Strategi Pengembangan Usaha Koperasi Unit Desa (KUD) Puspa Mekar Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat (AS), yaitu sebesar 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 1,49 persen per tahun (BPS 2010). Hal itu juga terlihat dari hasil proyeksi BPS (2009) yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan terus mengalami peningkatan, yaitu dari 219,8 juta pada tahun 2005 menjadi 247,6 juta pada tahun 2015. Tingginya laju pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya itu menyebabkan permintaan terhadap kebutuhan hidup manusia juga terus mengalami peningkatan, salah satunya adalah kebutuhan pangan. Seiring dengan perkembangan zaman, peran pangan tidak pernah mengalami penurunan, sebaliknya pangan terus mengalami peningkatan nilai yang searah dengan peningkatan kebutuhan dari kualitas dan kuantitas pangan itu sendiri. Pangan yang dikonsumsi sehari-hari diharapkan mengandung nutrisi serta asupan gizi yang cukup bagi tubuh manusia, seperti karbohidrat, vitamin, protein, kalsium, lemak, dan kandungan gizi lainnya.

Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang menghasilkan pangan. Pangan yang dihasilkan dari subsektor peternakan ini dikenal sebagai penghasil protein hewani yang bernilai gizi tinggi. Usahaternak di Indonesia selain berkontribusi dalam mendukung kebutuhan protein hewani juga berperan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang cukup potensial, seperti meningkatkan pendapatan, memperluas lapangan kerja, maupun menopang sektor industri. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta kesadaran terhadap makanan bergizi menyebabkan permintaan terhadap produk utama peternakan, seperti daging, telur, dan susu semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 mengenai kandungan gizi dan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia per kapita per tahun.


(2)

2 Tabel 1. Kandungan Gizi dan Konsumsi Protein Hewani Masyarakat Indonesia

per Kapita per Tahun

Keterangan: e) Angka perkiraan x)

Angka sementara

Sumber: a) Manfaat daging, telur, dan susu sapi, http://jiwocore.wordpress.com (2010) b)

Publikasi Statistik Indonesia, BPS (2011)

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi protein hewani menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, termasuk susu. Saat ini, konsumsi susu masyarakat Indonesia sebagian besar berasal dari susu sapi. Susu sapi memiliki kandungan gizi protein sebesar 3,2 persen yang bermanfaat untuk mempercepat pertumbuhan tubuh dan mencerdaskan otak. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi protein dari susu sapi menyebabkan jumlah permintaan terhadap komoditas tersebut semakin meningkat. Peningkatan tersebut ditandai dengan peningkatan konsumsi susu nasional per kapita, yaitu pada tahun 2008 sebesar 6,91 kg/kapita menjadi 8,90 kg/kapita pada tahun 2009 (Direktorat Jenderal Peternakan 2010). Adapun konsumsi susu nasional adalah mencakup konsumsi susu segar, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk bayi, keju, dan produk olahan dari susu sapi lainnya. Berdasarkan asumsi tingkat konsumsi susu nasional per kapita tersebut, dapat diproyeksikan bahwa kebutuhan susu nasional juga mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2008 sebesar 1,64 juta ton menjadi 2,11 juta ton pada tahun 2009.

Permintaan terhadap susu dari tahun ke tahun yang terus mengalami peningkatan itu tidak diikuti oleh peningkatan jumlah produksi susu. Jumlah produksi susu dari tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan perkembangan yang fluktuatif. Jumlah produksi susu tertinggi terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 776.343 ton, sedangkan jumlah produksi susu pada tahun 2005 dan 2007 sempat mengalami penurunan secara berturut-turut menjadi sebesar 535.960 dan 567.682 ton dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 549.945 dan 616.549 ton. Jumlah populasi sapi perah, produksi susu segar, dan konsumsi susu nasional dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Jenis Kandungan Gizi

Protein (%) a)

Konsumsi Protein (g/kapita/tahun) b) 2006 2007 2008 2009 x) 2010e)

Daging 19,0 981,9 1084,1 1109,6 1146,1 1182,6

Telur 13,0 547,5 620,5 591,3 573,1 587,7


(3)

3 Tabel 2. Jumlah Populasi Sapi Perah, Produksi Susu Segar, dan Konsumsi

Susu Nasional Tahun 2004 – 2009

Tahun Jumlah Populasi Sapi (Ekor)

Produksi Susu (Ton)

Konsumsi Susu (Ton)

2004 364.062 549.945 1.237.986

2005 361.351 535.960 1.291.294

2006 369.008 616.549 1.354.235

2007 374.067 567.682 1.758.243

2008 457.577 646.953 1.641.810

2009* 474.701 776.343 2.114.640

Keterangan: * Angka Sementara

Sumber: Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan (2010), diolah

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah populasi sapi perah dan jumlah produksi susu dalam negeri tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan setiap tahunnya, yaitu tidak lebih dari 20 persen sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan susu dalam negeri. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya harga beli susu di tingkat peternak. Selama hampir 11 tahun susu segar dalam negeri dihargai IPS lebih rendah dibandingkan dengan bahan baku susu impor. Pada tahun 2011, harga bahan baku susu impor mencapai Rp 4.700 per liter, sedangkan susu segar lokal hanya dihargai sebesar Rp 3.020 per liter oleh IPS. Susu lokal hanya diberi insentif antara Rp 380 – Rp 850 per liter (Dewan Persusuan Nasional 2012). Harga susu saat ini telah menurunkan animo peternak sehingga mereka tidak memiliki keinginan untuk menambah populasi sapi perahnya. Hal tersebut dikarenakan peternak tidak memiliki sisa dana untuk investasi dan pengembangan usahaternak sapi perahnya, artinya hasil penjualan susu segar tidak sebanding dengan biaya produksi terutama harga pakan yang sangat tinggi.

Rata-rata tingkat kepemilikan sapi perah peternak lokal hanya satu sampai tiga ekor per peternak dengan produktivitas susu rata-rata hanya mencapai 12 – 13 liter/ekor/hari. Hal tersebut menyebabkan pasokan susu dari peternak lokal saat ini baru mencapai 25 – 30 persen dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal Peternakan 2009). Produktivitas susu yang rendah tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan susu nasional. Hal itulah yang mendorong terjadinya


(4)

4 peningkatan volume impor terhadap komoditas susu. Tabel 3 menunjukkan besarnya volume ekspor dan impor susu nasional pada tahun 2005 hingga 2009. Tabel 3. Volume Ekspor dan Impor Susu Indonesia Tahun 2005 – 2009

Tahun Ekspor Susu (Ton) Impor Susu (Ton)

2005 45.018,4 173.084,4 2006 35.241,2 188.128,4 2007 30.739,1 198.216,8 2008 55.773,6 180.932,8 2009 41.728,9 166.504,3 Sumber: Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan (2010)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa Indonesia dalam perdagangan internasional lebih cenderung mengimpor susu dengan volume yang cukup besar untuk menutupi kekurangan pasokan susu lokal dibandingkan mengekspor susu ke luar negeri. Ekspor susu yang dilakukan Indonesia pada umumnya hanya dalam bentuk susu segar dan susu cair pabrik, sedangkan impor susu yang dilakukan Indonesia lebih banyak dalam bentuk produk olahan, misalnya susu bubuk, susu bubuk bayi, keju, dan produk olahan dari susu sapi lainnya. Impor susu yang dilakukan Indonesia merupakan substitusi dari produk ekspornya. Hal ini menunjukkan bahwa peternakan sapi perah di Indonesia tidak hanya rendah dalam memproduksi susu segar pada tingkat peternak saja, tetapi juga tidak berkembang dalam menghasilkan produk olahan susu pada tingkat Industri Pengolahan Susu (IPS).

Tabel 3 tersebut juga menunjukkan bahwa volume impor susu mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun 2005 hingga 2007, yaitu sebesar 173.084,4 ton pada tahun 2005 menjadi 198.216,8 ton pada tahun 2007. Besarnya volume impor susu menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah di Indonesia, baik di tingkat peternak maupun IPS untuk menghasilkan susu sapi segar serta produk olahannya sebagai produk substitusi susu impor.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menjadi sentra peternakan sapi perah di Indonesia. Dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia, Jawa Barat menempati posisi ketiga terbesar dalam penyebaran populasi ternak sapi perah di Indonesia (BPS 2007). Hal ini juga diperkuat oleh data produksi susu yang diperoleh dari GKSI (2009), yaitu sebesar 32 persen susu segar nasional


(5)

5 dihasilkan oleh Provinsi Jawa Barat. Salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat dengan jumlah populasi sapi perah sebanyak 30.146 ekor atau diperkirakan sekitar 37.000 liter susu segar dihasilkan setiap harinya, sehingga Kabupaten Bandung Barat berperan sebagai salah satu kabupaten penghasil susu terbesar di Indonesia. Di samping itu, agroklimat di Kabupaten Bandung Barat memiliki ketinggian rata-rata sebesar minimum 110 meter dan maksimum 2.429 meter di atas permukaan laut (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat 2009). Kondisi tersebut membuat Kabupaten Bandung Barat memiliki prospek yang baik dan sangat potensial untuk menjadi salah satu sentra peternakan sapi perah dan produksi susu baik di Jawa Barat maupun nasional.

Sebagian besar peternak sapi perah yang ada di Indonesia terhimpun dalam sebuah koperasi. Koperasi mempunyai peran yang cukup strategis untuk menopang perkembangan persusuan di Indonesia. Koperasi persusuan merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk memenuhi kebutuhan produksi dan distribusinya, dimana koperasi bertugas memberikan suplai input produksi berupa konsentrat, obat-obatan, Inseminasi Buatan (IB), dan memberikan fasilitas penyaluran kredit, serta menampung susu dari peternak untuk dijual ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Koperasi persusuan sangat menentukan posisi tawar peternak terhadap IPS dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima.

Kemitraan yang dibangun antara IPS dan koperasi persusuan tidak selamanya berjalan dengan lancar. Peranan IPS sangat strategis mengingat koperasi/peternak sapi perah tidak memiliki pilihan lain dalam menyalurkan produksi susunya, hanya ke beberapa IPS. Dampaknya, segala inisiatif berkaitan dengan kebijakan perdagangan susu segar banyak muncul dari IPS, di antaranya dalam menetapkan harga beli dan standar baku kualitas susu segar. Koperasi telah menanggapi kebijakan tersebut dengan meningkatkan kualitas susu mulai dari tingkat peternak sampai dengan penanganan susu di koperasi. Namun, hingga saat ini harga beli susu IPS dari koperasi masih rendah, yaitu berkisar antara Rp 3.100 – Rp 3.500 per liter sehingga berimplikasi terhadap penetapan harga beli susu di tingkat peternak yang juga rendah, yaitu berkisar antara Rp 2.800 Rp 3.050 per


(6)

6 liter. Padahal, harga beli yang layak dan mampu memberikan kesejahteraan koperasi dan peternak sebagai anggotanya, yaitu sekitar Rp 4.500 per liter (Dewan Persusuan Nasional 2012). Dampak penetapan harga beli susu yang rendah di tingkat peternak terhadap koperasi dapat beragam mulai dari menurunnya kredibilitas pengurus koperasi di mata peternak sebagai anggota, alasan untuk tidak patuh terhadap kewajiban sebagai anggota, dan banyak reaksi negatif lainnya. Sangat mudah bagi peternak mengambil keputusan untuk menjual aset-aset ternak sapi perahnya ketika menghadapi penetapan harga beli susu yang rendah dari koperasi. Dampak turunannya sangat luas, mulai dari penurunan populasi sapi perah di wilayah kerja koperasi, produksi dan suplai susu segar ke koperasi menurun, skala koperasi menjadi tidak ekonomis, keberlanjutan bisnis koperasi dan sektor hulu menjadi terancam.

