Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) Petani Mitra PT. Indofood Fritolay Makmur dan Petani Nonmitra Di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2008)1

komoditi unggulan pada tanaman sayuran selain bawang merah adalah cabai. Di Indonesia secara umum masyarakat mengenal dua jenis cabai yakni cabai besar dan cabai kecil (rawit). Cabai rawit merupakan salah satu jenis cabai yang banyak dikonsumsi sebagai bahan bumbu masakan sehari-hari. Beragamnya jenis masakan nusantara yang menggunakan cabai rawit sebagai bahan baku membuat kebutuhan akan cabai rawit pada masyarakat Indonesia semakin besar. Cabai rawit dipercaya dapat meningkatkan selera makan bagi sebagian orang (Setiadi, 2005).

Di Indonesia terjadi peningkatan konsumsi cabai rawit dari tahun 2004 hingga 2010. Besar konsumsi cabai rawit pada tahun 2004 yang mencapai 1,147 kg/kapita dan mengalami peningkatan menjadi 1,298 kg/kapita pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 2,49 persen2. Namun, tingkat konsumsi cabai rawit dari tahun ke tahunnya cenderung mengalami fluktuasi. Peningkatan konsumsi cabai rawit diprediksi masih akan terjadi pada tahun 2011. Besar peningkatan tersebut diperkirakan mencapai 1,307 kg/kapita atau naik 0,66 persen dibandingkan tahun 2010. Pada tahun 2012 juga diperkirakan konsumsi cabai rawit akan kembali meningkat sebesar 0,66 persen dari besar konsumsi 2011 (Lampiran 1).

Pemenuhan kebutuhan konsumsi cabai rawit nasional yang semakin meningkat dapat ditunjang oleh peningkatan produksi cabai rawit. Kemampuan produksi cabai rawit dipengaruhi oleh perkembangan luas lahan dan tingkat produktivitas cabai rawit pada daerah tertentu. Provinsi Jawa Barat merupakan

1

http://hortikultura.go.id/download/6_Pilar.pdf [diakses tanggal 22 Januari 2012] 2

BPS. 2012. Perkembangan Konsumsi Cabai Rawit Dalam Rumah Tangga di Indonesia, 2004-2012


(2)

2 provinsi dengan tingkat produktivitas cabai rawit tertinggi se-Indonesia3. Namun, produktivitas cabai rawit Jawa Barat mengalami fluktuasi dari tahun ke tahunnya (Tabel 1).

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas Dan Produksi Cabai Rawit Jawa Barat, 2006-2010

Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas

(ton/ha) Produksi (ton)

2006 6,66 11,00 73,30

2007 6,62 12,04 79,71

2008 6,77 10,82 73,26

2009 7,11 14,96 106,30

2010 8,47 9,32 78,90

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2011 (Diolah)

Kegiatan usahatani cabai rawit pada umumnya memiliki risiko yang sering dihadapi oleh petani. Permasalahan/kendala utama antara lain risiko gagal panen, tidak adanya kepastian jual, harga yang berfluktuasi, kemungkinan rendahnya margin usaha, dan lemahnya akses pasar. Musim penghujan merupakan salah satu faktor pada budidaya yang menyebabkan penurunan jumlah produksi cabai rawit. Air hujan yang sangat lebat dapat menyebabkan bunga sebagai bakal buah menjadi berguguran (Harpenas dan Dermawan 2011). Pada musim penghujan tanaman cabai rawit lebih rentan terhadap penyakitseperti layu fusarium dan layu bakteri (pseudomonas) sedangkan pada musim kemarau tanaman cabai rawit rentan terhadap serangan hama. Serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan penurunan jumlah produksi sehingga berisiko pula menurunkan besar penerimaan yang diperoleh petani. Salah satu upaya mencegah serangan hama dan penyakit adalah menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida dapat meningkatkan biaya usahatani cabe rawit terutama pada penggunaan fungisida dan bakterisida guna menanggulangi layu fusarium dan bakteri pseudomonas.4 Cabai rawit memiliki sifat perishable atau mudah rusak terutama kerusakan terjadi pada saat

3

Deptan. 2010. Produktivitas Cabai Rawit http://www.deptan.go.id/ [diakses pada 2 Februari 2012]

4

Forum Kerjasama Agribisnis. 2008. Budidaya Cabai Rawit Pada Musim Penghujan http://foragri.blogsome.com [diakses pada 17 September 2012]


(3)

3 pengemasan dan pengangkutan. Risiko-risiko tersebut akan secara langsung mempengaruhi jumlah pendapatan petani.

Terdapat dua jenis cabai rawit yang banyak di konsumsi masyarakat yaitu cabai rawit hijau yang termasuk ke dalam spesies C.annum dan cabai rawit merah yang termasuk spesies C. frutescens. Cabai rawit merah memiliki rasa lebih pedas dibandingkan dengan jenis cabai rawit hijau sehingga lebih digemari masyarakat (Setiadi 1999). Tingginya tingkat konsumsi cabai rawit khususnya cabai rawit merah menunjukkan tersedianya peluang pasar bagi produsen cabai rawit merah (Lampiran 2).

Cabai rawit merah memiliki harga yang sangat fluktuasi bila dibandingkan dengan jenis cabai lainnya termasuk cabai rawit hijau. Banyaknya jumlah pasokan (over supply) cabai rawit merah di pasar menyebabkan rendahnya harga jual cabai rawit di pasaran. Harga cabai rawit merah akan meningkat signifikan ketika pasokan cabai rawiit merah di pasar tidak dapat memenuhi permintaan konsumen5. Berdasarkan data dari Pasar Induk Kramat Jati sebagai Pasar Acuan Nasional dapat diketahui bahwa harga rata-rata cabai rawit merah tertinggi terjadi pada bulan Januari 2011 yang mencapai Rp 75.964/kg. Akan tetapi, harga terendah cabai rawit merah hingga mencapai Rp 8.957/kg pada delapan bulan kemudian. Ketidakpastian harga yang didapat oleh petani dapat menyebabkan banyak petani mengalami kesulitan dalam menjaga kesinambungan produksinya akibat kekurangan modal (Lampiran 5). Dibutuhkan sebuah sistem pemasaran yang dapat memberikan jaminan harga tetap kepada petani, salah satunya adalah melalui kemitraan.

Kabupaten Garut merupakan salah satu sentra penghasil cabai rawit merah terbesar di Propinsi Jawa Barat. Luas areal tanam cabai rawit Kabupaten Garut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat. Potensi luas lahan sebesar 1.314 hektar pada tahun 2005 yang mengalami peningkatan menjadi 1.463 hektar pada tahun 2009 berbanding terbalik dengan salah satu penghasil cabai rawit di Jawa Barat yaitu Kabupaten Cianjur. Luas areal Kabupaten Cianjur mengalami penurunan menjadi 921 hektar pada tahun 2009

5


(4)

4 yang semula memiliki luas arela tanam sebesar 1.061 hektar pada tahun 2005 serta belum menjalin kemitraan (Lampiran 6).

Desa Cigedug Kecamatan Cigedug adalah salah satu daerah yang membudidayakan cabai rawit merah di Kabupaten Garut dan telah menjalankan kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur. Petani mitra adalah petani cabai rawit merah yang menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur karena lebih memilih untuk tidak mengambil risiko dalam menjalankan usahatani cabai rawit merah dengan harga jual yang berfluktuasi di pasar. Beberapa manfaat yang ditawarkan oleh PT indofood Fritolay Makmur dalam menjalin proses kemitraan antara lain adalah harga jual yang tetap, pasar yang tetap serta sarana berupa bantuan pinjaman modal dalam bentuk benih serta adanya pembinaan selama menjalankan usahatani cabai rawit merah. Sedangkan petani nonmitra adalah petani cabai rawit merah yang lebih memilih untuk mengambil risiko untuk menjalankan usahatani cabai rawit merah dengan tetap berharap pada peningkatan drastis harga cabai rawit merah di pasar pada waktu yang belum dapat ditentukan. Petani yang menjalankan kemitraan bersama PT Indofood Fritolay Makmur tergabung kedalam Gabungan Kelompok Tani Cabai Garut Intan (Gapoktan Cagarit) yang berfungsi sebagai salah satu unit usaha pemasaran cabai rawit merah di Desa Cigedug. Gapoktan Cagarit juga berperan sebagai vendor bagi PT. Indofood Fritolay Makmur yaitu merupakan sebuah lembaga dalam rantai pemasaran yang berfungsi mengumpulkan hasil produksi dari petani Desa Cigedug, menyortir dan melakukan pengiriman, serta membuat kesepakatan harga dengan PT. Indofood Fritolay Makmur.

1.2. Rumusan Masalah

Naiknya permintaan akan komoditi cabai rawit pada waktu tertentu menyebabkan terjadinya fluktuasi harga di pasar. Ketika harga cabai rawit mengalami peningkatan, petani akan berlomba-lomba untuk menanam tanaman cabai rawit pada lahannya. Namun, jika harga cabai rawit di pasar sedang mengalami penurunan maka petani dengan mudahnya mengganti komoditi yang mereka tanam dengan tanaman hortikultura lainnya selain cabai rawit. Informasi harga cabai rawit merah yang akan datang di pasar tidak dapat diketahui secara


(5)

5 pasti oleh petani. Hal itu terjadi akibat penyebaran informasi yang tidak sempurna yang berasal dari pasar kepada petani selaku produsen.

Ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dengan jumlah permintaan yang dibutuhkan konsumen merupakan faktor penyebab utama terjadinya fluktuasi harga pada komoditas pertanian. Sesuai dengan hukum supply dan demand dalam pasar maka semakin tinggi jumlah pasokan (supply) hingga terjadi sebuah excess supply akan berdampak pada turunnya harga suatu komoditas. Begitu juga sebaliknya, jika banyaknya permintaan (demand) lebih besar daripada jumlah pasokan (supply) yang ada akan menyebabkan kenaikkan harga komoditi pertanian. Pola produksi secara alami (on sesason dan off season) dan pola tanam yang digunakan oleh petani merupakan salah satu faktor penyebab ketidakseimbangan di sisi supply.

