Analisis Kandungan Klorofil-a dan Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus) di Perairan Pangandaran Jawa Barat

(1)

PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

BOY HERMAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

ANALISIS KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN HASIL TANGKAPAN IKAN BAWAL PUTIH (Pampus argenteus) DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2010 Boy Herman


(3)

BOY HERMAN. Analisis Kandungan Klorofil-a dan Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus) di Perairan Pangandaran Jawa Barat. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON

Keberadaan ikan bawal putih dapat diduga dengan mengetahui tingkat kesuburan perairan. Kesuburan perairan dapat diindikasikan oleh konsentrasi klorofil-a, karena konsentrasi klorofil-a menunjukkan kelimpahan fitoplankton sebagai produsen primer di perairan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran spasial klorofil-a, menentukan hubungan antara kandungan klorofil-a dengan hasil tangkapan bawal putih dan menentukan daerah penangkapan ikan bawal putih yang potensial di perairan Pangandaran. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan proses pengumpulan data CPUE dan penyebaran daerah penangkapan ikan dari perairan Pangandaran. Tahap kedua merupakan proses pengumpulan citra klorofil-a dari satelit dengan cara mendownload dari internet (http//oceancolor.gsfc.nasa.gov). Kandungan klorofil-a pklorofil-adklorofil-a bulklorofil-an Oktober 2008 relklorofil-atif lebih tinggi dibklorofil-andingkklorofil-an bulklorofil-an November 2008. Pada bulan Oktober 2008, kandungan klorofil-a berkisar 0,770 – 4,000 mg/m3, dengan rata-rata 2,633 mg/m3 . Pada bulan November 2008, kandungan klorofil-a berkisar 0,313 – 3,534 mg/m3 dengan rata-rata 0,843 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a di daerah pantai lebih tinggi dan lebih bervariasi daripada perairan yang lebih jauh dari pantai. Kandungan klorofil-a tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan bawal putih. Indikator kandungan klorofil-a belum dapat digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan bawal putih yang potensial di perairan Pangandaran. Kriteria daerah penangkapan ikan bawal putih potensial adalah memiliki jumlah hasil tangkapan lebih dari sama dengan 9 kg/unit/trip, dan ukuran ikan bawal putih layak tangkap yaitu 20 cm (www.wikipedia.org). Dari kriteria di atas yang termasuk daerah penangkapan ikan bawal putih potensial di perairan Pangandaran adalah Tembang Badeto yang terletak sekitar 7046’ LS - 108040’ BT.


(4)

PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

BOY HERMAN C54104053

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010


(5)

Nama : Boy Herman NRP : C54104053

Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Disetujui: Pembimbing

Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si. NIP : 19650704 199002 1 001

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr.Ir Budy Wiryawan, M.Sc. Nip: 19621223 198703 1 001


(6)

Sarjana Perikanan pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah ” Analisis Kandungan Klorofil-a dan Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus) di Perairan Pangandaran Jawa Barat.”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2010 Boy Herman


(7)

Pada kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada :

1. Allah SWT atas rahmat dan kurnianya untuk kita semua, Rasul Muhammad SAW atas contoh dan teladannya;

2. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai komisi pembimbing, atas segala saran dan bimbingannya;

3. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc dan Dr Ir. Mohammad Imron M.Si sebagai penguji tamu;

4. Ayahanda Suherman dan Ibunda Ira Tresnawati, atas segala doa, nasehat, dan dukungannya, adik-adik tercinta Putri dan Fauzi serta kakak tersayang Friska;

5. Dosen-dosen Departemen PSP atas ilmu yang sangat berharga;

6. Bapak Idang, Pak Ade Turiman di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Pangandaran dan semua staf di PPI Pangandaran, serta nelayan Pangandaran atas bantuannya mengumpulkan data;

7. Intan Aprilyani kekasih tersayang yang selalu membantu;

8. Sahabat dan teman-temanku di IPB khususnya Departemen PSP, BKC Kota Bogor, Unicore dan Tianshi yang memberikan dorongan motifasi; dan


(8)

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat ... 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Bawal Putih ... 4

2.2 Unit Penangkapan Ikan ... 5

2.2.1 Kapal / perahu ... 5

2.2.2 Alat tangkap gillnet ... 6

2.2.3 Nelayan ... 7

2.3 Metode Operasi Gillnet ... 7

2.4 Daerah Penangkapan Ikan Bawal Putih ... 8

2.5 Produktivitas Primer dan Klorofil-a ... 9

2.6 Penginderaan Jauh (Remote sensing) ... 13

2.7 Sarana dan Prasarana Penangkapan di Perairan Pangandaran ... 17

2.8 Keadaan Geografis, Letak Topografis dan Luas Wilayah Pangandaran ... 21

III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 24

3.4 Analisis Data ... 25

3.4.1 Analisis klorofil-a ... 25

3.4.2 Analisis data hasil tangkapan ... 26

3.4.3 Analisis hubungan hasil tangkapan dengan klorofil-a ... 26

3.4.4 Penentuan daerah penagkapan ikan (DPI) yang potensial ... 27

IV HASIL PENELITIAN 4.1 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a ... 29

