I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Industri pangan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Menurut Kementrian Perindustrian Republik Indonesia 2012, pertumbuhan industri
makanan dan minuman di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 7.29. Nilai tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan industri makanan dan minuman di Indonesia pada tahun 2010 yang hanya mencapai
6.41 BPS 2012. Peningkatan pertumbuhan industri pangan ini akan menyebabkan peningkatan permintaan bahan baku industri pangan seperti terigu. Tepung terigu merupakan salah satu bahan
pangan yang banyak digunakan oleh industri pangan di Indonesia seperti pada industri biskuit. Namun, tepung terigu merupakan produk impor. Menurut FAO 2011, Indonesia menduduki
peringkat ke-4 negara pengimpor tepung terigu pada tahun 2009 dengan jumlah impor sebesar 646,859 ton. Data United Nations Commodity Trade UN Comtrade menyatakan bahwa pada tahun
2011 Indonesia mengimpor tepung terigu sebanyak 680,125 ton. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah impor tepung terigu naik dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi untuk
mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu. Salah satu caranya adalah diversifikasi pangan vertikal yaitu pengembangan produksi pasca panen Syah 2009. Salah satu contoh pengembangan
produksi pasca panen adalah pemanfaatan komoditi lokal sebagai bahan baku produk pangan yang biasanya berbahan baku tepung terigu.
Jagung merupakan salah komoditi pangan terbesar kedua setelah padi BPS 2012 dan sekaligus sumber makanan pokok bagi sebagian masyarakat di Indonesia seperti Madura dan Nusa
Tenggara Timur. Namun, pemanfaatannya masih konvensional dan tradisional. Begitu pula dengan ubi jalar yang merupakan sumber makanan pokok bagi masyarakat Maluku dan Papua. Padahal, ubi
jalar khususnya ubi jalar yang memiliki umbi yang berwarna merah mengandung β-karoten yaitu
provitamin A yang baik untuk kesahatan mata. Kedua komoditi tersebut memiliki kandungan protein yang rendah. Kandungan protein yang rendah pada kedua komoditi tersebut memberi peluang kepada
komoditi tersebut untuk dapat menggantikan tepung terigu berprotein rendah pada pembuatan produk pangan seperti kukis. Penggantian terigu dengan tepung komposit jagung dan ubi jalar kemungkinan
dapat meningkatkan kandungan gizi khususnya provitamin A sekaligus mengurangi kandungan gluten. Gluten merupakan suatu protein pada terigu yang dapat menyebabkan alergi pada sebagian
orang seperti bagi penderita autis. Penggunaan kedua tepung tersebut dalam bentuk tepung komposit untuk mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan kukis diharapkan dapat menjadi alternatif
pengembangan pemanfaatan kedua komoditi tersebut sekaligus menjadi salah satu solusi dari masalah ketergantungan terhadap tepung terigu di Indonesia.
1.2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan formula dan parameter proses pembuatan kukis corn flake cookies yang terbuat dari tepung komposit jagung dan ubi jalar dengan karakteristik
sensori yang disukai oleh konsumen.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BAHAN PANGAN UTAMA YANG DIGUNAKAN DALAM
PENELITIAN
2.1.1. JAGUNG
Menurut Rukmana 1998, tanaman jagung termasuk keluarga Gramineae. Produksi tanaman semusim ini menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum. Penyebarannya cukup luas karena
tanaman ini mudah beradaptasi pada daerah tropis atau subtropis. Jagung memiliki tujuh varietas atau jenis berdasarkan bentuk asli yaitu jagung gigi kuda Zea mays identata, jagung mutiara Zea mays
indurata , jagung manis Zea mays saccharata, jagung berondong Zea mays everta, jagung pod
Zea mays tunicate, jagung ketan Zea mays certain, dan jagung tepung Zea mays amylacea. Di antara tujuh jenis jagung tersebut, jagung mutiara dan jagung manis yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Meskipun demikian, dari bentuk jenis asli tersebut telah ditemukan jenis jagung baru seperti jagung hibrida dan aneka macam varietas ataupun kultivar Rukmana 1998.
Jagung mengandung glukosa yang jumlahnya tergantung dari jenisnya. Kandungan glukosa jagung relatif menurun selama proses penyimpanan karena diubah menjadi pati. Selain glukosa,
jagung juga mengandung β-karoten terutama pada jagung yang berwarna kuning Ronzio 2003.