Seiring dengan dampak yang dirasakan koperasi persusuan terhadap penetapan harga beli susu yang rendah dari anggota, banyak IPS yang memanfaatkan kondisi tersebut dengan menciptakan saluran pemasaran susu melalui agen pengumpul/kolektor susu. Agen kolektor susu menampung/membeli susu dari peternak dengan harga lebih tinggi dari harga yang ditetapkan koperasi primer, terkadang mereka menampung susu dengan mengabaikan tingkat kualitas susu yang dihasilkan. Kondisi ini tentu saja dapat menekan perkembangan koperasi perususuan di Indonesia. Oleh karena itu, koperasi persusuan perlu mengembangkan usahaternak sapi perahnya agar dapat lebih meningkatkan kesejahteraan para peternak sebagai anggotanya, sehingga anggota tidak beralih memasarkan susunya ke agen kolektor susu. Adapun perkembangan populasi sapi perah dan produksi susu dari seluruh koperasi persusuan yang ada di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa koperasi-koperasi, seperti KPSBU Lembang, KSU Tandangsari, KPBS Pangalengan, KUD Puspa Mekar, KUD Sarwa Mukti, KUD Cikajang, dan KUD Bayongbong merupakan koperasi persusuan yang mampu memproduksi susu segar diatas 8.000 ton per tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa peternak rakyat mendominasi peternakan sapi perah di Jawa Barat dan dengan adanya koperasi-koperasi tersebut diharapkan peternak rakyat di Jawa Barat dapat memberikan kontribusi terhadap total produksi susu nasional.


(7)

7 Salah satu koperasi persusuan di Kabupaten Bandung Barat yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah KUD Puspa Mekar. Hal ini terlihat pada Tabel 4 yang menunjukkan bahwa jumlah produksi susu segar yang dihasilkan oleh KUD Puspa Mekar pada tahun 2004 adalah sebesar 11.586,121 ton atau sekitar 7,7 persen dari total produksi susu secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa KUD Puspa Mekar tidak hanya diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap total produksi susu di Jawa Barat tetapi juga nasional.

Tabel 4. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Berdasarkan Wilayah Koperasi Persusuan di Jawa Barat Tahun 2004

No. Nama Koperasi Jumlah Peternak (Orang)

Total Populasi (Ekor)

Total Produksi (Ton/per Tahun)

1. KPSBU Lembang 4.618 14.816 34.689,435

2. Cikajang (Karya Utama Sejahtera)

1.683 4.089 9.639,830

3. Cisurupan 1.372 3.711 5.753,710

4. Bayongbong 1.504 4.064 8.129,493

5. Cilawu 534 1.717 2.385,660

6. Tani Mukti Ciwidey 855 1.028 3.227,356

7. Dewi Sri Kuningan 1.228 3.777 5.086,156 8. Sinar Jaya Ujung Berung 533 2.683 2.934,320

9. Tandang Sari 1.589 5.159 10.183,082

10. Ciparay 338 639 1.194,126

11. Cipanas, Cianjur 120 794 619,220

12. KPS, Gunung Gede 86 877 1.241,259

13. Gemah Ripah 200 1.122 1.174,663

14. Makmur, Selabintana 50 496 1.009,581

15. Bakti Sukaraja I 13 152 308,107

16. Cipta Karya, Samarang 55 90 77,803

17. KPBS Pangalengan 6.704 15.286 29.253,260 18. Mitrayasa, Pageur Ageung 400 1.157 1.478,770 19. Balebat, Banjaran

Majalengka

126 437 354,043

20. Giri Tani, Bogor 694 956 1.582,410

21. Sarwa Mukti 1.200 3.215 12.304,308

22. Pasir Jambu 1.800 1.298 2.414,066

23. Puspa Mekar 1.030 3.779 11.586,121

24. KPS Bogor 268 2.868 4.233,540

Jumlah 27.000 74.210 150.860,319 Sumber: GKSI Jawa Barat (2004)

KUD Puspa Mekar saat ini telah berasosiasi dengan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Jawa Barat sebagai upaya pengembangan KUD Puspa Mekar yang merupakan salah satu koperasi yang bergerak di bidang usahaternak sapi perah yang dapat memberikan peluang besar terhadap sektor peternakan sapi perah di Jawa Barat dan nasional. Upaya pengembangan


(8)

8 usahaternak sapi perah KUD Puspa Mekar tentunya membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, mulai dari penerapan pengelolaan teknis peternakan sapi perah yang baik serta peran pengurus yang berjalan dengan efektif. Hal ini akan berdampak terhadap perkembangan KUD Puspa Mekar selanjutnya terutama terhadap perkembangan populasi sapi perah dan produksi susu di Jawa Barat dan nasional.

1.2. Perumusan Masalah

KUD Puspa Mekar merupakan salah satu koperasi yang dikembangkan dari pemerintah (top-down) melalui program KUD. Pada awal berdirinya, KUD Puspa Mekar memiliki lima unit usaha, yaitu unit usaha pertanian tanaman bunga, unit usaha simpan pinjam, unit usaha warung serba ada (waserda), unit usaha industri/perdagangan umum, dan unit usaha pelayanan jasa (listrik). Namun, seiring dengan perkembangan usaha dan pekerjaan masyarakat sekitar koperasi yang mayoritas adalah para peternak sapi perah, maka saat ini unit usaha yang dikelola oleh KUD Puspa Mekar adalah unit usahaternak sapi perah (produksi susu segar).

KUD Puspa Mekar merupakan salah satu koperasi persusuan di Kabupaten Bandung Barat yang telah terdaftar dalam keanggotaan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Barat dengan jumlah produksi susu segar diatas 11.000 ton pada tahun 2004. Sehingga, berpotensi besar dalam memberikan kontribusi terhadap total produksi susu baik di Jawa Barat maupun nasional. Hal ini sesuai dengan visi yang dimiliki oleh KUD Puspa Mekar, yaitu menjadi koperasi susu terdepan di Indonesia dalam mensejahterakan anggota, sedangkan misinya adalah mensejahterakan anggota melalui pelayanan prima dengan manajemen yang berkomitmen dan meningkatkan kapasitas kelembagaan koperasi melalui pendidikan, pemberdayaan SDM, dan kemitraan strategis. Namun, sampai saat ini visi tersebut belum tercapai karena KUD Puspa Mekar dihadapkan pada beberapa permasalahan yang mengganggu jalannya aktivitas usaha mereka yang tidak sesuai dengan misi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pada tahun 2006, peran KUD Puspa Mekar terhadap IPS berkurang, bahkan cenderung tidak lagi dipercaya oleh IPS. Kondisi tersebut disebabkan kualitas susu yang disalurkan KUD Puspa Mekar ke IPS sangat rendah, sehingga


(9)

9 IPS memutuskan jalur pemasaran susu dari KUD Puspa Mekar. Rendahnya kualitas susu yang dihasilkan KUD Puspa Mekar disebabkan oleh adanya anggota KUD yang tergabung dalam kelompok pengumpul/kolektor susu yang telah mencampur susunya dengan air. Hal ini membawa dampak negatif bagi perkembangan usahaternak sapi perah KUD Puspa Mekar karena mulai saat itu KUD Puspa Mekar tidak lagi memiliki saluran pemasaran susu yang jelas.

Berdasarkan kondisi tersebut, KUD Puspa Mekar berusaha untuk mengembalikan kepercayaan IPS, yaitu melalui kerja sama dengan Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) Jawa Barat dalam bentuk asosiasi. Seiring berjalannya waktu, terbentuknya asosiasi ini membawa dampak positif dan dampak negatif bagi KUD Puspa Mekar. Dampak positif dari terbentuknya asosiasi ini adalah manajemen operasional dan standarisasi kualitas susu di KUD Puspa Mekar telah mengikuti sistem di KPSBU, sehingga KUD Puspa Mekar kembali dipercaya untuk menyalurkan produksi susunya ke IPS walaupun harus melalui jalur pemasaran KPSBU terlebih dahulu, sedangkan dampak negatif dari terbentuknya asosiasi ini berindikasi dapat membawa keterikatan yang panjang bagi perkembangan KUD Puspa Mekar ke depannya.

KUD Puspa Mekar diindikasikan akan terus bergantung terhadap KPSBU. Kondisi tersebut tentu saja dapat menghambat perkembangan KUD Puspa Mekar sebagai koperasi yang mandiri sehingga tidak dapat maju dan berkembang di Kabupaten Bandung Barat. Hal ini terlihat dari citra yang ditimbulkan oleh beberapa anggota terhadap KUD Puspa Mekar yaitu menganggap bahwa keberadaan KUD Puspa Mekar saat ini hanya merupakan perpanjangan tangan dari KPSBU. Para anggota merasa tidak lagi memiliki KUD Puspa Mekar secara penuh karena mereka menganggap sebagian aturan dan sistem manajemen koperasi dikontrol oleh KPSBU. Hal itu menyebabkan KUD Puspa Mekar sulit memanfaatkan peluang bagi pengembangan usahanya yang berakar dari oleh dan untuk anggota.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh KUD Puspa Mekar adalah mengenai ketidaksesuaian harga beli susu yang dirasakan oleh sebagian anggotanya. Hal ini menjadi permasalahan mendasar di tingkat peternak. Para peternak merasa bahwa harga jual susu yang diterima dari KUD Puspa Mekar terkadang tidak seimbang


(10)

10 dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini disebabkan KUD Puspa Mekar telah menerapkan sistem pengendalian yang ketat terhadap pengukuran kualitas susu peternak saat di lapang, yaitu mengikuti standar baku kualitas IPS. Harga beli susu yang diberlakukan oleh KUD Puspa Mekar kepada para peternak memang berfluktuatif tergantung dari tingkat kualitas susu yang dihasilkan peternak, yaitu berkisar antara Rp 2.900 – 3.100 per liter. Namun, ada beberapa pengumpul/kolektor susu yang tergabung dalam bentuk perusahaan swasta/CV yang memberlakukan harga susu dengan sama rata untuk berbagai tingkat kualitas susu yang dihasilkan peternak, yaitu sebesar Rp 3.150 per liter. Bahkan, perusahaan swasta ini juga dapat memberikan harga susu yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga susu yang diterima peternak dari KUD Puspa Mekar dengan mengabaikan tingkat kualitas susu, yaitu sebesar Rp 3.200 per liter. Kebanyakan dari perusahaan swasta tersebut sengaja diberdayakan oleh pihak IPS itu sendiri, sehingga perusahaan swasta berani menetapkan harga beli susu yang tinggi dengan mengabaikan tingkat kualitas susu yang dihasilkan. Hal tersebut dilakukan oleh IPS untuk memperlemah citra koperasi di mata anggotanya terkait penetapan harga beli dan standar baku kualitas susu dari anggotanya.

