Analisis Penutupan Lahan HASIL DAN PEMBAHASAN

500 1000 1500 2000 2500 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 L u a s h a Tahun Tubuh Air Huta n Kebun Ca mpura n Permukima n Sema k Beluka r La ha n Terbuka Hasil interpretasi pada citra Landsat pada tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008 dapat dikatahui bahwa penutupan lahan tahun 2001 didominansi oleh hutan sebesar 39 dari luas wilayah. Selanjutnya berturut-turut: kebun campuran 28, pemukiman 15, tubuh air 10, lahan terbuka 6 dan semak belukar 2. Sedangkan penutupan lahan untuk tahun 2008 didominasi oleh kebun campuran sebesar 42 dari luas wilayah, diikuti oleh pemukiman 23, hutan 17, tubuh air 11, lahan terbuka 4 dan semak belukar 3. Tabel 6. Luas penutupan lahan di Kota Sintang tahun 2001, 2004, 2006 dan 2008 Jenis Penutupan 2001 2004 2006 2008 Perubahan 2001-2008 ha ha ha ha ha Tubuh Air Hutan Kebun Ca mpuran Pe mukiman Se mak Belu kar Lahan Terbuka 452 1.805 1.263 704 110 253 10 39 28 15 2 6 441 1.160 1.405 826 529 226 10 25 31 18 12 5 455 957 1.892 922 120 241 10 21 41 20 3 5 500 787 1.916 1.048 130 206 11 17 42 23 3 4 48 -1.018 653 344 20 -47 1 -22 14 8 1 -2 Juml ah 4.587 100 4.587 100 4.587 100 4.587 100 Sumber: Hasil Analisis 2009 Gambar 11. Grafik luas penutupan lahan di Kota Sintang tahun 2001-2008 Tabel 6 menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan dari tahun 2001 ke tahun 2008. Masing- masing kelas penutupan lahan ada yang mengalami penurunan luasannya dan ada yang meningkat. Kelas penutupan lahan berupa hutan mengalami penurunan luas sebesar 1.018 ha dan lahan terbuka sebesar 47 ha. Sedangkan kebun campuran mengalami peningkatan luas sebesar 653 ha, pemukiman meningkat sebesar 344 ha dan semak belukar sebesar 20 ha. Analisa lebih lanjut menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan tuntutan akan ruang di kota. Dari Tabel 6 diketahui bahwa pertambahan permukiman sebesar 344 ha dari tahun 2001 hingga tahun 2008. Menurut Yunus 2005 untuk memenuhi tuntutan ini maka terjadi perkembangan keruangan secara spatial centripetal dan centrifugal. Perkembangan spatial centripetal adalah suatu proses penambahan bangunan-bangunan kekotaan yang terjadi di bagian dalam kota. Proses ini terjadi pada lahan- lahan masih kosong di bagian dalam kota, baik pada lahan yang yang terletak di antara bangunan- bangunan yang sudah ada, maupun pada lahan- lahan terbuka lainnya. Sedangkan spatial centrifugal yaitu proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pinggiran kota. Proses ini akan memicu dan memacu pertambahan luas kota. Pergeseran fungsi yang terjadi di kawasan pinggiran menyebabkan lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai kawasan hutan, daerah resapan air dan pertanian, berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan kegiatan usaha non pertanian lainnya. Proporsi luas terbangun dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan pertambahan yang linier dengan persamaan Y = 1,121x − 229 dengan nilai R 2 = 0,989. Pada Gambar 12 dapat dilihat grafik proporsi lahan terbangun di Kota Sintang tahun 2001-2008. y = 1,121x - 2229, R² = 0,989 5 10 15 20 25 2000 2002 2004 2006 2008 2010 P e r se n L u a s T e r b a n g u n Tahun Gambar 12. Grafik proporsi luas terbangun di Kota Sintang tahun 2001-2008 Perkembangan kota yang cepat dapat menimbulkan banyak masalah. Tingkat populasi tinggi sejalan dengan perkembangan kota yang pesat menyebabkan eksploitasi alam berlebihan, menciptakan ekologi yang tidak sehat. Banyak kota berkembang memiliki berbagai pengalaman mengenai masalah lingkungan seperti penurunan kualitas udara, ketersediaan air bersih, temperatur udara yang tinggi, peningkatan kebisingan, serta tingkat stress yang tinggi dan penurunan rasa kebersamaan dalam komunitas Atmis, O zden dan Lise, 2007. Berdasarkan persamaan Y = 1,121x − 229 maka dapat diprediksi pada tahun keberapa luas lahan terbangun di Kota Sintang mencapai batas maksimal, yaitu 60 dari luasan kota. Batasan 60 diambil setelah menyisihkan 30 untuk Ruang Terbuka Hijau dan 10 untuk sungai. Hasil perhitungan luas terbangun di Kota Sintang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Prediksi luas terbangun di Kota Sintang