Kandungan gizi setiap 100 g jagung dan turunannya ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi jagung dan turunannya per 100 g bahan
Komposisi Jumlah
Jagung Kuning pipil baru
Tepung Jagung Kuning
Kalori Kal 307
335 Protein g
7.90 9.20
Lemak g 3.40
3.90 Karbohidrat g
63.60 73.70
Kalsium mg 9.00
10.00 Fosfor mg
148.00 256.00
Zat besi mg 2.00
2.00 Vitamin A SI
440 510
Vitamin B1 mg 0.30
0.40 Vitamin C mg
0.00 0.00
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 2004 Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 cukup tinggi yaitu sebanyak 17,629,033 ton
dengan produktivitas 45.65 kuha BPS 2012 yang menurun dari tahun sebelumnya 18,327,636 ton. Produksi jagung terbanyak pada tahun 2011 berada di provinsi Jawa Timur dengan total produksi
5,43,705 ton dengan produktivitas 45.21 kuha. Provinsi lain seperti Jawa Tengah dan Lampung juga banyak membudidayakan tanaman jagung dengan total produksi mencapai 2,772,575 ton
3 dan1,817,906 ton. Selain digunakan di dalam negeri, menurut UN Comtrade 2012 jagung yang
diproduksi di Indonesia juga diekspor dengan jumlah ekspor pada tahun 2010 sebanyak 41,954,096 kg.
2.1.2. UBI JALAR
Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian dan tergolong tanaman semusim berumur pendek. Tanaman ubi jalar hanya satu kali berproduksi dan setelah itu tanaman mati. Tanaman ubi jalar
tumbuh menjalar pada permukaan tanah dengan panjang tanaman dapat mencapai tiga meter, tergantung pada varietasnya Juanda dan Cahyono 2009. Umbi ubi jalar ini sangat bervariasi dalam
ukuran, bentuk, warna, tekstur, dan rasanya. Kulit umbi warnanya ada yang merah, merah keungu- unguan, kuning, putih, dan coklat muda. Warna daging umbi ada yang putih, kuing terang, jingga,
ataupun ungu. Bentuknya ada yang bulat, bulat lonjong, lonjong memanjang, ada rata atau bergelombang dengan ukuran beragam mulai dari yang kecil, sedang, dan besar Hanifa dan Lutfheni
2006. Tanaman ubi jalar secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Concolvulales, famili Convolvulaceae, genus
Ipomoea, dan spesies Ipomoea batatas L. Sin batats edulis choisy. Sebagai keluarga kangkung- kangkungan Convolvulaceae, ubi jalar memiliki cukup banyak kerabat dekat dengan kangkung,
antara lain kangkung air Ipomea aquatica Forsk, kangkung darat Ipomea reptans L. Poir, kangkung pagar atau kangkung hutan Ipomoea crassicaulus sin. I fistulosa Marf Juanda dan
Cahyono 2009. Menurut Suprapti 2003, ubi jalar Ipomoea batatas atau ketela rambat merupakan salah satu
palawija yang berasal dari Amerika bagian tengah. Diperkirakan pada abad ke-16, tanaman ubi jalar tersebut mulai tersebar ke negara-negara tropis di seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyebarannya
meluas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namanya bermacam-macam menurut daerahnya, antara lain telo rambat Jawa Tengah dan Jawa Timur dan huwi bolet Jawa Barat, Sunda. Pada umumnya,
umbi ini dimanfaatkan sebagai makanan selingan seperti direbus, dibakar, dipanggang, atau digoreng Hanifa dan Lutfheni 2006. Selain itu, ubi jalar dijadikan makanan pokok bagi sebagian masyarakat
seperti di Maluku dan Papua Soenardi Wulan 2009. Ubi jalar mengandung cukup banyak karbohidrat, vitamin, dan mineral. Warna daging
umbinya beraneka ragam dan menunjukkan komponen bioaktif yang bermacam-macam sesuai dengan warna dagingnya. Daging umbi berwarna kuning, oranye hingga jingga menunjukkan adanya
β- karoten sebagai provitamin A. Daging umbi yang berwarna ungu mengandung antosianin yang
berperan sebagai antioksidan Soenardi Wulan 2009. Kandungan gizi setiap 100 gram ubi jalar ditunjukkan pada Tabel 2.
Menurut Badan Pusat Statistik BPS 2012, produktivitas tanaman ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 123.26 kuha dengan total produksi sebesar 2,192,242 ton. Jumlah produksi
tersebut menurun dari tahun sebelumnya dengan total produksi mencapai 2,051,046 ton. Produksi ubi jalar terbanyak berada di daerah Jawa Barat sebanyak 426,177 ton pada tahun 2011. Selain di Jawa
Barat, ubi jalar juga banyak dihasilkan di daerah Papua dan Jawa Timur yaitu sebanyak 348,438 ton dan 217,545 ton pada tahun 2011. Selain untuk kepentingan dalam negeri, ubi jalar yang dihasilkan
juga di ekspor. Pada tahun 2010, Indonesia mengekspor ubi jalar dengan total ekspor 7,083,483 kg.