Tanaman cabai rawit termasuk tanaman musiman dengan waktu tanam mencapai 7 sampai 8 bulan mulai dari pembibitan hingga pemanenan. Penanaman cabai rawit yang dilakukan oleh para petani cabai rawit di Desa Cigedug biasa dilaksanakan pada akhir musim penghujan ataupun pada awal musim kemarau. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari musim penghujan karena tanaman cabai rawit rentan akan penyakit saat musim penghujan.

Setiap daerah penghasil cabai rawit merah memiliki pola dan waktu tanam yang berbeda. Perbedaan inilah yang akan menyebabkan fluktuasi supply cabai rawit di beberapa pasar induk yang menjadi acuan harga nasional seperti Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk Cibitung mengalami fluktuasi harga. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya koordinasi dan kerjasama antar kabupaten sentra produksi dalam hal jaringan informasi pasar, perkembangan produksi, perkembangan luas tanam, penggunaan teknologi, dan tidak ada informasi alur distribusi atau jaringan pemasaran baik di tingkat regional maupun pasar lokal6.

Petani menjadi pihak yang sering kali dirugikan akibat adanya fluktuasi harga. Sebagai produsen petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal penentuan harga dipasar sehingga petani hanya berperan sebagai price taker. Petani juga harus menghadapi risiko produksi dalam kegiatan usahatani. Oleh

6

Dinas Tanaman dan Hortikultura kabupaten Garut. 2009. Profil Cabai http://www.garutkab.go.id/ [diakses tanggal 25.Januari 2012]


(6)

6 karena itu, fluktuasi harga yang terjadi sangat mempengaruhi penerimaan yang diterima oleh petani sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan tingkat pendapatan usahatani. Kemitraan merupakan salah satu alternatif bagi petani agar mendapat kepastian harga pada hasil produksinya.

Kemitraan yang terjalin antara petani Desa Cigedug dengan PT Indofood Fritolay Makmur dilandasi oleh prinsip saling menguntungkan dan saling membesarkan usaha. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) adanya fluktuasi harga yang tajam dirasakan oleh petani; (2) modal petani yang terbatas; dan (3) kebutuhan pasokan cabai rawit merah bagi pabrik PT. Indofood Fritolay Makmur. Kemitraan ini telah memberikan kepastian harga yang akan diterima oleh petani cabai rawit merah sebesar Rp 10.000,00/kg yang berasal dari vendor. Sementara itu, vendor menerima harga sebesar Rp 15.000/kg dari PT. Indofood Fritolay Makmur. Sehingga terdapat margin sebesar Rp 5.000,00/kg yang diperoleh pihak vendor. Margin tersebut merupakan gambaran risiko biaya yang dikeluarkan oleh pihak vendor atas aktifitas-aktifitas seperti biaya pengumpulan, penyortiran, biaya penyusutan dan biaya transportasi.

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana keragaan usahatani cabai rawit di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut?

2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur?

3. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur?

1.3. Tujuan

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1 Mengkaji keragaan usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut.

2 Menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur.

3 Menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur.


(7)

7 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada :

1. Para petani cabai rawit, sebagai informan dan narasumber untuk membantu dalam perencanaan analisis pendapatan usahatani antara yang

bermitra dan yang tak bermitra. 2. Lembaga terkait, sebagai bahan masukan dan acuan dalam membentuk dan

membuat kebijakan yang berpihak pada petani.

3. Pihak peneliti lainnya, sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya. 4. Mahasiswa, sebagai salah satu bahan referensi mengenai usahatani cabai

rawit dan untuk pengetahuan pembaca.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut dengan cabai rawit merah sebagai komoditi yang diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani cabai rawit merah, baik yang telah menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur maupun yang tidak menjalin kemitraan di Desa Cigedug. Definisi dari petani cabai rawit merah adalah petani yang membudidayakan tanaman cabai rawit minimal satu kali dalam satu kali musim tanam di Desa Cigedug.

Analisis kajian dibatasi untuk melihat perbandingan tingkat pendapatan usahatani cabai rawit merah antara petani yang menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur dan petani yang tidak menjalin kemitraan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani berdasarkan pendekatan penerimaaan dan biaya usahatani, dan analisis R/C rasio untuk melihat tingkat efisiensi usahatani cabai rawit merah.


(8)

8

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cabai Rawit Merah

Cabai termasuk kedalam jenis tanaman sayuran. Awalnya tanaman sayuran ini dikenal sebagai tanaman perkebunan rakyat, namun sekarang lebih dikenal dengan nama hortikultura (Sunarjono 2006, diacu dalam Siregar 2008). Tanaman jenis ini dapat berbentuk perdu, rumput, semak, atau pohon akar tunggang dengan akar samping yang dangkal serta memiliki banyak cabang pada bagian batangnya. Daunnya panjang, berwarna hijau tua dengan ujung runcing (oblongus acutus). Cabai memilki bunga sempurna dengan benang sari yang saling lepas. Pada umumnya bunga cabai berwarna putih dengan bentuk seperti terompet kecil. Bentuk pertumbuhannya tegak pendek, menjulang, atau menjalar dengan hasil berupa umbi, bunga, buah atau biji. Tanaman ini tersebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa, dan Asia termasuk Indonesia. Cabai termasuk kedalam family terong-terongan dan merupakan tanaman semusim berbentuk perdu.

Cabai memiliki nama ilmiah Capsicum sp. berasal dari daerah Peru benua Amerika. Menurut Pickersgill (1989) diacu dalam Inti (2000) terdapat lima spesies cabai, yaitu Capsicum annum, Capsicum frutescens, Capsicum chinense, Capsicum bacctum dan Capsicum pubescens. Diantara kelima spesies tersebut yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan adalah Capsicum frutescens atau cabai rawit merah. Spesies ini banyak banyak dibudidayakan di Indonesia bersama dengan cabai rawit hijau (Capsicum annum). Keduanya memiliki karakteristik yang serupa teteap tidak sama. Varietas cabai rawit merah yang sering dibudidayakan oleh petani Indonesia adalah varietas cakra putih dengan ciri fisiologis saat muda buahnya berwarna putih kekuningan yang berubah merah cerah saat masak. Sedangkan cakra hijau merupakan varietas cabai rawit merah dimana saat tanaman muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah merah (Prajnanta, 2004).

Capsicum frutescens atau cabai rawit merah memiliki batang yang berbuku-buku dan bersudut, daunya tidak berbulu, berbentuk bundar telur sampai lonjong. Panjang daunnya berkisar antara 1 - 12 cm. Bunga Capsicum frutescens


(9)

9 keluar dari ketiak daun, dengan mahkota bunga berbentuk seperti bintang, berwarna putih, putih kehijauan, atau ungu. Buahnya tegak (pada hibrida merunduk), berbentuk bulat telur atau lonjong. Panjang buah berkisar antara 1 – 3 cm dan lebarnya 0,25 – 1,2 cm. Buahnya muda berwarna hijau tua putih atau putih kehijau-hijauan. Buah tua yang berwarna hijau tua akan berubah warna menjadi hijau kemerah-merahan, lalu menjadi merah. Buah tua yang berwarna putih akan berubah warna menjadi kuning kemerah-merahan, setelah itu berubah warna menjadi merah menyala (jingga). Selain itu, buah tua dapat juga mengalami perubahan warna dari putih kehijau-hijauan menjadi kemerah-merahan, lalu menjadi merah.

Capsicum baccatum memiliki batang yang lebih pendek dari Capsicum frutescens. Bunganya memiliki mahkota yang kecil dengan panjang sekitar 1 cm. Buahnya berbentuk telur dengan bagian tengah yang mengembung. Di Indonesia keberadaan Capsicum baccatum belum diketahui. Capsicum chinense memiliki ketinggian sekitar 75 cm. Posisi bunganya tegak, setengah menggantung, atau menggantung. Mahkotanya berwarna kuning kehijau-hijauan. Buahnya tumbuh menggerombol (3-5 buah per gerombol). Tangkai buah agak besar, melengkung, dan bagian antara tangkai buah kelihatan mengerut. Buah tua berwarna jingga (merah menyala). Sama halnya dengan Capsicum baccatum keberadaannya di Indonesia belum diketahui (Setiadi, 1999).

Bagian buah dari tanaman cabai rawit merah merupakan bagian yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Buah cabai kaya akan kandungan gizi dan vitamin diantaranya kalori, protein, lemak, kabohidarat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C. Cabai rawit merah banyak memiliki kandungan yang bermanfaat dan tidak dimiliki oleh cabai jenis lain seperti dapat menyembuhkan sakit tenggorokan, sakit perut, iritasi kulit, dan sekaligus perangsang nafsu makan bagi sebagian orang. Cabai rawit merah segar mengandung 11.050 SI (Skala Indeks) vitamin A, sedangkan cabai rawit kering 1.000 SI. Sementara itu, cabai lainnya hanya 260 SI (cabai hijau segar), 470 SI (cabai merah segar), dan 576 SI (cabai merah kering). Selain itu, cabai mengandung beberapa zat yang merangsang rasa pedas dan rasa panas seperti kapsaisin, minyak atheris dihidrokapsaisin, damar, zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin, zeasantin, kriptosantin, lutein, dan


(10)

10 mineral tingkat kepedasan yang ada pada cabai rawit merah mencapai 50.000 – 100.000 skala Scoville, yang berarti sangat pedas. Rasa pedas itu berasal dari senyawa kimia Capsaisin (Redaksi Agro Media 2011).

Dalam pemanfaatannya juga buah cabai rawit merah dapat digunakan untuk beberapa keperluan antara lain masak-memasak serta sebagai bahan ramuan obat tradisional. Selain itu, buah cabai rawit merah sering dimanfaatkan sebagai pakan bagi burung oceh dan burung hias. Bubuk hasil pengolahan buah cabai rawit merah dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan industri makanan dan minuman sebagai pengganti lada dan utuk meningkatkan selera makan dari konsumen7.

