Interpretasi Tutupan Lahan Eksisting dengan Klasifikasi Citra Terbimbing

masing-masing desa, namun diperlukan juga data aktifitas, rutinitas, dan kegiatan masing-maasing lembaga. Dinamika kelembagaan dalam penelitian ini hanya digunakan sebagai informasi tambahan dan pendukung data guna menentukan kelembagaan pertanian yang efektif. Namun demikian, dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa data kelembagaan lainnya yang telah dikumpulkan saat survei lapang kedua, namun data tersebut menunjukkan kelembagaan pada saat belum terjadi pemekaran wilayah desa tahun 2007, masih berjumlah 7 tujuh desa, sehingga data ini tidak diikutsertakan dalam penentuan dinamika kelembagaan. Jenis kelembagaan tersebut antara lain : jumlah kelompok gotong royong arisan, kerja bakti, lansia, keagamaan dan sebagainya, jumlah kelompok PKK, Dasa Wisma, dan lain sebagainya. Penilaian dinamika kelembagaan desa ini dilakukan dengan cara indexs kelembagaan.Langkah pertama adalah menormalisasikan data jumlah kelembagaan sehingga diperoleh data baru yang berupa besaran indexs, dan apabila dijumlahkan nilainya 1,00. Hal ini dilakukan untuk semua jenis data, dengan asumsi setiap jenis kelembagaan memiliki tingkat kepentingan yang sama. Berdasarkan data tersebut dibuat skala kriteria dinamika kelembagaan Tabel 3 sehingga diperoleh satuan dinamika kelembagaan berupa: dinamis, sedang, dan kurang dinamis. Hasil analisis dinamika kelembagaan di tingkat desa selengkapnya disajikan pada Tabel 25. Berdasarkan penilaian sederhana ini diketahui desa yang memiliki kelembagaan yang dinamis adalah Desa Sumber Agung, Batanghari, dan Gedung Jaya, sedangkan yang tergolong sedang adalah di Desa Andalas Cermin, Duta Yoso Mulyo, dan Rawa Ragil. Sementara itu, kondisi kelembagaan yang tergolong kurang dinamis adalah di Desa Panggung Mulyo, Bumi Sari dan Mulyo Dadi. Kondisi kelembagaan yang kurang dinamis ini disebabkan karena desa tersebut merupakan desa pemekaran, sehingga aktifitas kelembagaan sebagian masih menginduk di desa utama sebelum pemekaran.