Kondisi tersebut menyebabkan sebagian peternak mencari posisi yang aman terhadap harga beli susu yang diterimanya, yaitu dengan cara beralih atau menambah alternatif saluran pemasaran susu selain ke KUD Puspa Mekar, yaitu ke perusahaan swasta untuk menutupi biaya kerugiannya. Dampak dari kondisi tersebut adalah menurunnya volume produksi susu yang diterima oleh KUD Puspa Mekar dari peternak. Tabel 5 menunjukkan daftar nama tempat saluran pemasaran susu yang disalurkan oleh peternak selain ke KUD Puspa Mekar. Tabel 5. Daftar Nama Tempat Saluran Pemasaran Susu yang Disalurkan oleh

Peternak

No. Nama Tempat

Penampungan Susu Lokasi

1. KPSBU Kecamatan Lembang

2. CV. Barokah Kecamatan Lembang

3. KUD Sarwa Mukti Kecamatan Cisarua

4. Kelompok Paguyuban Peternak Parongpong (KPPC)

Kecamatan Cisarua


(11)

11 Beralihnya anggota KUD Puspa Mekar ke perusahaan swasta menunjukkan masih kurangnya tingkat partisipasi dan loyalitas anggota terhadap KUD Puspa Mekar. Kurangnya tingkat partisipasi dan loyalitas anggota tersebut disebabkan oleh kurang maksimalnya pelayanan yang diberikan oleh KUD Puspa Mekar terhadap anggotanya, meliputi kurangnya intensitas penyuluhan dan pembinaan anggota yang diadakan oleh KUD terkait dengan pendidikan dasar-dasar perkoperasian. Hal tersebut dapat berdampak pada kurangnya pemahaman peternak sebagai anggota koperasi yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat partisipasi dan loyalitas anggota terhadap KUD Puspa Mekar.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh KUD Puspa Mekar di tingkat peternak adalah terbatasnya lahan hijauan, serta masih rendahnya pendidikan dan keterampilan para peternak dalam mengelola usahaternak sapi perahnya. Lahan hijauan yang dijadikan sumber pakan hijauan bagi ternak semakin habis karena adanya pergeseran lahan hijauan menjadi lahan perumahan. Peternak menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pakan hijauan untuk kebutuhan ternaknya sehingga para peternak terpaksa menggantinya dengan jerami yang memiliki kandungan air jauh lebih sedikit dibandingkan rumput yang didapatkan di lahan hijaun. Hal itu disebabkan para peternak belum begitu memperhatikan pemberian pakan pada ternaknya berdasarkan standar pakan yang ideal. Peternak sebagai anggota koperasi juga masih belum memahami arti pentingnya kesehatan dan kebersihan dalam mengelola usahaternak sapi perahnya. Kurangnya perhatian peternak terhadap teknik pemerahan yang baik dan kebersihan kandang ternak disebabkan kurangnya intensitas penyuluhan dan pembinaan mengenai teknik budidaya sapi perah yang baik yang dilakukan oleh KUD Puspa Mekar kepada para anggotanya. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kinerja para anggota dalam mengelola usahaternak sapi perahnya dan juga dapat mempengaruhi produktivitas susu yang dihasilkan KUD Puspa Mekar.

Permasalahan tersebut diperkuat dengan jumlah anggota KUD Puspa Mekar yang saat ini masih berjumlah 355 orang yang tersebar dalam beberapa wilayah kerja. Dengan jumlah anggota 355 orang tersebut, KUD Puspa Mekar hanya dapat menghasilkan produksi susu maksimal 8.000 liter per hari. Hal itu menunjukkan bahwa KUD Puspa Mekar belum mampu mandiri dalam


(12)

12 memasarkan produksi susunya ke IPS karena untuk dapat memasarkan susunya secara mandiri ke IPS, KUD Puspa Mekar harus memenuhi kapasitas produksi susu yang dibutuhkan IPS, yaitu sebanyak 10.000 liter per hari. Kondisi tersebut menyebabkan KUD Puspa Mekar belum memiliki alternatif saluran pemasaran susu selain harus melalui jalur pemasaran KPSBU terlebih dahulu baru selanjutnya disalurkan ke IPS.

Terbatasnya modal pengembangan usaha dan belum adanya penyaluran pinjaman kredit sapi perah kepada anggota menjadi permasalahan lain yang dihadapi KUD Puspa Mekar terkait dengan pengembangan usahaternak sapi perahnya. Perkembangan populasi sapi perah yang dimiliki oleh anggota KUD Puspa Mekar saat ini belum menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini disebabkan KUD Puspa Mekar belum memfasilitasi adanya pinjaman kredit sapi perah dari pemerintah yang dikelola oleh koperasi yang selanjutnya akan disalurkan kepada para anggota, akibatnya tidak terjadi penambahan pada sisi populasi sapi perah yang dimiliki anggota KUD Puspa Mekar.

Dengan adanya kendala dalam mencapai visi dan misi yang ingin dicapai, maka KUD Puspa Mekar perlu merumuskan strategi pengembangan bagi usahanya agar dapat mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga KUD Puspa Mekar sebagai koperasi yang mandiri dapat maju dan berkembang di Kabupaten Bandung Barat. Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Strategi apa saja yang perlu dirumuskan bagi pengembangan usaha KUD Puspa Mekar sehingga sebagai koperasi yang mandiri dapat maju dan berkembang di Kabupaten Bandung Barat.

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) serta peluang


(13)

13 (opportunities) dan ancaman (threats) bagi pengembangan usaha KUD Puspa Mekar

2. Merumuskan alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan usaha KUD Puspa Mekar sehingga sebagai koperasi yang mandiri dapat maju dan berkembang di Kabupaten Bandung Barat

3. Merekomendasikan program-program kegiatan dari alternatif strategi pengembangan usaha KUD Puspa Mekar berdasarkan jangka waktu tertentu sehingga dapat memudahkan KUD Puspa Mekar dalam mengimplementasikan strategi pengembangan usahanya.

1.4. Manfaat

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dari penelitian yang telah dituliskan sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak, diantaranya sebagai berikut:

1. Sebagai referensi dan masukan bagi KUD Puspa Mekar untuk mengambil keputusan dalam rangka menyelesaikan permasalahan internal dan eksternal organisasi

2. Sebagai sumber rujukan, bahan kajian, perolehan data dan informasi bagi pemerintah, perguruan tinggi, dan bagi pihak-pihak yang mendalami bidang kajian penerapan strategi pengembangan koperasi dan kelembagaan agribisnis 3. Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti dalam

melakukan analisis permasalahan khususnya penerapan strategi pengembangan koperasi dan kelembagaan agribisnis.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini hanya berfokus pada pengkajian dan perumusan strategi pengembangan usahaternak sapi perah KUD Puspa Mekar yang berlokasi di Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kajian strategi pengembangan usahaternak sapi perah ini didasarkan pada analisis faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang dimiliki oleh KUD Puspa Mekar. Adapun implementasi dari alternatif strategi terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini sepenuhnya diserahkan kembali kepada pihak KUD Puspa Mekar.


(14)

14  

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam melakukan penelitian mengenai strategi pengembangan usahaternak sapi perah di KUD Puspa Mekar, dibutuhkan analisis terhadap penelitian terdahulu sebagai referensi untuk menggambarkan dan menyimpulkan sesuatu yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Terdapat beberapa penelitian terdahulu baik mengenai pengembangan koperasi, pengembangan usahaternak sapi perah melalui koperasi, maupun penelitian terdahulu yang terkait langsung dengan strategi pengembangan usaha, serta metode dan alat analisis yang digunakan dalam strategi pengembangan usaha.

2.1.Pengembangan Koperasi

Perkembangan koperasi di Indonesia saat ini bila dilihat dari segi kuantitas memang sangat menggembirakan, akan tetapi bila dilihat dari segi kualitas masih sangat memprihatinkan, terlebih lagi bila dibandingkan dengan perkembangan usaha swasta lainnya. Anoraga dan Widiyanti (2007) menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan adanya masalah-masalah yang dihadapi koperasi, terutama antara lain pada aspek kelembagaan yang meliputi kepercayaan dan partisipasi anggotanya yang belum optimal, alat kelengkapan organisasi (Rapat Anggota, Pengurus, dan Badan Pengawas) yang belum sepenuhnya berfungsi dengan baik, dan masalah pengawasan yang belum memadai. Di samping aspek kelembagaan tersebut, maka aspek usaha juga merupakan suatu permasalahan bagi koperasi, yaitu belum mampu memanfaatkan kesempatan/peluang usaha dengan baik yang disebabkan kualitas pengelola yang masih belum memadai dan sarana usaha yang juga kurang memadai serta lemahnya permodalan. Hal-hal inilah yang menyebabkan sikap masyarakat masih berubah-ubah dalam memandang koperasi. Pemerintah sendiri masih belum memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada koperasi dalam menyalurkan barang produksi, sebagian besar penyalurannya diserahkan kepada pihak swasta. Hal ini merupakan bukti bahwa kemampuan dan kualitas koperasi yang ada sekarang ini belum mencapai sebagaimana yang diharapkan.

Masalah tersebut dapat diatasi, setidaknya sebagian melalui pengembangan koperasi, baik pengembangan dalam segi kuantitas maupun aspek


(15)

15  

kualitas. Anoraga dan Widiyanti (2007) menyatakan bahwa dalam pengembangan koperasi, bukan saja peranan pemerintah yang menentukan perkembangannya, tetapi juga masyarakat itu sendiri yang turut menentukan berkembang atau tidaknya suatu koperasi, baik sebagai anggota koperasi ataupun sebagai anggota masyarakat yang berada dalam ruang lingkup koperasi tersebut. Hal ini serupa dengan Marta (2010) yang menyatakan bahwa koperasi akan mampu mengembangakan usahanya dan bekerja secara efisien apabila pengelola atau manajemen usaha koperasi yang bersangkutan juga terlaksana dengan baik, yang didasarkan pada falsafah dari oleh dan untuk anggotanya. Hal itu dapat diarahkan pada prasyarat pesatnya perkembangan organisasi koperasi, yaitu: (1) Koperasi harus meluaskan wawasan dalam manajemen dan organisasinya, (2) Koperasi harus diorganisasi dengan baik dan dikelola secara professional, (3) Mempertahankan standar integritas koperasi yang tinggi, dan (4) Penataan orientasi dan kontribusi pelayanan kepada anggota dan masyarakat secara tepat.

Secara struktural, koperasi memiliki akses paling kecil terhadap faktor produksi, khususnya permodalan, dibanding dengan pelaku ekonomi lainnya. Sedangkan, secara institusional koperasi memiliki ruang gerak yang paling terbatas dibanding dengan pelaku ekonomi lainnya. Peraturan dan perundangan yang berlaku dalam dunia usaha tidak memungkinkan koperasi bergerak bebas seperti perusahaan swasta murni. Hal itu menjadi penyebab sebagian usaha yang berkembang di koperasi hanya sebatas simpan pinjam saja. Padahal, sebenarnya banyak peluang usaha yang mampu digarap oleh koperasi dan dapat memberikan manfaat lebih besar kepada anggotanya. Tetapi, karena hambatan itu koperasi tidak dapat memanfaatkan peluang tersebut. Oleh karena itu, Anoraga dan Widiyanti (2007) menyatakan bahwa ada dua upaya terobosan yang perlu ditempuh untuk mempercepat pengembangan koperasi, yaitu memberikan akses lebih besar kepada koperasi dalam mendapatkan modal usaha, serta dilakukan penyesuaian terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku dalam dunia usaha.

Banyak koperasi yang didirikan dengan bantuan pemerintah yang masih berada dalam tahap awal dalam pengembangan struktural atau organisasinya. Koperasi tersebut belum mampu bertahan sebagai organisasi swadaya yang


(16)

16  

otonom tanpa bantuan langsung keuangan dan manajemen dari pemerintah. Hal ini disebabkan kurangnya informasi dan pendidikan yang rendah dari para pengurus dan anggotanya. Padahal, pemerintah negara-negara berkembang telah mendukung pembentukan organisasi-organisasi koperasi modern dengan membentuk lembaga pemerintahan khusus untuk koperasi sebagai lembaga penunjangnya, seperti departemen, direktorat, dinas-dinas khusus, dan instansi. Lembaga tersebut seharusnya dapat mendorong pengembangan koperasi sebagai sarana memperoleh informasi dan dana dari negara atau swasta untuk membelanjai kegiatan-kegiatannya sehingga koperasi dapat menjadi organisasi swadaya yang berusaha secara efisien dan berorientasi kepada anggota (Marta 2010).

