Pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil belajar siswa pada konsep tekanan

(1)

TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

PADA KONSEP TEKANAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

S U T R I S N I

NIM : 107016301037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA JURUSAN

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

SURAT PERNYATAAN SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sutrisni

NIM : 107016301037

Jurusan/Prodi : Pendidikan IPA/ Pendidikan Fisika

Judul Skripsi : Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme terhadap Hasil

Belajar Siswa pada Pokok Materi Tekanan

Dosen Pembimbing : 1. Kinkin Suartini, M.Pd.

2. Ai Nurlaela, M.Si.

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Muanaqasah.

Jakarta, Juni 2014

S u t r i s n i NIM. 107016301037


(5)

SUTRISNI, “Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme terhadap Hasil Belajar Siswa

Pada Pokok Materi Tekanan” Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil belajar IPA Fisika siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode quasi eksperimen kelas kontrol dan eksperimen purpossive sampel desain

pretest-posttest. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Parung Tahun Ajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi sampel penelitian adalah siswa kelas VIII-4,

sebagai kelompok eksperimen yang diberi pendekatan pembelajaran

konstruktivisme dan siswa kelas VIII-3 yang diberi pembelajaran konvensional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa soal pilihan ganda

sebanyak 22 butir soal. Pengujian normalitas menggunakan uji liliefors

menunjukan bahwa data terdistribusi secara normal. Uji homogenitas dengan

menggunakan uji fisher menunjukan bahwa sampel bersifat homogen. Kemudian

uji hipotesis penelitian dengan menggunakan uji-t dengan taraf signifikan α = 5 %

diperoleh nilai t hitung = 3,27. Nilai ttabel untuk dk = 66 pada taraf signifikansi 5

% adalah 1,70. Sedangkan kriteria pengujiannya adalah Ho ditolak jika nilai thitung

lebih besar dari ttabel. Karena hasil data diatas menunjukkan bahwa nilai thitung lebih

besar dari nilai ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme

berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.


(6)

SUTRISNI , " Influence of Constructivist Approach to Student Results In Basic Materials Pressure " Thesis , Physical Education Studies Program , Department of Natural Sciences Education , Faculty of Tarbiyah and Teaching , Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta .

This study aims to determine the effect of a constructivist approach to learning science student's results . The method used is the method of quasi-experimental and experimental control class purposive sample pretest - posttest design . This research was conducted at SMP Negeri 2 Parung Academic Year 2013/2014 . As for the study sample were students of class VIII - 3 , as the experimental group were given a constructivist approach to learning and class VIII - 4 were given conventional learning . The instrument used in this research is a multiple choice items were as much as 22 . Testing for normality using Liliefors test shows that the data are normally distributed . Homogeneity test using fisher test showed that the samples are homogeneous . Then test the research hypotheses using t-test with significance level α = 5 % was obtained tvalue = 3.27 . ttable value for df = 66 at the

5% significance level is 1.70 . While the test criteria is Ho is rejected if the tvalue is

greater than ttable . Because the results of the above data shows that the tvalue is

greater than ttable , it can be concluded that the constructivist approach affects

student learning outcomes .


(7)

Segala puji hanya milik Allah SWT, alhamdulillah dengan rahmat dan kasih sayang-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis ungkapkan semoga Allah sampaikan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, dan para pengkutnya sampai akhir zaman.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Strata Satu ( S-1 ). Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini tentunya tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan meskipun belum sempurna.

Oleh karena itu tiada ungkapan yang pantas ducapkan kecuali rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Ibu Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Baiq Hana Susanti, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam

3. Bapak Iwan Permana Suwarna, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Fisika.

4. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd, Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing penulis selama ini.

5. Ibu Ai Nurlaela, M.Si, Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan pemikiran dan waktunya sehingga tuntasnya skripsi ini.

6. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen jurusan pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Pendidikan Fisika yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan, semoga Allah membalas semuanya dengan pahala dan kebaikan. Amien.

7. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 2 Parung beserta Staf dan seluruh dewan guru khususnya Bapak Septa Tri Puripana, S.P. sebagai


(8)

penulis selama melaksanakan penelitian.

8. Ayahanda tercinta Kateno dan Ibunda Paini (Alm) yang selalu mendo’akan

dan memberikan nasehat serta bimbingan kepada anaknya untuk selalu mampu meneruskan perjuangan, harapan dan cita-cita.

9. Teman-teman seperjuanganku, jurusan pendidikan IPA Prodi Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2007 yang sama-sama merasakan pahit manisnya masa-masa kuliah.

10. Teman-teman seperjuanganku Kakak dan adik-adik angkatan, jurusan pendidikan IPA Prodi Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karen itu, penulis secara terbuka menerima setiap kritik dan saran yang bersifat membangun. Walaupun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, Juli 2014 Penulis


(9)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi masalah... 4

C. Pembatasan masalah ... 4

D. Perumusan masalah ... 4

E. Tujuan penelitian ... . 4

F. Manfaat penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Konstruktivisme ... 6

2. Penguasaan Konsep ... 10

3. Hasil Belajar ... 12

4. Jenis-jenis Belajar ... 16

5. Prinsip-prinsip Belajar ... 18

6. Pembelajaran IPA ... 21

7. Pengertian Hasil Belajar ... 22

8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 29

9. Konsep Tekanan ... 30


(10)

B. Kerangka Berpikir ... 35

C. Hipotesis Penelitian... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

B. Metode Penelitian ... 38

C. Desain Penelitian ... 38

D. Variabel Penelitian ... 39

E. Populasi dan Sampel ... 39

F. Teknik Pengambilan Sampel ... 39

G. Teknik Pengumpulan Data ... 39

H. Instrumen Penelitian ... 40

I. Teknik Analisis Data ... 45

J. Hipotesis Statistik ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 49

B. Hasil Uji Prasyarat ... 55

C. Pembahasan hasil penelitian ... 57

D. Keterbatasan Penelitian ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 64


(11)

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 38

Tabel 3.2 Kisi-kisi Tes Hasil Belajar pada Konsep Tekanan ... 40

Tabel 3.3 Hasil Perhitungan Uji Validitas ... 42

Tabel 3.4 Hasil Perhitungan Uji Reliabilitas ... 43

Tabel 3.5 Hasil Perhitungan Taraf Kesukaran ... 44

Tabel 3.6 Hasil Uji Daya Pembeda ... 45

Tabel 3.7 Hasil Uji Statistika ... 45

Tabel 4.1 Pemusatan dan Penyebaran Data pada Pretest Kedua Kelompok ... 50

Tabel 4.2 Kategorisasi Pretest Kedua Kelompok ... 51

Tabel 4.3 Pemusatan dan Penyebaran Data pada Posttest Kedua Kelompok .... 52

Tabel 4.4 Kategorisasi Posttest Kedua Kelompok ... 53

Tabel 4.5 Data Hasil Observasi ... 53

Tabel 4.6 Data Hasil Wawancara ... 55

Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas ... 55

Tabel 4.8 Hasil Uji Homogenitas ... 56

Tabel 4.9 Hasil Uji Hipotesis ... 56


(12)

Gambar 2.1 Taksonomi Bloom yang telah direvisi ... 26

Gambar 2.2 Sepatu Bola ... 30

Gambar 2.3 Prinsip Hukum Pascal ... 31

Gambar 2.4 Bejana Berhubungan ... 32

Gambar 2.5 Percobaan Torricelli ... 33

Gambar 4.1 Diagram Hasil Pretest kedua Kelompok ... 49

Gambar 4.2 Diagram Hasil Posttest Kedua Kelompok ... ..51


(13)

Lampiran 1 Rencana Proses Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen ... 64

Lampiran 2 Rencana Proses Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ... 75

Lampiran 3 Kisi-kisi Instrumen Tes ... 82

Lampiran 4 Instrumen sebelum Dikalibrasi ... 94

Lampiran 5 Lembar Kunci Jawaban ... 100

Lampiran 6 Instrumen Penelitian Sesudah Dikalibrasi ... 101

Lampiran 7 Daftar Nilai Tes Hasil Belajar Siswa ... 105

Lampiran 8 Tabel Validitas Uji Instrumen ... 106

Lampiran 9 Tabel Reliabilitas Instrumen ... 107

Lampiran 10 Tabel Daya Pembeda ... 108

Lampiran 11 Tabel Taraf Kesukaran Instrumen ... 109

Lampiran 12 Tabel Rekapitulasi Kalibrasi Instrumen ... 110

Lampiran 13 Hasil Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 111

Lampiran 14 Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen... 112

Lampiran 15 Hasil Uji Homogenitas ... 113

Lampiran 16 Hasil Uji Hipotesis ... 114

Lampiran 17 Daftar Tabel Rujukan ... 115

Lampiran 18 Surat Bimbingan ... 124

Lampiran 19 Surat Penelitian ... 125

Lampiran 20 Surat Keterangan ... 126

Lampiran 21 Biodata Penulis ... 127


(14)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fisika merupakan ilmu yang membutuhkan kemampuan kognitif lebih dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang berbasis sosial. Ia membutuhkan kemampuan berhitung yang cermat dan teliti agar setiap fakta dapat dijelaskan dengan runtun. Tanpa kemampuan itu, tidaklah mudah mempelajari ilmu ini. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru untuk memberikan kebebasan kepada siswa mencari dan menemukan dengan bahasa sendiri melalui sumber-sumber lain yang relevan. Peran guru tak lebih sebagai fasilitator, mediator, dan menuntun keaktifan siswa dalam belajar. Inilah tujuan dari teori belajar konstruktivisme yang menekankan akan arti pentingnya bahwa pengetahuan itu merupakan bentukan

