1
Direktorat Jenderal Peternakan Ditjennak, 2006
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peternakan merupakan bagian dari pertanian yang menghasilkan pangan. Pangan yang dihasilkan dari peternakan dikenal sebagai penghasil protein hewani
yang bernilai gizi tinggi seperti daging, telur, dan susu. Peternakan memiliki peran yang penting dalam memajukan pertanian Indonesia. Hal ini ditunjukan melalui
pengembangan beberapa subsektor peternakan yang merupakan bagian dari program pemerintah dalam rangka meningkatkan pengembangan sektor pertanian
nasional dalam arti luas. Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat dan swasta. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan produk
peternakan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam dan merata. Swasta dan masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-
luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan, dapat berupa melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi produk ternak.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 223 juta orang dengan tingkat pertumbuhan populasi 1,01 persen pertahun
1
, merupakan target pasar potensial yang ingin dibidik oleh banyak negara produsen pangan di dunia
termasuk produk pangan peternakan. Dari ketiga macam produk pangan utama asal ternak, terdapat beberapa komoditas yang telah mampu berswasembada dan
yang masih sangat bergantung pada ketersediaan melalui impor. Indonesia sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan ternak
sendiri dan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan
dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan peternakan di
Indonesia masih belum berhasil dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk rentan terhadap serangan penyakit hewan berbahaya. Hal ini disebabkan
oleh berbagai kelemahan struktural dalam sistem pengembangan peternakan. Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari model pengembangan dan
2
2
Ilham. 2006. Analisa sosial ekonomi dalam rangka pencapaian swasembada daging 2010. Direktorat Ruminansia, Ditjenak, Jakarta. Unpublished
kelembagaan yang tepat dan secara ekonomis menguntungkan dalam penerapannya
2
. Pengembangan peternakan sapi perah dilakukan dalam rangka
meningkatkan produksi susu nasional, namun berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjennak, perkembangan peternakan nasional dari tahun 2005 hingga 2008
jumlah populasi sapi perah dan tingkat produksi susu dalam negeri tidak mengalami perubahan yang signifikan. Rata-rata laju perkembangan jumlah
populasi maupun produksi susu tahun 2005-2008 tidak lebih dari 20 persen.
Table 1. Jumlah Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Segar Nasional Tahun
2005
– 2008 Tahun
Sapi Perah ekor Produksi Susu ton
Konsumsi kg
2005 361.351
535.960 845.744
2006 369.008
616.548 2.534.960
2007 374.067
567.682 2.555.270
2008 457.577
646.953 2.277.200
Ket : Tidak termasuk dalam beberapa provinsi
Sumber : Ditjen Peternakan Deptan, Tahun 2009
Berdasarkan Tabel 1, secara nasional jumlah populasi susu sapi perah
nasional dari tahun 2005 hingga 2008 mengalami peningkatan, namun jumlah produksi susu dari tahun 2005 hingga 2008 mengalami fluktuasi dari tahun ke
tahun. Hal tersebut menunjukan tidak sejalannya perkembangan, antara produksi susu yang dihasilkan dengan jumlah populasi semakin meningkat. Kemudian,
produksi susu nasional baru memenuhi 30 persen kebutuhan nasional, dan sisanya Indonesia masih harus mengimpor dari beberapa negara seperti Australia,
Selandia Baru dan Belanda.
Tabel 2. Jumlah Ekspor dan Impor Susu Indonesia Periode Tahun 2003 - 2008 Tahun
Ekspor Susu Olahan Impor Susu Bubuk
Kg Nilai US
Kg Nilai US
2003 46.027.220
53.172.102 117.318.145
207.475.321 2004
36.725.220 59.664.476
165.411.493 329.382.793
2005 45.018.446
90.150.666 173.084.444
399.165.422 2006
35.241.220 71.541.786
188.128.220 416.183.463
2007 30.739.140
68.138.949 198.217.220
637.007.025 2008
52.243.810 211.296.157
170.307.160 625.985.803
Ket : Data sampai dengan November 2008
Sumber : BPS, diolah Dit. PI, Tahun 2009
3
Pada Tabel 2, terlihat bahwa ekspor susu mengalami pekembangan yang
cukup fluktuatif, sedangkan impor susu mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Volume ekspor susu olahan tertinggi dicapai pada tahun 2008 sebesar
52.243.810 Kg dengan nilai US 211.296.157, sedangkan volume impor tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar 198.217.220 Kg dengan nilai US 637.007.025.