5.4.2. Kelembagaan Pemasaran Komoditas Unggulan

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan kawasan adalah interaksi wilayah, baik di dalam kawasan maupun antar wilayah di luar kawasan. Interaksi wilayah ini salah satunya didorong melalui perdagangan, baik berupa pemasaran barang dan jasa yang dihasilkan di dalam kawasan, maupun diambil dari luar kawasan untuk dipasarkan ke dalam maupun luar kawasan, sehingga diperoleh manfaat dari perdagangan berupa pendapatan income. Penelitian ini dikhususkan untuk membahas pemasaran hasil komoditas unggulan. Terkait perekonomian kawasan diketahui bahwa kawasan Rawa Pitu, memiliki 4 empat pintu utama keluar masuknya barang. Arah barat, melalui Penawar Aji dengan moda transportasi darat yang juga merupakan pintu masuk utama keluar masuknya barang, barang-barang masuk dari Unit II, Menggala, Bandar Lampung, Metro, Liwa, Palembang, OKI Sumatera Selatan dan desa- desa sekitar yang berada di bagian barat. Sebelah utara, melalui Simpang Mesir dengan moda transportasi darat dan air, keluar-masuknya barang dari Unit II, Menggala, Bandar Lampung, Metro, Liwa, Palembang, OKI Sumatera Selatan dan desa-desa sekitar yang berada di Utara. Arah timur, yaitu dengan moda transportasi air, barang masuk melalui dermaga di Rawa Ragil melewati saluran primer langsung ke pasar Rawa Ragil. Melalui pintu ini, barang keluar masuk dari Rawajitu dan desa-desa sekitar di wilayah timur. Pintu ini juga merupakan pintu masuk utama, terutama untuk komoditas dengan volume besar dan berat seperti beras, kelapa sawit dan lain-lain yang akan dibongkar di Rawa Ipil Kec Rawajitu. Disebabkan karena jalur inilah, sejauh ini beras dari Rawa Pitu lebih dikenal sebagai beras “Rawajitu”. Arah selatan, melalui Gedong Meneng dengan moda transportasi air yang kemudian dilanjutkan dengan darat, disini keluar masuk barang dari Unit II, Menggala, Bandar Lampung, Metro, Jakarta, dan desa- desa sekitar. Salah satu indikator ekonomi lokal adalah pasar. Berdasarkan hasil observasi lapang diketahui terdapat 6 enam pasar utama, yaitu pasar yang terdapat di desa Batanghari, Sumber Agung, Andalas Cermin, Duto Yoso Mulyo, Gedung Jaya dan Rawa Ragil. Dari keenam pasar tersebut terdapat 2 dua pasar yang paling besar yaitu pasar Batanghari dan pasar Rawa Ragil. Pasar Batanghari, terdapat pedagang menetap sebanyak 57 pedagang dan pedagang tidak menetap sebanyak 360 pedagang. Sebagian besar pedagang merupakan penduduk desa Batanghari dan desa sekitar, serta sebagian yang lain adalah pedagang dari Gedong Aji dan Penawar Aji. Barang kebutuhan primer beras, ikan, ikan asin, telur, tempe dan daging ayam berasal dari desa Batanghari dan desa-desa sekitar. Pakaian didatangkan dari Unit II, Metro, Tanjungkarang, dan Jakarta. Gula, garam,dan beberapa barang lain biasanya didatangkan dari Unit II. Barang-barang kelontong sabun, barang kebutuhan sekunder, dan barang tertier lainnya didatangkan dari Unit II, Metro dan Bandarlampung. Selain di Batanghari, pasar yang juga cukup besar dan cukup penting karena berada di pintu kawasan Rawa Pitu sebelah timur adalah Pasar Rawa Ragil. Di pasar ini, terdapat 45 pedagang tetap yang membuka tokonya setiap hari dan 280 pedagang tidak tetap yang hanya buka pada hari Rabu dan Minggu. Pedagang di pasar ini banyak yang berasal dari Kecamatan Rawajitu. Di kawasan transmigrasi Rawa Pitu diidentifikasi terdapat beberapa jalur pemasaran utama terhadap hasil produksi petani diantaranya: 1. Produksi padi : Petani – Pedagang Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II Rawa Ipil – Konsumen Bandar LampungJakartaSerang. 2. Produksi jagung : Petani – Pedagang Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II Unit II – Konsumen Bandar Lampung 3. Produksi kelapa sawit : Petani – Pedagang Pengumpul I Unit IX Kec. Penawar Tama – Pabrik di Mesuji Kecamatan Tanjung Raya. 4. Produksi karet : Petani – Pedagang Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II Kec. Penawar Aji – Pabrik di Palembang Sumatera Selatan.