(konstruksi) kita sendiri, bukan paksaan dari luar.1

Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pembelajaran konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak serta- merta jadi. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Konstruktivisme sendiri merupakan suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan merefleksikan pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan

1

Trianto, S.Pd., M.Pd. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi

Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya, (Jakarta: Presrasi

Pustaka Publisher, 2007) Cet. Ke 1 hal. 13


(15)

bantuan fasilitasi orang lain. Dalam model pendekatan pembelajaran konstruktivisme, penekanan utama tentang belajar dan mengajar lebih terfokus pada suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka, dan bukan pada kebenaran siswa dalam hal sekedar meniru atas apa yang disampaikan guru. Sebagai konsekuensinya, siswa hendaknya dipandang sebagai bagian yang aktif dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya. Belajar dipandang sebagai perubahan pola pikir siswa dari pola pikir yang salah menjadi pola pikir yang ilmiah.

Karakteristik pembelajaran konstruktivisme diantaranya adalah

memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas, dimana prinsip utamanya bahwa pengetahuan tidak diterima secara pasif, melainkan dibangun secara aktif oleh individu. Gagasan-gagasan atau pemikiran-pemikiran tidak dapat dikomunikasikan maknanya melalui kata-kata atau kalimat, atau diberikan langsung kepada siswa, melainkan mereka sendiri yang membentuk makna tersebut.

Konsep pembelajaran konstruktivisme sendiri sebenarnya sudah berjalan lama, akan tetapi dalam perkembangannya, konsep ini menemui berbagai kendala. Faktor utamanya adalah terbatasnya waktu belajar dan sumber daya manusianya, dalam hal ini guru dan siswa. Sehingga wajar ketika sekolah jarang menerapkan pendekatan konstruktivisme ini dalam kegiatan belajar mengajarnya.

Tak bisa dipungkiri bahwa terbatasnya waktu belajar dalam praktek pembelajaran membuat pendekatan konstruktivisme kurang maksimal diterapkan. Begitupun dengan keanekaragaman kemampuan awal siswa dalam memahami setiap materi pelajaran. Siswa yang memiliki banyak pengalaman yang bermacam-macam akan sangat berbeda dengan siswa yang sedikit pengalaman dan waktunya dihabiskan hanya di dalam rumah. Kedua faktor tersebut, waktu belajar dan SDM yang berbeda-beda, menjadi penghambat utama dalam penerapan pembelajaran konstruktivisme. Namun demikian, usaha untuk menerapkan pendekatan tersebut bukan tidak mungkin, selama guru bisa memanfaatkan waktu yang ada ditambah dengan kemampuan manajemen


(16)

mengorganisir siswa dengan baik, maka pendekatan pembelajaran konstruktivisme ini akan berjalan dengan sempurna.

Di sisi lain, mengajar merupakan proses negosiasi makna. Dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran, pada saat munculnya salah persepsi, guru menyajikan materi yang merangsang pola pikir siswa.

Rangsangan pembelajaran yang disajikan guru tersebut, diharapkan dapat

menyadarkan siswa akan kekeliruan pengetahuannya, dan pada akhirnya mereka merekonstruksi pengetahuannya menuju konsep yang ilmiah. Setiap pengajar harus menyadari dulu seperti apa pengetahuan awal dan pengalaman yang sudah ada di dalam kepala siswa, dan kemudian dia harus menyesuaikan pelajaran dan cara mengajarnya dengan pengetahuan awal tersebut. Hal ini perlu diberikan penekanan karena pembelajaran fisika adalah membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep/prinsip itu terbangun kembali; transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Dengan kondisi tersebut, penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran fisika diharapkan dapat menimbulkan suasana belajar yang lebih bermakna.

Pendekatan konstruktivisme akan diterapkan pada konsep tekanan. Konsep ini merupakan salah satu bagian penting karena bermanfaat bagi siswa dalam kehidupan nyata dan sering ditemui dalam kegiatan seharai-hari, baik yang disadari maupun yang tidak disadari siswa. Sementara itu, tingkat kesulitan untuk memahmi konsep ini cukup tinggi. Tidak mengherankan jika hasil belajar siswa pada konsep ini masih rendah. Melalui pembelajaran konstruktivisme dengan berbagai macam percobaan sederhana, siswa dapat menemukan sendiri aplikasi tekanan pada benda padat, cair, dan gas dalam kehidupan sehari-hari.

Pada konsep tekanan ini terkandung indikator dan pengalaman belajar yang sama yaitu mengedepankan kerja ilmiah, yang kemudian dari bekerja ilmiah ini terjadi proses pembentukan konsep yang kuat pada ingatan siswa dan hasil belajarnya pun diharapkan dapat lebih baik. Pembentukan konsep ini di mulai dengan terlibatnya siswa dalam seluruh proses kegiatan belajar, berarti siswa jadi


(17)

lebih menguasai materi pelajaran dan siswapun akan mendapat pengalaman berharga saat berinteraksi dengan guru dan teman-temannya.

Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud melakukan studi penelitian lebih lanjut apakah terdapat Pengaruh Pendekatan Konstruktivisme terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Tekanan.

B. Identifikasi Masalah

Melihat latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah berikut:

1. Hasil belajar fisika siswa pada konsep tekanan masih rendah.

2. Siswa kurang diajak untuk membangun sendiri pengalamannya dalam kegiatan belajar mengajar.

3. Pembelajaran berbasis konstruktivisme masih jarang digunakan sekolah- sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini menjadi jelas dan terarah, maka masalah dibatasi hanya pada pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil belajar siswa konsep Tekanan pada aspek kognitif saja. Ranah kognitif yang dilnilai berdasarkan taksonomi Bloom yang telah direvisi mulai dari tingkat mengingat (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4) pada pokok materi tekanan.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah “Bagaimana pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil

belajar siswa pada konsep tekanan?”

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan konstruktivisme terhadap hasil belajar siswa pada pokok materi tekanan.


(18)

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak yang terlibat langsung terhadap penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi siswa diharapkan dapat membangun konsep yang kuat pada diri siswa tentang materi Tekanan sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar mereka.

2. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan dan bukti otentik tentang efektifitas pembelajaran konstruktivisme, sehingga dapat dijadikan alternatif model pembelajaran yang diterapkan di kelas.

3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dalam bidang penelitian pendidikan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka 1. Konstruktivisme

a. Gagasan Dasar Konstruktivisme

Salah satu penganut teori konstutivisme adalah Von Glaserveld, dia berpendapat bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan

seseorang.1 Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur

pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.

Para konstruktivis menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah indranya. Sesorang berinteraksi dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan meraskannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air.

Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan bukanlah hal tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita

akan “kucing” tidak sekali jadi, tetapi merupakan proses untuk semakin tahu

1

Paul Suparno, Filsafa Konstrukivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 18


(20)

tentang kucing. Pada kita waktu kecil, dengan melihat kucing, menjamah, dan

bergaul, pikiran kita membangun pengertian akan “kucing” terbatas pada apa yang

kita lihat. Dalam perjalanan selanjutnya, kita bertemu dengan jenis kucing-kucing lain dengan segala macam bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan macam-macam kucing ini menjadikan pengetahuan kita akan kucing lebih lengkap dan rinci daripada gambaran waktu kita kecil.

b. Asal Usul Konstruktivisme

Cikal bakal konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta

Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia.2 Menurut Vico, Tuhan adalah

pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Dia menjelaskan

bahwa “mengetahui” berarti “ mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Ini

berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk.

Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita dipeoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico.

c. Teori-teori yang Mendasari Pandangan Konstruktivisme

Beberapa teori yang mendasari perkembangan tentang pembelajara

pendekatan konstruktivisme, antara lain3:

2

Ibid. h. 24

3


(21)

1) Teori Piaget

Berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana anak-anak memperoleh pengetahuan. Piaget sampai pada kesimpulannya bahwa pengetahuan itu dibangun

dalam pikiran anak (yang belajar) sambil anak mengatur

pengalamanpengalamannya yang terdiri atas struktur-struktur mental atau skema yang sudah ada padanya. Dengan kata lain anak-anak akan siap untuk mengembangkan konsep tertentu hanya bila anak telah memiliki struktur kognitif (skemata) yang menjadi prasyaratnya.

2) Teori David Ausubel

Menurut Ausubel faktor penting yang mempengaruhi belajar siswa adalah apa yang telah diketahui siswa atau konsep awal siswa. Hal ini mengandung pengertian bahwa agar terjadi pembelajaran yang bermakna, konsep baru atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep yang sudah ada dalam struktur kognitifnya.

3) Teori Harlen

Seorang memiliki pengetahuan pribadi yang merupakan pemahaman sendiri tentang keadaan di sekitar. Pengetahuan ini dapat bersifat ilmiah yaitu dapat tahan uji terhadap kenyataan dan sebagian bersifat sehari-hari. Di samping itu, ada pula pengetahuan umum yang dimiliki masyarakat. Pengetahuan ini pun dapat bersifat ilmiah dan sebagian bersifat sehari-hari.

4) Teori Vigotsky

Menurut Vigotsky, pada saat anak memasuki ruang kelas, anak telah membawa konsep awal yang diperoleh dari kehidupannya sehari-hari. Gagasan atau konsep awal tersebut perlu disadari oleh pendidik dalam kegiatan pembelajaran agar proses pembelajaran bukanlah sekedar pemindahan gagasan guru kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan-gagasan yang ada melalui pengalaman dikelas. Dasar pemikiran konstruktivisme ialah bahwa pengajaran efektif menghendaki guru agar mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang menjadi subjek pengajaran atau bagaimana anak mengenai topik yang akan dibahas sebelum pelajaran tentang topik itu dimulai.


(22)

d. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar

Belajar adalah proses mengkontruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman baik alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses yang aktif. Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan yang telah dipunyai, kemampuan kognitif dan lingkungan, berpengaruh terhadap hasil belajar. Kelompok belajar dianggap sangat membantu belajar karena mengandung beberapa unsur yang berguna menantang pemikiran dan meningkatkan harga diri seseorang.

Secara umum pendekatan konstruktivisme adalah “Constructivism sees

learning as a dynamic and social process in which learners actively construct meaning from their experiences in connection with their prior understandings and the social setting”4 Jadi konstruktivisme adalah pembelajaran sebagai proses dinamis dan sosial di mana peserta didik secara aktif membangun makna dari pengalaman sendiri untuk menghubungkan terhadap pemahaman yang telah ada. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar pada pendekatan konstruktivisme siswa sendiri yang secara aktif membangun pengetahuannya. Hal tersebut dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimilikinya. Di dalam pembelajaran konstruktivisme guru lebih bersifat sebagai fasilitator dan mediator proses pembelajaran. Penekanan dalam belajar mengajar berfokus pada suksesnya siswa dalam memahami atas apa yang dilakukan.

Secara lebih rinci dapat dikemukakan dalam kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada pendekatan konstruktivisme, seorang guru harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1) Mengakui adanya konsepsi awal siswa yang dimiliki siswa melalui pengalamannya.

2) Menekankan pada kemampuan minds on dan hands on.

3) Mengakui bahwa dalam proses belajar mengajar terjadi perubahan konseptual. 4) Mengetahui bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif.

4

Winnie Wing- Mui-So, Constructivist teaching in science, Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 3, Issue 1, Article 1(June, 2002).


(23)

Implikasi pembelajaran pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran

sains meliputi empat tahap, dimana langkah-langkah yang dilakukan adalah :5

1) Apersepsi

Pada tahap ini siswa didorong agar mampu mengemukakan tahap awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang ditemui dalam kehidupan sehari-sehari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa diberikan kesempatan untuk mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.

2) Eksplorasi

Pada tahap ini, siswa diberikan kesempatan untuk menyelidiki dan

menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan

penginterpretasian data dalam suatu kegiatan diskusi. Hasil temuan itu kemudian secara kelompok didiskusikan kembali dengan kelompok lain secara keseluruhan. Tahap ini siswa akan menemui rasa ingin tahu tentang fenomena alam disekitar. 3) Diskusi dan Penjelasan Kelompok

Tahap ketiga ini, siswa diberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru, maka dengan demikian siswa akan membangun pemahamannya yang sedang dipelajarinya. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.

4) Pengembangan dan Aplikasi

Pada tahap ini, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu di lingkungannya.

2. Penguasaan Konsep

Penguasaan konsep bukan hanya satu penguasaan latihan saja, melainkan mengerti dan memahami setiap detail masalah. Seseorang yang telah belajar akan

5

Dwi Lasati, Penerapan Pendekatan Konstruktivisme pada Pembelajaran Theorema


(24)

terjadi perubahan nyata pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Siswa yang belajar adalah siswa yang melakukan aktifitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi sosial dan mengakibatkan perubahan perilaku. Siswa yang belajar berarti siswa yang secara tersurat telah berubah perilakunya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Siswa yang belajar tampak dari pancaran mata optimis, yang menyatakan kepahaman atas materi yang disampaikan dan reaksi bahasa tubuh yang menampakkan kebisaannya.

Siswa yang telah disebut belajar, seperti penjelasan di atas, merupakan cerminan dari penguasaan konsep pada materi yang baru disampaikan. Namun, untuk menilai kepahaman materi atau penguasaan konsep siswa tidak dapat hanya

dilakukan sepintas. Penguasaan konsep yang dimaksud merupakan long term

memory yang dituangkan dalam bentuk jawaban atas pertanyaan untuk beberapa waktu ke depan. Pertanyaan untuk memeriksa keterkuasaan konsep yang

diberikan, diwujudkan dengan pemberian posttest, yaitu tes kecil di akhir

pembelajaran. Pemberian tes si awal atau di akhir pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar. Namun dinyatakan pula bahwa pemberian tes tersebut harus menjadi kebiasaan yang membudaya, artinya pemberian tes tersebut tidak diberikan dalam waktu tertentu saja, namun terus menerus disampaikan pada saat pembelajaran.

Dalam penelitian ini, saya mendefinisikan siswa yang telah menguasai konsep fisika adalah siswa yang berhasil menyelesaikan masalah yang saya

sajikan dalam posttest. Siswa yang berhasil menyelesaikan masalah di posttest

saya anggap telah memahami materi yang saya berikan dalam pembelajaran. Namun, kendala mengenai permasalahan tersebut masih tetap ada. Kejujuran siswa dan sistem kerja kelompok sangat mempengaruhi hasil yang diberikan. Jika hal ini yang terjadi, maka kriteria penguasaan konsep yang saya berikan menjadi tidak maksimal.

Indikator penguasaan konsep siswa juga saya tentukan dari hasil tugas yang diberikan berupa tugas membuat atau menjawab pertanyaan. Asumsi saya yaitu siswa yang berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan, maka ingatan


(25)

jangka panjangnya bagus sedangkan ingatan jangka panjang yang baik artinya konsep yang diterima telah masuk kedalam ranah psikologis siswa. Akibatnya adalah kapanpun siswa ditanya mengenai konsep yang telah diberikan, diyakini bahwa siswa tersebut dapat menjawab pertanyaan konsep.

3. Hasil Belajar a. Pengertian Belajar

Pendidikan adalah sebuah aktivitas dimana kita semua merasakan bahwa

kita mengetahui tentang sesuatu, memiliki pengalaman praktis tersendiri.6 Dengan

demikian belajar sudah menjadi aktivitas rutin manusia, baik disadari ataupun tidak. Oleh karena itu, hidup manusia tidak akan bisa terlepas dari proses ini. Seseorang yang merasa tak perlu belajar sebetulnya pada saat yang sama ia sedang belajar arti dari sebuah kemalasan yang mungkin akan ia sadari setelah memperolah akibat dari kemalasan itu. Cepat atau lambat. Namun apakah semua aktivitas manusia dapat dikategorikan belajar? Dalam arti luas mungkin ya, tapi yang dimaksud disini belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.7

Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:

a) perubahan terjadi secara sadar

b) perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional c) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif

d) perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah e) perubahan mencakup seluruh aspek dan tingkah laku

Dengan ciri-ciri diatas, terlihat jelas bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku manusia menuju arah kesempurnaan dan bersifat permanen.