Umumnya, para petani di Pulai Jawa mengenal tiga musim, yaitu musim labuhan (saat hujan mulai turun), musim marengan (saat hujan akan berakhir), dan musim kemarau. Cabai rawit merah dapat dibudidayakan pada musim marengan dan kemarau. Dalam satu tahun cabai rawit hanya dapat di tanam satu kali tetapi dengan pemanenan setiap minggunya saat musim panen.

Cakra putih merupakan varietas yang banyak dibudidayakan oleh petani cabai rawit merah. Pada varietas ini pertumbuhan tanaman sangat kuat dengan membentuk banyak percabangan. Posisi buah tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan rasa sangat pedas. Mampu menghasilkan buah 12 ton per hektarnya dengan rata-rata 300 buah per tanaman, dipanen pada umur 85-90 HST (Hari Setelah Tanam). Cakra putih ini pun tahan terhadap serangan penyakit antraksnosa (Rukmana, 2002).

Varietas lainnya yang ada yakni cakra hijau. Varietas cakra hijau ini mampu beradaptasi dengan baik di dataran rendah maupun tinggi. Saat tanaman muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah merah. Potensi hasilnya 600 g per tanaman atau 12 ton per hektar. Rasanya pedas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit yang biasa menyerang cabai. Panen berlangsung pada umur 80 HST.

7Widianto A. 2010. Karakteristiik dan manfaat cabai. http://www.scribd.com/ [diakses tanggal 22


(11)

11 Dari sisi harga jual cabai rawit merah dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan cabai besar serta cabai rawit hijau. Hal itu dikarenakan cabai rawit merah lebih disenangi oleh konsumen karena rasanya yang lebih pedas dibandinggkan dua jenis cabai lainnya.

2.2. Budidaya Tanaman Cabai Rawit Merah

Secara umum tanaman cabai dapat dengan mudah ditanam dan dibudidayakan baik didataran tinggi maupun di dataran rendah. Namun, pada cabai rawit merah paling cocok tumbuh pada dataran dengan ketinggian 0-500 meter dari permukaan laut. Kondisi tanah secara umum harus subur dengan derajat keasaman (PH) tanah antara 6,0 ‐7,0, suhu yang sedang berkisar antara 15°

‐ 28° C dan kelembaban tanah dengan kandungan air yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan.

Pada musim penghujan umumnya tanaman cabai rawit merah rentan akan berbagai macam penyakit terutama penyakit layu akibat tanah yang becek atau kebanyakan air. Bunga tanaman cabai rawit merah akan mudah gugur ketika sedang terkena hujan. Oleh karena itu tanaman cabai rawit merah biasa ditanam pada awal kemarau atau pada akhir musim penghujan.

1. Cara Tanam

Tanaman cabai rawit merah dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu. Tanah persemaian ini sebaiknya dicampur dengan pupuk kandang supaya bibitnya lekas besar. Biji akan tumbuh setelah empat sampai tujuh hari kemudian. Untuk lahan seluas 1 hektar diperlukan 500 gram biji dengan daya kecambah 75 persen. Sebelum ditanam, tanah yang akan ditanami cabai rawit merah dicangkul dan diberi pupuk kandang. Pupuk kandang ini sebaiknya diletakkan di dalam lubang kecil yang dibuat lurus dengan jarak antar lubang 50-60 cm dan jarak antar baris 60-70 cm, tergantung kepada jenis yang akan ditanam. Setelah bibit berumur 1-1,5 bulan, bibit dipindahkan ke lubang tersedia. Satu bulan setelah tanam, tanaman diberi pupuk buatan. Pupuk tersebut merupakan campuran urea, TSP, dan KCL dengan perbandingan 1: 2: 1 sebanyak 10 gram tiap tanaman. Oleh karena itu, diperlukan 150 kg urea, 300 kg TSP dan 150 kg


(12)

12 KCL. Pada tanah tandus, pupuk urea dapat diberikan sampai 200 kg per hektar. Pupuk buatan ini diberikan di sekeliling tanaman sejauh 5 cm dari batangnya. Saat tanaman berumur dua bulan sebaiknya diberi urea susulan 150 kg/ ha.

2. Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman cabai rawit merah tidak terlalu sulit, dengan cara membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan memberantas hama serta penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman cabai rawit merah ialah lalat buah (Dacus ferrugineus), kutu daun (Myzus persicae), dan tungu merah (Tetranycus sp.). Lalat buah merusak dengan menusuk buah cabai rawit merah hingga berguguran. Pemberantasan hama ini dengan penyemprotan Kelthane 0,1- 0,2%. Penyakit yang sering mengancam tanaman cabai rawit merah adalah penyakit busuk buah. Penyakit ini disebabkan cendawan Collectrichum nigrum. Cendawan Oeidium sp. menyebabkan penyakit gugur daun, sedangkan cendawan Phytophthora capsici penyebab terjadinya penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun dan busuk buah tersebut dapat dicegah dengan disemprotkan

Dithane M-45 atau Anthracol 0,2%. Penyakit utama yang sering

menggagalkan tanaman cabai rawit merah ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting (TMV). Virus TMV ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi keriting atau menggulung dan mengecil. Penyakit ini sampai kini belum dapat diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik dicabut dan dibuang agar tidak menular ke tanaman yang lain.

3. Pemanenan

Pemungutan buah pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur empat bulan pada dataran rendah dan 6-7 bulan pada dataran tinggi. Tanaman yang baik dapat menghasilkan buah 30- 45 ton buah per hektar atau paling maksimum mencapai 3kg/pohon dengan banyak pohon per hektarnya mencapai 10.000 – 15.000 pohon per hektar. Hasil panen tanaman cabai rawit merah selanjutnya dapat dipasarkan dengan harga rata-rata antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 15.000,- per kilogram. Hasil panen


(13)

13 cabai rawit merah mempunyai pasaran yang luas, baik dalam atau luar negeri. Dalam bentuk olahan (sambal atau tepung) telah dipasarkan sampai Eropa dan Amerika. Akan tetapi, harga cabai rawit merah sangat tidak stabil.

2.3. Fluktuasi Harga

Fluktuasi merupakan sebuah kondisi tidak stabil, bervariasi, dan sulit diperkirakan. Sedangkan harga merupakan nilai yang terbentuk akibat adanya permintaan dan penawaran dalam jumlah tertentu dalam sebuah mekanisme pasar. Fluktuasi harga pertanian merupakan sebuah kondisi harga pada komoditi pertanian yang tidak stabil dan bervariasi sehingga sulit di perkirakan oleh berbagai pihak baik petani, pedagang, maupun pemerintah. Fluktuasi harga pertanian sama-sama memiliki dampak bagi petani maupun pedagang. Namun, petani sering kali menjadi pihak yang merasakan dampak negatif akibat adanya fluktuasi harga pertanian. Hal tersebuut dapat terjadi akibat lemahnya posisi tawar para petani untuk ikut serta dalam mekanisme penentuan harga pasar.

Komoditas hortikultura merupakan subsector pertanian yang memiliki fluktuasi harga pertanian paling tinggi8. Harga yang sangat berfluktuatif secara teoritis akan menyulitkan prediksi bisnis bagi para pelaku bisnis. Perhitungan rugi laba maupun manajemen risiko menjadi sebuah ketidakpastian bagi para pelaku agribisnis hortikultura. Spekulan yang berprofesi sebagai pedagang sering kali dianggap sebagai pihak yang diuntungkan akibat adanya perubahan harga tersebut (Ismet,2009). Tetapi dengan syarat harus disertai dengan kemampuan pengelolaan stok dengan baik dan benar.

Menurut Irawan (2007), penerimaan dan keuntungan usaha dari hasil kegatan usahataninya menjadi sangat berfluktuasi akibat adanya fluktuasi harga yang tinggi di pasar. Irawan (2007) menambahkan bahwa daya tarik utama bagi pelaku bisnis untuk melakukan investasi dan memperluas usahanya pada sektor pertanian khususnya subsector hortikultura terhambat karena keuntungan yang tidak stabil walaupun nilainya tinggi dalam waktu tertentu.

8http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/03/03/22066/mentan_fluktuasi_harga_hor


(14)

14 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu inovasi teknologi baik teknis maupun social untuk dapat mengatasi permasalahan fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas . Teknologi tersebut dapat berupa sebuah sistem yang dapat menjamin stabilitas harga di tingkat petani sebagai produsen utama yang sering kali dirugikan akibat fluktuasi harga.

2.4. Kemitraan

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mitra dapat berarti teman, kawan kerja, pasangan kerja, dan rekan. sedangkan kemitraan dapat berarti perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Sebagai sebuah strategi bisnis, kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang menjalin kemitraan dalam menjalankan etika bisnis.

Kemitraan juga dapat berarti sebagai sebuah cara untuk melakukan bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama. Kemitraan dikatakan sebagai sebuah sistem produksi dan pemasaran berskala menengah dimana terjadi pembagian beban risiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agribisnis dan petani kecil (Patrick et al 2004).

Kemitraan memiliki unsur-unsur yang yang penting dalam pelaksanaannya. Unsur-unsur kemitraan antara lain : (1) Adanya kerjasama suatu usaha antar pengusaha besar dan kecil. (2) Terdapat rasa saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. (3) Adanya pembinaan dan pengembangan dari salah satu pihak kepada pihak yang lainnya.

Kemitraan merupakan tuntutan obyektif bagi keberadaan agribisnis karena dalam sebuah sistem agribisnis memiliki tuntutan untuk terintegrasi pada setiap subsistem pembangunnya. Tuntutan itu berlaku karena agribisnis dibangun oleh banyak pelaku usaha dengan tingkat keberagaman yang berbeda-beda. Kemitraan juga diperlukan untuk mendapatkan pasar baru dan menghilangkan permasalahan dalam sistem agribisnis.