Tahun Luas Terbangun ha 2010 2020 2030 2040 2042 1.111 1.625 2.139 2.653 2.756 24 35 47 58 60 Sumber: Hasil Analisis 2009 y = -3,121x + 6283, R² = 0,947 5 10 15 20 25 30 35 40 45 2000 2002 2004 2006 2008 2010 P e rs e n L u a s H u ta n Tahun Dari Tabel 7 diketahui bahwa luas maksimal lahan terbangun dicapai pada tahun 2042 dengan luas lahan terbangun seluas 2.756 ha 60 dari luas Kota Sintang. Perkembangan permukiman di Kota Sintang terjadi di pusat kota dan pinggiran sungai. Kota Sintang dilewati oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Sintang juga merupakan kota di jalur pelintasan menuju Kota Kapuas Hulu baik dari jalur sungai maupun jalur darat. Keberadaan sungai dan jalan mempengaruhi arah perkembangan pemukiman. Menurut Yunus 2005 jalur transportasi darat maupun sungai yang memanjang telah mengontrol pertumbuhan pemukiman maupun bangunan non pemukiman sedemikian rupa sehingga membentuk konsentrasi bangunan yang sebaran keruangan memanjangnya lebih besar dari pada sebaran melebarnya. Perubahan luas penutupan lahan dari tahun 2001 hingga tahun 2008 yang mengalami penurunan yang terbesar terjadi pada penutupan hutan yaitu sebesar 1.018 ha. Petani menggunakan sistem pertanian tebang bakar untuk membuka areal penanaman baru, kemudian areal tersebut akan ditanami berbagai jenis tanaman seperti karet, kopi, kakao dan ubi kayu. Proporsi luas hutan dari tahun 2001 hingga tahun 2008 menunjukkan penurunan yang linier dengan persamaan Y = -3,121x + 6283 dengan nilai R 2 = 0,947. Pada Gambar 13 dapat dilihat grafik proporsi lahan hutan di Kota Sintang tahun 2001-2008. Gambar 13. Grafik proporsi luas hutan di Kota Sintang tahun 2001-2008 Berdasarkan persamaan penurunan luas hutan yaitu Y = -3,121x + 6283, maka diketahui luas hutan untuk tahun 2011 luas hutan yang tersisa adalah 366 ha dan 213 ha dari luas hutan tersebut adalah Hutan Kota Baning sedangkan sisanya 53 ha adalah hutan yang belum berstatus. Jika tidak melakukan tindakan pengamanan luas hutan yang ada sekarang maka mulai dari tahun 2012 hingga 2029 hutan yang akan tersisa di Kota Sintang adalah 213 ha saja karena hutan ini merupakan Hutan Kota Baning yang telah dilindungi Undang-Undang. Adanya fenomena semakin berkurangnya hutan karena perluasaan lahan terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan konsekwensi logis bahwa semakin besar perubahan daerah resapan air menjadi penggunaan perkotaan non-pertanian memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati. Berkurangnya luasan hutan memberi pengaruh yang buruk terhadap lingkungan. Menurut Alvey 2006 kehilangan hutan berarti juga kehilangan kekayaan biodiversitas terutama tanaman lokal dan fungsi ekologis. Pembukaan lahan dengan slash-and-burn menyebabkan rusaknya sifat fisik dan k imia tanah yang d iind ikasikan o leh kerapatan limbak b ulk den sity tanah tinggi 1 ,30 mgm 3 , apalagi jik a d ilak uk an dengan mek anis, stab ilitas agregat tanah rendah 100 , d an k apasitas tukar k atio n K TK rendah 11,5 cmo lk g Rach man et a l., 199 7 dalam O nrizal, 20 05 . Ko nd isi ini menyebab kan p eningk atan aliran p ermuk aan dan erosi pada satu sisi, dan menurunkan infiltasi air hujan ke dalam tanah pada sisi yang lain. Perambahan hutan dilakukan masyarakat dapat disebabkan karena tekanan penduduk sehingga banyak penduduk yang tidak mempunyai lahan. Soemarwoto 2004 menyatakan bahwa kependudukan merupakan penyebab penting kerusakan dan menyusutnya luas hutan. Gambar 14. Proses pembukaan lahan hutan dengan proses tebang bakar Faktor lain adalah tidak terjaminnya hak penguasaan lahan oleh para penduduk yang terpaksa membuka lahan hutan sehingga mendorong mereka mencari keuntungan jangka pendek sebanyak-banyaknya Pemerintah Kabupaten Sintang, 2008. Pembangunan berwawasan lingkungan pada dasarnya bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan kependudukan sehingga perlu mendapat perhatian secara terintegrasi keseluruh komponen masyarakat, sehingga segala kegiatan tidak hanya mencari keuntungan ekonomi semata, akan tetapi lingkungan pun harus terlindungi, dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan tetap memelihara kelestarian fungsi lingkungan sesuai daya tampung dan daya dukung untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran manusia. 