6

Steve Bartlett and Diana Burton, Introduction to Education Studies, Second Edition

(London: SAGE Publication Ltd., 2007), hal. 11

7

Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003) cet. Ke 3 hal. 2


(26)

Sedangkan menurut M. Alisuf Sabri dalam buku psikologi pendidikannya,

menyimpulkan tentang beberapa definisi belajar, yaitu:8

a) Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat penglaman atau latihan.

b) Perubahan tingkah laku akibat belajar itu dapat berupa memperoleh perilaku yang baru atau memperbaiki/meningkatkan perilaku yang sudah ada.

c) Perubahan tingkah laku yang ditimbulkan oleh belajar dapat berupa perilaku yang baik atau perilaku yang buruk.

d) Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar itu terjadi melalui usaha dengan mendengar, membaca, mengikuti petunjuk, mengamati, memikirkan, menghayati, meniru, melatih dan mencoba sendiri atau berarti dengan pengalaman atau latihan. Jadi perubahan perilaku akibat kematangan atau pertumbuhan fisik itu bukan hasil belajar.

e) Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar harus relatif menetap bukan perubahan yang bersifat sementara atau tiba-tiba terjadi kemudian hilang kembali, seperti perubahan perilaku akibat alkohol/ minuman keras.

f) Tingkah laku yang mengalami perubahan akibat belajar itu menyangkut semua aspek kepribadian/ tingkah laku individu, baik perubahan dalam pengetahuan, kemampuan, ketrampilan, kebiasaan, sikap, dan aspek perilaku lainnya.

g) Belajar itu dalam prakteknya dapat dilakukan di sekolah atau di luar sekolah. Belajar di sekolah senantiasa diarahkan oleh guru kepada perubahan perilaku yang baik/positif, sedangkan belajar di luar sekolah yang dilakukan sendiri oleh individu dapat menghasilkan perubahan perilaku yang positif atau negatif.

Teori belajar dikelompokkan menjadi dua pandangan yaitu teori

Connectionisme dan Teori Conditioning.9 Teori Coonectionisme dikemukakan

oleh Thordike sedangkan dalam Teori Conditioning terdapat tiga macam

pendapat, yakni Teori Classical Conditioning dari Pavlov; Teori Operant

Conditioning dari Skinner dan Teori Conditioning dari Guthrie.

8

M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan: Berdasarkan Kurikulum Nasional, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 2007) cet. Ke 3, hal. 54

9


(27)

Thordike menyatakan bahwa belajar adalah penguatan hubungan stimulus

respon.10 Untuk memperkuat hubungan ini dia mengemukakan beberapa hukum

atau ketentuan; yaitu: 1) Law of effect

Hubungan stimulus-respon bertambah kuat apabila disertai dengan perasaan senang atau puas. Karena itu membangkitkan rasa senang dengan memuji atau membesarkan hati anak lebih baik dalam mengajar daripada menghukum atau mencelanya.

2) Law of exercise

Hubungan stimulus-respon akan bertambah kuat apabila sering diadakan latihan-latihan.

3) Law of multiple response

Dalam menghadapi situasi yang problematis dimana belum jelas diketahui

respon yang tepat maka individu akan mengadakan “Trial and Error”, yaitu

mengadakan bermacam-macam percobaan yang tidak berhasil tetapi lama kelamaan akhirnya mungkin dapat memberikan hasil yang baik.

4) Law of assimilation

Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberikan respon terhadap situasi yang baru dengan menyesuaikan atau menganalogikannya dengan apa yang sudah dialami/diketahui.

5) Law of readness

Hubungan stimulus dengan respon akan bertambah kuat apabila didukung oleh adanya kesiapan untuk bertindak atau bereaksi sehingga respon atau reaksinya semakin mantap.

Pavlov dan Watson11 berpendapat bahwa belajar itu merupakan proses

terjadinya reflek-reflek atau reaksi-reaksi bersayarat yang terjadi melalui stimulus pengganti yang dibiasakan menyertai stimulus yang sebenarnya. Menurut Watson, manusia sejak lahir memiliki beberapa reflek dan reaksi-reaksi emosional seperti

10

Ibid, hal. 64

11


(28)

takut, marah, dan cinta. Semua tingkah laku manusia itu terbentuk oleh hubungan stimulus respon melalui pengkondisian.

Skinner12 sedikit berbeda dengan Pavlov dan Watson, menurutnya bahwa

penguatan stimulus-respon dapat dilakukan melalui penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif berkaitan dengan pemberian hadiah bagi siswa yang berprestasi dan penguatan negatif berkaitan dengan hukuman bagi siswa yang bersalah. Karena dengan cara itulah siswa terangsang sikapnya untuk mau belajar dengan tekun.

Sementara Edward R. Guthrie13 yang merupakan salah seorang tokoh yang

mengembangkan teori Watson berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan merupakan rangkaian unit-unit tingkah laku. Unit-unit tingkah laku ini merupakan respon-respon dari stimulus sebelumnya dan setiap unit itu merupakan stimulus yang kemudian menimbulkan respon bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga terjadi rangkaian/rentetan unit tingkah laku yang terus menerus.

Dari pendapat-pendapat dan teori yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa kesamaan mengenai definisi belajar, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hakekat belajar adalah suatu proses untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, kebiasaan, sikap dan aspek perilaku lainnya sebagai hasil dari interaksi manusia dengan lingkungannya.

Dengan demikian dalam proses belajar mengajar sangatlah penting adanya interaksi pembelajar dengan lingkungannya. Dalam hal ini siswa diajak untuk berfikir dan mengeksplorasi segala kemampuannya sesuai dengan tingkatan daya pikir mereka. Kemampuan yang berbeda antar satu siswa dengan siswa lainnya justru dapat dimanfaatkan untuk saling melengkapi dengan cara berdiskusi, bekerja sama, bertukan pikiran dan informasi. Inilah yang dimaksud dengan pengertian belajar di atas dalam konteks proses belajar mengajar di sekolah.

12

Ibid, hal. 68

13


(29)

4. Jenis-Jenis Belajar

Menurut Slameto, jenis-jenis belajar dikategorikan dalam sepuluh macam,

yakni:14

a. Belajar bagian (part learning)

Umumnya belajar bagian dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif, misalnya mempelajarai sajak ataupun gerakan-gerakan motoris seperti bermain silat. Dalam hal ini individu memecah seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri. Sebagai lawan dari cara belajar bagian adalah cara belajar keseluruhan atau belajar global.

b. Belajar dengan wawasan (learning by insight)

Konsep ini diperkenalkan oleh W. Kohler, salah seorang tokoh psikologi

Gestalt pada permulaan tahun 1971. Sebagai suatu konsep, wawasan (insight) ini

merupakan pokok utama dalam pembicaraan psikologi belajar dan proses berpikir. Menurut Gestalt teori wawasan merupakan proses mereorganisasi pola-pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan.

c. Belajar diskriminatif (discriminatif learning)

Belajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih beberapa sifat situasi/stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Dengan pengertian ini maka dalam eksperimen, subyek diminta untuk berespon secara berbeda-beda terhadap stimulus yang berlainan.

d. Belajar global/keseluruhan (global whole learning)

Di sini bahan pelajaran dipelajarai secara keseluruhan berulang sampai pelajar menguasainya; lawan dari belajar bagian. Metode belajar ini sering disebut metode Gestalt.

e. Belajar insidental (incidental learning)

Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu berarah tujuan (intensional). Sebab dalam belajar insidental pada inidividu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Atas dasar ini maka untuk kepentingan penelitian, disusun perumusan operasional sebagai berikut: belajar disebut insidental bila

14


(30)

tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kelak.

f. Belajar instrumental (instrumental learning)

Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang

diperlihatkan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh karena itu, cepat atau lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan penguat (reinforcement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini maka salah

satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah “pembentukan tingkah laku”.

Disini individu diberi hadiah bila ia bertingkah laku sesuai dengan tingkah laku yang dikehendaki dan diberi hukuman jika tidak sesuai dengan tingkah laku yang dikehendaki. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu.

g. Belajar intensional (intentional learning)

Belajar dalah arah tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental.

h. Belajar laten (laten learning)

Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat tidak terjadi secara segera, dan oleh karena itu disebut laten. Selanjutnya eksperimen yang dilakukan terhadap binatang mengenai belajar laten, menimbulkan

pembicaraan yang hangat di kalangan penganut behaviorisme, khusunya mengenai

peranan faktor penguat (reinforcment) dalam belajar. Rupanya penguat dianggap

oleh penganut behaviorisme ini bukan faktor atu kondisi yang harus ada dalam

belajar. Dalam penelitian mengenai ingatan, belajar laten ini diakui memang ada yaitu dalam bentuk belajar insidental.

i. Belajar mental (mental learning)

Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi disini tidak nyata terlihat, melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif karena ada bahan yang dipelajari. Ada tidaknya belajar mental ini sangat jelas terlihat pada tugas-tugas yang sifatnya motoris. Ada yang mengartika belajar mental sebagai belajar dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan- gerakan orang lain dan lain-lain.