Secara garis besar kemitraan dibutuhkan oleh masyarakat khususnya petani adalah karena masyarakat desa perlu akan peluang perdagangan dan


(15)

15 pemasaran yang baru. Pada proses kemitraan, pihak-pihak ekternal yakni Agroindustry berusaha mengubah pola pikir para petani subsisten untuk dapat menghasilkan produksi yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal tersebut akan memiliki efek berlipat pada pekonomian pedesaan. Oleh karena itu, mekanisme kemitraan mungkin dapat meningkatkkan kehidupan petani kecil dengan memberi segudang manfaat untuk melawan era liberalisasi ekonomi yang terjadi.

Beberapa manfaat kemitraan antara lain adalah dapat mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat dari kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah dalam upaya menyediakan sarana dan prasarana input pertanian baik kredit, asurannsi, informasi serta lembaga-lembaga pemasarannya. Dengan berkurangnya biaya transaksi maka laba yang didapatkan oleh pihak produsen akan semakin tinggi. Alur informasi yang lancar juga akan memberikan kemudahan akses pemasaran.

Penerapan kemitraan dalam agribisnis dibagi menjadi 2 jenis kemitraan, yakni kemitraan vertikal dan kemitraan horizontal. Kemitraan vertikal biasanya akibat adanya masing-masing kebutuhan antar subsistem dalam sistem agribsnis. Sedangkan kemitraan horizontal biasanya dilakukan didalam satu subsistem yang sama.

2.5. Penelitian Terdahulu 2.5.1. Penelitian Usahatani

Penelitian mengenai usahatani cabai rawit yang terkait dengan kemitraan belum pernah dijadikan sebagai topik penelitian di IPB. Adapun berbagai macam penelitian usahatani yakni yang dilakukan pada spesies cabai lainnya seperti cabai merah besar dan cabai keriting. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurliah (2002), dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Hasil pennelitian diperoleh bahwa hasil produksi cabai merah keriting petani dalam satu musim tanam untuk luasan satu hektar sebesar 10.714,3 kg, harga jual rata- rata yang terjadi di tingkat petani sebesar Rp. 3.000,00 sehingga total penerimaan sebesar Rp. 32.142.900,00. Biaya tunai terbesar yang


(16)

16 dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar Rp. 4.032.480,00 atau sebesar 26,86%. Biaya tunai terbesar kedua adalah pestisida sebesar Rp. 3.375.710,00 atau sebesar 22,49%. Selain biaya tunai, dihitung pula biaya yang diperhitungkan yang terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat dan sewa tanah. Petani memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 17.131.413,00 per hektar dengan R/C yang diperoleh sebesar 2,14.

Khairina (2006), juga melakukan penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan Budidaya Organik (Studi Kasus: Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Bogor), dengan hasil bahwa analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total diterima oleh petani wortel organik sebesar Rp.8.577.806,08 per hektar dan Rp.6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik atas biaya total dan biaya tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan oleh petani wortel organik menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,28 untuk biaya total yang dikeluarkan dan Rp 3,53,- untuk biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas biaya tunai petani wortel konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai perbandingan R/C atas biaya tunai dan biaya total petani responden wortel organik memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi dibandingkan petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani wortel konvensional.

Iryanti (2005), melakukan penelitian dengan judul Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik (Studi Kasus: Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor). Dari analisis ini diperoleh bahwa sistem usahatani tomat organik yang dilakukan oleh petani di Desa Batulayang secara umum sama dengan sistem usahatani tomat secara konvensional/ anorganik. Perbedaan yang terdapat dalam usahatani tomat secara organik dan anorganik adalah tidak adanya penggunaan pupuk kimia dalam sistem usahatani organik. Rata- rata produksi tomat yang dihasilkan petani organik untuk luasan rata- rata lahan 0,18 ha sebanyak 4.589,24 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 25.495,75 kg, sedangkan produksi tomat yang dihasilkan petani anorganik untuk luasan rata- rata lahan 0,15 ha sebanyak 4.515,95 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 30.106,33 kg. Hal ini


(17)

17 menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dapat mempengaruhi produksi tomat. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang berusahatani tomat secara organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai pada luasan lahan 0,18 ha sebesar Rp. 6.280.275,85 sedangkan pada luasan lahan 1 ha pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 34.890.421,39. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada luasan lahan 0,18 ha untuk tomat organik sebesar Rp. 5.728.221,46 sedangkan pendapatan total pada luas lahan 1 ha sebesar Rp. 31.823.452,55. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh dari tomat anorganik untuk lahan 0,15 dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 4.083.678,56 dan Rp. 27.224.490,96 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada lahan 0,5 dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 3.579.549,60 dan Rp. 23.863.631,23.

Berdasarkan penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa terdapat persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama menganalisis tentang pendapatan yang dihasilkan oleh petani, baik pada komoditas cabai ataupun komoditas lainnya seperti tomat dan wortel. Ada juga yang bertujuan melihat pendapatan usahatani dari organik dan organik sedangkan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat pendapatan usahatani kemitraan dan non-kemitran. Untuk perbedaanya yaitu lokasi penelitian yang berbeda, komoditi yang berbeda dan responden/ petani yang digunakan juga berbeda, sehingga hasil yang diharapkan juga berbeda dengan penelitian lainnya.

2.5.2. Penelitian Kemitraan

Penelitian tentang kemitraan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Achmad (2008) meneliti tentang manfaat kemitraan agribisnis bagi petani (kasus: kemitraan PT Pupuk Kujang dengan kelompok tani Sri Mandiri yang berlokasi di Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. PT Pupuk Kujang melakukan kemitraan dengan petani khususnya yang dekat dengan lokasi PT Pupuk Kujang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dilakukan perusahaan dengan petani yaitu kemitraan saham. Hasil analisis kuantitatif menggunakan regresi berganda dengan bantuan sofware SPSS 13, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang


(18)

18 sangat kuat mempengaruhi manfaat kemitraan bagi petani mitra yaitu luas lahan, jarak tempuh rumah ke lahan, sumber informasi yang digunakan, ketersediaan modal kredit, dan proses manajemen kemitraan. Manfaat ekonomi yang diperoleh petani mitra dari pola kemitraan yaitu produktivitas yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih tinggi, harga produk yang lebih baik dan meningkatkan teknologi pertanian (pangan) melalui penggunaan pupuk yang merupakan produk perusahaan mitra. Manfaat sosial yang diperoleh petani yaitu keberlanjutan kerjasama antara perusahaan dengan petani, dan juga pola kemitraan yang dilaksanakan berhubungan dengan kelestarian lingkungan.

Penelitian mengenai kemitraan yang dilakukan oleh Purnaningsih dan Sugihen (2008) dengan judul “Manfaat Keterlibatan Petani Dalam Pola Kemitraan

Agribisnis Sayuran Di Jawa Barat” menyimpulkan bahwa keterlibatan petani dalam pola kemitraan terbukti merupakan salah satu peubah yang berpengaruh terhadap penggunaan teknologi yang lebih baik yang berpengaruh terhadap pendapatan petani dengan memberi manfaat baik secara teknis maupun secara ekonomi.

Manfaat ekonomi yang diperoleh petani dari keterlibatannya dalam pola kemitraaan selain pendapatan yang lebih tinggi, adalah harga yang lebih pasti, produktivitas lahan lebih tinggi, penyerapan tenaga kerja dan modal yang lebih tinggi, dan resiko usaha ditanggung bersama. Manfaat teknis yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah penggunaan teknologi yang lebih baik dalam rangka mencapai mutu produk yang lebih baik sesuai harapan konsumen.

Manfaat sosial yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah ada kesinambungan kerjasama antara petani dan perusahaan, koperasi maupun pedagang pengumpul, serta pola kemitraan mempunyai kontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani, di mana pendapatan yang diperoleh dari usahatani kemitraan memberi sumbangan yang sangat signifikan terhadap pengeluaran total.

Saptana et al (2009) yang meneliti mengenai “ Strategi Kemitraan Usaha

Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Cabai Merah Di Jawa Tengah”


(19)

19 Keterbukaan (tranparancy) diantara pihak-pihak yang bermitra. Keterbukaan tersebut iterutama dalam hal pembagian hak dan kewajiban, penetapan kontrak atau penetapan harga, dan penegakkan kontrak berdasarkan prisisp kesetaraan. Selain itu kemampuan dalam menembus dan memperluas jaringan pasar oleh perusahaan mitra dan kemampuan pendalaman industry pengolahan melalui pengembangan produk juga dapat menjadi manfaat dari sebuah pola kemitraan.

Menurut penenlitian Nurdiniyawati (1997) disimpulkan bahwa jalinan hubungan kemitraan membawa banyak manfaat antara lain adanya jaminan pasar, jaminan keberlanjutan, jaminan harga dan keuntungan. Hal tersebut juga tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Marliana (2008) yang meneliti

tentang “Analisis Manfaat Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Lettuce Di PT Saung Mirwan”.

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa petani yang bermitra akan mendapatkan banyak manfaat diantaranya adalah Manfaat yang dirasakan petani diantaranya yaitu kemudahan dalam pemasaran, harga lebih baik, keuntungan lebih tinggi, bantuan budidaya, serta memiliki ikatan kuat atau jalinan kekeluargaan dengan petani. Manfaat teknis lainnya dengan menjadi mitra yaitu adanya penyediaan bibit, sehingga petani mitra tidak perlu melakukan pembibitan sendiri.pendapatan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak bermitra. Hal itu berdasarkan analisis pendapatan usahatani lettuce yang dilihat dari pendapatan tunai dan non tunai serta R/C rasio.