4 Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar
Komposisi Jumlah
Ubi Putih Ubi Merah
Ubi Kuning Kalori Kal
123.00 123.00
114 Protein g
1.80 1.80
0.80 Lemak g
0.70 0.70
0.50 Karboidrat g
27.90 27.90
26.70 Kalsium mg
30.00 30.00
51.00 Fosfor mg
49.00 49.00
47.00 Zat
besi mg 1.00 1.00 0.90
Vitamin A SI 60.00
7700.00 0.00
Vitamin B1 mg 0.100
0.10 0.10
Vitamin C mg 22.00
22.00 22.00
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 2004
2.1.3. TEPUNG KOMPOSIT
Menurut Djuwardi 2009, tepung komposit merupakan tepung yang tersusun atas campuran beberapa tepung dengan formula tertentu. Tepung komposit dapat terbuat dari campuran tepung
jagung dan tepung ubi jalar. Tepung komposit tersebut digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk makanan berbahan tepung seperti kukis, kue basah, dan sebagainya. Tepung
jagung dan tepung ubi jalar masing-masing terbuat dari jagung dan ubi jalar yang digiling. Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung
yang baik dan bersih. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995 ditunjukkan pada Tabel 3.
Menurut Suprapti 2003, tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian kadar airnya. Tepung ubi jalar tersebut dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang
dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari gaplek ubi jalar yang dihaluskan digiling dengan tingkat kehalusan ± 80 mesh. Tepung jagung dan tepung jalar sudah lama dikenal
dan dimanfaatkan baik sebagai bahan makanan pokok maupun bahan pengganti tepung terigu. Menururt Suprapti 2003, di India dan Afrika, tepung ubi jalar digunakan sebagai bahan campuran
dalam pembuatan kue dan roti tepung terigu. Di Indonesia, pemanfaatan tepung ubi jalar masih kurang dibandingkan tepung jagung. Tepung jagung pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan mi jagung, beras tiruan, atau produk makanan ringan. Pada umumnya masyarakat lebih sering mengkonsumsi ubi yang dimasak daripada memanfaatkan tepungnya.
2.1.4. KONTRIBUSI TEPUNG PADA KUKIS
Pembuatan kukis khususnya corn flake cookies membutuhkan tepung terigu dengan kandungan protein yang rendah. Tepung terigu yang digunakan pada umumnya mengandung protein
tidak lebih dari 10 9-10 agar dihasilkan kukis yang garing, renyah, dan tidak terlalu padat Respati 2008. Kandungan protein yang rendah juga dimiliki oleh tepung jagung dan ubi jalar.
Menurut Antarlina 1998, tepung jagung mengandung protein sebesar 6.57 sedangkan tepung ubi jalar mengandung protein sebesar 2.11. Jika kedua tepung tersebut dicampur, akan menghasilkan
tepung komposit dengan kadar protein sekitar 9-10. Oleh karena itu, penggunaan kedua tepung tersebut secara komposit diharapkan dapat menggantikan tepung terigu dalam pembuatan kukis
khususnya corn flake cookies.
5 Tabel 3. Syarat mutu tepung jagung menurut SNI 01-3727-1995
Kriteria uji Satuan
Persyaratan Keadaan:
Bau - Normal
Rasa - Normal
Warna - Normal
Benda-benda asing -
Tidak boleh ada Serangga dalam bentuk
stadia dan potong-potongan - Tidak
boleh ada
Jenis pati lain selain pati jagung
- Tidak boleh
ada Kehalusan
Lolos ayakan 80 mesh Min. 70.00
Lolos ayakan 60 mesh Min. 99.00
Air bb
Maks. 10.00 Abu
bb Maks.
1.50 Silikat
bb Maks.
0.10 Serat kasar
bb Maks. 1.50
Derajat asam ml NaOH 0.1 N100 g
Maks. 4.00 Cemaran logam
Timbal Pb mgkg
Maks. 1.00 Tembaga Cu
mgkg Maks. 10.00
Seng Zn mgkg
Maks. 40.00 Raksa Hg
mgkg Maks. 0.05
Cemaran arsen As mgkg
Maks. 0.50 Cemaran mikroba
Angka lempeng total kolonigr
Maks. 1×10
6
E.coli APMgr Maks.
1×10
1
Kapang kolonigr Maks.
