Konsep Usaha Pertanian Kontrak Contract Farming

24 3 Struktur Pendapatan Usahatani Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai dan pengeluaran tunai dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai Soekartawi 1986. Faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani menurut Hernanto 1989 yaitu, luas usaha, tingkat produksi, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja. Analisis pendapatan usahatani ini bertujuan mengetahui besar keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan Soekartawi 1995. 4 Analisis RC Analisis RC return cost ratio merupakan perbandingan ratio atau nisbah antara penerimaan dengan biaya dalam satu kali periode produksi usahatani. RC menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari setiap rupiah yang dikeluarkan, semakin tinggi nilai RC maka semakin menguntungkan usahatani tersebut dilakukan. Analisis RC ini dibagi dua, yaitu a menggunakan data pengeluaran biaya produksi tunai dan b menghitung juga atas biaya yang tidak diperhitungkan, dengan kata lain perhitungan total biaya produksi Soekartawi 1995. Kriteria keputusan dari nilai RC yaitu, jika RC 1 maka kegiatan usahatani yang dilakukan dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari pada pengeluarannya. Nilai RC 1 menunjukkan maka kegiatan usahatani yang dilakukan tidak dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari pada pengeluarannya. Nilai RC = 1, maka kegiatan usahatani yang dilakukan dapat dikatakan tidak memberikan keuntungan maupun kerugian impas karena penerimaan yang diterima oleh petani akan sama dengan pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani Soekartawi 1995.

3.1.3. Konsep Usaha Pertanian Kontrak Contract Farming

Usaha pertanian kontrak merupakan salah satu bentuk relasi kemitraan. Menurut Daryanto 2012, usaha pertanian kontrak contract farming merupakan satu mekanisme kelembagaan kontrak yang memperkuat posisi tawar-menawar petani, peternak, dan nelayan dengan cara mengaitkannya secara langsung atau pun tidak langsung dengan badan usaha yang secara ekonomi lebih kuat. Hal ini 25 tidak hanya berpotensi meningkatkan penghasilan petani, peternak, dan nelayan kecil yang terlibat dalam usaha pertanian kontrak, tetapi juga mempunyai efek berlipat ganda muliplier effects bagi perekonomi pedesaan maupun perekonomian dalam skala lebih luas. Menurut Eaton dan Shepherd 2001, usaha pertanian kontrak dibagi menjadi lima model, yaitu: 1 Centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana pihak perusahaan membeli produk dari para petani yang kemudian memprosesnya atau mengemasnya dan memasarkan produknya. 2 Nucleus estate model, yaitu variasi model terpusat, dimana dalam model ini perusahaan dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang umumnya dekat dengan pabrik pengolahan. 3 Multipartite model, yaitu model yang umumnya melibatkan badan hukum dan perusahaan swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani. 4 Informal model, yaitu model yang umumnya diaplikasikan terhadap wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang umumnya membuat kontrak produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman. 5 Intermediary model, yaitu model yang umumnya diaplikasikan pada perusahaan swasta yang akan membayar petani mitra sesuai dengan total produksi. Pihak perusahaan umumnya membina dan mengontrol petani untuk menggunakan faktor produksi yang telah ditetapkan perusahaan. Menurut Daryanto 2012, kerjasama antara petani dengan pihak perusahan dapat terjalin secara baik jika terdapat saling ketergantungan yang menguntungkan dikedua belah pihak. Usaha pertanian kontrak memungkinkan untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan minimnya informasi. Selain itu, usaha pertanian kontrak dapat mengurangi risiko bagi petani maupun perusahaan, misalnya dalam hal kepastian bahwa hasil produksi petani akan dibelipada saat panen dan kepastian pasokan bahan baku bagi perusahaan. Pola kemitraan atau kontrak di Indonesia menurut Sumardjo et al. 2004 terdiri dari lima macam, yaitu: 26 1 Pola kemitraan inti plasma Pola kemitraan inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara kelompok mitra plasma dengan perusahaan mitra inti. Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal lahan, saran produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah, serta memasarkan hasil produksi. Keunggulan dari pola kemitraan ini yaitu adanya saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan. Sementara itu, kelemahan dari pola ini yaitu pihak plasma kurang memahami hak dan kewaibannya, komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya, dan belum ada kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma sehingga terkadang perusahaan inti mempermainkan harga komoditas plasma. 