Dengan demikian, dalam upaya pengembangan koperasi peranan pemerintah menjadi fundamental dan tidak dapat dikesampingkan, walaupun peranan pengurus dan anggotanya juga tidak kalah penting. Peranan pengurus dan anggota koperasi adalah mengurus dan menjaga citra koperasi di masyarakat awam, sedangkan peranan pemerintah adalah membina dan mengarahkan serta memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan koperasi dalam usahanya untuk mewujudkan suatu koperasi yang benar-benar mandiri agar dapat memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan nasional. Anoraga dan Widiyanti (2007) menyatakan bahwa ada tiga penjabaran kebijakan dasar pengembangan koperasi, yaitu: (1) Tahap awal didukung oleh peranan pemerintah yang cukup besar dalam hal prakarsa, pemberian bimbingan, dan bantuan usaha, (2) Tahap kedua merupakan tahap perkembangan swadaya koperasi, (3) Tahap ketiga diharapkan koperasi mampu berswadaya di atas kekuatannya sendiri.

Selain itu, Marta (2010) juga menyatakan bahwa perkembangan koperasi tidak lepas dari pengaruh keadaan lingkungan di sekitarnya, baik lingkungan internal maupun eksternal organisasi. Faktor lingkungan internal koperasi adalah sarana dan sumber daya yang ada dalam koperasi yang secara langsung mempengaruhi perkembangan kemajuan koperasi. Faktor yang mempengaruhi lingkungan internal antara lain organisasi, sumber daya manusia, unit usaha, dan keuangan. Sedangkan, faktor lingkungan eksternal koperasi adalah faktor-faktor luar koperasi yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap


(17)

17  

perkembangan kemajuan koperasi. Faktor-faktor tersebut adalah ekonomi, kebijakan pemerintah, sosial budaya, teknologi, dan pesaing.

2.2.Pengembangan Usahaternak Sapi Perah Melalui Koperasi

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/l0/l982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri, usahaternak sapi perah dibagi menjadi dua bentuk, yaitu peternakan sapi perah rakyat dan perusahaan peternakan sapi perah. Yusdja (2005) menyatakan bahwa usahaternak sapi perah di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak tahun 1960 melalui pembangunan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang peternakan sapi perah di wilayah Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Mulai tahun 1977, Indonesia baru mengembangkan usahaternak sapi perah rakyat. Hal ini didukung dengan adanya kebijakan pemerintah yang dinamakan SKB Tiga Menteri pada tahun 1982. SKB ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan usahaternak sapi perah di Indonesia melalui pemberdayaan koperasi persusuan atau KUD yang bergerak di bidang peternakan sapi perah. Koperasi menjamin seluruh produksi susu sapi perah anggota untuk ditampung dan selanjutnya dipasarkan ke Industri Pengolahan Susu (IPS) serta pemerintah menjamin bahwa IPS harus mau membeli produksi susu dari koperasi.

Baga et al (2009) menyatakan bahwa pembangunan peternakan sapi perah dan pengembangan komoditi persusuan di Indonesia menggunakan pola pengembangan koperasi mandiri. Koperasi secara konseptual diharapkan menjadi wadah perjuangan bagi para peternak sapi perah untuk memperkuat posisi tawar terhadap pembeli dan pemasok. Hal ini dapat dilakukan karena seluruh kegiatan yang berlangsung melalui koperasi dilakukan secara kolektif, baik dalam penjualan produk susu yang dihasilkan maupun pembelian input-input produksi yang dibutuhkan. Koperasi persusuan atau KUD yang bergerak di bidang usahaternak sapi perah berfungsi sebagai lembaga resmi pemerintah yang ditujukan untuk menyalurkan dana kredit investasi bagi peternak dan menyalurkan bibit sapi perah (Yusdja 2005). Namun, Rusdiana dan Sejati (2009) menyatakan bahwa keterkaikatan koperasi persusuan dengan usahaternak sapi perah bukan hanya sebatas pada implementasi kebijakan pemerintah, tetapi juga mengelola sarana dan prasarana pengelolaan produk, seperti pengadaan cooling unit,


(18)

18  

pemasaran, dan transportasi ke IPS. Peranan koperasi persusuan memang sangat besar bagi para peternak terutama dalam pemasaran susu. Hal ini terbukti bahwa lebih dari 90 persen pemasaran susu segar peternak di Indonesia dikoordinasi oleh koperasi persusuan.

Dalam menghadapi era persaingan, koperasi persusuan harus siap mengatasi permasalahan yang timbul dengan memperbaiki kualitas susu sehingga koperasi persusuan dapat bersaing dengan perusahaan peternakan sapi perah yang memiliki skala lebih besar. Berbeda dengan Indonesia, Saragih (2010) menyatakan bahwa China telah mengembangkan kerja sama yang harmonis antara industri susu segar skala besar dan industri susu rakyat. Hal yang menarik dari kerja sama itu adalah membuat organisasi secara efisien dan efektif dengan menangkap skala usaha ekonomi. Melalui skala ekonomis, maka biaya produksi menjadi minimum dan layanan pun menjadi lebih efisien. Hal ini yang membuat industri susu segar di China berkembang dengan sangat pesat. Pengembangan susu nasional di China tidak hanya dilakukan oleh industri besar melainkan bekerja sama secara harmonis dengan peternakan rakyat. Belajar dari pengembangan usahaternak sapi perah yang dilakukan oleh China, maka pengembangan usahaternak sapi perah di Indonesia sebaiknya diorganisasikan sedemikian rupa agar dapat menangkap skala usaha yang tepat dalam bidang produksi, layanan, dan pemasaran. Para peternak juga harus diarahkan agar dapat menangkap layanan-layanan yang efisien.

Koperasi persusuan berbeda dengan koperasi biasa karena koperasi persusuan beranggotakan peternak sapi perah yang menjadi anggota sekaligus pengusaha dimana usahaternak sapi perahnya itu menunjang seluruh kegiatan koperasi. Oleh karena itu, hubungan antara koperasi persusuan dengan usahaternak sapi perah sangat erat sehingga pengembangan usahaternak sapi perah sangat bergantung pada kemampuan koperasi persusuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.

2.3. Strategi Pengembangan Usaha

Penelitian mengenai strategi pengembangan usaha baik dalam bentuk organisasi bisnis/perusahaan maupun koperasi telah cukup banyak dilakukan. Analisis menunjukan bahwa penelitian yang dilakukan memiliki kecenderungan


(19)

19  

hasil yang sama dalam menentukan strategi pengembangan usaha yang dilakukan. Pada umumnya, tujuan peneliti-peneliti yang mengkaji penelitian mengenai strategi pengembangan usaha tersebut adalah untuk: (1) mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal suatu perusahaan atau koperasi, serta (2) merumuskan alternatif strategi pengembangan usaha bagi perusahaan atau koperasi yang diteliti. Selain itu, dalam merumuskan strategi pengembangan usaha baik bagi perusahaan maupun koperasi, pada umumnya melibatkan peran stakeholders sebagai pihak internal dan dinas terkait sebagai pihak eksternal. Namun, ada satu hal yang membedakan strategi pengembangan usaha pada perusahaan dan koperasi, yaitu dalam merumuskan strategi pengembangan usaha pada koperasi perlu melibatkan partisipasi anggota sebagai pihak internal berupa saran dan motivasi dari anggota yang disesuaikan dengan visi dan misi koperasi karena pada dasarnya koperasi merupakan badan usaha yang terbentuk dari, oleh, dan untuk anggota. Oleh karena itu, koperasi diharapkan dapat merumuskan strategi pengembangan usahanya yang berakar dari oleh dan untuk anggota.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ramadhan (2009) mengenai Analisis Strategi Pengembangan KUD (Koperasi Unit Desa) Giri Tani Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Jawa Barat hanya melibatkan Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Staff KUD Giri Tani sebagai pihak internal koperasi. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak melibatkan anggota sebagai pihak internal dalam merumuskan strategi pengembangan bagi koperasinya. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan (2009), penelitian yang dilakukan oleh Sembara (2011) mengenai Analisis Strategi Pengembangan Usahaternak Sapi Perah Koperasi Unit Desa (KUD) Bayongbong Kabupaten Garut Jawa Barat memiliki keunggulan karena ikut menyertakan anggota sebagai pihak internal dalam merumuskan strategi pengembangan usaha bagi koperasinya. Penelitian yang dilakukan di KUD Puspa Mekar juga mengkaji mengenai strategi pengembangan usaha pada koperasi, sehingga penelitian yang dilakukan oleh Sembara (2011) dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk mempertimbangkan peran anggota sebagai pihak internal dalam merumuskan strategi pengembangan usaha bagi koperasinya.


(20)

20  

Penelitian terdahulu mengenai koperasi terkait dengan pengembangan usaha pada umumnya membahas permasalahan mengenai anggota dan produktivitas produk yang dihasilkan. Dharmanthi (2009) mengenai Analisis Strategi Pengembangan Usaha pada Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (PRIMKOPTI) Kota Bogor menekankan permasalahan pada kondisi anggota, yaitu jumlah anggota yang tidak mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun serta kurangnya partisipasi anggota dalam bertransaksi dan berinteraksi dengan koperasi, sehingga koperasi menghadapi indikasi penurunan jumlah anggota. Sedangkan, Romadhona (2010) mengenai Strategi Pengembangan Usaha Emping Melinjo pada KSU Sari Sono, Kabupaten Lebak, Banten lebih menekankan permasalahan pada produktivitas produk yang dihasilkan, yaitu koperasi belum mampu memenuhi pasokan produk yang diminta oleh konsumen karena produksi dari produk yang dihasilkan oleh masing-masing anggota masih rendah, sehingga menyebabkan tingkat produksi koperasi juga masih dibawah rata-rata.

Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh KUD Puspa Mekar tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh kedua koperasi dalam penelitian Dharmanthi (2009) dan Romadhona (2010), yaitu masih terkait dengan kondisi anggota dan produktivitas produk yang dihasilkan. Adapun permasalahan tersebut adalah masih kurangnya partisipasi dan loyalitas anggota terhadap KUD Puspa Mekar serta produktivitas susu yang dihasilkan oleh KUD Puspa Mekar masih rendah sehingga memiliki keterbatasan dalam memenuhi kapasitas produksi yang dibutuhkan IPS. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh koperasi-koperasi tersebut termasuk KUD Puspa Mekar, maka diperlukan langkah-langkah strategis dengan menggunakan metode dan berbagai alat analisis yang mendukung dalam merumuskan strategi pengembangan usaha bagi koperasinya.

2.4. Metode dan Alat Analisis yang Digunakan Dalam Strategi Pengembangan Usaha

Penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha baik bagi perusahaan maupun koperasi menunjukkan bahwa pada umumnya metode analisis yang digunakan adalah analisis lingkungan usaha melalui analisis tahapan


(21)

21  

formulasi strategi yang dikemukakan oleh David (2009) yaitu terdiri dari tiga tahapan analisis meliputi tahap input, tahap pencocokan, dan tahap pengambilan keputusan. Beberapa alat analisis yang dapat digunakan dalam tahap input, antara lain matriks Internal Factor Evaluation (IFE), External Factor Evaluation (EFE), dan Competitive Profile Matrix (CPM). Namun, CPM lebih tepat digunakan untuk penelitian mengenai strategi bersaing karena untuk mengidentifikasi para pesaing utama perusahaan mengenai kekuatan dan kelemahan utama mereka dalam hubungannya dengan posisi strategis perusahaan. Oleh karena itu, penelitian terdahulu yang dilakukan untuk merumuskan strategi pengembangan usaha pada umumnya menggunakan matriks IFE dan EFE karena untuk memperlihatkan secara jelas kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang dihadapi.