1×10
4
2.2. CORN FLAKE COOKIES
2.2.1. KARAKTERISTIK
Menurut Manley 2000, istilah ‘cookie’ merupakan sinonim dari biskuit yang banyak digunakan di USA sedangkan istilah biskuit banyak digunakan di UK. Menurut SNI 2973:2011,
kukis adalah jenis biskuit yang terbuat dari adonan lunak, renyah dan bila dipatahkan penampangnya bertekstur kurang padat. Syarat mutu biskuit ditunjukkan pada Tabel 4. Menurut Suryani 2006,
kukis merupakan kue kering yang memiliki bentuk beraneka ragam, berukuran kecil, dan umumnya memiliki rasa manis. Menurut Manley 2001, kukis termasuk ke dalam short dough biscuits, yaitu
adonan dengan ekstensibilitas dan elastisitas yang kurang. Kurangnya ekstensibilitas dan elastisitas ini disebabkan oleh sedikitnya jaringan gluten yang terbentuk karena tepung yang digunakan adalah
jenis tepung yang rendah protein. Salah satu jenis kukis adalah corn flake cookies Gambar 1. Kukis ini terbuat dari tepung
terigu berprotein rendah, margarin, gula, kuning telur, baking powder, corn flakes, dan kacang cincang Bogasari Baking Center 2004. Jumlah masing-masing bahan ditunjukkan pada Tabel 5.
6 Langkah pembuatannya ditunjukkan pada Gambar 2. Margarin dan gula halus dicampur kemudian
dikocok sehingga terbentuk krim. Adonan krim kemudian dicampur dengan kuning telur. Adonan krim kemudian dicampur dengan tepung dan baking powder. Adonan kemudian dicampur dengan
corn flakes dan kacang cincang. Adonan dicetak, ditaburi dengan corn flakes, dan dipanggang pada
suhu 150 °C selama 20 menit. Kukis kemudian didinginkan dan disimpan dalam toples.
Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan kukis corn flake atau corn flake cookies
. Menurut Respati 2008, tepung terigu yang digunakan pada pembuatan kukis memiliki kandungan protein yang rendah atau sedang tidak lebih dari 10 agar dihasilkan kukis yang garing,
renyah, dan tidak terlalu padat. Margarin dapat ditambahkan agar tekstur kukis lebih kokoh dan lebih lezat. Gula digunakan untuk menambah rasa manis dan meningkatkan warna kukis. Kuning telur
mengandung zat pengemulsi dan merupakan pengembang alami. Kemampuan pembentukan emulsi disebabkan oleh adanya lesitin pada kuning telur. Menurut Manley 2000, lesitin memiliki struktur
phospolipid yang dapat menyatukan lemak dan air sehingga lemak dapat tersebar lebih merata pada adonan dan menghasilkan kukis yang lebih lembut. Menurut Manley 2000, pada kuning telur segar
terkandung lesitin sebesar 8-10. Menurut Matz 1992, baking powder mengandung natrium bikarbonat yang merupakan pengembang kimia chemical leavening agent dan bahan-bahan lain
seperti pati dan garam fosfat. Corn flake dan kacang cincang merupakan bahan pelengkap.
Gambar 1. Corn flakes cookies Clara 2009
7 Tabel 4. SNI biskuit SNI 2973:2011
Parameter Nilai Keadaan bau, rasa, warna
Normal Kadar air bb
Maksimum 5.00 Protein N x 6.25 bb
Minimum 5.00 Minimum 4.50
Minimum 3.00 Asam lemak bebas sebagai asam
oleat bb Maksimum 1.00
Abu bb Maksimum 2.00
Cemaran logam Timbal mgkg
Maksimum 0.50 Kadmium mgkg
Maksimum 0.20 Timah mgkg
Maksimum 40.00 Merkuri mgkg
Maksimum 0.05 Arsen mgkg
Maksimum 0.50 Cemaran mikroba
Angka lempeng total kolonig Maksimum 1x10
4
Coliform APMg
20 E.coli
APMg 3
Salmonella sp. Negatif 25 g
Staphylococcus aureus kolonig Maksimum
1×10
2
Bacillus cereus kolonig Maksimum
1×10
2
Kapang dan khamir kolonig Maksimum 2×10
2
Catatan: untuk produk biskuit yang dicampur dengan pengisi dalam adonan
untuk produk biskuit yang diberi pelapis atau pengisi coating filling dan pai Tabel 5. Jumlah bahan-bahan corn flakes cookies modifikasi dari resep Bogasari Baking Center
2004 Bahan Jumlah
g Tepung terigu berprotein rendah
233.40 Gula 200.00
Margarin 166.67 Kuning telur
38.00 Baking powder
6.67 Corn flake
66.67 Kacang cincang
66.67
8
2.2.2. PARAMETER PROSES
Seperti yang telah dijelaskan di awal, corn flake cookies terbuat dari tepung terigu berprotein rendah, margarin, gula, kuning telur, baking powder, corn flakes, dan kacang cincang Bogasari
Baking Center 2004. Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur mixing, dicetak, dan dipanggang.