5.4.3. Kelembagaan Pertanian sesuai Persepsi Masyarakat

Menentukan kelembagaan pertanian yang diinginkan oleh masyarakat dapat didekati melalui Analytic Hierarchy Process AHP. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam kelembagaan pertanian tersebut dipandang perlu untuk memberikan pendapatnya. Responden dalam analisis ini berasal dari stakeholder pemerintahan kecamatan, kelompok tani dan petani. Salah satu tahapan pengambilan data yang telah dilakukan adalah indepth interview dan pengisian kuisioner AHP. Responden pemgisian AHP sebanyak 5 lima orang., yaitu: Camat Rawa Pitu, Sekertaris Camat, Ketua Gabungan Kelompok Tani Gapoktan, Pendamping Gapoktan dan Petani, Setelah dilakukan pengolahan data diperoleh hasil analitical hierarchy process seperti disajikan pada Gambar 21. Tabel 25. Dinamika Kelembagaan Berdasarkan Jumlah Kelembagaan di Lokasi Penelitian No Desa Jumlah Skala Dinamika Kelembagaan 1 Sumber Agung 0,91 Dinamis 2 Batanghari 0,72 Dinamis 3 Gedung Jaya 0,83 Dinamis 4 Andalas Cermin 0,67 Sedang 5 Duta Yoso Mulyo 0,58 Sedang 6 Rawa Ragil 0,68 Sedang 7 Panggung Mulyo 0,20 Kurang Dinamis 8 Bumi Sari 0,22 Kurang Dinamis 9 Mulyo Dadi 0,19 Kurang Dinamis Jumlah 5,00 Sumber : Hasil Analsis, 2010 Uraian masing-masing level dari hasil analisis AHP Gambar 21 diketahui bahwa menurut responden, idealnya kelembagaan yang dibentuk seharusnya memiliki tujuan untuk kemandirian petani. Hal ini disebabkan karena masih tergantungnya petani setempat terhadap pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pertanian setempat terkait dengan bantuan pupuk, benih dan pinjaman modal yang diberikan berkala. Selain itu, masih banyaknya petani meminjam modal kepada bank keliling pada saat awal tanam, dan nantinya dikembalikan ketika panen. Namun demikian, hal ini tidak menyelesaikan masalah, karena kadang-kadang apabila tanaman kurang baik atau terserang hama petani merugi, bukannya untung tetapi malah rugi dengan tanggungan hutang yang terus bertambah bunganya. Kondisi inilah yang menyebabkan petani memilih kemandirian petani sebagai tujuan kelembagaan yang dibentuknya. Faktor kelembagaan banyak dipilih oleh responden dibandingkan dengan faktor sosial-ekonomi dan sumberdaya fisik dan lingkungan. Isu permasalahan lingkungan masih belum banyak terjadi di kawasan ini, sementara itu, masyarakat masih konsen terhadap perbaikan kesejahteraan hidup melalui kelembagaan yang memiliki profit dan manfaat ekonomi. Kelembagaan pertanian masih dirasa masyarakat penting untuk dikembangkan. Kriteria kelembagaan tersebut menurut responden adalah berupa kelembagaan investasi. Namun demikian, iklim investasi dirasa masih kurang tepat, karena kondisi perekonomian masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menerima investor dari luar kawasan. Selain itu, kesejahteraan masyarakat pada umumnya juga belum baik, sehingga dikhawatirkan apabila iklim investasi membaik dapat menyebabkan kesejahteraan masyarakat semakin menurun karena kalah bersaing dengan investor dari luar. Oleh karena itu, kelembagaan investasi mungkin kurang tepat untuk saat ini, dan masih memungkinkan untuk dikembangkan dimasa mendatang. Gambar 21. Diagram Hasil Analytic Hierarchy Process Kelembagaan Pertanian yang diinginkan oleh masyarakat Strategi pengembangan kelembagaan efektif yang tepat menurut responden adalah melalui pelatihan. Hal ini dirasakan masyarakat lebih bermanfaat dibandingkan dengan pendampingan, studi banding, maupun sekolah lapang. Strategi-strategi ini seluruhnya sudah pernah ada di lokasi penelitian, namun tidak semua petani ikut merasakan. Sebab apabila studi banding atau sejenisnya, hanya 1 atau 2 petani saja yang merasakan, namun dengan pelatihan jumlah petani yang berpartisipasi akan lebih banyak, sehingga masing-masing dapat segera menerapkan ilmu dari pelatihan tersebut. Pelatihan dirasa lebih baik dibandingkan dengan strategi lainnya. Aktor yang dirasa paling berpengaruh terhadap pengembangan kelembagaan petani menurut responden adalah pemerintah daerah. LSM maupun swasta dapat menunjang program-program yang telah dibuat oleh pemerintah. Di lokasi penelitian, kegiatan maupun program-program yang di inisiasi oleh LSM maupun swasta masih sedikit, sehingga sampai saat ini petani masih mengharapkan sepenuhnya dari pemerintah daearah. Oleh karena itulah, pemerintah daerah dianggap paling penting dalam pengembangan kelembagaan pertanian. Secara keseluruhan, perkalian masing-masing level diperoleh 144 seratus empat puluh empat kombinasi. Urutan hasil beberapa perkalian masing-masing level disajikan pada Tabel 26. Data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 20. Perkalian masing-masing level, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : Xi = X x X 1 x X 2 x X 3 x X 4 x X 5 Keterangan : Xi = Kelembagaan pertanian menurut masyarakat; X = Fokus; X 1 = Tujuan; X 2 = Faktor; X 3 = Kriteria; X 4 = Strategi; X 5 = Aktor Tabel 26. Sepuluh Nilai Kombinasi Indexs Tertinggi No Tujuan Faktor Kriteria Strategi Aktor Skor Urutan 1 Kemandirian Petani Kelembagaan Investasi Pelatihan PEMDA 0,079 1 2 Kemandirian Petani Kelembagaan Investasi Pendampingan PEMDA 0,071 2 3 Kemandirian Petani Sosial Ekonomi Ekonomi Pelatihan PEMDA 0,046 3 4 Kemandirian Petani Sosial Ekonomi Ekonomi Pendampingan PEMDA 0,041 4 5 Kemandirian Petani Kelembagaan Investasi Studi Banding PEMDA 0,037 5 6 Kemandirian Petani Kelembagaan Investasi Pelatihan LSM 0,026 6 7 Kemandirian Petani Kelembagaan Investasi Sekolah Lapang PEMDA 0,026 7 8 Kemandirian Petani Kelembagaan Investasi Pendampingan LSM 0,024 8 9 Produktifitas Pertanian Kelembagaan Investasi Pelatihan PEMDA 0,024 9 10 Kemandirian Petani Kelembagaan Usaha Bersama Pelatihan PEMDA 0,024 10 … dan seterusnya … Sumber : Hasil Analisis, 2010 Berdasarkan analisis, masing-masing parameter memiliki nilai tertentu. Nilai ini berarti bahwa dari faktor-faktor yang berpengaruh dalam model kelembagaan pertanian, adalah bertujuan untuk kemandirian petani 0,77, faktornya berupa kelembagaan 0,56, dengan kriteria investasi 0,43. Strategi yang sesuai menurut masyarakat adalah melalui pelatihan 0,37 dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah 0,64. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa model kelembagaan pertanian yang efektif adalah model kelembagaan pertanian yang bertujuan untuk kemandirian petani, melalui pelatihan, berbentuk kelembagaan investasi dan didampingi oleh pemerintah daerah.