Berdasarkan beberapa contoh penelitian terdahulu diatas terlihat bahwa salah satu manfaat dari kemitraan adalah adanya jaminan harga dan pasar sehingga mampu menjamin penerimaan petani. Oleh karena itu, pendapatan petani tidak akan berfluktuasi akibat harga yang didapat oleh petani bermitra telah tetap. Jaminan keberlanjutan bagi petani juga menjadi sebuah kepastian bagi petani yang bermitra sedangkan yang tidak bermitra sewaktu-waktu bisa tidak mendapat jaminan keberlanjutan.


(20)

20

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani

Beberapa definisi mengenai ilmu usahatani sudah banyak dikemukakan oleh mereka yang melakukan analisis usahatani diantaranya yang dikemukakan oleh Soekartawi (2006), yakni ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu terterntu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi pemasukan (input).

Soekartawi et al. (1986) menambahkan bahwa tujuan berusahatani adalah memaksimalkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan biaya, yaitu bagaimana menekan biaya sekecil mungkin untuk mencapai tingkat produksi tertentu. Ciri usahatani Indonesia adalah : 1) sempitnya lahan yang dimilik petani, 2) kurangnya modal, 3) terbatasnya pengetahuan petani dan kurang dinamis, dan 4) tingkat pendapatan petani yang rendah.

Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa usahatani adalah kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komponen dalam usahatani tersebut terdiri dari alam, tenaga kerja, modal dan manajemen atau pengelolaan (organisasi). Alam, tenaga kerja dan modal merupakan unsur usahatani yang mempunyai bentuk, sedangkan pengelolaan tidak, tetapi keberadaannya dalam proses produksi dapat dirasakan.

Tingkat produksi dan produktivitas usahatani dipengaruhi oleh teknik budidaya, yang meliputi varietas yang digunakan, pola tanam, pemeliharaan, dan penyiangan, pemupukan serta penanganan pasca panen. Hernanto (1996)


(21)

21 berpendapat bahwa keadaan usahatani yang satu dengan yang lain berbeda dari segi luas, kesuburan, tanaman yang ditanam serta hasilnya. Setiap bagian lahan berbeda kemampuan dan variasinya. Hal ini membuat usahatani yang ada di atasnya juga bervariasi. Oleh karena itu, manusia yang beragam menyebabkan beragam juga putusan yang ditetapkan untuk usahataninya. Secara umum beragamnya usahatani dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik yang ada di lingkungan usahataninya.

Terdapat beberapa definisi usahatani yang diambil dari buku Suratiyah (2006), yaitu :

1. Menurut Daniel, ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari cara- cara petani mengkombinasikan dan mengoperasikan berbagai faktor produksi seperti lahan, tenaga, dan modal sebagai dasar bagaimana petani memilih jenis dan besarnya cabang usahatani berupa tanaman atau ternak sehingga emberikan hasil maksimal dan kontinyu.

2. Menurut Efferson, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara mengorganisasikan dan mengoperasikan unit usahatani dipandang dari sudut efisiensi dan pendapatan yang kontinyu.

3. Menurut Vink (1984), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari norma- norma yang digunakan untuk mengatur usahatani agar memperoleh pendapatan yang setinggi- tingginya.

4. Menurut Prawirokusumo (1990), ilmu usahatani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian, peternakan, atau perikanan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada usaha pertanian, peternakan atau perikanan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati oleh petani/ peternak tersebut.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan melalui produksi pertanian yang berlebih maka diharapkan memperoleh pendapatan tinggi. Dengan demikian harus dimulai dengan perencanaan untuk menentukan dan mengkoordinasikan penggunaan faktor- faktor produksi pada waktu yang akan datang secara efisien sehingga dapat diperoleh pendapatan yang maksimal.


(22)

22 Faktor- faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga kerja dan modal. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Yang termasuk dalam faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburannya. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. (Suratiyah, 2006).

Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung dengan musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian.

Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut :

1. Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata.

2. Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas.

3. Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan.

4. Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula dengan usahatani. Menurut Vink dalam Suratiyah (2006) benda- benda termasuk tanah yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagi modal. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersamasama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang- barang baru, yaitu produksi pertanian.

Pada usahatani yang dimaksud dengan modal adalah (Hernanto, 1996) : 1. Tanah

2. Bangunan- bangunan (gudang, kandang, pabrik, dan lain-lain) 3. Alat- alat pertanian (traktor, sprayer, cangkul, parang, dan lai-lain) 4. Tanaman, ternak dan ikan di kolam


(23)

23 6. Piutang di bank

7. Uang tunai.

3.1.2. Penerimaan Usahatani

Pendapatan kotor atau dalam istilah lain penerimaan usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Jangka waktu pembukuan umumnya satu tahun dan mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan atau digudangkan pada akhir tahun. penerimaan ini dinilai berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang berlaku (Soekartawi et al. 1986).

Soeharjo dan Patong (1973) menyebutkan bahwa penerimaan usahatani berwujud tiga hal, yaitu :

1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual. Adakalanya yang dijual ialah hasil ternak, misalnya susu, daging dan telur. Adakalanya pula yang dijual adalah hasil dari pekarangan yaitu, pisang, kelapa, dan lain- lain.

2. Produk yang dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan kegiatan.

3. Kenaikan nilai inventaris. Nilai benda- benda inventaris yang dimiliki petani, berubah- ubah setiap tahun. Dengan demikian akan ada perhitungan. Jika terjadi kenaikan nilai benda- benda inventaris yang dimiliki petani, maka selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun perhitungan merupakan penerimaan usahatani.

3.1.3. Biaya Usahatani

Soekartawi et al. (1986) biaya usahatani meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya dan tidak berpengaruh terhadap besarnya jumlah produksi. Biaya tetap meliputi pajak, penyusutan alat produksi, bunga pinjaman, sewa lahan dan iuran irigasi. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang jumlahnya selalu berubah dan


(24)

24 besarnya tergantung dari jumlah produksi. Biaya variabel meliputi biaya input produksi dan upah tenaga kerja.

Pengelompokan biaya usahatani yang lain adalah biaya tunai dan biaya tidak tunai (Hernanto 1996). Biaya tunai dan tidak tunai berasal dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang termasuk dalam biaya tunai adalah iuran irigasi dan pajak tanah. Sedangkan untuk biaya variabel meliputi biaya input produksi dan upah tenaga kerja. Biaya diperhitungkan yang merupakan biaya tetap adalah biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja keluarga. Sedangkan yang termasuk dalam biaya variabel yaitu sewa lahan.

3.1.4. Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani, oleh karena itu pendapatan bersih merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat digunakan untuk membandingkan beberapa penampilan usahatani (Soekartawi et al. 1986).

Analisis pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Tujuan utama dari analisis pendapatan ada dua, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha, dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur seberapa jauh kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak bagi seorang petani.

Pendapatan usahatani akan berbeda untuk setiap petani, dimana perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan faktor produksi, tingkat produksi yang dihasilkan dan harga jual yang tidak sama hasilnya. Pendapatan cabang usaha adalah selisih antara penerimaan cabang usaha yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Pengukuran pendapatan pada dasarnya dapat menggunakan beberapa perhitungan. Pilihan bergantung pada tingkat perkembangan usahataninya. Jika usahatani yang menggunakan tenaga kerja dari keluarga maka lebih tepat pendapatan itu dihitung sebagai pendapatan yang berasal dari kerja keluarga. Pada kasus tersebut kerja


(25)

25 keluarga tidak usah dihitung sebagai pengeluaran. Ada pula usahatani yang menggunakan tenaga kerja yang diupah. Dalam hal yang demikian, upah kerja dihitung sebagai pengeluaran.

Prinsip penting yang perlu diketahui dalam menganalisis mengenai pendapatan pada usahatani adalah keterangan mengenai keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran. Penerimaan didapat dari hasil perkalian antara berapa besar produksi yang dicapai dan dapat dijual dengan harga satuan komoditi tersebut di pasar. Pengeluaran usahatani dapat diperoleh dari perolehan nilai penggunaan faktor produksi serta seberapa besar penggunaanya pada suatu proses produksi yang bersangkutan (Soekartawi et al, 1986).

3.1.5. Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Rasio)

Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah rasio imbangan penerimaan dan biaya (Return and Cost). Rasio R/C ini menunjukkan pendapatan kotor yang diterima untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk memproduksi tiap satuan produksi. Alat analisis ini dapat dipakai untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan financial sehingga dapat dijadikan penilaian terhadap keputusan petani untuk menjalankan usahatani tertentu. Titik tekan pada konsep ini adalah unsur biaya merupakan unsur modal. Dalam analisis ini akan dikaji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soeharjo dan Patong 1973).

Usahatani efisien apabila R/C lebih besar dari 1 (R/C>1) artinya untuk setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan memberikan penerimaan lebih dari Rp. 1,00. Sebaliknya jika rasio R/C lebih kecil satu (R/C<1) maka dikatakan bahwa untuk setiap Rp. 1,00 yang dikeluarkan akan memberikan penerimanaan lebih kecil dari Rp. 1,00 sehingga usahatani dinilai tidak efisien. Semakin tinggi nilai R/C, semakin menguntungkan usahatani tersebut (Gray et al 1992).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Salah satu komoditi sayuran unggulan nasional adalah cabai. Kebutuhan akan komoditi ini khususnya cabai rawit terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan perkembangan industri di Indonesia


(26)

26 (Lampiran 1). Penelitian ini dilakukan berdasarkan kecenderungan yang terjadi pada permasalahan agribisnis cabai rawit di Indonesia. Permasalahan tersebut menyebabkan ketidakpastian pendapatan petani akibat dari terjadinya fluktuasi harga di pasar nasional.

Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut merupakan desa yang memiliki potensi untuk mengembangkan tanaman hortikultura khususnya cabai rawit sebagi komoditas unggulan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi alam dan kondisi sosial masyarakatnya yang mendukung produksi cabai rawit hingga mencapai 5,5 ton dari total potensi sebesar 7,5 ton (Programa 2012 BP3K Cigedug). Berdasarkan potensi tersebut, PT Indofood Fritolay Makmur menjalin kemitraan dengan petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Namun, tidak semua petani cabai rawit merah di Desa Cigedug memilih menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur.