Hal ini dapat dilihat pada penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha pada koperasi yang dilakukan oleh Dharmanthi (2009) dan Romadhona (2010). Kedua penelitian ini menggunakan alat analisis matriks IFE dan EFE dalam mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal usahanya. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal melalui analisis matriks IFE, maka kekuatan dan kelemahan utama yang dimiliki oleh kedua koperasi tersebut pada umumnya berturut-turut adalah citra/image yang diciptakan oleh koperasi dan kurangnya partisipasi serta loyalitas anggota terhadap koperasi. Hasil identifikasi ini menyebutkan bahwa kekuatan utama yang dimiliki oleh kedua koperasi tersebut terletak pada pengurus yang berpengalaman, fasilitas yang memadai, memiliki hubungan baik dengan pemerintah dan instansi lainnya, serta kualitas bahan baku yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Kekuatan inilah yang menciptakan citra koperasi di mata anggota, masyarakat awam, dan pemerintah. Sedangkan, kelemahan utama yang diimiliki oleh kedua koperasi tersebut adalah kurangnya pelayanan yang dilakukan koperasi terhadap anggotanya sehingga anggota kurang merasakan manfaat berkoperasi dan menyebabkan partisipasi serta loyalitas anggota terhadap koperasi semakin berkurang. Hasil identifikasi faktor eksternal melalui analisis matriks EFE dari kedua penelitian ini menunjukkan bahwa peluang dan ancaman utama yang pada umumnya dihadapi oleh kedua koperasi tersebut berturut-turut adalah banyaknya pembeli yang


(22)

22  

potensial dan persaingan dengan para pesaing (pendatang baru). Banyaknya pembeli potensial mengindikasikan adanya peningkatan permintaan terhadap produk yang dihasilkan koperasi, sehingga dapat membuka peluang bagi koperasi untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan, koperasi yang bergerak pada industri yang memiliki hambatan masuk yang rendah akan menyebabkan pendatang baru mudah masuk ke dalam industri. Hal ini merupakan ancaman yang memaksa koperasi untuk dapat bersaing dengan koperasi lainnya atau bahkan dengan perusahaan swasta terhadap produk yang berada dalam satu industri yang sama.

Berdasarkan hasil analisis matriks IFE dan EFE dalam penelitian Dharmanthi (2009) dan Romadhona (2010), maka faktor internal dan eksternal yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman utama yang dihasilkan dapat menjadi faktor penentu dalam mengidentifikasi dan menganalisis faktor internal dan eksternal di KUD Puspa Mekar, antara lain yang terkait dengan manajemen dan kepengurusan koperasi, sarana dan prasarana yang dimiliki, kualitas produk yang dihasilkan, pelayanan terhadap anggota, hubungan kerja sama yang dijalin dengan pihak terkait, pembeli potensial, dan persaingan dengan para pesaing atau pendatang baru.

Tahap pencocokan berfokus pada upaya menghasilkan alternatif strategi yang dapat dijalankan dengan memadukan faktor internal dan eksternal yang telah diperoleh sebelumnya pada tahap input. Terdapat beberapa alat analisis yang digunakan dalam tahap ini, antara lain matriks Strenght-Weakness-Opportunity-Threat (SWOT), Strategic Position and Action Evaluation (SPACE), Boston Consulting Group (BCG), Internal-External (I-E), dan Grand Strategy. Tiap alat analisis berupaya menentukan posisi perusahaan dengan mengkombinasikan antara kondisi internal dan eksternal, namun dengan sudut pandang yang berbeda. Matriks Grand Strategy lebih memfokuskan pada persaingan serta pertumbuhan industri, sehingga strategi yang dirumuskan lebih berfokus pada strategi memenangkan persaingan. Matriks BCG kurang tepat untuk memetakan hanya satu divisi saja. Sedangkan, analisis internal dan eksternal yang dilakukan dalam matriks SPACE tidak dapat mencakup seluruh aspek internal dan eksternal seperti dalam matriks I-E. Pada matriks I-E, pemetaan kondisi organisasi lebih detail


(23)

23  

karena terdapat sembilan sel yang berbeda. Informasi yang dikumpulkan dalam matriks I-E juga lebih akurat karena mencakup seluruh aspek bisnis, baik internal dan eksternal. Namun, strategi yang dirumuskan dalam matriks I-E belum sempurna karena strategi belum disesuaikan dengan kondisi spesifik perusahaan, antara lain kekuatan, kelemahan, peluang, serta ancamannya. Strategi yang dirumuskan dalam matriks SWOT merupakan kombinasi faktor strategis perusahaan sehingga bersifat aplikatif. Strategi tersebut juga telah disesuaikan dengan kondisi perusahaan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui analisis matriks I-E.

Berdasarkan keunggulan dan kelemahan yang dimiliki tiap alat analisis tersebut, maka penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha pada umumnya menggunakan matriks I-E dan SWOT dalam tahap pencocokannya. Hal ini dapat dilihat pada penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha pada koperasi yang dilakukan oleh Dharmanthi (2009) dan Romadhona (2010) yang menunjukkan bahwa kedua penelitian tersebut selanjutnya menggunakan analisis matriks I-E dan SWOT pada tahap pencocokan, yaitu dengan mengkombinasikan hasil dari analisis yang telah dilakukan sebelumnya melalui matriks IFE dan EFE pada tahap input untuk menghasilkan beberapa alternatif strategi. Hasil analisis pada tahap pencocokan ini menempatkan posisi kedua koperasi pada area sel yang sama pada matriks I-E, yaitu pada area sel V yang artinya bertahan dan memelihara, dimana strategi yang umum digunakan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Posisi koperasi pada area sel V dari kedua penelitian ini dapat menghasilkan strategi yang lebih aplikatif, yaitu dengan menggunakan matriks SWOT, sehingga keduanya menghasilkan beberapa alternatif strategi yang pada umumnya adalah meningkatkan penjualan dengan meningkatkan promosi, mengembangkan kemampuan karyawan dan pelayanan kepada anggota/konsumen, serta menjalin hubungan kerja sama dan komunikasi yang baik dengan pemerintah atau instansi-instansi terkait dengan pengembangan produk.

Hasil analisis matriks I-E dan SWOT yang diperoleh dari penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha pada koperasi berbeda pada perusahaan. Seperti hasil analisis matriks I-E dalam penelitian Sirait (2009)


(24)

24  

mengenai Strategi Pengembangan Usaha Peternakan Kambing Perah Pada PT. Caprito A. P Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor dan Yulianti (2009) mengenai Formulasi Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Waduk Bojongsari yang menempatkan posisi kedua perusahaan pada area sel II yang artinya tumbuh dan membangun. Adapun strategi yang tepat adalah dengan melakukan strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk) atau integratif ke depan (integrasi ke belakang, integrasi ke depan, atau integrasi horizontal). Hasil dari matriks SWOT dalam kedua penelitian ini menghasilkan beberapa alternatif yang pada umumnya adalah mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya, meningkatkan kegiatan promosi dan memperluas jangkauan pasar, serta meningkatkan kemitraan dan menjalin kerja sama yang baik dengan pihak terkait. Namun, tidak menutup kemungkinan hasil analisis matriks I-E dan SWOT yang diperoleh dalam penelitian mengenai strategi pengembangan usaha pada koperasi akan sama pada perusahaan, hanya saja perlu disesuaikan kembali dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan/koperasi.

Tahap pengambilan keputusan bertujuan untuk menentukan prioritas strategi yang disukai atau dipilih perusahaan untuk dilaksanakan pada saat ini. Terdapat beberapa alat analisis yang pada umumnya digunakan dalam penelitian terdahulu untuk menentukan prioritas strategi, antara lain matriks Quantitative Strategic Planning (QSP) dan Analitical Hierarchy Process (AHP). Matriks QSP digunakan untuk menentukan kemenarikan relatif dari tiap alternatif. Faktor kunci strategi dapat dipertimbangkan secara berurutan atau bersamaan dengan tidak adanya batasan strategi yang dievaluasi. Kelemahan matriks QSP adalah responden hanya memberi penilaian secara subjektif tanpa memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi yang ada. Sedangkan, AHP merupakan proses yang menggabungkan penilaian kuantitatif dan kualitatif sehingga penilaian dan pertimbangan responden dapat diketahui secara akurat dan jelas. Hal ini dapat dilihat pada penelitian terdahulu mengenai startegi pengembangan usaha pada perusahaan yang dilakukan oleh Sirait (2009) dan Yulianti (2009). Sirait (2009) menggunakan matriks QSP pada tahap pengambilan keputusan dengan menghasilkan urutan prioritas strategi secara lebih subjektif karena alat analisis ini


(25)

25  

tidak memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi tiap strategi yang ada. Hasil tersebut tentu saja berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianti (2009) yang lebih memilih menggunakan AHP pada tahap pengambilan keputusan karena melalui AHP Yulianti (2009) dapat melihat secara jelas apa tujuan pengembangan usaha tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha, serta alternatif strategi untuk pengembangan usaha tersebut. Tiap hubungan disajikan lengkap dengan penilaian kepentingan tiap faktor, sehingga alasan memilih pemilihan strategi tergambar secara jelas.

Dalam beberapa penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha, tahapan formulasi strategi yang dilakukan ada yang hanya sampai pada tahap pencocokan saja, yaitu melalui matriks I-E dan SWOT. Namun, alternatif srategi yang dihasilkan dari matriks SWOT selanjutnya dapat diturunkan menjadi program-program kegiatan yang dipetakan ke dalam rancangan arsitektur strategi. Arsitektur strategi merupakan gambaran mengenai tahapan strategi untuk periode waktu yang akan datang dan bukan hanya untuk saat ini saja. Organisasi dapat melihat secara jelas sasaran masa depan yang ingin dicapai dan cara untuk mencapainya. Hal ini dapat dilihat pada penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan usaha pada koperasi yang dilakukan oleh Ramadhan (2009), Dharmanthi (2009), dan Romadhona (2010). Ketiga penelitian tersebut menghasilkan tahapan formulasi strategi sampai pada tahap rancangan arsitektur strategi. Alternatif-alternatif strategi yang dihasilkan dari matriks SWOT dalam penelitian tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan memetakan program-program strategi ke dalam target waktu yang berjangka. Seperti dalam penelitian Romadhona (2010) yang mengelompokkan program kegiatan ke dalam dua kegiatan besar, yaitu program yang bersifat bertahap dan program yang dilakukan secara rutin. Program kegiatan yang bertahap dilakukan dalam lima tahun ke depan, yaitu tahun 2010, 2011-2012, 2013, dan 2014.

Dengan mempelajari penelitian sebelumnya, diharapkan peneliti memiliki gambaran mengenai hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan alat analisis tertentu untuk menghasilkan strategi pengembangan usaha. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang terkait langsung dengan topik strategi pengembangan usaha, yaitu teletak pada objek kajian, lokasi penelitian,


(26)

26  

dan alat analisis yang dipakai. Objek kajian dan lokasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai Strategi Pengembangan Usahaternak Sapi Perah Koperasi Unit Desa (KUD) Puspa Mekar Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Adapun alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui analisis matriks IFE dan EFE pada tahap input dan analisis matriks I-E dan SWOT pada tahap pencocokan. Sedangkan, tahap pengambilan keputusan melalui analisis matriks QSP dan AHP tidak digunakan dalam penelitian ini karena alat analisis tersebut kurang cocok digunakan dalam merumuskan strategi pengembangan usaha pada koperasi yang sifatnya public. Matriks QSP dan AHP biasanya digunakan dalam penelitian mengenai strategi pengembangan usaha pada perusahaan swasta yang sifatnya private, sehingga membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat untuk dilaksanakan pada saat ini dengan urutan prioritas dari setiap alternatif strategi yang dipilih oleh para stakeholders.

Dalam merumuskan strategi pengembangan usaha, sebuah koperasi memerlukan banyak alternatif strategi. Alternatif-alternatif strategi ini berfungsi sebagai pilar-pilar untuk membangun sebuah pondasi koperasi yang kokoh, sehingga koperasi dapat berdiri sebagai organisasi yang mandiri dan tangguh. Oleh karena itu, penelitian ini memilih rancangan arsitektur strategi sebagai langkah lanjutan dari tahap pencocokan, dimana beberapa alternatif strategi yang dihasilkan kemudian akan dipetakan ke dalam suatu program kegiatan yang berjangka waktu. Melalui pemetaan ini pula, alternatif strategi yang telah diperoleh dapat disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan zaman. Dengan adanya rancangan arsitektur strategi, akan memudahkan pihak KUD Puspa Mekar untuk mensosialisasikan strategi dengan program yang sudah dirumuskan kepada seluruh pengurus, badan pengawas, karyawan, serta anggota sehingga memiliki rasa tanggung jawab dan motivasi untuk dapat melaksanakan strategi yang dihasilkan.


(27)

27

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Ruang Lingkup Koperasi

Koperasi adalah suatu bentuk kerja sama yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang memiliki kesamaan kebutuhan hidup. Namun, tidak semua bentuk kerja sama dapat disebut sebagai koperasi. Undang-undang koperasi Indonesia melarang suatu perkumpulan dengan menggunakan nama koperasi karena untuk menjadi sebuah koperasi, suatu perkumpulan tersebut harus mendapat pengesahan sebagai badan hukum koperasi. Oleh karena itu, pengertian koperasi menjadi sangat penting agar setiap individu memiliki pemahaman yang benar tentang lembaga koperasi. Secara umum, pemahaman mengenai koperasi tidak dapat terlepas dari definisi dan nilai-nilai koperasi, prinsip-prinsip koperasi, tujuan dan jatidiri koperasi, serta keanggotaan dan perangkat organisasi koperasi.

3.1.1.1. Definisi dan Nilai-nilai Koperasi

Secara harfiah, kata koperasi berasal dari bahasa latin, yaitu cooperatio yang berarti kerja sama atau bekerja sama. Konsep koperasi yang saat ini banyak dianut oleh beberapa negara adalah koperasi menurut Aliansi Koperasi Sedunia (International Cooperative Alliance/ICA). Pengertian koperasi menurut ICA adalah perkumpulan otonom dari orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, budaya melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis. Dengan demikian, koperasi dapat diartikan sebagai kumpulan orang bukan kumpulan modal. Hal itu serupa dengan Purna (2006) yang menyatakan bahwa koperasi pada asasnya bukan merupakan perkumpulan yang mencari keuntungan, tetapi mencapai perbaikan hidup dan kesejahteraan anggota.

Koperasi bekerja berdasarkan nilai-nilai, yaitu swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan. Hal ini sudah menjadi tradisi bagi para pengurus dan anggota koperasi yang percaya pada nilai-nilai etik dari kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli terhadap orang lain (Purna 2006). Nilai-nilai dalam koperasi tersebut merupakan salah satu aspek


(28)

28 penting yang membedakan koperasi dengan badan usaha ekonomi lainnya karena dalam nilai-nilai koperasi terkandung unsur moral dan etika yang tidak semua dimiliki oleh badan usaha ekonomi lainnya. Oleh karena itu, Soedjono (2007) mengemukakan bahwa koperasi didasarkan atas nilai-nilai, yaitu menolong diri sendiri (self help), demokratis, persamaan, keadilan, kesetiakawanan, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap orang lain.

3.1.1.2. Prinsip-prinsip Koperasi 

Prinsip koperasi merupakan dasar kerja koperasi sebagai badan usaha. Selain nilai-nilai yang dimiliki oleh koperasi, prinsip-prinsip koperasi menjadi ciri khas koperasi yang juga membedakannya dari badan usaha lain. Soedjono (2007) menyatakan prinsip koperasi berdasarkan ICA adalah garis penuntun yang digunakan oleh koperasi untuk melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam praktek, yaitu terdiri dari:

1. Keanggotaan sukarela dan terbuka

2. Pengendalian oleh anggota-anggota secara demokratis 3. Partisipasi ekonomi anggota

4. Otonomi dan kebebasan

5. Pendidikan, pelatihan, dan informasi 6. Kerja sama di antara koperasi-koperasi 7. Kepedulian terhadap komunitas

Saragih (2010) menyatakan bahwa koperasi yang berhasil adalah koperasi yang dibentuk dengan semangat perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip-prinsip koperasi. Oleh karena itu, penting bagi sebuah koperasi untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip koperasi dalam menjalankan usahanya.

3.1.1.3. Tujuan dan Jatidiri Koperasi

Tujuan utama pendirian suatu koperasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggotanya. Saragih (2010) menyatakan bahwa alasan


(29)

29 pendirian suatu koperasi dan pengorganisasian kegiatan usaha dalam bentuk koperasi secara ekonomis adalah untuk:

1. Meningkatkan kekuatan tawar-menawar (bargaining position) para anggotanya

2. Meningkatkan daya saing harga melalui pencapaian skala usaha yang lebih optimal

3. Menyediakan produk atau jasa, yang jika tanpa koperasi tidak akan tersedia 4. Meningkatkan peluang pasar

5. Memperbaiki mutu produk atau jasa 6. Meningkatkan pendapatan.

Jatidiri koperasi memposisikan anggota sebagai pemilik/pemodal juga sekaligus sebagai pelanggan/pengguna jasa koperasi (Sembara 2011). Sesuai dengan hal itu, maka dapat dikemukakan bahwa koperasi dibentuk untuk:

1. Mencapai tujuan bersama dengan cara memanfaatkan organisasi yang dimodali bersama

2. Memenuhi kepentingan bersama dan mengawasi secara demokratis oleh anggota

3.1.1.4. Keanggotaan dan Perangkat Organisasi Koperasi

Keanggotaan koperasi bersifat sukarela dan terbuka. Sukarela mengandung makna bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun, sedangkan sifat terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaannya tidak dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun. Organisasi koperasi dibentuk atas kepentingan dan kesepakatan anggota pendirinya dan memiliki tujuan utama untuk lebih mensejahterakan anggotanya. Koermen (2003) menyatakan bahwa koperasi sebagai organisasi baik yang besar maupun yang kecil pada dasarnya adalah merupakan sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama dan dilaksanakan secara bersama-sama, meliputi anggota sebagai pemilik/pelanggan dan pengurus, pengawas, manajer serta karyawan sebagai pelaksana. Adapun perangkat organisasi koperasi terdiri dari tiga unsur, yaitu:


(30)

30 1. Rapat Anggota

Rapat anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. rapat anggota sedikitnya dilaksanakan satu kali dalam setahun. Dalam rapat anggota, setiap anggota mempunyai hak suara yang sama untuk melakukan evaluasi prestasi dari tahun sebelumnya dan menetapkan arah serta kebijakan dasar manajemen yang menyeluruh bagi koperasi dimasa yang akan datang. Rapat anggota melimpahkan wewenangnya kepada pengurus untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan berbagai keputusan lainnya. Selain itu, rapat anggota juga mendelegasikan wewenangnya kepada pegurus untuk menjalankan kegiatan koperasi dan kepada badan pengawas untuk melakukan pengawasan terhadap setiap kegiatan yang dilakukan oleh koperasi.

2. Pengurus

Pengurus bertanggung jawab mengambil keputusan yang menyangkut kebijakan strategis berdasarkan keputusan rapat anggota dan bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaannya.

3. Badan Pengawas

Pengawas koperasi dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota serta bertanggung jawab kepada rapat anggota. Pengawas koperasi bertugas terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi serta membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya. Tugas, peranan, wewenang, dan tanggung jawab badan pengawas adalah tunggal atau semuanya bersumber dari rapat anggota yang memiliki kekuasaan tertinggi pada koperasi dan bersumber dari hukum yang berlaku pada koperasi.

Sejalan dengan tumbuh kembang dan kemajuan yang dicapai koperasi, maka diperlukan perangkat tambahan, seperti manajer dan karyawan untuk membantu pengurus dalam melaksanankan kegiatan koperasi. Terdapat empat unsur (perangkat) organisasi pada koperasi, yaitu: anggota, badan pengawas, pengurus, manajer dan karyawan yang berperan sebagai penghubung antara manajemen dan anggota (Sembara 2011). Untuk lebih jelas mengenai perangkat organisasi pada koperasi, dapat dilihat dalam bentuk struktur sederhana organisasi koperasi pada Gambar 1.


(31)

31 Gambar 1. Struktur Sederhana Organisasi Koperasi

3.1.2. Pengertian dan Konsep Manajemen Strategi

Manajemen strategi merupakan suatu kebutuhan penting yang diperlukan bagi sebuah organisasi atau perusahaan untuk keberlangsungan usahanya. David (2009) mendefinisikan manajemen strategi sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai tujuannya. Serupa dengan hal itu, Pearce dan Robinson (1997) mendefinisikan manajemen strategi sebagai sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan. Namun, dalam mencapai sasaran tersebut, organisasi atau perusahaan diharapkan dapat menyesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Hal ini diperkuat oleh Kotler (2002) yang menyatakan bahwa manajemen strategis merupakan suatu proses manajerial untuk mengembangkan dan mempertahankan kesesuaian yang layak antara sasaran dan sumber daya perusahaan dengan peluang pasar yang selalu berubah.

Kesuksesan organisasi atau perusahaan tidak lepas dari kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan. Perubahan yang terjadi berimplikasi kepada munculnya kebutuhan untuk menyusun strategi

Rapat Anggota Tahunan (RAT)

Badan Pengawas Pengurus

Manajer Unit Bisnis Anggota Koperasi Keterangan :

: Garis Komando/Pendelegasian : Garis Tanggung Jawab : Pelayanan


(32)

32 (Triton 2011). Oleh karena itu, manajemen strategi bermanfaat bagi pengambil keputusan baik di tingkat korporat maupun di tingkat fungsional untuk menentukan tindakan-tindakan jangka panjang yang perlu diambil terkait dengan masalah dan perubahan lingkungan yang dihadapi oleh organisasi. Hal ini sesuai dengan Hunger dan Wheelen (2003) yang menyatakan bahwa manajemen strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

Manajemen strategi memiliki pengertian yang cukup luas bagi organisasi atau perusahaan. Manajemen strategi merupakan suatu alat yang digunakan oleh para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan dalam mengidentifikasi apa yang ingin dicapai dan bagaimana seharusnya mencapai sasaran organisasi, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi organisasi. Oleh karena itu, manajemen strategi adalah suatu proses yang berlangsung secara terus-menerus dan bertahap yang bertujuan untuk menjaga stabilitas organisasi secara keseluruhan, sehingga organisasi dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 3.1.3. Proses Manajemen Strategi

David (2009) menyatakan bahwa manajemen strategi sebagai suatu proses memiliki tiga tahap dalam pelaksanaannya, yaitu: (1) Tahap perumusan (formulasi) strategi, (2) Tahap pelaksanaan (implementasi) strategi, dan (3) Tahap evaluasi strategi. Model komprehensif manajemen strategi menggambarkan tahapan proses yang dilakukan dalam pengkajian manajemen strategi, seperti yang terlihat pada Gambar 2.


