik dengan Pemerintah, Swasta, Industri, Lembaga Pendidikan Formal dan Non Formal serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. 3. Kurangnya informasi mengenai PLH sehingga pemahaman pelaku pendidikan terhadap pelaksanaan PLH masih kurang. 4. Kebijakan sekolah yang belum mendukung PLH. 5. Materi PLH kurang mendukung penyelesaian permasalahan lingkungan sekitarnya. 6. Sarana, prasarana, serta anggaran yang masih kurang memadai. 7. Lemahnya koordinasi antar instansi terkait dengan para pelaku pendidikan. 8. Pada beberapa Kabupaten belum ada Peraturan Daerah yang secara spesifik mengatur masalah PLH Sejalan dengan itu hasil penelitian Mashudi 1999 menunjukkan bahwa materi pelajaran IPA belum dapat menunjukkan sikap positif pada upaya pelestarian lingkungan karena kurikulum terlalu padat, adanya target Ebtanas dan UMPTN, materi yang berkaitan dengan lingkungan dianggap mudah sehingga cenderung ditinggalkan dan dianggap tidak penting. Menurut Zahara 2001 sikap inovasi yang akan menumbuhkan perilaku berwawasan lingkungan belum disentuh dalam proses belajar mengajar. Untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam menghadapi hambatan pelaksanaan PLH maka faktor-faktor hambatan tersebut perlu dimodelkan, sehingga akan diketahui faktor-faktor yang dapat dikatagorikan sebagai input terkontrol maupun input tidak terkontrol. Selanjutnya faktor hambatan yang termasuk dalam input terkontrol perlu dikelola sehingga dapat memperbaiki pelaksanaan PLH dalam sistem pendidikan di sekolah. Berdasarkan model kendala dalam pendidikan lingkungan hidup terdapat 13 faktor yang termasuk pada input terkontrol berupa faktor-faktor kendala yang dapat dikendalikan oleh sekolah yaitu: 1. MBS yang mendukung PLH 2. Sangsi terhadap pelanggaran lingkungan hidup di sekolah 3. Alokasi waktu untuk Pendidikan Lingkungan Hidup 4. Sarana dan prasarana 5. Kerjasama dengan Komite Sekolah. 6. Kerjasama dengan instansi terkait 7. Akses informasi 8. Peningkatan kompetensi guru 9. Pendanaan 10. Penghargaan terhadap prestasi 11. Beban pelajaran 12. Rasio ideal guru dan siswa 13. Materi PLH terintegrasi dengan mata pelajaran Dengan demikian sekolah merupakan komponen yang strategis untuk dapat memecahkan kendala dalam PLH. Salah satu faktor kendala dalam PLH adalah MBS yang pemecahannya dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong pelaksanaan otonomi pendidikan sehingga MBS dapat mendukung terlaksananya PLH dengan baik. Kepala Sekolah mempunyai peranan yang besar dalam MBS, sehingga dengan dukungan stakeholder pendidikan yang memahami PLH sekolah akan mampu menyelenggarakan PLH dengan mengelola 12 faktor hambatan lainnya. Sedangkan 4 faktor kendala yang digolongkan dalam input tak terkontrol, yaitu berupa faktor kendala yang tidak dapat diselesaikan oleh sekolah adalah: 1. Kebijakan yang top down, merupakan faktor yang sulit dikelola oleh sekolah karena berkaitan dengan pemerintah. 2. Pengetahuan masyarakat tentang lingkungan, merupakan faktor yang sulit dikelola oleh sekolah karena banyak faktor lain yang terkait. 3. Partisipasi masyarakat, merupakan faktor yang sulit dikelola sekolah karena sekolah tidak dapat menekan masyarakat untuk berpartisipasi dalam PLH. 4. Tim Monitoring dan Evaluasi, merupakan faktor yang sulit dikelola sekolah karena berada diluar sistem sekolah. Hasil analisis ISM juga memperlihatkan bahwa kendala dalam PLH adalah berupa Kebijakan Pemerintah yang dirasakan masih top down sehingga kurang memberikan otonomi kepada sekolah untuk melaksanakan MBS. Padahal MBS merupakan faktor penggerak dengan ketergantungan yang kecil dalam meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa tentang lingkungan seperti yang dapat dilihat pada sektor IV dalam gambar 5.5.. Faktor penggerak lainnya dengan ketergantungan kecil yang dapat meningkatkan kompetensi lingkungan hidup adalah Tim Monitoring dan Evaluasi PLH. Hasil analisis ISM dalam bentuk Matriks Driven Power Dependence selengkapnya disajikan pada Gambar 5.5. Gambar 5.5. Matriks Driven Power Dependence untuk Elemen Kendala PLH melalui KBK Keterangan Gambar: 1. Pengetahuan Masyarakat 10. Tim Monev 2. Sarana 11. Kompetensi Guru 3. Dukungan Dana 12. Materi Pelajaran 4. Kebijakan Top down 13. Beban Pelajaran 5. Partisipasi Masyarakat 14. Alokasi Waktu PLH 6. Sangsi 15. Rasio Ideal Guru dan Siswa 7. MBS 16. Peranan Keluarga 8. Informasi 17. Penghargaan terhadap Prestasi LH 9. Kerja sama dengan 18. Komite Sekolah Sumbu X : Dependence, Sumbu Y : Driven Power Ratio