Resiko dari segi pasar akibat fluktuasi harga cabai rawit merah yang tinggi dirasakan oleh petani cabai rawit merah di Desa Cigedug yang lebih memilih untuk tidak menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur. Sedangkan bagi petani cabai rawit merah yang memilih untuk menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur mendapatkan manfaat berupa harga yang tetap, pasar yang tetap dan pembinaan dalam menjalankan usahatani cabai rawit merah dari pihak Indofood.

Perubahan harga cabai rawit merah tersebut kemudian digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa perubahan harga cabai rawit merah akan berdampak kepada perubahan penerimaan yang diperoleh oleh petani cabai rawit merah di desa Cigedug. Perbedaan penerimaan petani juga akan menyebabkan perbedaan pendapatan yang diterima petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Hubungan kemitraan antara petani cabai rawit merah dan perusahaan yang bermitra dapat dijadikan salah satu alternatif solusi yang telah dilakukan oleh beberapa petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Hal tersebut didasarkan kepada manfaat yang diterima oleh para petani berupa kepastian harga yang tetap sehingga keuntungan yang didapat oleh petani tergantung dari kemampuan efisiensi biaya produksi yang dikeluarkan.


(27)

27 Kegiatan usahatani cabai rawit merah sebagai suatu proses produksi harus dilakukan secara efisien, sehingga diperoleh keuntungan yang maksimum. Kondisi keuntungan kegiatan usahatani cabai rawit merah didekati dengan analisis pendapatan usahatani. Identifikasi biaya dan penerimaan diperlukan dalam analisis pendapatan usahatani tersebut. Identifikasi biaya dilakukan agar biaya-biaya produksi yang dikeluarkan dalam usahatani dapat diketahui. Harga jual juga diperlukan karena merupakan komponen penerimaan cabang usahatani. Keuntungan diperoleh dari total penerimaan dikurangi biaya yang dikeluarkan. Penerimaan yang diterima untuk setiap satuan unit biaya yang dikeluarkan dapat dihitung dengan pendekatan rasio R/C. Usahatani yang dilakukan menguntungkan jika rasio tersebut lebih besar dari satu.

Oleh karena itu, seberapa jauh setiap nilai rupiah yang diterima petani cabai rawit merah dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan gambaran sejumlah nilai dan pengeluaran sebagai biayanya. Sehingga dapat diketahui sistem pertanian mana yang lebih efisien antara petani bermitra dan petani yang tidak bermitra. Berdasarkan hasil analisis pendapatan dan efisiensi maka penelitian dapat dijadikan bahan masukan untuk para petani dalam membudidayakan cabai rawit, baik dengan pola kemitraan maupun non-kemitraan. Bagan Alur kerangka pemikiran dari usahatani cabai rawit dengan bermitra dan cabai rawit tanpa mitra dapat dilihat pada Gambar 1.


(28)

28 Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) (Kasus : Petani Mitra PT Indofood Fritolay Makmur dan Petani Nonmitra Di Desa Cigedug Kec. Cigedug Kab. Garut

Potensi Pengembangan Cabai Rawit Merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug

Kabupaten Garut

Petani Cabai Rawit Merah Bermitra Dengan PT Indofood Fritolay Makmur

Harga Tetap

Petani Cabai Rawit Merah yang tidak Bermitra Dengan PT Indofood Fritolay Makmur

Harga Berfluktuasi

Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah

Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah

R/C Rasio R/C Rasio


(29)

29

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Garut merupakan salah satu sentra produksi cabai rawit di Indonesia. Pemilihan Kecamatan Cigedug dikarenakan wilayah tepatnya di Desa Cigedug terdapat banyak petani yang telah menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Fritolay Makmur. Pelaksanaan penelitian akan dilakukan pada bulan Mei hingga Juni 2012.

4.2. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dengan melakukan observasi langsung di daerah penelitian serta pembuatan daftar pertanyaan yang telah disiapkan untuk melakukan wawancara. Metode yang digunakan adalah wawancara langsung kepada petani sebagai responden dengan menggunakan kuisioner sebagai alat bantu seperti yang tertera pada Lampiran 9.

Data sekunder didapat dari instansi-instansi terkait yakni Badan Penyuluh Pertanian (BPP), Kecamatan Cigedug, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin), serta hasil-hasil penelitian berupa publikasi-publikasi dan jurnal-jurnal pertanian oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). Selain itu, data sekunder juga didapat dari situs web internet, buletin, literatur-literatur serta sumber-sumber yang terkait dengan topik penelitian ini.

4.3. Metode Penarikan Contoh

Responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 petani cabai rawit merah yang terdiri dari 9 petani yang menjalin kemitraan dan 15 petani yang tidak menjalin kemitraan di wilayah Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut. Penentuan petani responden dilakukan menggunakan metode purposive menggunakan data petani yang berasal dari Gapoktan Cagarit dan disesuaikan


(30)

30 dengan karakteristik dan jenis tanaman tumpang sari yang dominan diusahakan bersama cabai rawit merah. Adapun definisi petani cabai rawit merah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah para petani Desa Cigedug yang membudidayakan tanaman cabai rawit merah secara tumpang sari dengan tanaman tomat dan kol minimal satu kali dalam satu musim tanam di lahan sendiri atau di lahan garapan, baik yang telah bermitra dengan PT. Indofood Fritolay Makmur maupun yang tidak bermitra.

4.4. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Metode analisis data kuantitatif menggunakan analisis pendapatan usahatani yang berdasarkan pada penerimaan dan biaya usahatani, sedangkan R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani tersebut. Metode analisis data kualitatif dianalisis secara deskriptif pada analisis keragaan usahataninya. Jadi analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis keragaan usahatani dan analisis pendapatan usahatani dari komoditi cabai rawit merah yang telah menjalin kemitraan dan tidak menjalin kemitraan.

4.4.1. Analisis Keragaan Usahatani

Analisis keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif dengan mengamati secara langsung proses usahatani mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan hingga pemanenan. Analisis ini juga ditunjang dengan data-data primer yang diperoleh melalui proses wawancara langsung terhadap petani responden. Analisis keragaan usahatani digunakan untuk mengetahui secara detail kegiatan usahatani yang berlangsung mulai dari sarana produksi yang digunakan hingga teknik budidaya yang digunakan oleh masing-masing petani responden. Keragaan usahatani ini dapat memberi penjelasan tentang hasil produksi serta biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani yang dijalankan.

4.4.2. Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan dalam penelitian ini akan dibedakan menjadi dua, pertama pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) yaitu biaya yang benar-benar dikeluarkan secara tunai oleh petani (explicit cost). Kedua, pendapatan atas biaya


(31)

31 total (pendapatan total) dimana semua input milik keluarga juga diperhitungkan sebagai biaya (Siregar 2008).

Penerimaan total usahatani (total farm revenue) merupakan nilai produk dari usahatani yaitu harga produk dikalikan dengan total produksi periode tertentu. Total biaya atau pengeluaran adalah semua nilai faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode tertentu. Pendapatan total usahatani dapat diartikan sebagai penerimaan total dikurang dengan semua biaya yang telah dikeluarkan, baik biaya tunai maupun tidak tunai. (Soekartawi 2006). Secara matematis tingkat pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi 1986) :

TR = P x Q

TC = biaya tunai + biaya diperhitungkan

π atas biaya tunai = TR - biaya tunai

π atas biaya total = TR – TC Keterangan :

TR : total penerimaan usahatani (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp) P : harga output (Rp/Kg) Q : jumlah output (Kg)

π : pendapatan atau keuntungan (Rp)

Biaya tunai digunakan untuk melihat seberapa besar likuiditas tunai yang dibutuhkan petani untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Biaya tunai terdiri dari sarana produksi, tenaga kerja luar keluarga, dan pajak dan sewa lahan. Biaya tidak tunai digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika penyusutan, bibit sendiri dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Biaya yang diperhitungkan meliputi, penyusutan alat, dan tenaga kerja dalam keluarga serta biaya bibit sendiri.

Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal pakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan


(32)

32 diasumsikan tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Soekartawi 2006) :

Biaya penyusutan : Dengan : Nb = Nilai pembelian (Rp)

Ns = tafsiran nilai sisa (Rp)

n = jangka usia ekonomis (Tahun)

4.4.3. Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C-ratio)

Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi. Salah satu ukuran efisiensi penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio) adalah analisis R/C. Analisis R/C rasio dalam usahatani menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari usahatani yang dilaksanakan. Selain itu R/C rasio juga merupakan perbandingan antara penerimaan dengan pengeluaran usahatani.

Rasio R/C yang dihitung dalam analisis ini terdiri dari R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total. Rasio R/C atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Rasio R/C atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Rumus analisis imbangan penerimaan dan biaya usahatani adalah sebagai berikut (Soekartawi 1986) :

R/C rasio atas biaya tunai = TR / biaya tunai R/C rasio atas biaya total = TR / TC

Keterangan :

TR : total penerimaan usahatani (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp)

Secara teoritis R/C menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R/C. Suatu usaha dapat dikatakan menguntungkan dan layak untuk diusahakan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu (R/C > 1), makin tinggi nilai R/C menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin lebih besar dari tiap unit biaya yang


(33)

33 dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut. Namun apabila nilai R/C lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha ini tidak mendatangkan keuntungan sehingga tidak layak untuk diusahakan karena penerimaan yang diterima lebih kecil dari tiap unit yang dikeluarkan. Contoh perhitungan pendapatan usahatani dapat dilihat pada Tabel 2 (Soekartawi 1986).

Tabel 2. Contoh Perhitungan Pendapatan Usahatani dan R/C Ratio Per Hektar Per Tahun Tanaman Musiman.