Tingginya volume impor disebabkan karena rendahnya produktivitas peternak dan produksi susu nasional yang belum memenuhi permintaan Industri Pengolahan
susu IPS dan kebutuhan masyarakat. Salah satu provinsi yang cocok untuk pengembangan peternakan sapi
perah adalah Provinsi Jawa Barat. Menurut Amaliah 2008 wilayah yang cocok untuk pengembangan usaha sapi perah di Indonesia adalah daerah pegunungan
dengan ketinggian minimum 800 meter di atas permukaan laut. Penelaah hubungan produksi susu sapi perah dengan topografi wilayah memperlihatkan
bahwa selisih ketinggian 100 meter berkaitan erat dengan perbedaan produksi rata-rata empat persen. Provinsi Jawa Barat memiliki pegunungan dan dataran
tinggi yang merupakan iklim yang cocok untuk peternakan sapi perah. Di samping itu Provinsi Jawa Barat masih memiliki lahan yang relatif luas untuk ketersediaan
pakan hijau rumput sehingga pasokan pakan akan tetap terjamin. Beberapa daerah di Jawa Barat telah menjadi sentra persusuan. Berikut ini 10 daerah yang
menjadi sentra persusuan sapi perah di Provinsi Jawa Barat.
Tabel 3. Peringkat 10 Besar Daerah Penghasil Susu Jawa Barat Tahun 2003-2006
No. Kab Kota
Tahun Jumlah
Produksi 2003-2006
2003 2004
2005 2006
1. Bandung
94.860,29 97.232,34 109.580,1 115.780
417.452,73 2.
Garut 50.785,53 51.799,94 27.859,63 30.808,38
161.253,78 3.
Kuningan 15.337,81 14.793,77 13.414,06 12.711,15
56.256,79 4.
Sumedang 10.739,52 11.814,56 12.719,85 14.301,95
49.575,88 5.
Bogor 11.207,40 11.655,69 11.827,61 11.148,64
45.839,34 6.
Sukabumi 6.907,24
7.864,76 8.260,83
9.137,84 32.170,67
7. Cianjur
3.834,45 3.965,03
4.062,95 4.145,65
16.008,08 8.
Tasikmalaya 3.107,60
3.307,81 3.357,87
3.414,45 13.187,73
9. Kota Bogor
3.190,30 3.508,02
2.263,24 1.431,45
10.393,5 10.
Kota Depok 1.310,07
1.921,58 1.971,63
2.169,67 7.372,95
Sumber : Dinas Peternakan Jawa Barat, Tahun 2008
4
Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa Kabupaten Bandung memiliki total
produksi paling besar dari tahun 2003 hingga 2006, yaitu sebesar 417.452,73 liter susu. Sedangkan Kabupaten Garut yang menjadi lokasi penelitian menempati
urutan ke dua dengan jumlah 161.253,78 liter susu. Koperasi mempunyai peran yang cukup strategis untuk menopang
perkembangan persusuan di Indonesia. Perkembangan dari koperasi persusuan tergantung pada mekanisme yang terjadi di koperasi tersebut. Koperasi peternakan
sapi perah berperan sebagai tempat pengumpul susu dari peternakan rakyat yang merupakan anggota koperasi. Oleh karena itu, peranan koperasi sangat penting
untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Adapun perkembangan populasi sapi perah dan produksi susu dari seluruh koperasi persusuan yang ada di Jawa
Barat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Populasi dan Produksi Berdasarkan Wilayah Koperasi
Pesusuan di Jawa Barat Tahun 2004
No. Nama Koperasi
Jumlah Peternak orang
Total Populasi ekor
Total Produksi Susu ton
1. KPSBU Lembang 4.618
14.816 34.689,435
2. Cikajang Karya Utama
Sejahtera 1.683
4.089 9.639,830
3. Cisurupan 1.372
3.711 5.753,710