4.2 Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih ... 32

4.3 Hubungan Antara Hasil Tangkapan Bawal Putih dengan Konsentrasi Klorofil-a ... 34


(9)

5.2 Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih dan Sebaran

Konsentrasi Klorofil-a ... 40

5.3 Daerah Penangkapan Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus) ... 41

VI KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

x

Halaman

1 Jumlah hasil tangkapan bawal putih per kedalaman perairan ... 8 2 Jumlah hasil tangkapan bawal putih per jenis sendimen dasar perairan ... 8 3 Jumlah hasil tangkapan bawal putih berdasarkan angka salinitas ... 9 4 Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS ... 16 5 Konsentrasi klorofil-a harian di perairan Pangandaran

(Oktober-November 2008) ... 30 6 Sebaran spasial kandungan klorofil-a di perairan Pangandaran

(Oktober-November 2008)... 31 7 Penentuan DPI bawal putih potensial berdasarkan indikator jumlah dan

ukuran panjang ikan yang tertangkap pada bulan Oktober-November 2008 di perairan Pangandaran ... 36


(11)

xi

Halaman

1 Bawal Putih (Pampus argenteus) ... 5

2 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai produsen primer di laut ... 11

3 Rantai makanan di laut tropis ... 12

4 Sistem penginderaan jauh perikanan dan kelautan ... 14

5 Satelit yang membawa citra MODIS ... 16

6 Beberapa sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran ... 19

7 Peta lokasi penelitian ... 23

8 Fluktuasi rata-rata konsentrasi klorofil-a di Pantai Pangandaran menurut musim tahun 2006-2008 ... 32

9 Rata-rata tangkapan bulanan ikan bawal (Pampus argenteus), tahun 2006-2008 ... 33

10 Rata-rata hasil tangkapan musiman ikan bawal (Pampus argenteus), tahun 2006-2008 ... 33

11 Keterkaitan antara konsentrasi klorofil-a dan ikan bawal (Pampus argenteus), tahun 2006-2008 ... 34

12 Hubungan klorofil-a dengan CPUE ... 35


(12)

xii

Halaman

1 Panjang gelombang pada masing-masing kanal dan kegunaannya ... 47 2 Langkah-langkah dalam mendownload citra klorofil-a level 3 dari

internet ... 48 3 Langkah-langkah pengolahan citra klorofil-a level 3 dengan

menggunakan software SeaDAS 4.7 ... 50 4 Dasar penentuan jumlah tangkapan ikan bawal putih setiap setting

untuk kategori banyak atau sedikit... 54 5 Gambar citra kandungan klorofil-a di perairan Pangandaran ... 55 6 Konsentrasi klorofil-a menurut musim di perairan Pangandaran ... 58 7 Hasil tangkapan bulanan ikan bawal putih di perairan Pangandaran

(Januari 2006- September 2008) ... 59 8 Jumlah hasil tangkapan bawal putih dan konsentrasi klorofil-a pada

tanggal 9, 14, 18 Oktober dan 12, 17, 18 November 2008 ... 60 9 Jumlah tangkapan dan ukuran rata-rata ikan bawal putih yang

tertangkap pada setiap daerah penangkapan di perairan Pangandaran (Oktober-November 2008) ... 61 10 Ukuran panjang sampel ikan bawal putih yang tertangkap pada setiap

daerah penangkapan di perairan Pangandaran (Oktober-November 2008) ... 63


(13)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kegiatan perikanan di Pangandaran merupakan salah satu sektor kegiatan yang diutamakan dan didukung oleh pemerintah Kabupaten Ciamis. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan visi pembangunan Kabupaten Ciamis yang salah satunya untuk mengedepankan bidang perikanan dan agribisnis dalam rangka pengembangan perekonomiannya (Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis, 2006).

Penatapan visi tersebut cukup beralasan karena Pangandaran merupakan salah satu wilayah teluk di Kabupaten Ciamis yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Perairan Pangandaran merupakan daerah penangkapan ikan yang cukup potensial. Oleh karena itu sebagian besar penduduk Kecamatan Pangandaran berprofesi sebagai nelayan.

Bawal putih (Pampus argenteus) merupakan salah satu produksi tangkapan yang potensial dari perairan Pangandaran. Daging berwarna putih dengan rasa yang enak, sehingga mempunyai nilai ekonomis tinggi. Nilai ekonomis yang tinggi dari ikan bawal putih menjadikan ikan ini menjadi sasaran tangkapan nelayan Pangandaran. Pada bulan Januari 2006 sampai september 2008 hasil tangkapan ikan bawal putih yang didaratkan di PPI Pangandaran mencapai 5,6 % dari total keseluruhan ikan hasil tangkapan yang didaratkan (Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis, 2008). Alat penangkapan ikan bawal putih di daerah perairan Pangandaran adalah gillnet, khususnya bottom gillnet. Alat tangkap gillnet (Bottom dan surface gillnet) di Pangandaran berdasarkan statistik perikanan Kabupaten Ciamis tahun 2006 berjumlah 475 unit.