5.2 Analisis Standar Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota Pembangunan kota sering dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Lahan- lahan bertumbuhan banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan, kawasan permukiman, kawasan industri, jaringan transportasi jalan, jembatan, terminal serta sarana dan prasarana kota lainnya. Pembangunan kota pada masa lalu sampai sekarang cenderung untuk meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan wajah alam. Analisis standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota bertujuan untuk mengetahui berapa luas RTH Hutan Kota yang harus dibangun di Kota Sintang berdasarkan kebijakan pemerintah yaitu melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Bentuk RTH yang akan dibangun di sebuah kota harus memperhatikan tujuan pembangunan dan aspek biogeografis kota. Pada penelitian ini bentuk RTH yang akan di bangun di Kota Sintang adalah RTH Hutan Kota, karena tujuan dari pembangunan hutan kota tersebut sebagai pengaman untuk mengkonservasi air atau daerah tangkapan hujan sehingga ketersediaan air Kota Sintang dapat terjaga. Dirjen PU 2006 menyatakan bahwa fungsi perlindungan pada hutan kota memang merupakan bobot nilai tertinggi di dalam kesepakatan assosiasi hutan kota dunia dibandingkan dengan bagian ruang terbuka kota tipe lainnya. Dicermati dari aspek biogeografis kota, letak kota yang dekat garis khatulistiwa menyebabkan suhu udara di kota Sintang cenderung panas. Tercatat dua tahun terakhir suhu maksimal di Kota Sintang mencapai 33,1 o C. Selain itu, dua buah sungai besar yang membelah tepat di tenggah Kota Sintang memberikan pengaruh yang besar terhadap kota. Sinar matahari yang jatuh ke permukaan air akan dipantulkan kembali ke kota. Permukaan air yang luas juga menyebabkan proses penguapan air tinggi sehingga kelembaban udara kota meningkat. Panas dan lembab menyebabkan suasana kota tidak nyaman. Pembangunan hutan kota diharapkan tidak hanya saja sebagai konservasi air dalam tujuan utamanya, namun juga sebagai pencipta rasa nyaman. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 menyebutkan bahwa alokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau RTH Wilayah Perkotaan. Pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa standar kebutuhan hutan kota paling sedikit 10 dari wilayah perkotaan, sehingga luas kebutuhan hutan kota di Kota Sintang adalah 459 ha. Standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota menurut Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 diatur pada pasal 9 ayat 1, yaitu luas ideal minimal 20 dari luas kawasan perkotaan. Sehingga luas total kebutuhan hutan kota di Kota Sintang menurut Permendagri Nomor 01 Tahun 2007 adalah seluas 918 ha. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota diatur pada Pasal 29 Ayat 1, proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut maka luas Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota untuk Kota Sintang seluas 1.376 ha. Tabel 8. Proporsi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Kota Sintang menurut kebijakan pemerintah No Kelur ahanDesa Luas Wilayah Ha PP No. 63 Tahun 2002 Permendagri No. 1 Tahun 2007 UU No. 26 Tahun 2007 A 1 2 BWK A Kapuas Kanan Hulu Kapuas Kanan Hilir Sub Jumlah 1.635 360 1.995 164 36 200 327 72 399 491 108 599 B 1 2 3 BWK B Tanjung Puri Ladang Baning Kota Sub Jumlah 1.056 336 486 1.878 106 34 49 188 211 67 97 376 317 101 146 563 C 1 2 BWK C Kapuas Kiri Hulu Kapuas Kiri Hilir Sub Jumlah 166 548 714 17 55 71 33 110 143 50 164 214 Total Jumlah 4.587 459 918 1.376 Sumber: Revisi RDTRK Sintang Tahun 2007-2012, Hasil Analisis 2009 Dari aspek kebijakan diketahui bahwa standar pemerintah tentang luasan Ruang Terbuka Hijau Hutan Kota di Perkotaan tidak tetap. Masing- masing peraturan menetapkan luasan yang berbeda. Menurut Endes 2007 beberapa keputusan pemerintah tidak tegas menyatakan luasan hutan kota dapat berubah secara dinamik. Luasan terbesar ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Penetapan luasan tersebut bertujuan untuk memenuhi syarat minimal kebutuhan ruang hijau untuk menjaga keseimbangan lingkungan perkotaan.

5.3 Analisis Rencana Detail Tata Ruang Kota Sintang

Dari kajian RTDR Kota Sintang diketahui bahwa Pemerintah Daerah telah memiliki komitmen pengalokasian ruang untuk Ruang Terbuka Hijau dan Hutan Kota. Secara umum, tujuan pengembangan tata ruang Kota Sintang dalam RDTRK pada masa yang akan datang adalah sebagai berikut : 1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup serta kebijaksanaan pengembangan Kota Sintang. 2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya di kawasan perkotaan secara terpadu 3. Terwujudnya keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan tetap memperhatikan sumberdaya manusia 4. Terwujudnya pemanfaatan ruang yang sesuai dengan fungsi kawasan dalam lingkup Kota dan wilayah yang lebih luas. Pada tingkat Rencana Detail Tata Ruang Kota RDTRK, rencana penanganan lingkungan diwujudkan dengan penyempurnaan fungsi Hutan Baning, mengalokasikan jalur-jalur hijau pada kawasan sempadan sungai, dan kawasan sempadan jalan.

5.3.1 Penyempurnaan Fungsi Hutan Baning

Kondisi Hutan Baning saat ini akan disempurnakan dan dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk menanggulangi masalah lingkungan kota suhu udara, kebisingan, debu, kelembaban udara. Agar lebih memasyarakat fungsi dan peranan hutan kota untuk penanggulangan masalah lingkungan perlu penyebarluasan dan publikasi tentang Baning sebagai hutan Kota Sintang, baik oleh instansi pemerintah maupun swasta sehingga setiap lapisan masyarakat siap untuk melakukan pembangunan dan pemeliharaan hutan kota.

5.3.2 Jalur Hijau Sempadan Jalan

Kawasan jalur hijau sempadan jalan adalah jalur hijau di sepanjang kanan- kiri jalan terutama jaringan jalan primer, arteri sekunder dan akses utama ke kawasan industri. Jalur hijau ini dikembangkan sebagai areal penanaman berbagai vegetasi termasuk rumput dengan aksen beberapa jenis tanaman hias jenis perdu. Penanaman karet atau kelapa sawit di tepi luar jalur hijau ini akan sangat membantu memberikan kesan ciri khas kawasan Sintang. Sedangkan di sisi dalam dapat dikembangkan berbagai jenis tanaman peneduh lokal lainnya.