4. Bayongbong 1.504
4.064 8.129,493
5. Cilawu 534
1.717 2.385,660
6. Tani Mukti Ciwidey 855
1.028 3.227,356
7. Dewi Sri Kuningan 1.228
3.777 5.086,156
8. Sinar Jaya Ujung Berung 533
2.683 2.934,320
9. Tandang Sari 1.589
5.159 10.183,082
10. Ciparay 338
639 1.194,126
11. Cipanas, Cianjur 120
794 619,220
12. KPS, Gunung Gede 86
877 1.241,259
13. Gemah Ripah 200
1.122 1.174,663
14. Makmur, Selabintana 50
496 1.009,581
15. Bakti Sukaraja I 13
152 308,107
16. Cipta Karya, Samarang 55
90 77,803
17. KPBS Pangalengan 6.704
15.286 29.253,260
18. Mitrayasa, Pageur Ageung 400
1.157 1.478,770
19. Balebat, Banjaran Majalengka 126
437 354,043
20. Giri Tani, Bogor 694
956 1.582,410
21. Sarwa Mukti 1.200
3.215 12.304,308
22. Pasir Jambu 1.800
1.298 2.414,066
23. Puspa Mekar 1.030
3.779 11.586,121
24. KPS Bogor 268
2.868 4.233,540
Jumlah 27.000
74.210 150.860,319
Sumber : GKSI Jawa Barat, Tahun 2004
5
Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat bahwa koperasi-koperasi seperti
KPSBU Lembang, KSU Tandangsari, KPBS Pangalengan, KUD Puspa Mekar, KUD Sarwa Mukti, KUD Cikajang, dan KUD Bayongbong merupakan koperasi
yang mempunyai jumlah produksi susu segar lebih dari 8 ribu ton. Data tersebut menunjukkan bahwa peternak rakyat mendominasi usaha ternak sapi perah di
Jawa Barat. Berikut tabel mengenai perkembangan dan produksi berdasarkan wilayah koperasi persusuan di Jawa Barat pada tahun 2004.
Koperasi diupayakan sebagai pilar yang kokoh bagi penggerak ekonomi rakyat yang tangguh, kuat, dan mandiri dalam upaya memajukan sektor pertanian.
Menurut Baga 2005 secara umum terdapat banyak alasan yang menyebabkan
koperasi menjadi hal yang dibutuhkan bagi pengembangan pertanian. Pertama,
petani menjalankan usaha yang relatif kecil dibandingkan partner-nya, sehingga
memiliki posisi rebut tawar yang lemah. Kedua, pasar produk pertanian yang
pada umumnya dikuasai oleh pembeli yang jumlahnya relatif sedikit dibandingkan
petani yang jumlahnya banyak. Ketiga, besarnya permintaan pembeli produk
umumnya baru dapat dipenuhi dari penggabungan volume produksi banyak
petani. Keempat, keragaman kualitas produk pertanian menyulitkan proses pemasaran apabila dilakukan secara individu. Kelima, karakter sektor pertanian
yang secara geografis menyebar menyebabkan hanya sedikit petani menjangkau
berbagai alternatif pembeli. Keenam, kualitas sumberdaya manusia petani pada umumnya relatif rendah sehingga menyulitkan ekspansi usaha. Ketujuh, cara
hidup petani yang identik dengan prinsip gotong royong berpengaruh terhadap proses pemecahan masalah.
Adanya peran kelembagaan koperasi dalam peternakan ini memberikan peluang besar terhadap sektor peternakan untuk mampu berkembang dengan baik.
Upaya pengembangan peternakan ini tentunya membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, mulai dari penerapan pengelolaan teknis peternakan
yang baik serta peran kelembagaan yang berjalan dengan efektif. Hal ini akan berdampak terhadap perkembangan populasi sapi perah dan produksi susu dari
sektor peternakan tersebut.
6
1.2. Perumusan Masalah