2 Pola kemitraan subkontrak Pola kemitraan subkontrak merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Keunggulan dari pola ini yaitu adanya kesepakan tentang kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Sementara itu, kelemahan pola ini yaitu hubungan subkontrak yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan menengah, berkurangnya nilai-nilai kemitraan antara kedua belah pihak, dan kontrol kualitas produk ketat tetapi tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tepat. 3 Pola kemitraan dagang umum Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah perusahaan mitra dan kelompok mitra dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Keunggulan dari pola ini yaitu kelompok mitra berperan sebagai pemasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra dan perusahaan mitra memasarkan produk kelompok mitra ke konsumen. Kondisi tersebut menguntungkan pihak kelompok mitra karena adanya kepastian harga dan pasar bagi hasil produknya. Selain itu, pihak perusahaan mitra mendapatkan bahan baku sesuai dengan kualitas yang telah disepakati. Namun, kelemahan dari pola ini yaitu dalam prakteknya harga dan volume produk sering ditentukan secara sepihak oleh 27 perusahaan mitra sehingga merugikan pihak kelompok mitra dan terkadang sistem pembayaran barang-barang pada kelompok mitra tertunda. 4 Pola kemitraan keagenan Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan dimana perusahaan mitra memberikan hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan yang dipasok oleh perusahaan mitra. Terdapat kesepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat mengenai target-target yang harus dicapai dan besarnya komisi yang siterima oleh pihak yang memasarkan produk. Keunggulan pola ini yaitu mudah dilaksanakan oleh para perusahaan kecil yang kurang kuat modalnya. Sementara itu, kelemahan pola ini yaitu beberapa mitra kurang mampu membaca segmen pasar, tidak memenuhi target, dan kelompok mitra menetapkan harga produk secara sepihak sehingga harga di tingkat konsumen menjadi tinggi. 5 Pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis KOA Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian. Selain itu, perusahaan mitra berperan sebagai penjamin pasar produk dengan meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pengemasan. Keunggulan pola KOA ini serupa dengan pola inti plasma, namun kelemahan pola ini yaitu pengambilan untuk oleh perusahan mitra yang menangani aspek pemasaran dan pengolahan produk terlalu besar dan perusahaan mitra cenderung monopsoni. 3.1.4. Konsep Fungsi Produksi Ditinjau dari pengertian teknis, maka produksi merupakan suatu proses pendayagunaan dari sumber-sumber yang telah tersedia sehingga dapat mewujudkan suatu hasil yang optimal, baik secara kualitas dan kuantitas sehingga menjadi suatu komoditi yang dapat diperdagangkan. Produksi adalah segala kegiatan dalam rangka menciptakan dan menambah kegunaan atau uitlity sesuatu barang atau jasa untuk kegiatan dimana dibutuhkan faktor-faktor produksi yang didalam ilmu ekonomi terdiri dari tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen Assauri 2004. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa produksi adalah suatu 28 kegiatanaktivitas yang dapat menambah nilai guna dan manfaat barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sudarsono 1995 mengatakan fungsi produksi adalah hubungan teknis yang menghubungkan antara faktor produksi yang disebut dengan masukan atau input. Disebut faktor produksi karena adanya sifat mutlak agar produksi dapat dijalankan untuk menghasilkan produk. Suatu fungsi produksi menggambarkan semua metode produksi yang efisien secara teknis dalam arti menggunakan kuantitas faktor produksi yang minimal. Metode produksi yang boros tidak diperhitungkan dalam fungsi produksi. Metode produksi adalah suatu kombinasi dari faktor-faktor produksi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu satuan produk. Soekartawi 2005 menjelaskan bahwa fungsi produksi merupakan hubungan antara faktor produksi input dan produksi output. Variabel Y digambarkan sebagai hasil produksi dan variabel X i adalah masukan i, maka besarnya Y dipengaruhi oleh besarnya X 1 , X 2 , X 3 , ..., X m yang digunakan pada fungsi tersebut. Secara matematis, hubungan Y dan X dapat ditulis sebagai berikut: Y = fX 1 , X 2 , X 3 , ..., X m Keterangan: Y = produksioutput X 1 , X 2 , X 3 , ..., X m = faktor produksiinput Hubungan masukan dan produksi pertanian mengikuti kaidah tambahan hasil yang semakin berkurang law of diminishing returns untuk semua variabel X. Tiap tambahan unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut Soekartawi 1986. Salah satu model fungsi produksi yang digunakan dalam analisis usahatani adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Menurut Soekartawi 2002 fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel yang dijelaskan disebut variabel dependen Y dan variabel yang menjelaskan disebut variabel independen X. Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan 29 biasanya berupa input. Tiga alasan pokok memilih menggunakan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas antara lain Soekartawi 2002: 1 Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi lain. Fungsi Cobb-Douglas dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk linier. 2 Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan elastisitas. 3 Besaran elastisitas tersebut juga sekaligus menunjukan return to scale. Hal ini perlu diketahui untuk menentukan keadaan dari suatu produksi, apakah mengikuti kaidah decreasing, constant atau increasing return to scale. a Decreasing returns to scale, bila b1 + b2 1. Dalam keadaan demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan masukan- produksi melebihi proporsi penambahan produksi. b Constant returns to scale, bila b1 + b2 = 1. Dalam keadaan demikian penambahan masukan-produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. c Increasing returns to scale, bila b1 + b2 1. Ini artinya bahwa proporsi penambahan masukan-produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Kesulitan yang umum dijumpai dalam penggunaan fungsi Cobb-Douglas Soekartawi 2002 adalah sebagai berikut: 1 Spesifikasi variabel yang keliru. 2 Kesalahan pengukuran variabel. 3 Bias terhadap variabel manajemen. 4 Masalah multikolinieritas yang sulit dihindarkan. Persamaan matematis dari fungsi produksi Cobb-Douglas secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = b X 1 b1 X 2 b2 X 3 b3 . . . X i bi e u Dimana: Y = variabel yang dijelaskan X = variabel yang menjelaskan b , b i = besaran yang akan diduga u = kesalahan disturbance term e = logaritma natural e = 2,718 30 Fungsi Cobb-Douglas di atas kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk linear logaritma untuk memudahkan pendugaaan terhadap fungsi produksi tersebut, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut: Ln Y = ln b + b 1 ln X 1 + b 2 ln X 2 + b 3 ln X 3 ... + b i ln X i + u Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b 1 dan b 2 adalah tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti karena b 1 dan b 2 pada fungsi Cobb-Douglas adalah sekaligus menunjukkan elastisitas X terhadap Y. Elastisitas produksi Ep adalah presentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan input Rahim Hastuti, 2008. Elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: � = ∆ � 100 ∆ � 100 � = ∆ ∆ � = ∆ ∆ � � = �� � 1 �� � = �� �� Dimana: Ep = elastisitas produksi ∆Y = perubahan hasil produksi komoditas pertanian ∆X = perubahan penggunaan faktor produksi Y = hasil produksi komoditas pertanian X = jumlah penggunaan faktor produksi Kurva dapat menggambarkan hubungan fisik faktor produksi dan hasil produksinya, dengan asumsi hanya satu produksi yang berubah dan faktor produksi lainnya dianggap tetap ceteris paribus. Fungsi produksi juga menggambarkan Marginal Product PM dan Average Product PR. Marginal Product PM merupakan tambahan produksi per satuan tambahan input, sedangkan Average Product PR merupakan produksi per satuan input. Berdasarkan Gambar 1, kurva produksi terbagi menjadi menjadi tiga daerah. 31 Gambar 1. Hubungan antara TP, PM, dan PR Sumber : Rahim Hastuti 2008 Daerah I dimana terjadi peningkatan PR dengan elastisitas produksi lebih dari satu EP 1. Hal ini menunjukkan penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu satuan. Dimana kondisi ini keuntungan maksimum belum tercapai karena produksi masih dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional atau inefisien. Daerah II terjadi penurunan PR saat PM positif dengan elastisitas produksi antara nol dan satu 0 EP 1. Hal ini menunjukkan penambahan faktor produksi sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Pada daerah ini terjadi penambahan hasil produksi yang semakin menurun, namun penggunaan faktor-faktor produksi tertentu di daerah ini dapat memberikan keuntungan maksimum. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah rasional atau efisien. 32 Daerah III terjadi penurunan PR saat PM negatif dengan elastisitas produksi kurang dari nol EP 0. Hal ini menunjukkan setiap penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi. Pada daerah ini penggunaan faktor produksi sudah tidak efisien. Oleh karena itu, daerah ini disebut daerah irrasional.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional