Implementasi Kebijakan Program Keluarga Harapan

tingkat departemen atau di tingkat dinas dan akan berdampak pada tingkat implementasi kebijakan tersebut. Kondisi ini tercermin dalam implementasi dalam menentukan RTSM penerima bantuan PKH, dimana BPS Kabupaten Bogor dibantu pendamping dan pemerintah desa hanya berfungsi dalam melakukan pendataan yang kemudian data itu diajukan kepada BPS pusat dan Depertemen Sosial yang berkoordinasi dengan UPPKH pusat sehingga ada beberapa RTSM yang seharusnya layak mendapat bantuan malah terhapus karena kuota yang ditentukan oleh pihak pusat. e. Pelaksana program, bahwa keputusan yang dibuat dalam tahapan formulasi kebijakan akan mengindikasikan siapa yang akan ditugaskan untuk melaksanakan berbagai macam program, dan keputusan itu juga akan mempengaruhi bagaimana kebijakan tersebut dicapai. Berdasarkan struktur organisasi PKH tidak tercantum pemerintah desa sebagai pelaksana program sehingga kondisi ini mempengaruhi implementasi PKH di lapangan, bahkan sempat terjadi konflik akibat pencairan dana PKH di Desa Tegal. f. Sumberdaya yang dilibatkan, bahwa setiap keputusan yang diambil akan berakibat pada pemenuhan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan program yang telah ditetapkan. PKH melibatkan sumberdaya manusia meliputi para aktor terkait dan alokasi dana, karena dana termasuk dalam sumberdaya yang dilibatkan maka akibat adanya keterbatasan dana PKH tiap wilayah, maka berakibat pada adanya beberapa RTSM yang tidak jadi mendapatkan bantuan walaupun mereka sempat didata oleh BPS. Pada prinsipnya ada “empat tepat” yang harus dipenuhi dalam keefektifan implementasi kebijakan atau program, yaitu tepat secara kebijakan, tepat secara pelaksanaan, tepat target, tepat lingkungan Dwijowijoto, 2003. a. Tepat kebijakan; Tepat kebijakan dapat ditinjau dari apakah kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal untuk memecahkan masalah, apakah kebijakan sudah dirumuskan sesuai karakter masalah yang akan dipecahkan, dan dibuat oleh lembaga yang mempunya wewenang terhadap masalah yang akan dipecahkan. Kebijakan PKH merupakan kebijakan yang bertujuan mengurangi kemiskinan melalui peningkatan kualitas RTSM dalam hal kesehatan dan pendidikan yang dibuat oleh Departemen Sosial bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kesehatan sehingga dilihat dari sisi ini kebijakan PKH sudah sesuai secara formulasinya. b. Tepat pelaksana; aktor yang terlibat tidaklah hanya pemerintah melainkan kerjasama antara masyarakat dan swasta. Yang terjadi dalam pelaksanaan PKH di lapangan belumlah bisa melibatkan semua stakeholders terkait, kegiatan strategis terpusat di Dinas Sosial dan UPPKH kabupaten masing- masing sementara aktor lainnya hanya berperan secara teknis. Sebagai kebijakan penanggulangan kemiskinan, PKH belum bisa memberdayakan masyarakatnya. Masyarakat diperlakukan sebatas objek dalam penerima bantuan sehingga saat dilakukan sesi wawancara kepada RTSM tersampaikan jika program ini dihentikan maka mereka mengakui akan sangat sulit untuk menyekolahkan anak mereka dan memberikan layanan kesehatan karena program ini baru bersifat bantuan tunai walaupun sudah ada pendampingan. c. Tepat target; definisi ketepatan target bukan hanya sekedar tepat secara sasaran namun yang hendak dijelaskan adalah apakah target sesuai dengan yang direncanakan dan tidak tumpang tindih dengan kebijakan lain. Kedua, kesiapan target secara fisik dan psikologis, dan apakah kebijakan ini bersifat baru atau memperbaharui kebijakan sebelumnya. Ketepatan target ini juga bisa ditunjang dengan keterlibatan pihak terkait, misalnya BPS, pendamping PKH juga pemerintah desa dalam melakukan survei atau bahkan dapat memutus dana PKH jika memang kondisi RTSM sudah mengalami peningkatan sosial ekonomi sehingga bisa digantikan dengan RTSM yang lain. Di samping itu, penuturan ketua kelompok bahwa masih ada beberapa dari mereka yang mendapatkan bantuan lain selain PKH yang juga masuk dalam kluster 1 program penanggulangan kemiskinan, yaitu Raskin dan Jamkesmas. Terlalu banyak kebijakan baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan lama dengan hasil yang tidak efektif dengan kebijakan sebelumnya. d. Tepat lingkungan; ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan dan lingkungan eksternal kebijakan. Lingkungan kebijakan adalah interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana dengan lembaga lain yang terkait. Perumus kebijakan PKH adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Komunikasi dan lnformatika, dan Badan Pusat Statistik sementara di tingkat kabupaten dan kecamatan inilah yang langsung besentuhan dengan penerima. Menurut penuturan Ketua UPPKH Kabupaten Bogor, interaksi ini dilakukan secara rutin setiap masa pencairan membahas evaluasi pelaksanaan program mengupas kendala dan solusi dalam pemecahan masalah namun yang terjadi adalah solusi tersebut belum mampu berjalan optimal. Kedua, lingkungan eksternal adalah berkaitan penerimaan publik dari penerima program ini, yaitu pemerintah desa dan individu. Disinilah PKH memiliki kelemahan karena kurang bisa melibatkan pemerintah desa dan para tokoh sebagai opinion leader guna menunjang keberhasilan program ini. Sebuah implementasi dari pelaksanaan Program Keluarga Harapan PKH tidak boleh terlepas dari tujuan utamanya yaitu mengurangi kemiskinan melalui peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan. Guna menunjang pencapaian tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan yang matang dalam program, khususnya dalam pemilihan sasaran. Sasaran atau penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat Miskin RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun danatau ibu hamilnifas dan berada pada lokasi terpilih. Penerima bantuan adalah ibu atau wanita dewasa yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan jika tidak ada ibu maka: nenek, tante bibi, atau kakak perempuan dapat menjadi penerima bantuan. Oleh karena itu, diawal diperlukan adanya keterlibatan pihak terkait yang saling bersinergi dalam penerntuan RTSM penerima PKH.

5.1.5 Klasifikasi RTSM Penerima PKH

Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatiannya. Salah satu konsep perhitungan kemiskinan yang banyak diaplikasikan di negara termasuk Indonesia adalah konsep kebutuhan dasar yang dilakukan oleh BPS. Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS selama ini menggunakan dua cara. Pertama, untuk mengestimasi jumlah dan persentase penduduk miskin BPS menggunakan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas dengan menggunakan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang mempunya rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Data kemiskinan yang bersifat makro ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan pesentase penduduk miskin, tetapi tidak menunjukan siapa si miskin dan dimana alamat mereka sehingga kurang operasional di lapangan. Meskipun demikian, data ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi pertambahan pengurangan jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu. Selain itu, banyak informasi penting lainnya yang bisa digali dan sangat bermanfaat untuk program pengentasan kemiskinan. Kedua, dengan melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk PSE tahun 2005 yang kemudian digunakan untuk menentukan SDM penerima BLT yang memuat informasi nama kepala rumah tangga yang berhak menerima bantuan dan lokasi tempat tinggalnya. Dalam menentukan rumah tangga penerima PKH, BPS juga menggunakan data PSE 2005 yang menjadi bahan pendataan berikutnya yaitu Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan SPDKP pada tahun 2007 yang merupakan data awal PKH yang disesuaikan dengan kriteria penerima PKH, , yaitu ibu hamil, ibu balita, dan ibu dengan anak usia SD dan SMP hingga munculah data yang disebut SPDKP untuk kepentingan PKH. Dalam pengukuran itu, BPS melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 variabel kemiskinan dimana varibel ini memiliki hubungan sangat erat dengan kemampuan memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non makanan basic needs approach. tabel 1, dimana varibel ini memiliki hubungan sangat erat dengan kemampuan memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non makanan basic needs approach, Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengetahuan sehingga kemiskinan adalah suatu kondisi yang selalu ada di setiap masa dan di setiap tempat. Penuturan AS Staf Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor menyampaikan bahwa dimana jika posisi rumah tangga tersebut hanya memenuhi minimal 9 variabel maka dikategorikan RTSM ditambah dengan hasil estimasi permodelan dengan menggunakan faktor statistik lainnya.