No Keterangan Jumlah Harga per Satuan (Rp)

Total (Rp) A Penerimaan

B Biaya tunai 1 Bibit 2 Pupuk 3 Obat-obatan

4 Tenaga kerja luar keluarga 5 Plastik

6 Koran

Total biaya tunai

C Biaya yang diperhitungkan 1 Penyusutan

2 Sewa lahan

3 Tenaga kerja keluarga

Total biaya yang diperhitungkan D Total biaya (B+C)

E Pendapatan atas biaya tunai (A-B) F Pendapatan atas biaya total (A-D) G R/C atas biaya tunai (A/B)


(34)

34

V.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Agroekonomi Kabupaten Garut

Kabupaten Garut memiliki 42 kecamatan dengan luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha. Sektor pertanian Kabupaten Garut masih merupakan sektor andalan karena secara geografis Kabupaten Garut bedekatan dengan Kota Bandung yang menjadi ibukota propinsi Jawa Barat. Oleh karena itu Kabupaten Garut dapat dikatakan sebagai daerah penyangga bagi pengembangan wilayah Bandung Raya. Peran sektor pertanian Kabupaten Garut yang strategis dalam memasok kebutuhan lokal Garut sekaligus warga Kota dan Kabupaten Bandung menjadi salah satu penunjang perkembangan agroekonomi Kabupaten Garut.

Berdasarkan produktivitasnya, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut menyatakan bahwa terdapat enam komoditas andalan tanaman pangan dan sayuran Kabupaten Garut yakni padi, jagung, kentang, tomat, cabai merah dan ubi kayu.9

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun 2007-2011

9

Disampaikan dalam acara Hari Krida Pertanian Jawa Barat oleh Ir. Tatang Hidayat (Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut) pada 3 Juli 2012.

- 50 100 150 200 250 300

2007 2008 2009 2010 2011

Pr

o

d

u

kt

iv

itas

(K

w/

h

a)


(35)

35 Bedasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa sejak tahun 2007-2011 komoditas tomat memiliki tingkat produktivitas tertinggi dengan rata-rata produktivitas sebesar 276,32 kw/ha per tahun disusul dengan kentang sebesar 228,54 kw/ha per tahun dan ubi kayu sebesar 221,44 kw/ha per tahun. Dapat diketahui juga rata-rata tingkat produktivitas cabai rawit sebesar 99,73 kw/ha per tahun masih berada di bawah cabai besar dengan rata-rata produktivitas sebesar 146,05 kw/ha per tahun. Sedangkan untuk padi dan jagung secara berturut-turut hanya memiliki rata-rata produktivitas sebesar 59,12 kw/ha dan 65,18 per tahun.

Secara geografis dan iklim di beberapa daerah Kabupaten Garut sangat mendukung penanaman dan pengembangan komoditas sayuran seperti tomat, kentang, serta cabai baik cabai besar maupun cabai rawit. Iklim dataran tinggi dan dekatnya dengan sejumlah sumber mata air yang berada di sejumlah wilayah Kabupaten Garut memang merupakan salah satu faktor utama tanaman sayuran seperti kentang, tomat dan cabai dapat dibudidayakan dengan baik. Perbandingan luas lahan tanam keempat komoditi sayuran tersebut di Kabupaten Garut dapat terlihat seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Rata-rata Luas Tanam Kentang, Tomat, Cabe Besar, dan Cabai Rawit di Kabupaten Garut tahun 2011-2012

No Komoditi LUAS TANAM (Ha) Jumlah Rata - rata 2007 2008 2009 2010 2011

1 Kentang (ha) 5,448 5,230 5,342 5,919 6,065 28,004 5,601 2 Tomat (ha)

3,080 3,102 3,478 3,285 3,401 16,346 3,269 3 Cabe Besar (ha) 848 852 972 870 933 4,475 895 4 Cabe Rawit (ha) 1,341 1,285 1,476 1,149 2,186 7,422 1,484 Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Garut

Beberapa daerah dataran tinggi di Kabupaten Garut yang cocok sebagai tempat budidaya kentang antara lain Kecamatan Pamulihan, Cikajang, Bayongbong, Cigedug, Cisurupan, Samarang, Wanaraja dan Pasirwangi. Terdapat dua jenis varietas kentang yang dominan digunakan oleh para petani di Kabupaten Garut yaitu Granola dan Atlantik. Varietas Granola biasa dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pasar-pasar tradisional sedangkan untuk varietas Atlantik


(36)

36 biasa dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan industri-industri seperti keripik kentang baik dalam skala industri kecil maupun besar.

PT. Indofood Fritolay Sukses Makmur merupakan salah satu pelaku industri yang memberi pengaruh terhadap perkembangan penggunaan varietas kentang di Kabupaten Garut. Perusahaan industri makanan tersebut memang sengaja menjalin sebuah hubungan kemitraan dengan banyak petani kentang di berbagia daerah termasuk Kabupaten Garut guna memenuhi kebutuhan supply input ke pabriknya. Harga yang ditentukan oleh PT. Indofood Fritolay Makmur bersama petani kentang adalah berkisar antara Rp 5.000,00-5.250,00 Rp/kg. Harga tersebut berada diatas rata-rata harga pasar yang hanya berkisar Rp 4.000-4.500/kg untuk kentang yang termasuk varietas Atlantik.

Berbeda dengan kentang, pada komoditi tomat petani di Garut cenderung menggunakan benih hibrida yang dihasilkan baik oleh perusahaan lokal maupun luar negeri. Varietas yang digunakan antara lain adalah maya, memara, seminis, martha, warani, natama, permata dan livino. Kemudahan akses petani dalam memperoleh benih tomat hibrida serta sulitnya melakukan kegiatan pembenihan sendiri oleh petani terhadap benih lokal telah mendorong sebuah ketergantungan terhadap benih impor. Tingginya kemampuan produktivitas pada tomat merupakan salah satu potensi bagi Kabupaten Garut. Namun, tingginya produktivitas para petani tomat tidak diikuti dengan harga pasar yang baik. Harga rata-rata tomat di tingkat pasar berkisar antara 3.000-6.000 Rp/kg sedangkan di tingkat petani hanya berkisar 500,00-3.000,00/kg.

Pada cabai besar, varietas dominan yang digunakan oleh para petani di Kabupaten Garut antara lain varietas Biola, Fantastic, dan Tanjung. Varietas-varietas tersebut termasuk kedalam jenis Varietas-varietas hibrida yang cukup mudah untuk diperbanyak sendiri pembenihannya. Adapun kisaran harga rata-rata yang diterima di tingkat produsen berkisar antara Rp 5.000,00-7.000,00/kg. Namun, harga cabai besar dapat mencapai Rp 70.000,00 /kg di tingkat pasar. Hal tersebut terjadi akibat tingginya permintaan di pasar pada saat Hari Raya Idul Fitri.

Sedangkan untuk cabai rawit di Kabupaten Garut didominasi oleh varietas

lokal yang sering disebut dengan sebutan “cengek” atau “cabai inul”. Varietas lokal tersebut dianggap paling cocok dibudidayakan oleh para petani di


(37)

37 Kabupaten Garut karena lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit daripada cabai sejenisnya. Besar perbandingan jumlah produksi antara cabai besar dan cabai rawit merah di Kabupaten Garut dapat di lihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan Jumlah Produksi Cabai Besar dan Cabai Rawit Kabupaten Garut Tahun 2001-2011.

Berdasarkan data pada Gambar 3 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan tren jumlah produksi yang terjadi antara cabai besar dengan cabai rawit. Pada cabai besar terjadi peningkatan jumlah produksi yang cukup signifikan pada tahun 2008 hingga tahun 2010. Tercatat sebesar 61.045 ton produksi cabai besar pada tahun 2008 kemudian meningkat menjadi 79.492 ton pada tahun 2010. Sedangkan untuk jumlah produksi cabai rawit tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan produksi tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar 22.628 ton.

Cabai rawit khususnya jenis cabai rawit merah memang merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Garut yang mendapat perhatian karena tren harga yang sangat berfluktuasi tiap pekannya. Dalam waktu satu tahun harga rata-rata ditingkat petani Desa Cigedug mencapai Rp 9000,00 per kilogram sedangkan di tingkat pasar lokal Rp 12.000,00. Beberapa kecamatan penghasil utama cabai rawit di Kabupaten Garut antara lain adalah Kecamatan Cigedug, Caringin, Talegong, dan Bungbulan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui perbandingan luas panen, produksi, dan produktivitas antara keempat kecamatan tersebut.

- 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000

2007 2008 2009 2010 2011

Ju

m

lah

Pr

o

d

u

ksi

(

to

n

)

Cabe Besar Cabe Rawit


(38)

38 Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Rawit di Tingkat

Kecamatan Kabupaten Garut Tahun 2009-2011

Kecamatan Luas Panen (Ha)

2009 2010 2011

Caringin 318 180 283 Talegong 266 107 152 Bungbulang 162 142 139 Cigedug 162 152 254

Produksi (Ton)

Caringin 4.410 231 3.667 Talegong 3.134 1.220 1.831 Bungbulang 1.963 1.601 1.669 Cigedug 1.865 1.869 3.304

Produktivitas (Ton/Ha)

Caringin 138,68 128,17 129,58 Talegong 117,82 113,99 120,46 Bungbulang 121,17 112,75 120,07 Cigedug 115,12 122,94 130,08

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut (2012)

5.2. Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug

Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 1.200 meter di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan 75 persen berbukit, 20 persen landai dan 5 persen curam. Desa Cigedug terletak di sebelah selatan dari kabupaten Garut dengan jarak 30 km dari ibu kota kabupaten.

Desa Cigedug memiliki luas wilayah sekitar 1138,2 ha, yang terdiri dari tanah sawah 3,90 ha, tanah kering 644,87 ha, lahan perkebunan 67 aa, fasilitas umum 4,14 ha, dan tanah hutan 172,39 ha. Tanah kering dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan 76,9 persen, dan tanaman keras 22 persen, dan kolam air 1,1 persen. Penduduk Desa Cigedug berjumlah 10.201 jiwa yang terdiri dari 5.117 jumlah laki-laki dan 5.084 jumlah perempuan, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.647 KK yang mayoritas memeluk agama islam. Secara umum masyarakat Desa Cigedug bermata pencaharian di sektor pertanian dengan Jumlah rumah tangga petani sebanyak 661 orang.