(33)

33 Gambar 2. Model Komprehensif Proses Manajemen Strategi

Sumber: David (2009)

Gambar 2 menunjukkan bahwa proses manajemen strategis meliputi tiga tahap, yaitu:

1. Formulasi Strategi

Formulasi strategi mencakup kegiatan mengembangkan visi dan misi organisasi, mengidentifikasi peluang dan ancaman ekternal serta kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, membuat sejumlah alternatif strategi, dan memilih strategi tertentu untuk dijalankan. Tahap formulasi strategi dibagi ke dalam tiga tahapan aktivitas, yaitu tahap masukan (input stage), tahap pencocokan (matching stage), dan tahap pengambilan keputusan (decision stage).

Mengembang kan

Pernyataan Visi dan Misi

Menjalan kan Audit Eksternal Menjalan kan Audit Internal Menetap kan Tujuan Jangka Panjang Merumus kan, Mengeval uasi, dan Memilih Strategi Implem entasi Strategi – Isu-isu Manaje men Implementa si Strategi – Isu-isu Manajemen Pemasaran, Keuangan, Produksi, Penelitian dan Pengemban gan, serta Sistem Informasi dan Manajemen Mengukur dan Mengeval uasi Kinerja Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi Strategi


(34)

34 2. Implementasi Strategi

Implementasi strategi mengharuskan perusahaan untuk menetapkan sasaran tahunan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya, sehingga formulasi strategi dapat dilaksanakan. Termasuk pengembangan budaya yang mendukung, penciptaan struktur yang efektif, pengarahan strategi pemasaran, penyiapan anggaran, pemanfaatan sistem informasi, dan menghubungkan kompensasi karyawan dengan kinerja.

3. Evaluasi Strategi

Evaluasi strategi adalah tahap terakhir dalam manajemen strategi. Dalam tahap ini, akan dievaluasi hasil pelaksanaan dan strategi yang telah dirumuskan dalam mencapai tujuan perusahaan. Adapun tiga kekuatan pokok dalam evaluasi strategi adalah sebagai berikut: (1) Mengkaji ulang faktor-faktor internal dan eksternal berdasarkan strategi yang telah ada, (2) Mengukur kinerja, dan (3) Melakukan tindakan korektif.

3.1.4. Konsep Strategi Pengembangan Usaha

Strategi merupakan suatu rencana yang berskala besar dan berorientasi kepada masa depan untuk berinteraksi dengan lingkungan persaingan guna mencapai sasaran-sasaran perusahaan (Pearce dan Robinson 1997). Sebagaimana telah diketahui bahwa strategi memberikan stabilitas arah dan orientasi yang konsisten dengan memungkinkan fleksibilitas untuk beradaptasi dengan lingkungannya. David (2009) mengembangkan model strategi generik yang dapat diterapkan pada berbagai jenis, ukuran, dan aktivitas perusahaan, seperti terlihat pada Tabel 6. Strategi tersebut dapat dikelompokkan atas empat kelompok strategi, yaitu:

1. Strategi Integrasi Vertikal (Vertical Integration Strategy)

Strategi integrasi vertikal merupakan suatu strategi yang memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan kontrol atas distributor, pemasok, dan pesaing, misalnya melalui merger, akuisisi, atau membuat perusahaan sendiri. 2. Strategi Intensif (Intensive Strategy)

Strategi intensif biasanya digunakan perusahaan ketika posisi kompetitif perusahaan dengan produk yang ada saat ini akan membaik. Strategi ini


(35)

35 memerlukan usaha-usaha yang intensif untuk meningkatkan posisi persaingan perusahaan melalui produk yang ada.

3. Strategi Diversifikasi (Diversification Strategy)

Strategi diversifikasi dimaksudkan untuk menambah produk-produk baru. Strategi ini kurang popular karena ditinjau dari sisi tingginya tingkat kesulitan manajemen dalam mengendalikan tingkat kesulitan perusahaan yang berbeda-beda.

4. Strategi Defensif (Defensive Strategy)

Strategi defensif merupakan upaya yang dilakukan perusahaan untuk melakukan tindakan-tindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian yang lebih besar, yang pada akhirnya adalah kebangkrutan.

Tabel 6. Model Strategi Generik

No. Strategi Generik Strategi Utama

1. Strategi Integrasi Vertikal

(Vertical Integration Strategy)

• Strategi Integrasi ke Depan (Forward Integration Strategy)

• Strategi Integrasi ke Belakang (Backward Integration Strategy)

• Strategi Integrasi Horizontal (Horizontal Integration Strategy)

2. Strategi Intensif

(Intensive Strategy)

• Strategi Pengembangan Pasar (Market Development Strategy)

• Strategi Pengembangan Produk (Product Development Strategy)

• Strategi Penetrasi Pasar (Market Penetration) 3. Strategi Diversifikasi

(Diversification Strategy)

• Strategi Diversifikasi Konsentrik (Concentric Diversification Strategy)

• Strategi Diversifikasi Konglomerat (Conglomerat Diversification Strategy)

• Strategi Diversifikasi Horizontal (Horizontal Diversification Strategy)

4. Strategi Defensif

(Defensive Strategy)

• Strategi Usaha Patungan (Joint Venture Strategy)

• Strategi Penciutan Biaya (Retrenchment Strategy)

• Strategi Divestasi (Divestiture Strategy)

• Strategi Likuidasi (Liquidation Strategy) Sumber: David (2009)


(36)

36 3.1.5. Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi

Visi menggambarkan apa yang ingin dicapai oleh suatu organisasi. Dirgantoro (2001) menyatakan bahwa visi adalah suatu pandangan yang jauh tentang perusahaan dan tujuan perusahaan, serta apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan, Umar (2008) menyatakan bahwa visi suatu perusahaan merupakan suatu cita-cita tentang keadaan di masa yang akan datang yang diinginkan untuk terwujud oleh seluruh personel perusahaan, mulai dari jenjang yang paling atas sampai yang paling bawah. Hal ini serupa dengan David (2009) bahwa visi bersama antara manajer dan karyawan menciptakan perhatian bersama yang dapat mengangkat pekerja dari kebosanan kerja dan menempatkan mereka ke dunia baru yang penuh peluang dan tantangan. Visi diperlukan bagi keberlangsungan organisasi agar memiliki arah dan pegangan dalam menjalankan organisasinya, serta memotivasi tenaga kerja untuk mencapai kinerja yang baik. Jika dirinci lebih detail visi memberikan makna, yaitu: (1) Visi memusatkan perhatian untuk masa yang akan datang, (2) Visi memberikan arahan pada keputusan, dan (3) Visi memotivasi karyawan untuk bisa bertindak secara efektif.

Setelah menentukan visi, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah membuat misi. Pada umumnya, visi yang telah ada akan sulit dimengerti oleh pihak-pihak yang ada dalam organisasi karena sifatnya yang multi dimensi dan hanya ada dalam benak para pendiri organisasi. Agar setiap orang dalam organisasi memahami cita-cita perusahaan, maka visi harus dibuat secara tertulis. Oleh karena itu, Umar (2008) mendefinisikan bahwa misi adalah penjabaran secara tertulis mengenai visi agar visi menjadi mudah dimengerti atau jelas bagi seluruh staf perusahaan. Bahkan, David (2009) menyatakan bahwa misi merupakan suatu pernyataan yang penting bagi perumusan tujuan dan formulasi strategi yang efektif.

Strategi mewakili tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan jangka panjang. Hal ini mengartikan bahwa tujuan jangka panjang merupakan hasil yang diharapkan dari penerapan strategi saat ini. Ikhsan (2009) menyatakan bahwa tujuan perusahaan merupakan pernyataan kualitatif mengenai keadaan atau hasil yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Sedangkan, Jauch dan Glueck (1992) menyatakan bahwa tujuan merupakan titik sentral semua kegiatan


(37)

37 perusahaan yang dapat dipakai sebagai alat untuk penilaian prestasi, pengendalian, koordinasi, dan juga keputusan strategi. Oleh karena itu, pencapaian tujuan dapat dikatakan sebagai ukuran keberhasilan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya. Tujuan biasanya dinyatakan dalam bentuk pertumbuhan aset, pertumbuhan penjualan, profitabilitas, pangsa pasar, dan tanggung jawab sosial. Hal ini sesuai dengan Pearce dan Robinson (1997) yang menyatakan bahwa terdapat tiga tujuan ekonomis yang mendominasi arah strategik dari hampir semua organisasi bisnis, yaitu: (1) Kelangsungan hidup (survival), (2) Pertumbuhan (growth), dan (3) Profitabilitas (profitability).

3.1.6. Analisis Lingkungan Usaha

Analisis lingkungan diperlukan dalam rangka menilai lingkungan organisasi secara keseluruhan, yaitu meliputi faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang berada di dalam lingkungan (internal) organisasi serta peluang dan ancaman yang berada di luar lingkungan (eksternal) organisasi yang dapat mempengaruhi kemajuan perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Wheelen dan Hunger 2000).

3.1.6.1. Lingkungan Internal

Lingkungan internal dapat memperlihatkan daftar kekuatan dan kelemahan yang berada dalam kontrol perusahaan. Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan, atau keunggulan-keunggulan lain yang relatif terhadap pesaing, dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin dilayani oleh perusahaan. Sedangkan, kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumber daya, keterampilan dan kapabilitas yang menghambat kinerja efektif perusahaan (Pearce dan Robinson 1997). Organisasi berusaha untuk menjalankan strategi yang mendayagunakan kekuatan internal dan menghilangkan kelemahan internal (David 2009). Oleh karena itu, analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengidentifikasi serta mengevaluasi kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh organisasi sehingga organisasi dapat memanfaatkan kekuatannya secara optimal dan mengatasi kelemahan yang dimiliki.

David (2009) membagi bidang fungsional bisnis menjadi beberapa variabel dalam analisis lingkungan internal, yaitu:


(38)

38 1. Manajemen

Manajemen merupakan suatu tingkatan sistem pengaturan organisasi yang mecakup sistem produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan keuangan. Adapun fungsi manajemen terdiri dari: perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, pengelolaan, dan pengontrolan.

2. Pemasaran

Pemasaran dapat diuraikan sebagai proses menetapkan, menciptakan, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan pelanggan akan produk. Terdapat tujuh fungsi dasar pemasaran, yaitu: (1) Analisis pelanggan, (2) Penjualan produk, (3) Perencanaan produk, (4) Penetapan harga, (5) Distribusi, (6) Riset pemasaran, dan (7) Analisis peluang.

3. Keuangan

Kondisi keuangan sering dianggap sebagai ukuran tunggal terbaik dari posisi bersaing perusahaan dan daya tarik bagi investor. Menetapkan kekuatan dan kelemahan keuangan amat penting untuk merumuskan strategi secara efektif. 4. Produksi/Operasi

Fungsi produksi terdiri atas aktivitas mengubah masukan menjadi barang atau jasa. Manajemen produksi menangani masukan perubahan dan keluaran yang bervariasi antar industri dan pasar.

5. Penelitian dan Pengembangan (Litbang)

Istilah litbang digunakan untuk menggambarkan beragam kegiatan. Dalam beberapa institusi, para ilmuwan melakukan penelitian dan pengembangan dasar di laboratorium dan berkonsentrasi pada masalah teoritis. Sementara itu, di perusahaan para ahli melakukan pengembangan produk dengan berkonsentrasi pada peningkatan kualitas produk.

6. Sistem Informasi Manajemen (SIM)

Sistem Informasi Manajemen (SIM) bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dengan cara meningkatkan kualitas keputusan manajerial. SIM yang efektif berusaha mengumpulkan, memberi kode, menyimpan, mensintesis, dan menyajikan informasi database, sehingga dapat melaksanakan kegiatan operasional dan menyusun strategi yang tepat.