Menurut Manley 2000, pencampuran mixing adonan memiliki tiga fungsi utama yaitu 1 mencampur dan membasahi bahan-bahan adonan, 2 mengembangkan adonan, dan 3 memerangkap
udara ke dalam adonan. Menurut Manley 2000, proses pencampuran pada pembuatan kukis terdiri atas dua bagian utama yaitu pencampuran atau mixing untuk membentuk krim dan pencampuran
tepung dan bahan lainnya. Tujuan pembuatan pencampuran pada pembuatan krim adalah melarutkan gula, pembentukan emulsi dengan lemak, dan aerasi atau pemasukan udara dalam adonan. Proses
pencampuran pertama ini dilakukan dengan kecepatan mixer yang tinggi dan diakhiri saat diperoleh krim berwarna putih dan dilanjutkan dengan pencampuran yang kedua. Pencampuran yang kedua
dilakukan untuk mendispersikan bahan-bahan kering seperti tepung, baking powder, dan bahan pelengkap dalam hal ini kacang dan corn flake. Proses pencampuran ini dilakukan dengan
kecepatan mixer yang rendah dan tidak terlalu lama. Pencampuran kedua ini diakhiri saat diperoleh adonan yang homogen. Namun, menurut Manley 2000, proses pencampuran atau mixing tidak
terlalu kritis pada proses pembuatan kukis. Adonan yang sudah diperoleh selanjtnya dicetak dan dipanggang. Pencetakan dilakukan
dengan alat cetakan manual dengan bentuk tertentu misanya bentuk hati. Pemanggangan dilakukan pada suhu 150-180 selama 15-30 menit Stewart 2008. Menurut Dobraszczyk 2006,
pemanggangan adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk produksi produk berbasis serealia seperti roti, biscuit, cakes, pizza, dan sebagainya. Tujuan dari proses pemanggangan adalah
meningkatkan karakteristik sensori makanan, meningkatkan palatabilitas, dan membuat berbagai macam produk yang memiliki berbagai rasa, aroma, tekstur dari bahan baku yang sama Fellows
2009. Selain itu, selama pemanggangan juga terjadi perusakan enzim dan mikroorganisme pengkontaminan. Oleh karena itu, umur simpan produk dapat lebih panjang.
Menurut Fellows 2009, proses pemanggangan melibatkan transfer panas kepada produk pangan secara simultan dan penghilangan kelembaban melalui evaporasi dari produk pangan ke udara
di sekitar. Selama proses pemanggangan, panas menyebabkan kelembaban pada permukaan produk menguap dan udara panas menciptakan perbedaan tekanan uap yang menyebabkan perpindahan
kelembaban dari dalam produk pangan ke permukaan. Perpindahan tersebut dapat melalui aliran kapiler atau difusi uap melewati saluran pada produk pangan. Ketika laju kehilangan kelembaban
pada permukaan melebihi laju perpindahan dari dalam produk, daerah penguapan merambah ke dalam, permukaan mengering, suhu permukaan meningkat hingga mencapai suhu udara panas dan
crust terbentuk. Crust yang terbentuk dapat meningkatkan eating qualities dan mencegah keluarnya
kelembaban pada produk pangan yang bulky. Saat crust mengering, konduktifitas termal turun dan laju penetrasi panas melambat. Pada produk pangan yang membutuhkan kadar air yang rendah seperti
biskuit dan crackers, pembentukan crust tersebut dihindari agar air pada adonan yang dioven dapat menguap hingga tercapai kadar air 5. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan suhu
pemanggangan yang tidak terlalu tinggi. Menurut Manley 2000, pada saat pemanggangan terjadi tiga perubahan utama pada adonan.
Perubahan tersebut adalah 1 penurunan densitas produk terkait dengan pengembangan struktur berpori, 2 penurunan kadar air, dan 3 perubahan warna permukaan. Pengembangan struktur terjadi
akibat terbentuknya gelembung gas dan uap air yang mengembang dan menyebabkan penurunan densitas adonan. Gas tersebut dilepaskan dari bahan pengembang. Uap air yang terbentuk dari
penguapan air adonan mengembang sehingga membuat adonan mengembang. Penurunan kadar air
9 terjadi akibat dari pemanasan adonan oleh udara panas selama pemanggangan. Perubahan warna yang
terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti reaksi Maillard dan karamelisasi gula. Reaksi Maillard atau reaksi pencoklatan nonenzimatik merupakan reaksi kimia antara gula pereduksi dan asam amino
bebas atau gugus amino dari suatu asam amino suatu protein. Rekasi ini menghasilkan warna gelap pada produk panggang atau produk yang dipanaskan seperti pada kecap kedelai dan permukaan roti
Fennema 1996. Reaksi karamelisasi merupakan reaksi kompleks yang terjadi akibat adanya pemanasan terhadap karbohidrat sukrosa dan gula pereduksi tanpa adanya komponen yang
mengandung nitrogen. Reaksi ini menghasilkan senyawa dengan ikatan rangkap terkonjugasi yang menyerap warna sehingga produknya berwarna gelap. Reaksi ini banyak terjadi pada proses
pembuatan produk panggang, sirup, permen, dan minuman Fennema 1996.
