KESIMPULAN DAN SARAN Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Di Klinik PPTI/Jakarta Respiratory Center (JRC), Tahun 2009

xix DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Teori Perilaku L.Green 1980 dalam Notoatmodjo 2007 …….. 38 Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ………………………………….. 40 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 surat permohonan izin uji coba kuesioner di PPTI Baladewa Lampiran 2 Kuesioner Lampiran 3 Hasil analisa univariat dan bivariat xx DAFTAR SINGKATANISTILAH Accessibility : ketercapaian Airbone : melalui udara AIDS : Aquiring Imuno Defisiensi Syndrom Behavior causes : faktor perilaku Belief : kepercayaan Bronkiektasis : pelebaran bronkus setempat BTA : Basil Tahan Asam Compliance : kepatuhan Depkes : Departemen Kesehatan DOTS : Directly Observed Treatment Short Course Dormant : tertidur lama DO : drop out Droplet : percikan dahak Hemoptisis : perdarahan dari saluran napas bawah HIV : Human Imunodefisiensi Virus Ignorance : ketidaktahuan Informed consent : persetujuan IUALTD : International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease JRC : Jakarta Respiratory Centre KDT : Kombinasi Dosis Tetap MDGs : Millenium Development Goals MDR : Multi Drug Resisten Miss Conseption : salah duga Nonbehavior causes : faktor di luar perilaku OAT : obat anti TB PAS : Para Amino Acid P2MPL : Pembarantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan P2PL : Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pneumotorak : adanya udara di dalam rongga pleura PMO : Pengawas Menelan Obat xxi Poverty : kemiskinan PPTI : Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia TBCTB : tuberculosis UPK : Unit Pelayanan Kesehatan WHO : World Health Organisation XDR : extensively drug resisten

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit TBC adalah penyakit kronis menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World Health Organisation WHO dalam anual report on global TB control tahun 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap TBC. Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TBC membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40 dari kasus TBC di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. TBC juga menjadi pembunuh nomor satu di kawasan ini, dimana jumlahnya dua sampai tiga kali jumlah kematian yang disebabkan oleh HIVAIDS yang berada di peringkat kedua. Sedangkan di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Data WHO 2008 menunjukkan bahwa jumlah penderita TBC di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China. Jumlah pasien sekitar 500.000 orang per tahun dengan kematian sekitar 175.000 orang per tahun, khususnya daerah pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman Depkes RI, 2005. Data Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan P2PL selama tahun 2008, penderita TBC di Indonesia berjumlah 281.910 orang. Profil Kesehatan RI pada tahun 2008, menunjukan angka insiden kasus baru BTA positif per 100.000 penduduk di Indonesia menunjukan kecenderungan mengalami penurunan selama kurun waktu 2000 −2006. Pada tahun 2006, angka insiden sebesar 104 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus menular TB sepanjang tahun 2007 diperkirakan sebesar 232.358 kasus Profil Kesehatan RI, 2008. Pasien TB sekitar 75 adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomi 15 sampai 50 tahun. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30 Depkes RI, 2008. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainya secara sosial, stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat Depkes RI, 2007. Pada awal tahun 1990an WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease IUALTD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Short Course DOTS dengan tujuan menemukan dan menyembuhkan pasien, terutama pasien tipe menular Depkes RI, 2008. Di Indonesia menurut Riskesdas provinsi DKI Jakarta 2008, penyakit ini termasuk salah satu prioritas nasional untuk program pengendalian penyakit karena berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi, serta menimbulkan kematian. Milleniun Development Goals MDGs dalam Profil Kesehatan 2008 juga menjadikan penyakit TB paru sebagai salah satu penyakit yang menjadi target untuk diturunkan. Penanggulangan TBC di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas Depkes RI, 2008. Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru dilakukan dengan pendekatan DOTS atau pengobatan TB Paru dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat PMO. Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak di sarana kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan Profil Kesehatan RI, 2008. Sejak tahun 1995, Indonesia mulai melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO Depkes RI, 2008. Program penanggulangan TBC dengan strategi DOTS secara operasional telah dilaksanakan dan pencapaian angka indikator-indikator program dari tahun ke tahun terus menunjukkan trend yang meningkat Fahrudda, 2008. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya dijumpai permasalahan utama yaitu adanya kegagalan pengobatan penderita dan masih rendahnya penemuan penderita TBC baru Fahrudda, 2008. Masih belum tingginya cakupan pengobatan TBC atau masih rendahnya penemuan penderita adalah karena masih kurangnya jejaring pengobatan atau kerja sama di sektor kesehatan sendiri khususnya pemberi pelayanan kesehatan atau unit pelayanan kesehatan UPK. Selain itu masih kurangnya sosialisasi program pada masyarakat Fahrudda, 2008. Salah satu penyebab utama ketidakberhasilan pengobatan adalah karena ketidakpatuhan berobat penderita masih tinggi. Oleh karena itu, masalah kepatuhan pasien dalam menyelesaikan program pengobatan merupakan prioritas paling penting Murtiwi, 2006. Ketidakmampuan pasien menyelesaikan regimen self-administered, akan menyebabkan terjadinya kegagalan pengobatan, kemungkinan kambuh penyakitnya, resisten terhadap obat, dan akan terus-menerus mentransmisikan infeksi Vijay, Balasangameswara, Jagannatha, Saroja, dan Kumar, 2003, Murtiwi, 2006. Ketidateraturan minum obat terutama sebagai akibat dari peran pengawas minum obat PMO yang kurang efektif, disamping penyebab lainnya misalnya timbulnya efek samping, menderita penyakit penyerta, kerterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan yang sulit, tingkat pengetahuan penderita yang masih kurang sehingga kurang memahami pentingnya berobat secara teratur dan sikap petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan Ansarul, 2008. Selain itu menurut penelitian Susanti 2008 disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap, dan motivasi berhubungan dengan keteraturan berobat. Faktor penunjang kelangsungan berobat adalah pengetahuan penderita mengenal bahaya penyakit TB paru yang gampang menular ke sisi rumah, terutama pada anak, motivasi keluarga baik saran dan perilaku keluarga kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatannya dan penjelasan petugas kesehatan kalau pengobatan gagal akan diobati dari awal lagi. Oleh karena itu pemahaman dan pengetahuan penderita memegang peranan penting dalam keberhasilan pengobatan TB paru Ainur, 2008, Susanti, 2008.