Jenis tanahnya terdiri dari Regosol 60 persen Latosol, 25 persen dan tanah Alluvia,l 15% dengan keadaan drainase 70 persen baik, 20 persen cukup baik dan


(39)

39 10% kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penanaman tanaman sepanjang tahun. Berdasarkan hasil analisis pengamatan curah hujan tiga tahun terakhir menunjukan bahwa rata-rata jumlah hari hujan 156 hari dan tipe iklim untuk Kecamatan Cigedug termasuk tipe iklim C (agak basah), dimana setiap tahunnya antara 7-8 bulan basah dan 3-4 bulan kering. Keadaan iklim seperti ini membuat wilayah Desa Cigedug sesuai untuk pengembangan budidaya sayuran, seperti tomat, kentang, kol, cabai, jagung, pecay, dan wortel.

5.3. Karakteristik Petani Cabai Rawit Merah

Petani Cabai Rawit Merah yang dipilih sebagai responden adalah sebanyak 30 responden di Desa Cigedug. Usahatani yang dilakukan responden menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman pokok tumpangsari yaitu tomat dan kol. Hal ini dilakukan karena tanaman cabai rawit merah di dataran tinggi seperti di Desa Cigedug memiliki waktu siap panen yang cukup lama yakni 6 bulan sehingga akan lebih efisien dan ekonomis jika dijadikan sebagai tanaman tumpang sari dari tomat dan kol yang hanya berumur 3-4 bulan.

Karakteristik petani yang akan diuraikan meliputi usia dan pengalaman petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang digarap. Karakteristik petani responden selengkapnya diuraikan sebagai berikut.

5.3.1. Usia dan Pengalaman Petani Responden

Secara umum, rata- rata usia petani responden yang mengusahakan cabai rawit merah baik yang melakukan kemitraan maupun yang tidak adalah antara 30-80 tahun. Sebaran umur petani ini dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu petani responden yang berusia muda dengan umur kurang dari 40 tahun, petani berusia sedang dengan umur 41 sampai 60 tahun, dan petani responden berusia tua dengan umur lebih dari 60 tahun. Jika dilihat dari sebaran umur petani responden, sebagian besar responden adalah petani yang usianya tergolong kategori petani berusia sedang yaitu pada kelompok usia 41-60 tahun sebesar 54,17%. Sebaran usia petani responden dapat dilihat pada Gambar 4.


(1)

102

9. Jika harga sedang tinggi, apakah beralih dari kemitraan?

a. Ya b. Tidak

Alasan ………

10. Siapa pihak yang menanggung biaya pengangkutan dan transportasi? a. Perusahaan Mitra Seluruhnya

b. Petani seluruhnya c. Gapoktan seluruhnya

d. Lainny,……… 11. Kendala dan masalah dalam proses kemitraan?

a. Budidaya bermasalah b. Harga tidak sesuai

c. Realisasi pembinaan dan pelatihan tidak ada d. Kualitas produk bermasalah.


(2)

103

Lampiran 10. Dokumentasi Penelitian

Lahan Cabe Rawit Merah Pembibitan

Pemasangan Mulsa Pola Tanam Sejajar


(3)

104 Pola Tumpang Sari Cabe Rawit dengan Pola Tumpang Sari Cabe Rawit dengan

Kol dan Tomat Kol

Pola Tumpang Sari Cabe Rawit dengan Penyakit Patek Kering Sawi


(4)

105 Pupuk Kandang Sortasi dan Grading


(5)

B

RINGKASAN

TUBAGUS FAZLURRAHMAN. Pendapatan Usahatani Cabai Rawit Merah (Capsicum frutescens) Petani Mitra PT. Indofood Fritolay Makmur dan Petani Nonmitra di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabubaten Garut. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah Bimbingan RITA NURMALINA).

Secara umum di Indonesia terjadi peningkatan konsumsi cabai rawit dari tahun 2004 hingga 2010. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat produktivitas cabai rawit tertinggi se-Indonesia pada tahun 2007 hingga 2010 yaitu sebesar 12,04 ton pada tahun 2007; 10,82 ton pada tahun 2008; 14,96 ton pada tahun 2009; dan 9,32 ton pada tahun 2010. Jumlah produksi cabai rawit Jawa Barat mengalami fluktuasi pada tahun 2006 hingga 2010. Permasalahan dalam kegiatan usahatani merupakan salah satu penyebab utama menurunnya tingkat produksi cabai rawit. Risiko produksi merupakan salah satu faktor penurunan jumlah produksi cabai rawit. Cabai rawit merupakan komoditas yang mengalami fluktuasi harga yang disebabkan ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dengan jumlah permintaan konsumen di pasar.

Flutuasi harga dapat mempengaruhi penerimaan usahatani cabai rawit merah. Terdapat hubungan kemitraan yang telah dijalin oleh PT Indofood Fritolay Makmur dengan sebagian petani cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut. Kemitraan tersebut mampu memberikan kepastian harga kepada petani cabai rawit merah di Desa Cigedug. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaan usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut, menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur serta menganalisis tingkat pendapatan usahatani petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Makmur.

Proses pengambilan data primer dilaksanakan di Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut pada bulan Mei hingga Juli 2012. Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 24 orang. Responden diambil dengan menggunakan metode purposive menggunakan data petani yang berasal dari Gapoktan Cagarit yang disesuaikan dengan karakter petani dan jenis tanaman tumpang sari yang diusahakan bersama cabai rawit merah. Analisis kualitatif pada penelitian ini dilakukan dengan mengkaji keragaan usahatani. Analisis kuantitatif meliputi analisis biaya, penerimaan, pendapatan usahatani dan R/C rasio. Pengolahan data menggunakan program Microsoft Office Excell 2007 kemudian disajikan secara tabulasi dan diinterpretasikan serta diuraikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani cabai rawit merah yang dilakukan para petani responden baik petani mitra maupun nonmitra di Desa Cigedug memiliki perbedaan pada proses budidayanya. Perbedaan terdapat pada penggunaan faktor-faktor input seperti jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jumlah dan dosis obat-obatan yang digunakan, penggunaan tenaga kerja, perawatan dan proses pemanenan yang dilakukan. Penggunaan jenis pupuk cenderung sama namun yang berbeda adalah dosis pupuk yang digunakan. Petani mitra menggunakan pupuk relatif lebih banyak dibandingkan petani nonmitra. Sedangkan petani nonmitra lebih banyak menggunakan obat-obatan daripada


(6)

C petani mitra. Penggunaan pupuk yang baik dan sesuai kebutuhan dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga baik pada petani mitra maupun nonmitra secara berturut-turut paling banyak digunakan pada kegiatan pemanenan, pemeliharaan, pengolahan lahan, dan pemupukan tambahan. Perawatan yang dilakukan petani mitra relatif lebih intensif sehingga risiko terserang hama dan penyakit lebih sedikit dibandingkan petani nonmitra.

Besar penerimaan yang berasal dari usahatani cabai rawit merah yang dihasilkan petani nonmitra lebih sedikit dibandingkan yang dihasilkan oleh petani mitra yaitu sebesar Rp 204.110.3002,6 sedangkan petani mitra mampu menghasilkan penerimaan yang berasal dari usahatani cabai rawit merah sebanyak Rp 307.734.619,72. Hal tersebut disebabkan produktivitas yang diterima petani mitra lebih tinggi dibandingkan produktivitas yang diterima petani nonmitra. Biaya total usahatani cabai rawit merah yang dikeluarkan oleh petani mitra adalah sebesar Rp 83.501.592,36 sedangkan besar biaya total usahatani cabai rawit merah pada petani nonmitra sedikit lebih besar yaitu sebesar Rp 84.014.177,51. Biaya total usahatani cabai rawit merah terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Usahatani cabai rawit merah yang dijalankan petani mitra di Desa Cigedug juga dapat disimpulkan lebih menguntungkan karena memiliki nilai pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan petani nonmitra. Besar pendapatan usahatani cabai rawit merah petani mitra adalah sebesar Rp 224.233.027,36 sedangkan pendapatan usahatani cabai rawit merah petani nonmitra hanya sebesar Rp 120.096.125,06. Nilai R/C rasio atas biaya total petani mitra sebesar 3,69 sedangkan nilai R/C rasio atas biaya total petani nonmitra di Desa Cigedug adalah sebesar 2,43. Nilai tersebut menunjukan bahwa kegiatan usahatani pada petani mitra lebih efisien daripada petani nonmitra.

Proses kemitraan dapat menjadi pilihan untuk dilakukan bagi petani cabai rawit merah di Desa Cigedug karena memberikan keuntungan yang lebih besar serta manfaat lain dilihat dari pendapatan usahatani cabai rawit merah antara petani mitra dan nonmitra. Peran vendor pada proses kemitraan seharusnya dapat melibatkan petani cabai rawit yang bermitra secara langsung agar margin sebesar Rp 5.000,00/kg cabai rawit merah dapat pula dirasakan oleh petani cabai rawit merah yang menjadi anggota Gapoktan Cagarit dalam proses kemitraan yang dijalankan. Petani nonmitra tidak mendapatkan pembinaan dari agrofield Indofood sehingga peran pemerintah daerah setempat melalui Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas per hektar lahan usahatani cabai rawit merah yang dijalankan oleh petani nonmitra untuk memberi penyuluhan dan pendampingan mengenai tata cara tanam yang baik. Penelitian ini belum dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar pengaruh perubahan penggunaan faktor input produksi terhadap tingkat produktivitas cabai rawit merah sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh perubahan penggunaan faktor input produksi terhadap produktivitas cabai rawit merah.