2.3. RESPONSE SURFACE METODOLOGY RSM
Proses optimasi formula dan proses produksi pada penelitian ini menggunakan peranti lunak software Design-Expert 7.0.0. Peranti lunak ini menyediakan fasilitas mixture design D-optimal
dan response surface design central composite design. Mixture design atau desain campuran digunakan untuk mendapatkan formula yang optimum. Response surface design atau desain
permukaan respon digunakan untuk mendapatkan parameter proses yang optimum. Baik mixture design
maupun response surface merupakan metode yang menggunakan prinsip response surface methodology.
Menurut Montgomery 2001, Response Surface Methodology RSM atau metodologi permukaan respon adalah kumpulan teknik-teknik statistik dan matematika yang berguna untuk
memodelkan dan menganalisis masalah-masalah dimana responnya dipengaruhi oleh beberapa variabel. Menurut Box dan Draper 2007, Response Surface Methodology RSM meringkas sebuah
kelompok teknik statistik untuk membangun model empiris dan eksploitasi model. Metode ini menghubungkan sebuah respon atau variabel keluaran output dengan data masukan input yang
mempengaruhinya. Jika suatu daerah dengan respon optimum ditemukan maka dibuat suatu model untuk menghubungkan ke daerah tersebut sehingga analisis dapat dilakukan untuk mencapai daerah
optimal tersebut. Menurut Myers et al 2009, pengaplikasian RSM membutuhkan model perkiraan untuk mendapatkan permukaan respon yang benar. Model tersebut adalah model empiris yang
biasanya menggunakan model multipel regresi. Model regresi yang sederhana adalah model regresi linear yang ditunjukkan pada persamaan 1.
y=β +β x +β x +… β x ε 1 Persamaan 1 merupakan sebuah model regresi linear multipel dengan dua variabel bebas.
Variabel bebas ini sering disebut dengan variabel pemprediksi predictors atau regresor. β
merupakan intersep dengan nilai yang tetap. β dan β merupakan koefisien regresi parsial dimana
β mengukur perubahan y setiap perubahan unit x dan β mengukur perubahan y setiap perubahan unit x . Model yang lebih kompleks ditunjukkan pada persamaan 2. Persamaan tersebut
mencantumkan interaksi antara kedua regresor. y=
β +β x +β x +β +
β +
β x x +ε 2
10 Menurut Montgomery 2001, RSM merupakan prosedur yang berurutan. Ketika suatu
kejadian fisik berada jauh dari titik optimum Gambar 2 maka model yang pertama persamaan 1 digunakan. Model ini akan mendekatkan atau menunjukkan peneliti pada daerah optimum melalui
jalur pengoptimasian atau path of improvement. Ketika suatu daerah optimum ditemukan maka model yang lebih kompleks seperti model kedua persamaan 2 digunakan. Selanjutnya proses analisis
permukaan respon dilakukan untuk untuk mendapatkan titik optimum.
Gambar 2. Ilustrasi proses optimasi dengan RSM Montgomery 2001 Analisis permukaan respon dilakukan dengan menggunakan permukaan respon yang cocok.
Jika permukaan yang cocok merupakan perkiraan dari fungsi respon yang sesungguhnya maka analisis permukaan yang cocok ini akan sebanding dengan analisis sistem yang sesungguhnya. Parameter
modelnya dapat diperkirakan secara efektif jika desain eksperimental yang tepat digunakan untuk mengumpulkan data. Desain untuk mencocokkan permukaan respon disebut response surface design
atau desain permukaan respon Montgomery 2001. Pencocokkan model pertama persamaan 1 menggunakan orthogonal first model design atau simplex. Pencocokkan model dengan persamaan
yang kompleks atau persamaan 2 dapat menggunakan central composite design CCD. Pada tahap optimasi proses, peneliti menggunakan CCD.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, mixture design digunakan karena dapat membantu dalam menentukan formula dengan hasil dalam hal ini respon organoleptik yang optimum dari beberapa
faktor dalam hal ini ada tiga faktor: tepung terigu, tepung jagung, dan tepung ubi jalar. Menurut SAS Institute 2010, nilai sebuah faktor dalam mixture design menunjukkan proporsi faktor tersebut
di dalam sebuah campuran yang nilainya berkisar antara 0 dan 1. Jumlah proporsi seluruh faktor pada suatu campuran adalah 1 100. Menurut Montgomery 2001, faktor pada mixture experiments
merupakan komponen atau ingridient yang tidak independen. Faktor ini akan menentukan ruang desain atau design space atau lebih mudahnya disebut dareah uji. Daerah uji dengan tiga faktor akan