(39)

39 3.1.6.2. Lingkungan Eksternal

Analisis lingkungan eksternal adalah proses mengenali dan mengevaluasi kecenderungan dan peristiwa di luar kendali perusahaan. Lingkungan eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar jangkauan dan kendali organisasi, sehingga organisasi hanya dapat merespon dari adanya faktor tersebut (David 2009). Oleh karena itu, analisis lingkungan eksternal bertujuan untuk mengungkapkan peluang dan ancaman yang dihadapi oleh suatu organisasi, sehingga organisasi dapat merumuskan strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan menghindari dampak ancaman yang ditimbulkan. Analisis lingkungan eksternal terdiri dari analisis lingkungan jauh dan lingkungan industri. a. Lingkungan Jauh

Lingkungan jauh terdiri dari dari faktor-faktor yang bersumber dari luar, dan biasanya tidak berhubungan secara langsung dengan situasi operasional suatu perusahaan (Pearce dan Robinson 1997). Lingkungan ini akan memberikan peluang dan ancaman yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan. Serupa dengan hal itu, David (2009) menyatakan bahwa analisis lingkungan jauh akan menghasilkan sejumlah variabel yang menjadi peluang dan ancaman bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya. Variabel-variabel yang menjadi faktor kunci dalam perumusan strategi pengembangan usaha dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Daftar Beberapa Variabel Eksternal yang Menghasilkan Peluang dan

Ancaman

Sumber: David (2009)

Politik Sosial dan Budaya

• Situasi politik negara

• Regulasi dan deregulasi pemerintah

• Peraturan pajak

• Peraturan ekspor-impor

• Peraturan tenaga kerja

• Kebijakan subsidi

• Kebijakan fiskal dan moneter

• Kebijakan politik luar negari

• Pertumbuhan penduduk

• Jumlah penduduk

• Tingkat pendidikan rata-rata

• Kepercayaan

• Gaya hidup

• Sikap terhadap mutu produk

• Perilaku belanja

Ekonomi Teknologi

• Tren pertumbuhan ekonomi

• Tingkat inflasi

• Kurs mata uang

• Kecenderungan PDB

• Ketersediaan kredit

• Tingkat Pajak

• Pola konsumsi

• Perkembangan teknologi dan informasi

• Kecenderungan perkembangan teknologi

yang unik dalam industri


(1)

Lampiran 5. Perhitungan Faktor Strategis Eksternal KUD Puspa Mekar Faktor

Strategis Eksternal

Dinas Koperasi Dinas Peternakan Ketua KUD Manajer

Operasional KUD Anggota KUD Rata-rata Bobot

Rata-rata Rating

Skor Total Bobot Rating Bobot Rating Bobot Rating Bobot Rating Bobot Rating

Peluang

1 0,0625 4 0,0375 2 0,04167 3 0,04583 3 0,06958 3 0,0514 2,9 0,1512

2 0,07083 4 0,05417 3 0,04167 3 0,05625 3 0,06104 3 0,0568 3,3 0,1863 3 0,07083 4 0,06667 1 0,06875 3 0,06042 3 0,06958 3 0,0673 2,8 0,1910 4 0,07083 4 0,06458 3 0,05833 3 0,05625 3 0,06938 4 0,0639 3,3 0,2133 5 0,07083 4 0,07083 4 0,07083 4 0,06667 3 0,07417 4 0,0707 3,8 0,2657 6 0,07083 4 0,04375 3 0,04583 2 0,06250 3 0,06729 3 0,0580 3,1 0,1776

7 0,07083 4 0,075 4 0,05417 3 0,06250 4 0,06813 4 0,0661 3,8 0,2486

8 0,07292 4 0,07917 4 0,05 3 0,06458 3 0,07271 4 0,0679 3,5 0,2376

9 0,07292 4 0,05 2 0,05 3 0,05625 4 0,07354 4 0,0605 3,4 0,2046

10 0,06875 4 0,05208 2 0,06875 3 0,05833 3 0,07146 4 0,0639 3,1 0,1980

Total Peluang 2,0739

Ancaman

11 0,05208 4 0,04792 4 0,07292 4 0,05833 4 0,05313 4 0,0569 4,0 0,2264

12 0,04375 4 0,0625 3 0,09167 4 0,08542 4 0,05042 4 0,0668 3,8 0,2510

13 0,04167 4 0,08542 4 0,05208 4 0,05625 3 0,04542 4 0,0562 3,7 0,2089

14 0,05833 3 0,0625 4 0,09167 4 0,06667 4 0,05604 4 0,0670 3,8 0,2534

15 0,0625 3 0,08333 4 0,06458 4 0,05625 3 0,04771 4 0,0629 3,5 0,2226

Total Ancaman 1,1623


(2)

190  

Keterangan :

1 = Adanya bantuan pinjaman kredit dari pemerintah dan dana investasi dari para investor 2 = Adanya Litbang yang diadakan oleh Dinas Peternakan setempat

3 = Pertumbuhan ekonomi masyarakat yang menunjukkan angka positif

4 = Peningkatan laju pertumbuhan penduduk menyebabkan meningkatnya laju konsumsi susu

5 = Adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi dari susu 6 = Adanya Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS)

7 = Perkembangan teknologi yang cepat

8 = Permintaan susu dalam negeri belum terpenuhi

9 = Susu sapi merupakan produk susu yang kaya akan protein hewani yang lebih diminati masyarakat pada umumnya dibandingkan dengan susu dari ternak yang lainnya 10 = Berkembangnya industri hilir untuk pengolahan produk berbahan baku susu 11 = Adanya kebijakan pemerintah tentang impor susu

12 = Adanya rencana kenaikan harga BBM

13 = Ketersediaan lahan hijauan yang semakin terbatas 14 = Kekuatan tawar-menawar IPS yang cenderung kuat 15 = Banyaknya pesaing perusahaan swasta


(3)

Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan Penelitian Strategi Pengembangan Usaha KUD Puspa Mekar

Armada Pengangkutan Susu KUD Puspa Mekar

Kegiatan Pemerahan Susu oleh Peternak


(4)

192  

Kegiatan Pengambilan Sampel Susu di Peternak untuk Uji Kualitas

Rapat Evaluasi Dua Mingguan Antara Pengurus dan Karyawan


(5)

RINGKASAN

DESTIA EKA PUTRI. Strategi Pengembangan Usaha Koperasi Unit Desa (KUD) Puspa Mekar Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YANTI NURAENI MUFLIKH)

Peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang menghasilkan pangan yang mengandung protein hewani yang bernilai gizi tinggi. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta kesadaran terhadap makanan bergizi menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan, khususnya susu sapi semakin meningkat. Peningkatan tersebut ditandai dengan peningkatan konsumsi susu nasional. Namun, peningkatan konsumsi susu itu tidak diikuti oleh peningkatan produksi susu nasional. Hal tersebut menyebabkan kurangnya penawaran susu domestik untuk memenuhi permintaan masyarakat. Keadaan ini menyebabkan peternakan sapi perah di Indonesia potensial untuk dikembangkan.

Salah satu koperasi yang bergerak di bidang usahaternak sapi perah di Kabupaten Bandung Barat adalah KUD Puspa Mekar. KUD Puspa Mekar memiliki potensi dan peranan dalam memberikan peluang besar terhadap produksi susu di Jawa Barat maupun nasional. Namun, dalam perkembangannya KUD Puspa Mekar dihadapkan pada beberapa permasalahan, meliputi kurangnya partisipasi dan loyalitas anggota, kurang maksimalnya pembinaan anggota yang dilakukan oleh KUD Puspa Mekar, jumlah produksi susu yang masih rendah dan belum mampu memenuhi kapasitas produksi IPS, saluran pemasaran yang belum berkembang, dan sumber daya yang belum teroptimalkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka KUD Puspa Mekar memerlukan strategi pengembangan bagi usahanya. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan: (1) Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam pengembangan usaha KUD Puspa Mekar, (2) Merumuskan alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan usaha KUD Puspa Mekar, dan (3) Merekomendasikan program-program kegiatan dari alternatif strategi pengembangan usaha KUD Puspa Mekar berdasarkan jangka waktu tertentu sehingga dapat memudahkan KUD Puspa Mekar dalam mengimplementasikan strategi pengembangan usahanya.

Penelitian ini dilakukan di Koperasi Unit Desa (KUD) Puspa Mekar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Responden dalam penelitian ini berjumlah 14 orang, yaitu terdiri dari pihak internal dan eksternal organisasi KUD Puspa Mekar. Pihak internal dari KUD Puspa Mekar, meliputi Ketua KUD Puspa Mekar, Manajer Operasional KUD Puspa Mekar, dan anggota KUD Puspa Mekar yang berjumlah 10 orang. Sedangkan, pihak eksternal dari KUD Puspa Mekar, meliputi pihak atau instansi yang berada di luar organisasi KUD Puspa Mekar, yaitu Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dari Dinas Peternakan dan Perikanan serta Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Bandung Barat.  Metode pengolahan dan analisis data terdiri dari analisis deskriptif dan analisis tahapan formulasi strategi. Adapun alat bantu analisis yang digunakan


(6)

dalam tahapan formulasi strategi tersebut adalah matriks Internal Factor

Evaluation (IFE), matriks External Factor Evaluation (EFE), matriks

Internal-External (I-E), matriks Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats (SWOT),

dan rancangan arsitektur strategi.

Hasil analisis matriks IFE menunjukkan bahwa kekuatan utama KUD Puspa Mekar adalah adanya tes quality control untuk peneriman susu dari peternak, sedangkan kelemahan utama KUD Puspa Mekar adalah memiliki keterbatasan modal untuk pengembangan usahanya. Hasil analisis matriks EFE menunjukkan bahwa peluang utama KUD Puspa Mekar adalah adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi dari susu, sedangkan ancaman utama yang dihadapi KUD Puspa Mekar adalah kekuatan tawar-menawar IPS yang cenderung kuat. Berdasarkan penggabungan hasil analisis matriks IFE dan EFE, maka KUD Puspa Mekar berada pada sel II pada matriks I-E, dimana posisi sel ini merekomendasikan strategi pengembangan usaha KUD Puspa Mekar untuk tumbuh dan membangun. Strategi yang umum dilakukan pada sel ini adalah strategi intensif dan integratif. Adapun aplikasi strategi tersebut adalah melalui penerapan strategi yang dibuat dengan menggunakan analisis matriks SWOT, yaitu: (1) Meningkatkan kegiatan produksi berstandar teknologi modern, (2) Mengembangkan pasar alternatif melalui promosi pemasaran, (3) Memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi pasca panen untuk penelitian dan pengembangan dalam usaha pengembangan produk, (4) Membangun akses permodalan dari pemerintah melalui skim kredit bersubsidi dan mengadakan promosi investasi yang saling menguntungkan kepada para investor, (5) Membangun hubungan kerja sama yang baik dan berkelanjutan dengan pemasok dan IPS, serta (6) Membangun manajemen kualitas sumberdaya manusia (SDM) peternak dan manajemen pengelolaan SDM karyawan.

Keenam alternatif strategi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan memetakan program-program kegiatan pengembangan usaha KUD Puspa Mekar ke dalam rancangan arsitektur strategi. Program-program kegiatan ini akan diimplementasikan secara bertahap selama empat periode waktu sesuai dengan rencana strategis, visi, misi, dan tujuan KUD Puspa Mekar dalam mengembangkan usahanya. Dengan demikian, KUD Puspa Mekar diharapkan dapat mensosialisasikan strategi dan program yang telah dirumuskan kepada seluruh pengurus, badan pengawas, anggota, dan karyawan, sehingga mereka memiliki tanggung jawab dan motivasi untuk dapat melaksanakan strategi ini. Penerapan strategi ini juga memerlukan adanya komitmen dan konsistensi, sehingga pada pelaksanaannya dapat diikuti dengan evaluasi secara bertahap.