5.4.4. Model Kelembagaan Pertanian yang Efektif

Penentuan model kelembagaan pertanian yang efektif diperoleh dari sintesis hasil analisis dinamika kelembagaan dan hasil analisis AHP. Berdasarkan hasil analisis dinamika kelembagaan diperoleh dinamika kelembagaan berupa: dinamis, sedang dan kurang dinamis. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan yang diinginkan masyarakat adalah kelembagaan pertanian berupa pelatihan yang bertujuan untuk memandirikan petani, dilakukan oleh PEMDA melalui penguatan kelembagaan investasi lokal. Desa Sumber Agung, Batanghari dan Gedung Jaya merupakan desa-desa yang termasuk dinamis berdasarkan jumlah kelembagaannya. Selain itu, berdasarkan observasi dilapangan, ketiga desa ini relatif lebih banyak aktifitas pemuda maupun kelembagaan lainnya dibandingkan desa lainnya. Aktifitas tersebut antara lain, kegiatan arisan, gotong royong pada saat tertentu, maupun kelompok tani. Ke depan diharapkan dapat lebih ditingkatkan aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan pertanian dan pengembangan teknologi pra maupun pasca panen. Modal dasar kelembagaan yang dinamis, disertai dengan dukungan penuh dari Pemerintah Daerah melalui pelatihan-pelatihan yang bermanfaat sesuai kebutuhan petani, maka diharapkan dapat menjadi percontohan bagi desa-desa disekitarnya. Peran pemda dalam berbagai aktifitas kelembagaan di desa-desa ini sedikit berkurang. Sementara itu, Desa Andalas Cermin, Duta Yoso Mulyo, dan Rawa Ragil merupakan desa dengan tingkat dinamisasi kelembagaan yang sedang. Oleh