berbentuk segitiga seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Daerah uji ini akan mempengaruhi titik uji dalam hal ini formula yang diujikan. Daerah uji dengan batasan tertentu titik maksimum dan
titik minimum atau constraint akan berbentuk tidak standar tidak seperti Gambar 3. Daerah uji pada kasus tersebut akan disesuaikan dengan batasan yang ditentukan. Contoh daerah uji dengan
batasan tertentu ditunjukkan pada Gambar 4. Daerah berwarna gelap merupakan daerah diluar daerah
11 uji diluar batasan sedangkan daerah berwarna putih merupakan daerah uji. Berdasarkan daerah uji
tersebut, peranti lunak komputer dalam hal ini Design-Expert 7.0.0 akan menentukan titik uji formula yang akan diujikan. Titik-titik uji dipilih berdasarkan beberapa titik utama sehingga
kurang-lebih akan menghasilkan permukaan respon yang tepat. Design-Expert 7.0.0 akan menggunakan the vertices, the edge centers, the overall centroid, dan the check runs sebagai titik-titik
ujinya. The vertices merupakan titik ujung faktor berada di pojok segitiga dan memiliki dua faktor dengan nilai terendah. The edge centers adalah titik yang bersebrangan dengan the vertices dan
merupakan titik dengan proporsi terendah salah satu faktor. The overall centroid merupakan titik tengah ketiga faktor. The check runs merupakan titik yang berada di pertengahan the vertices dan the
overall centroid. Penentuan titik-titik ini mempertimbangkan batasan uji atau contraints. Beberapa
titik akan diulang atau replicated untuk mendapatkan nilai pure error yang akan berguna pada analisis ragam. Respon yang didapatkan akan digambarkan oleh sebuah plot kontur atau contour plot.
Contour plot atau plot kontur berperan penting dalam studi permukaan respon. Dengan membuat plot
kontur, bentuk permukaan dapat dikarakterisasi dan titik optimum dapat dicapai dengan presisi yang tinggi. Data respon akan dimodelkan oleh sebuah model matematika tertentu. Model untuk mixture
design atau desain campuran ada empat yaitu linear, kuadratik, kubik, dan kubik spesial.
Gambar 3. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor Montgomery 2001
Gambar 4. Daerah uji mixture design dengan tiga faktor crosslinker, resin, dan monomer dengan batasan tertentu pada kasus optimasi formula cat mobil Montgomery 2001
The edge centers
The check runs the overall centroid
the vertices
12 Model yang baik sebaiknya memenuhi beberapa kriteria yaitu signifikansi model, signifikansi
lack of fit , adjusted R-square, dan predicted R-square. Kriteria-kriteria tersebut dapat dilihat pada
analisis ragam atau ANOVA. Signifikansi model dilihat dari nilai probabilitas atau ProbF. Probabilitas merupakan peluang atau probability nilai F. Nilai probabilitas tersebut didapatkan dari
tabel probabilitas pada derajat bebas error dan derajat model tertentu yang menunjukkan letak nilai F. Nilai F merupakan hasil perhitungan dari mean square atau rataan kuadrat dibagi dengan rataan error
kuadrat atau residual mean square. Jika nilai probabilitas kurang dari nilai α 5 maka dapat
dikatakan faktor berpengaruh nyata atau signifikan terhadap respon pada taraf signifikansi 5. Lack of fit
menunjukkan ketidaksesuaian model dengan data. Jika nilai lack of fit kurang dari nilai
α 5 atau signifikan maka model dikatakan tidak sesuai dengan data yang ada. Model yang baik memiliki nilai lack of fit yang tidak signifikan atau lebih dari nilai
α 5. Hal tersebut menunjukkan bahwa model yang didapatkan sesuai dengan data yang ada atau dapat memodelkan
data secara tepat. Adjusted R-square
dan predicted R-square merupakan R-square atau R
2
. R-square atau R
2
menunjukkan variasi data disekitar rataan data yang dijelaskan oleh model dalam hal ini model atau persamaan masing-masing respon sensori. Jika nilai R-square atau R
2
tinggi mendekati 1 maka data tidak terlalu bervariasi atau sedikit pencilan outlier. Adjusted R-square adalah R-square hitung
berdasarkan data yang diperoleh sedangkan predicted R-square adalah R-square prediksi. Design Expert 7.0.0
memberikan toleransi selisih antara kedua R
2
dengan nilai 2. Jika selisih nilai kedua R
2
kurang atau sama dengan 2 maka dikatakan data in reasonable agreement yang berarti tidak banyak data pencilan atau nilai respon prediksi sesuai dengan nilai respon aktual sehingga model yang
diperoleh dapat memodelkan data dengan baik. Nilai Predicted R-square dan Adjusted R-square diperoleh dari persamaan berikut.