Ideal Guru dan SiswaPelajaran 2.1122.1212Ko Komptensi 12Sumbu222GuruKompetensi Guru 18 17 16 15 14 13 12 11 10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 1 3 4 6 7 9 10 11 12 17 18 15 8 5 14 13 16 petensi Guru Kompeteni Guru 5.10. Model Langkah Strategis PLH melalui KBK Untuk menentukan langkah strategis yang dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa terhadap lingkungan maka dibuat Model langkah stategis Gambar 5.6. Penyusunan model dilakukan melalui survey pakar sehingga diperoleh 6 enam langkah strategis yang dapat meningkatkan kompetensi siswa, yaitu: 1. Inovasi dalam metodologi pengajaran intrakurikuler yang mendukung PLH seperti eksperimen, studi lapangan, teknologi informatika, audio visual, membuat karya dalam bentuk tulisan ilmiah, alat peraga, maupun teknologi. 2. Memasukkan kegiatan PLH dalam program OSIS seperti penghijauan, pecinta alam, desa binaan, dan bakti sosial. 3. Siswa memberikan penyuluhan lingkungan hidup melalui kegiatan ekstrakurikuler kepada masyarakat sekitar sekolah seperti pengelolaan sampah, sanitasi, pengelolaan air, dan MCK yang sehat. 4. Mengikuti kegiatan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Instansi terkait, maupun mengadakan seminar dengan mengundang narasumber. 5. Meningkatkan kompetensi guru tentang PLH. 6. Mengadakan kegiatan intra dan ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi tentang lingkungan. Dari enam langkah strategis tersebut di atas faktor yang memiliki pengaruh besar dengan ketergantungan kecil adalah mengadakan kegiatan intra ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi. Hal ini sesuai dengan penelitian Gralton dkk 2004 yang mengemukakan bahwa untuk meningkatkan sikap dan perilaku siswa dibutuhkan inisiatif untuk mencari metode dalam PLH diantaranya melalui kegiatan diskusi intra dan ekstrakurikuler. Salah satu metode yang dapat meningkatkan kompetensi pengetahuan, sikap dan perilaku adalah melibatkan siswa dalam program konservasi lingkungan karena siswa akan aktif melakukan diskusi yang berkaitan dengan lingkungan Kruse dan Card, 2004. Sejalan dengan itu Heimlich dkk 2004 mengemukakan bahwa PLH perlu dimasukkan dalam kurikulum peningkatan kompetensi guru untuk dapat diimplementasikan. Sevillano dkk 2007 menyatakan bahwa diskusi tentang lingkungan setelah mengikuti tayangan yang berkaitan dengan lingkungan dapat meningkatkan kesadaran lingkungan hidup. Peningkatan kesadaran akan lingkungan hidup setelah mengikuti program televisi yang berkaitan dengan lingkungan juga dilaporkan oleh Lyons dan Breakwell 1994. Peningkatan sikap dan perilaku juga diperoleh setelah dilakukan pembahasan tentang materi lingkungan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan proteksi lingkungan, keseimbangan daya dukung kehidupan manusia dan alam Scott dan Willits, 1994. Selain itu pembahasan lingkungan yang dikaitkan dengan ekonomi juga dapat meningkatkan sikap dan perilaku Young dkk, 1994. Diskusi dapat melahirkan pengetahuan dan menimbulkan ide baru karena adanya tukar menukar informasi Lin, 2004. Hal ini juga didukung oleh Spies dkk 2005 yang mengemukakan bahwa dalam manajemen pengetahuan selain tukar menukar informasi juga terdapat pengembangan pengetahuan melalui berbagai sumber informasi. Untuk menemukan faktor penting dalam disain model Kurikulum berwawasan lingkungan dilakukan Analisis Prospektif untuk menyusun model KBK yang berkaitan dengan PLH, yang disajikan pada Gambar 5.7. Gambar 5.6. Matriks Driven Power Dependence untuk Elemen Langkah Strategis PLH melalui KBK 2 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 , , , 4 3 1 5 3 4 1 2 5 Keterangan Gambar : 1. Mencari metodologi pengajaran yang mendukung PLH seperti eksperimen, studi lapangan, teknologi informatika, audio visual, membuat karya dalam bentuk tulisan ilmiah, alat peraga, maupun teknologi. 2. Memasukkan kegiatan PLH dalam program OSIS seperti penghijauan, pecinta alam, desa binaan, dan bakti sosial. 3. Melakukan penyuluhan lingkungan hidup kepada masyarakat sekitar sekolah seperti pengelolaan sampah, sanitasi, pengelolaan air, MCK yang sehat, dan sebagainya 4. Mengikuti kegiatan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Instansi terkait, maupun mengadakan seminar dengan mengundang narasumber. 5. Meningkatkan kompetensi guru tentang PLH. 6. Mengadakan kegiatan ekstrakurikuler dalam bentuk diskusi tentang lingkungan. Sumbu X : Dependence Sumbu Y : Driven Power

5.11 Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan SMA