(31)

j. Belajar produktif (productive learning)

R. Bergius (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar

dengan transfer yang maksimum.15 Belajar adalah mengatur kemungkinan untuk

melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.

k. Belajar verbal (verbal learning)

Belajar verbal adalah mengenai materi verbal dengan melalui latihan dan ingatan. Dasar dari belajar verbal diperlihatkan dalam eksperimen klasik dari Ebbinghaus. Sifat eksperimen ini meluas dari belajar asosiatif mengenai hubungan dua kata yang tidak bermakna sampai pada belajar dengan wawasan mengenai penyelesain persoalan yang kompleks yang harus diungkapkan secara verbal.

5. Prinsip-Prinsip Belajar

Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan juga perbedaan. Dimyati dan

Mudjiono menyebutkan tujuh prinsipo belajar, yakni:16

a. Perhatian dan motivasi

Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar karena tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan maka akan dapat membangkitkan perhatian dan motivasi siswa untuk mempelajarinya.

Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasinya untuk mempelajari bidang studi tersebut. Motivasi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianggap penting dalam kehidupannya. Perubahan nilai-nilai yang dianut akan mengubah tingkah laku manusia dan motivasinya. Karenanya, bahan-bahan pelajaran yang disajikan

15

Slameto, op.cit hal. 8

16

Dimyati, Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009) cet. Ke 4, hal. 41


(32)

hendaknya disesuaikan dengan minat siswa dan tidak bertentangan dengan nilai- nilai yang berlaku dalam masyarakat.

b. Keaktifan

Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada oang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri.

Menurut teori kognitif, 17 belajar menunjukan adanya jiwa yang sangat

aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini, anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dalam proses belajar mengajar anak mampu mengidentifikasi, merumuskan masalah, mencari dan menemukan fakta, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan.

c. Keterlibatan langsung/Berpengalaman

Edgar Dale dalam penggolongan yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah melalui

pengalaman langsung.18 Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak

sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.

Keterlibatan siswa di dalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.

17

Dimyati, Mudjiono, Op.cit hal. 44

18


(33)

d. Pengulangan

Prinsip belajar yang menekankan perlunya pengulangan barangkali yang

paling tua adalah yang dikemukakan oleh teori Psikologi Daya.19 Menurut teori ini

belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menganggap, mengingat, menghayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang.

e. Tantangan

Dalam situasi belajar siswa jmenghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan, yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar haruslah menantang.

f. Balikan dan penguatan

Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya.

Namun dorongan belajar itu menurut B.F. Skinner20 tidak saja oleh penguatan

yang menyenangkan tetapi juga yang tidak menyenyangkan. Atau dengan kata lain, penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar.

g. Perbedaan individual

Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat-sifatnya. Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran.

19

Ibid, hal. 47

20


(34)

6. Pembelajaran IPA

a. Pengertian IPA

IPA merupakan suatu cabang disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan alam dan memiliki hubungan yang kuat dengan kehidupan manusia. Dalam kajian keilmuannya, IPA melandasi pada empat tahap atau proses yakni perumusan masalah, observasi dan eksperimen, menafsirkan data, dan pengujian intrepetasi

dari data tersebut.21 Oleh karena itu, hampir setiap fenomena alam yang sering

dijumpai sehari-hari selalu berkaitan dengan IPA. Penggunaanya dalam berbagai bidang kehidupan pun tak lepas dari IPA, mulai dari masalah pertahanan negara, dunia kesehatan, telekomunikasi, pertanian, masalah kebutuhan energi, sampai

pada masalah bahan-bahan kimia.22 Hal ini yang dapat membangkitkan minat

sebagian manusia untuk mempelajari fenomena tersebut yang pada akhirnya dapat bermuara pada suatu penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan demikian IPA merupakan kumpulan pengetahuanh yang didapat melalui proses yang ilmiah dan metode tertentu dan berlaku secara universal. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ilmu alam atau sains akan terus berkembang dari masa ke masa. Pengetahuan tersebut tidak akan berhenti selama manusia tetap ada.

b. Pengertian pendidikan

Kata pendidikan dalam bahasa Inggris adalah education. Sedang kata

Education sendiri diambil dari satu atau dua suku kata Latin, yakni educere yang

artinya „to lead out‟ atau to train‟ dan educare yang artinya „to train‟ atau „to

nourish‟.23 Sedangkan menurut rumusan nasional, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau

latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.24

21

Konrad B. Krauskopf and Athur Beiser, The Physical Universe, New York: McGraw- Hill Compenies, Inc. 2006. hal. 2

22

Theodore A. Ashford, The Physical Sciences: From Atom to Stars, Second Edition.

New York: Holt, Rineheart and Winston, Inc. 1967. hal. 2 – 3

23

Christopher Winch and John Gingell, Philosopy of Education: The Key Concepts, (New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2008) cet. Ke 2, hal. 63

24

Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: PT Bumi Aksara, 2005) cet ke 5 hal. 2


(35)

c. Pendidikan IPA SMP

Pendidikan IPA di SMP merupakan pendidikan tingkat dasar dan lanjutan dari Sekolah Dasar. Namun pendidikan IPA pada tingkat SMP seringkali hanya disampaikan secara hafalan. Padahal semestinya siswa diajak aktif untuk ikut berpikir tentang materi yang diberikan juga aplikasi dan cara kerjanya dalam kehidupan sehari-hari. Jika diberikan dengan cara-cara yang menarik dan penuh kesungguhan siswa akan merasa dilibatkan. Dengan demikian bukan tidak mungkin pada diri siswa akan tumbuh minat dan semangat belajar yang tinggi dan tujuan pembelajaran pun akan tercapai dengan baik.

Pendidikan IPA menjadi suatu bidang ilmu yang memiliki tujuan agar setiap siswa terutama yang ada di SMP memiliki kepribadian yang baik dan dapat menerapkan ilmiah serta dapat mengembangkan potensi yang ada di alam untuk dijadikan sebagai sumber ilmu dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan IPA bukan hanya sekedar teori akan tetapi dalam setiap bentuk pengajarannya lebih ditekankan pada bukti dan kegunaan ilmu tersebut. Bukan berarti teori-teori terdahulu tidak digunakan, ilmu tersebut akan terus digunakan sampai menemukan ilmu dan teori baru. Teori lama digunakan sebagai pembuktian dan penyempurnaan ilmu-ilmu alam yang baru. Hanya saja teori tersebut bukan untuk dihafal namun diterapkan sebagai tujuan proses pembelajaran.

Melihat hal tersebut di atas, nampaknya pendidikan IPA saat ini belum dapat menerapkannya. Perlu adanya usaha yang dilakukan agar pendidikan IPA yang ada sekarang ini dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan awal yang akan dicapai, karena kita tahu bahwa pendidikan IPA tidak hanya pada teori-teori yang ada namun juga menyangkut pada kepribadian dan sikap ilmiah dari peserta didik. Untuk itu maka kepribadian dan sikap ilmiah perlu ditumbuhkan agar menjadi manusia yang sesuai dari tujuan pendidikan.

7. Pengertian Hasil Belajar

Sebagai akibat dari perlakuan tentu ada hasil yang didapat. Demikian halnya dengan belajar. Siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar jika


(36)

memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Slameto mengemukakan sebuah pendapat bahwa ada dua faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar siswa,

yakni faktor intern dan ekstern.25 Faktor intern meliputi faktor jasmaniah,

psikologis, dan kelelahan sedangkan faktor ekstern meliputi faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sejalan dengan itu, Yudhi Munadi menggunkan istilah

faktor internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar.26

Faktor intenal meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor lingkungan dan instrumental.

Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani, dan sebagainya, membantu dalam proses dan hasil belajar. Demikian juga keadaan psikologis yang berkaitan dengan kondisi jiwa seperti intelejensi, perhatian, minat dan bakat, motivasi dan sebagainya juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap proses dan hasil belajar. Yudhi menambahkan, faktor lingkungan seperti keadaan alam dan lingkungan sosial dimana peserta didik berada juga faktor instumental yang meliputi kurikulum, sarana dan fasilitas, dan guru dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar.