1- PRESS
total SS
1-
SS error SS model + SS error
df model + df error
PRESS atau Predicted Residual Sum of Squares merupakan jumlah kuadrat residu prediksi yang digunakan untuk memperkirakan jumlah kuadrat residu setiap titik uji. Total SS atau sum of
square merupakan total jumlah kuadrat deviasi yang diperoleh pada analisis ragam. Jika nilai PRESS
lebih besar dari nilai total SS maka nilai predicted R-square menjadi bernilai negatif -. Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan data yang diperoleh lebih tidak bervariasi dari prediksi. SS error
adalah jumlah kuadrat deviasi residu. SS model adalah jumlah kuadrat deviasi model. df merupakan derajat bebas.
Selain keempat kriteria tersebut, ada kriteria tambahan yaitu Adeq Precision. Adeq Precision atau adequate precision merupakan ukuran rentang nilai respon prediksi yang dihubungkan dengan
error . Nilai Adequate Precision menunjukkan presisi data. Nilai adeq Precision yang baik adalah
lebih dari 4 yang berarti presisinya baik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, mixture design memiliki beberapa jenis model
polinomial yaitu mean, linear, quadratic, special cubic, dan cubic Montgomery 2001. Pemilihan model ini didasarkan kriteria-kriteria tersebut terutama nilai probabilitas atau ProbF dan lack of fit.
Jika nilai probabilitas modelnya kurang dari nilai α 5 maka model tersebut signifikan yang berarti
13 faktor dalam model atau pesamaan tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap respon pada taraf
signifikansi 5 sehingga model tersebut dipilih untuk memodelkan respon tersebut. Jika model memiliki probabilitas lebih dari
α 5 disarankan untuk mengganti model hingga diperoleh probabilitas yang signifikan. Hal yang sama dilakukan jika nilai probabilitas lack of fit-nya kurang
dari nilai α 5 atau signifikan.
Seperti yang disebutkan di awal bahwa pada tahap optimasi proses peneliti menggunakan central composite design
CCD. CCD dipilih karena memiliki rotatability atau pada semua titik x yang berada pada jarak yang sama dari titik tengah desain akan memiliki nilai yx yang sama. Hal
ini penting karena tujuan dari RSM adalah untuk optimasi dan lokasi yang optimal tidak diketahui sehingga dibutuhkan suatu desain yang menyediakan presisi perkiraan yang tinggi di semua arah.
CCD rotatable dengan adanya α. Nilai α tergantung dari jumlah titik pada bagian faktorial
desainnya. Pada umumnya, α= n
f 14
dimana n
f
adalah jumlah titik uji yang digunakan pada bagian faktorial desain. Namun, jika jumlah faktor hanya dua maka nilai
α= √k dimana k adalah jumlah faktor sehingga nilai
α= 1.4142. Nilai α ini akan mempengaruhi pada titik uji yang akan diuji. Titik uji yang disarankan diambil berdasarkan titik-titik pada Gambar 5. Nilai +1 merupakan nilai
maksimum batasan uji yang ditentukan untuk masing-masing faktor x
1
dan x
2
. Nilai α pada Gambar
5 diperoleh dari persamaan dibawah ini. Sama seperti pada mixture design, titik-titik uji yang terpilih pada CCD merupakan titik uji yang dianggap akan menghasilkan permukaan respon yang tepat untuk
mendapatkan titik optimum. Data respon yang diperoleh dimodelkan oleh model matematika yang sesuai. CCD memiliki beberapa model yaitu mean, linear, 2FI, quadratic, dan cubic aliased.
Kriteria pemilihan model respon sama seperti pada mixture design. α=
nilai +1 – nilai -1 2
1.4142 + 1
Gambar 5. Titik uji central composite design CCD Montgomery 2001 Setelah dihasilkan model yang tepat maka langkah selanjutnya adalah optimasi untuk
mendapatkan titik optimum baik parameter proses atau formula. Penentuan titik optimum dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang diinginkan. Contoh kriteria yang ditetapkan pada penelitian ini
ditunjukkan pada Tabel 13. Pada tabel tersebut, komponen atau respon yang diminimize berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk mendekati jumlah terkecil atau batas bawah. Komponen atau
14 respon yang dimaximize berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk mendekati jumlah tertinggi
atau batas atas. Komponen atau respon yang in range berarti saat dioptimasi jumlahnya diarahkan untuk berada di daerah antara batas atas dan batas bawah. Importance berarti seberapa penting
komponen atau respon tersebut untuk dioptimasi dibandingkan komponen atau respon lainnya. Semakin tinggi nilai importance mendekati 5 semakin penting komponen atau respon tersebut.
Kriteria-kriteria tersebut akan menentukan titik optimum dengan nilai desirability tertentu. Desirability
menunjukkan seberapa terpenuhi keinginan yang ditunjukkan pada kriteria oleh titik optimum. Semakin tinggi nilai desirability mendekati nilai 1 semakin terpenuhi kriteria yang
ditetapkan. Titik optimum yang baik memiliki nilai desirability yang tinggi.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. BAHAN DAN ALAT