Proses Pembelajaran mengndung dua unsur penting yaitu proses dan hasil

belajar.27 Proses adalah kegiatan yang dilaksanakan siswa dalam mencapai tujuan

pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah berupa kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Evaluasi merupakan proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penilaian dan atau pengukuran hasil belajar. Hasil Belajar bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Dimana tingkat keberhasilan siswa ditandai selalu dengan skor, angka, kata atau huruf. Apabila tujuan utama kegiatan evaluasi hasil belajar ini sudah terealisasi,

25

Slameto, op. cit., hal. 54

26

Yudhi Munadhi, Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru, (Ciputat: Gaung Persada Press, 2008) cet. Ke 1, hal. 24

27

Wahidin Qohar, Teori Hasil Belajar,Tersedia di http://cpgm.webnode.com tanggal 27 Des 2012 jam 10:14


(37)

maka hasilnya dapat difungsikan dan ditujukan untuk diagnosis dan pengembangan, untuk seleksi, untuk kenaikan kelas dan untuk penempatan.

Sebagai salah satu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka evaluasi belajar memiliki tujuan yang berupa ranah-ranah yang terkandung dalam tujuan. Ranah-ranah tujuan pendidikan berdasarkan hasil belajar secara umum di klasifikasikan menjadi tiga, yakni :

a. Ranah Kognitif

Bloom28 membagi tingkat pengetahuan atau tipe hasil belajar yang

termasuk aspek kognitif menjadi enam, yaitu pengetahuan hafalan (knowledge),

pemahaman atau komprehensi (comprehension), penerapan aplikasi (application),

analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).

Tipe belajar pengatahuan hafalan ialah tingkat kemampuan yang hanya meminta siswa untuk mengenal atau mengetahui adanya konsep, fakta, atau

istilah-istilah tanpa harus mengerti, atau dapat menilai, atau dapat

mengunakannya. Dalam hal ini siswa biasanya hanya dituntut untuk menyebutkan kembali atau menghafal saja. Sedangkan pemahaman atau komprehensi menuntut siswa untuk mampu memhami arti atau konsep, situasi, serta fakta yang diketahuinya.

Kemampuan kognitif yang ketiga adalah aplikasi atau penerapan. Dalam tinkat ini, siswa dituntut kemampuannya untuk menerapakan atau menggunakan apa yang telah diketahuinya dalam suatu situasi yang baru baginya. Dengan kata lain, aplikasi adalah penggunaan abstaksi pada situasi kongkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut dapat berupa ide, teori, atau petunjuk teknis. Sedangkan analisis sebagai kemampuan tingkat kognitif yang keempat menuntut kemampuan siswa untuk menganalisis atau menguraikan suatu integritas atau

suatu situasi tertentu ke dalam komponen-komponen atau unsur-unsur

pembentuknya. Pada tingkat analisis, siswa diharapkan dapat memahami dan sekaligus dapat memiliah-milahnya menjadi bagian-bagian. Hal ini dapat berupa

28

M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) cet. Ke 13, h. 43


(38)

kemampuan untuk memahami dan menguraikan bagaimana proses terjadinya sesuatu, cara bekerjanya sesuatu, atau mungkin juga sistematikanya.

Tipe hasil belajar yang kelima adalah tingkat kemampuan sintesis. Yang dimaksud dengan sintesis ialah penyatuan unsur-unsur atau bagian-bagian ke

dalam suatu bentuk yang menyeluruh.29 Dengan kemampuan sintesis seseorang

dituntut untuk dapat menemukan hubungan kausal atau urutan tertentu, atau menemukan abstraksinya yang berupa integritas. Tanpa kemampuan sintesis yang tinggi, seseorang akan hanya melihat unit-unit atau bagian-bagian secara terpisah tanpa arti. Berpikir sintesis merupakan salah satu terminal untuk menjadikan orang lebih kreatif. Dan berpikir kreatif ini merupakan salah satu hasil yang dicapai dalam pendidikan.

Tipe hasil belajar yang terakhir adalah evaluasi. Dengan kemampuan ini, siswa diminta untuk membuat suatu penilaian tentang suatu pernyataan, konsep, situasi, dan sebagainya berdasarkan pengetahuan siswa sendiri.

Dewasa ini untuk ranah kognitif biasanya digunakan taksonomi Bloom yang telah direvisi. Revisi taksonomi Bloom pertama kali dikemukakan oleh Lorin Anderson (salah satu murid Bloom) sekitar tahun 1990-an. Secara garis besar revisi tersebut menakup hal-hal sebagai berikut:

1) Nama keenam aspek kognitif diubah dari kata benda ke kata kerja dengan pertimbangan taksonomi kognitif merefleksikan bentuk lain dari berfikir, dan berfikir adalah proses aktif, untuk itu kata kerja adalah yang paling akurat.

2) Nama sub kategori pengetahuan (knowledge) diganti dengan istilah sub

kategori mengingat (remembering), mengingat pengetahuan merupakan produk

berfikir, sehingga tidak tepat jika digunakan untuk memahami kategori berfikir.

3) Sejalan dengan perubahan istilah di atas, istilah sintetis (synthesis) diubah

menjadi mengkreasi (creating) agar dapat merefleksikan sebaik-baiknya secara

alamiah digambarkan dengan keenam-enamnya dari masing-masing kategori.

29

M. Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) cet. Ke 13, h. 46


(39)

4) Beberapa sub kategori dilakukan pengorganisasian yang baru sebagaimana ditunjukkan diagram di bawah ini: aspek pertama, kedua, dan ketiga termasuk kognitif tingkat rendah, sedangkan aspek keempat, kelima, dan keenam termasuk kognitif tingkat tinggi.

o Evaluation o Synthesis o Analysis o Application

o Comprehension

o Konwledge

o Creating o Evaluating o Analysing o Applying o Understanding

o Remembering

Gambar 2.1 Taksonomi Bloom yang telah direvisi

Penjelasan mengenai keenam aspek Taksonomi Bloom yang telah direvisi adalah sebagai berikut, pertama adalah aspek mengingat. Aspek ini merupakan aspek yang paling rendah dalam urutan hirarki piramidal ranah kognitif. Dalam jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat mengenali dan mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah-istilah, dan lain sebagainya tanpa harus mengerti

atau dapat menggunakannya. Jadi, aspek mengingat (recalling) secara cepat

informasi yang telah dipelajari sebelumnya. Kata kerja operasional yang dapat digunakan adalah: menyebutkan, menunjukan, mengenal, mengingat kembali, mendefinisi, memilih, dan mengatakan.

Kedua adalah aspek memahami yang meliputi juga aspek pengetahuan. Pada aspek ini, siswa dituntut memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa keahrusan menghubungkan dengan hal-hal yang lain. Contoh kata kerja operasional yang digunakan adalah mengklasifikasikan, mengutip, mengubah, menguraikan, membahas, memperkirakan, menjelaskan, menggeneralisasikan, memberi contoh, menggambarkan, menyatakan kembali, merangkum, menelusuri, mengerti.

Ketiga adalah aspek menerapkan, yang meliputi aspek memahami dan mngingat. Dalam jenjang kemampuan ini, siswa dituntut kesanggupannya untuk menerapkan ide-ide umum, tata cara, ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru dan konkret. Situasi dimana ide, metode dan


(40)

lain-lain yang dipakai itu harus baru, karena apabila tidak demikian, maka kemampuan yang diukur bukan lagi menerapkan tapi ingatan semata-mata.

Keempat adalah aspek menganalisis, yang meliputi aspek menerapkan, memahami, dang mengingat. Pada aspek ini, siswa dituntut untuk dapat menguraikan informasi ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuknya, memeriksa informasi tersebut untuk mengembangkan kesimpulan dengan mengidentifikasi motif atau penyebabnya, dan menemukan bukti untuk mendukung suatu generalisasi.

Kelima adalah aspek menciptakan yang meliputi aspek menganalisis, menerapkan, memahami, dan mengingat. Pada jenjang ini, seseorang dituntut untuk dapat menghasilkan sesuatu yang baru dengan jalan menggabungkan berbagai faktor yang ada. Menciptakan mengacu pada kemampuan untuk menempatkan bagian-bagian bersama untuk membentuk satu kesatuan yang baru. Ini mungkin melibatkan produksi komunikasi yang unik, rencana operasi, atau satu set hubungan abstrak.

Keenam adalah aspek mengevaluasi, yang meliputi aspek menciptakan, menganalisis, menerapkan, memahami, dan mengingat. Dalam jenjang kemampuan ini, seseorang dituntut untuk dapat mengevaluasi situasi, keadaan, pernyataan, atau konsepberdasarkan kriteria tertentu. Yang penting dalam evaluasi ini adalah menciptakan kriteria tertentu. Mengevaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk menilai-nilai bahan untuk tujuan tertentu. Penilaian harus didasarkan pada kriteria tertentu. Kata kerja operasional untuk merumuskan indikatornya adalah menafsirkan, menduga, mempertimbangkan, mengevaluasi, menentukan, membandingkan, membakukan, membenarkan, mengkritik, dan sebaginya.

b. Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Ada beberapa jenis


(41)

kategori ranah afektif sebagai hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang

dasar sampai tingkat yang kompleks.30

1) Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima ransangan dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain- lain. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol, dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.

2) Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup kecepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.

3) Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.

4) Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam suatu sistem organisasi,

termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk ke dalam organisasi ialah konsep tentang nilai, organisasi sistem nilai, dan lain-lain.

5) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem nilai

yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Kedalamnya termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya. c. Ranah Psikomotorik

Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk ketrampilan (skill) dan

kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan ketrampilan, yakni:31

1) gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar); 2) ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar;

3) kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif, motoris, dan lain-lain;

4) kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan;

30

Nana Sudjana, Penilaian Hasil dan Proses Belaja Mengajar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) cet. Ke 11, hal. 30

31


(42)

5) gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks;

6) kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.

8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Wasty Soemanto32

dalam bukunya Psikologi Pendidikan merumuskan tiga golongan utama yang mempengaruhi hasil belajar, yakni:

a. Faktor-faktor stimulasi belajar b. Panjangnya bahan pelajaran c. Kesulitan bahan pelajaran d. Berartinya bahan pelajaran e. Berat-ringannya tugas f. Faktor-faktor metode belajar g. Faktor-faktor metode belajar

Metode mengajar yang dipakai oleh guru sangat mempengaruhi metode belajar yang dipakai oleh si pelajar. Dengan kata lain, metode yang dipakai oleh guru menimbulkan perbedaan yang berarti bagi proses belajar siswa. Semakin menarik apa yang disampaikan guru semakin berminat siswa dalam belajar. Dengan demikian, hasil belajar pun dapat tercapai dengan baik. Faktor-faktor

metode belajar menyangkut, Kegiatan berlatih atau praktek, Overlearning dan

Drill, resitasi selama belajar, pengenalan tentang hasil belajar, belajar dengan keseluruhan dan dengan bagian-bagian, penggunaan modalitas indra, penggunaan dalam belajar, bimbingan dalam belajar, dan kondisi-kondisi intensif, dan faktor- faktor individual. Faktor-faktor tersebut meliputi; kematangan, usia, jenis kelamin, pengalaman sebelumnya, kapasitas mental, kesehatan jasmani dan rohani, dan motivasi.

32

Drs. Wasty Soemanto, M.Pd., Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin


(43)

Dengan demikian hasil belajar erat kaitannya dengan proses belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Semakin kondusif proses belajar maka akan semakin meningkatkan kemampuan siswa dalam menerima materi pelajaran.

9. Konsep Tekanan

a. Tekanan Pada Zat Padat

Tekanan pada suatu zat padat dapat dinyatakan sebagai gaya per satuan luas penampang. Secara matematis, tekanan dapat dinyatakan sebagai berikut.:

P  F

A ……… (2.1)

Keterangan:

P : tekanan (Pascal atau N/m2)

F : gaya tekan (N)

A : luas permukaan (m2)

Gambar 2.2 Sep atu Bola

Berdasarkan persamaan 2.1 di atas, besar tekanan pada zat padat dipengaruhi oleh luas penampang zat padat tersebut. Prinsip tekanan pada zat padat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pada sepatu sepak bola. Perhatikan gambar 2.2 di samping! Sol sepatu sepak bola dibuat tidak rata (berupa tonjolan-tonjolan) untuk memperbesar gaya tekan terhadap tanah. Semakin besar gaya tekan yang kita berikan pada tanah, membuat kita semakin kokoh berdiri dan berlari dengan lebih cepat, bahkan saat hujan.


(44)

b. Tekanan Pada Zat Cair

Berikut ini akan kita pelajari hal-hal yang berkaitan dengan tekanan pada zat cair.

1) Tekanan Hidrostatis

Besarnya tekanan hidrostatis zat cair dipengaruhi beberapa faktor, yaitu kedalaman, massa jenis zat cair, dan percepatan gravitasi. Persamaan tekanan hidrostatis dapat dirumuskan sebagai berikut.

Ph = p.g.h ……… (2.2)

dengan:

Ph = tekanan hidrostatis zat cair (N/m2)

p = massa jenis (kg/m3)

g = percepatan gravitasi (m/s2)

h = kedalaman dari permukaan (m)

Besarnya tekanan hidrostatis tidak dipengaruhi oleh bentuk wadah zat cair. Hal ini dinyatakan dalam hukum utama tekanan hidrostatis yang berbunyi:

“Tekanan hidrostatis di setiap titik pada bidang datar di dalam zat cair sejenis

yang berada dalam kesetimbangan adalah sama.” Alat yang biasa digunakan untuk

mengamati tekanan hidrostatis disebut hartl.

2) Hukum Pascal

Pascal menyatakan bahwa:

Tekanan yang diberikan pada zat cair dalam ruang tertutup diteruskan ke segala arah dan sama besar.”

Pernyataan Pascal dikenal

dengan hukum Pascal. Secara

matematis, hukum Pascal dinyatakan sebagai berikut.

Gambar 2.3 Hukum Pascal meny atakan bahwa tekanan zat cair p ada ruang tertutup diteruskan ke segala arah sama besar


(45)

 2

A

B

F1

F2

A1 A2

……… (2.3) dengan:

F1 = gaya pada penampang A1 (N) A1 = luas penampang 1 (m2)

F2 = gaya pada penampang A2 (N) A2 = luas penampang 2 (m2)

3) Hukum Bejana Berhubungan

h1

1 h 2

Gambar 2.4 Bejana berhubunga n diisi dengan dua massa jenis y ang beda

diperoleh persamaan:

Hukum bejana berhubungan berbunyi:

Bila bejana-bejana berhubungan diisi dengan zat cair yang sama dan berada dalam keadaan setimbang maka permukaan zat cair dalam bejanabejana terletak pada sebuah bidang datar.”

Perhatikan gambar 2.4. Tekanan hidrostatis pada titik A akan sama dengan tekanan hidrostatis pada titik B sehingga

P1 P2

1.g.h1  2 .g.h2

……… (2.4)

dengan:

P1 = tekanan zat cair 1 (Nnr2) P2 = tekanan zat cair 2 (Nnr2)

ρ1 = massa jenis zat cair 1 (kgnr3) ρ2 = massa jenis zat cair 2 (kgnr3)

h1= tinggi permukaan zat cair 1(m) h2 = tinggi permukaan zat cair 2 (m)

4) Hukum Archimedes

Hukum Archimedes hanya berlaku pada zat yang dinamakan fluida. zat

yang termasuk dalam fluida adalah zat cair dan gas. “Benda yang dicelupkan

sebagian atau seluruhnya ke dalam zat cair akan mengalami gaya ke atas yang besarnya itu sebanding dengan berat zat cair yang dipindahkan..”


(46)

Gaya ke atas yang dialami benda ketika berada di air disebut gaya Archimedes. Adapun besar gaya Archimedes dirumuskan sebagai berikut.

Fa = . g . V ……… (2.5)

Keterangan:

 : massa jenis zat cair yang didesak benda (kg/m3)

g : percepatan gravitasi (10 m/s2)

V : volume zat cair yang didesak benda (m3)

Dengan menggunakan konsep gaya Archimedes, kedudukan suatu benda

dalam zat alir dibedakan menjadi 3, yaitu mengapung (Fa>w), melayang (Fa = w),

dan tenggelam (Fa < w).

c. Tekanan pada Zat Gas 1) Mengukur Tekanan Udara

Berdasarkan percobaan Torricelli

ditemukan bahwa: 76 cmHg = 1 atmosfer = 100.000 Pascal. Angka 76 cm tersebut diperoleh jika percobaan dilakukan di tepi

pantai dan bukan di pegunungan. Gambar 2.5 Percobaan Torricelli

2) Tekanan Udara dan Ketinggian Tempat

Menurut penelitian para ahli, setiap kenaikan 10 m dari permukaan laut tekanan udara rata-rata turun 1 mmHg. Penurunan ini hanya berlaku sampai ketinggian 1.000 m. Dengan demikian, karena 76 cmHg senilai dengan 760 mmHg maka ketinggian suatu tempat dapat dinyatakan dengan persamaan:

h = (760 –x) . 10 ……… (2.6)

Keterangan:

h: ketinggian suatu tempat (m) x: tekanan tempat tersebut (mmHg)


(47)

10. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian pengaruh model pembelajaran konstruktivisme terhadap hasil belajar telah banyak dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian yang sudah dilakukan:

a. Sri Putri Pujiarsih33 dengan judul skripsi “Pengaruh Model Pembelajaran

Konstruktivisme Piaget terhadap Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada

Materi Pokok Kalor”, menyebutkan bahwa : setelah data dianalisis dengan uji-

t pada taraf signifikan 5% di dapat thitung lebih besar dari ttabel, yakni 2,25 >

1,99, maka Ho ditolak dan Ha diterima disimpulkan bahwa ada pengaruh

pendekatan konstruktivisme Piaget terhadap penguasaan konsep fisika siswa.

b. Halimah34 dengan judul “Pengaruh Penggunaan LKS Eksperimen Berbasis

Konstruktivisme terhadap hasil Belajar Siswa menunjukan hasil belajar yang signifikan. Ketika data dianalisis dengan uji-t pada taraf signifikan 5% di dapat

thitung lebih besar dari ttabel, yakni 6,06 > 1,66, maka Ho ditolak dan Ha diterima.

c. Devi Susilawati35. Menurut Devi, rata-rata nilai hasil belajar siswa yang diberi

pembelajaran konstruktivisme lebih tinggi dibanding siswa yang diberi pembelajaran konvensional.

d. Rr. Tri Sumi Hapsari36 dalam jurnal yang berjudul “Penerapan Model

Pembelajaran Konstruktivisme untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA”

menyatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam bulan November 2010 ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar ranah kognitif, psikomotor dan ranah afektif. Simpulan yang diperoleh bahwa model pembelajaran konstruktivisme dapat meningkatkan hasil belajar IPA di SDK 6 BPK Penabur Bandung

33

Sri Putri Pujiarsih, Pengaruh Model Pembelajaran Konstruktivisme Piaget terhadap

Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Matri Pokok Kalor. (Jakarta: Skripsi FITK UIN Syarif

Hdayatullah Jakarta, 2011)

34

Halimah, Pengaruh Penggunaan LKS Eksperimen Berbasis Konstruktivisme terhadap

Hasil Belajar Siswa, (Jakarta: Skripsi FITK UIN Syarif Hdayatullah Jakarta, 2013)

35

Devi Susilawati, Pengaruh Model Pembelajaran Konstruktivisme Tipe Novick terhadap

Pemahaman Konsep Matematika Siswa,(Jakarta: Skripsi FITK UIN Syarif Hdayatullah Jakarta,

2013)

36

Hapsari, Tri Sumi Rr., Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme untuk


(48)

e. Tri Wahyu R.N dkk37 dalam jurnal yang berjudul “Studi Perbandingan antara Teori Konstruktivime dan Konsep E-Learning dalam Pembelajaran Bahasa

Indonesia” menemukan bahwa rata-rata hasil belajar yang menggunakan teroti

konstruktivisme lebih tinggi dibanding dengan pembelajaran e-learning.

f. Afolabi Folashade38 dalam jurnal “Constructivist Problem Based Learning

Technique and the Academic Achievement of Physics Students with Low Ability Level in Nigerian Secondary Schools” menemukan bahwa hasil belajar fisika siswa naik signifikan dibanding siswa yang belajar dengan metode konvensional.

Dari penelitian yang dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme memberi pengaruh yang signifikan terhadap hasi belajar siswa.

B. Kerangka Berpikir

Pelajaran fisika sangatlah penting, hal tersebut dikarenakan fisika merupakan ilmu murni yang membahas gejala-gejala alam yang terjadi di dunia ini. Maka dari itu meningkatkan mutu pelajaran fisika sangatlah penting. Ini dilakukan guna mencapai sumber daya manusia yang berkualitas dan bermutu khususnya dalam bidang sains fisika. Dalam hal ini perhatian khusus harus diarahkan pemerintah guna meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu dan berkualitas dalam pembelajaran fisika, namun pada kenyataannya sampai saat ini mutu pelajaran fisika masih rendah dibanding mata pelajaran lainnya terutama di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pencapaian kualitas sumber daya manusia khususnya dalam bidang fisika akan terlihat melalui mutu hasil belajar fisika yang diperoleh siswa. Dengan melihat hasil belajar fisika siswa akan didapatkan solusi yang tepat yang harus digunakan pada peningkatan mutu pembelajaran fisika. Dari hasil belajar fisika

37

Wahyu, Tri R.N. dkk, StudiPerbandingan antara Teori Konstruktivisme dan Konsep E-

Learning dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia, Jurnal Procceding PESAT Gunadarma, Vol.2

ISSN: 1858-2559

38

Folashade, Afolabi, Construktivist Problem Based Learning Technique and the Academic

Achievement of Physics Students with Low Ability Level in Nigerian Scondary Schools, Journal

Department Of Teacher Education. Faculty of Education University of Ibadan, Oyo State, Nigeria. 2009.


(49)

itupun dapat terlihat faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu pembelajaran fisika di sekolah.

Berdasarkan fakta di lapangan, diperoleh gambaran bahwa dalam pembelajaran fisika yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa salah satu yang dapat mengarah pada penyebab rendahnya hasil belajar fisika masih dominannya model pembelajaran konvensional (ceramah), hal ini menyebabkan pembelajaran menjadi monoton dan kurang bermakna karena siswa hanya mengahafal tanpa memahami benar isi dari pembelajaran fisika. Masih dominannya penerapan pengajaran konvensional dalam pembelajaran fisika kurang memberikan kesempatan bagi siswa untuk membangun sendiri struktur kognitifnya.

Proses pembelajaran yang kurang maksimal akan menyebabkan rendahnya hasil belajar fisika siswa. Masalah ini timbul dikarenakan beberapa faktor secara umum diantaranya yaitu faktor guru dan faktor siswa. Karena kedua faktor tersebut saling berkesinambungan dalam kegiatan pembelajaran khususnya fisika.

Untuk meningkatkan hasil pembelajaran fisika yang baik, perlu digunakan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen yang memfokuskan pelajaran pada siswa. Pendekatan ini memberikan ruang untuk para siswa mengungkapkan pemikiran yang dimiliki siswa sebelum memulai pembelajaran fisika. Bentuk pembelajaran ini mengutamakan pengetahuan siswa sebelum pembelajaran dimulai, hal tersebut akan membuat siswa lebih percaya diri dalam memulai belajar. Dengan menggunakan pendekatan ini, pengetahuan yang diperoleh siswa sebagian besar didasarkan pada hasil usaha sendiri atas keterampilan yang dimiliki sehingga siswa mempunyai kesempatan yang luas untuk menggali pengetahuan yang dimilikinya.

Model pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan

menggunakan pendekatan konstruktivisme agar siswa lebih memahami konsep fisika khususnya pokok bahasan Tekanan. Pendekatan konstruktivisme memfokuskan secara eksklusif pada proses dimana siswa secara individual aktif mengkonstruksi realitas fisika mereka sendiri.


(50)

C. Hipotesis Penelitian

Untuk menguji ada atau tidaknya pengaruh variabel X (pendekatan konstruktivisme) dengan variabel Y (hasil belajar siswa pada materi pokok tekanan), maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat pengaruh pembelajaran yang berbasis konstruktivisme dalam

meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok materi tekanan.

Ha: Terdapat pengaruh pembelajaran yang berbasis konstruktivisme dalam

meningkatkanhasil belajar siswa pada pokok materi tekanan

Dari hipotesis di atas, penulis memiliki dugaan sementara bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa yang diajar dengan pendekatan konstruktivisme. Adapun untuk kebenarannya, maka akan dibuktikan melalui hasil penelitian yang dilakukan di sekolah yang bersangkutan.


(51)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 2 Parung Bogor. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014 tepatnya di mulai pada tanggal 27 Januari sampai dengan 21 Februari 2014. .

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuasi eksperimen (quasi-exsperiment reseach). Eksperimen ini biasa juga disebut

sebagi eksperimen semu. Dianggap demikian karena peneliti tidak memungkinkan untuk mengontrol faktor-faktor lain yang mempengaruhi variabel-variabel

penelitian.1

C. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Pre-post

Test Control Group Design yang dapat digambarkan sebagai berikut:2 Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

E T1 Oe T2

C T1 Oc T2

Keterangan:

E : Kelas Eksperimen

C : Kelas Kontrol

T1 : Tes awal yang sama pada dua kelompok sebelum perlakuan (pretest)

T2 : Tes awal yang sama pada dua kelompok sesudah perlakuan (posttest)

Oe : Perlakuan dengan pembelajaran berbasis konstruktivisme

Oc : Perlakuan dengan pembelajaran konvensional

1

Nuraida Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Ciputat: Islamic Reseach Publishing, 2009), h. 141

2

Ibid, h. 141


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)