Nelayan bawal putih di Pangandaran pada umumnya masih menggunakan metode penentuan daerah penangkapan ikan secara tradisional, yaitu berdasarkan pengalaman melaut dan melihat tanda-tanda di laut seperti adanya buih, perubahan warna permukaan air, lompatan ikan, riak kecil dan burung. Upaya ini kurang efisien, karena tingkat ketidakpastian cukup tinggi dan biaya operasional tinggi, serta trip operasi memakan waktu cukup lama.


(14)

Pengetahuan tentang Daerah Penangkapan Ikan (DPI) merupakan faktor yang menentukan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan. Dengan mengetahui DPI maka dengan mudah dapat dilakukan penangkapan, dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang lebih hemat. Banyak faktor yang mempengaruhi keberadan ikan di perairan. Faktor Oseanografi seperti suhu, arus dan gelombang merupakan faktor yang menentukan layak tidaknya daerah tersebut menjadi habitat ikan serta akan mempengaruhi pola migrasi ikan. Parameter oseanografi biologi seperti kandungan produktivitas yang melimpah juga biasanya memiliki peranan penting untuk menarik perhatian ikan untuk datang mencari makan.

Bawal putih termasuk pemakan plankton kasar (avertebrata), sehingga ikan ini harus mencari tempat yang terdapat banyak plankton. Kelimpahan plankton menentukan besarnya produktivitas perairan yang selanjutnya mempengaruhi penyebaran ikan bawal putih. Produktivitas primer dapat ditentukan dengan menghitung kandungan klorofil-a.

Klorofil-a merupakan pigmen yang dominan ada pada perairan dan terdapat pada semua organisme plankton khususnya fitoplankton. Kadar klorofil-a sering digunakan sebagai indikator produktivitas primer dalam suatu perairan (Setyobudiandi, 1996).

Saat ini satelit telah banyak digunakan untuk mendeteksi kondisi lingkungan laut, termasuk produktivitas primer melalui perhitungan kandungan klorofil-a yang terdapat di perairan. Dengan informasi tersebut, maka keberadaan daerah penangkapan dapat diprediksi, yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang sebaran kandungan klorofil-a yang menjadi indikator produktivitas primer perairan, serta untuk mengetahui sejauh mana kandungan klorofil-a berpengaruh terhadap keberadaan ikan bawal putih. Jika kandungan klorofil-a cukup berpengaruh terhadap keberadaan bawal putih, maka daerah penangkapan dapat diprediksi yang akhirnya dapat meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan.


(15)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menentukan sebaran spasial klorofil-a di perairan Pangandaran;

2) Menentukan hubungan antara kandungan klorofil-a dengan hasil tangkapan bawal putih di perairan Pangandaran; dan

3) Menentukan daerah penangkapan ikan bawal putih yang potensial di perairan Pangandaran.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1) Pelaku usaha perikanan tangkap sebagai informasi awal dalam penentuan daerah penangkapan ikan bawal putih yang potensial di perairan Pangandaran; dan

2) Penelitian selanjutnya, terkait dengan informasi sebaran kandungan klorofil-a di perairan Pangandaran.


(16)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Bawal Putih

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1998), genus Pampus memiliki badan sangat lebar, seperti belah ketupat, gepeng. Pada ikan dewasa tidak ditemukan sirip perut. Ada 5 – 10 duri lepas yang berada di depan jari-jari sirip punggung. Duri tersebut seperti mata pisau kecil, di bagian depan dan belakang duri berbentuk runcing. Sirip punggung berjari-jari lemah 38 – 43 buah, sedangkan di sirip dubur terdapat jari-jari lemah 38 – 43 buah. Sirip ekor bercagak agak kuat dengan lembaran bawah lebih panjang. Menurut Saanin (1984), bawal Putih (Pampus argenteus) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Sub kingdom : Metazoa Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Sub cordo : Stromatidea Famili : Stomateidae

Genus : Pampus

Spesies : Pampus argenteus

Nontji (1993) menyatakan bahwa bawal putih mempunyai warna keperak – perakan, memiliki sirip dada yang tidak runcing ujungnya dan sirip dubur lebih panjang dari pada sirip punggung. Bawal putih sering dijumpai di muara - muara sungai. Makanan bawal putih adalah zooplankton seperti udang rebon. Pola makan ikan bawal adalah bergerombol bersama kelompoknya (Euphrasen, 1788). Morfologi bawal putih seperti tampak dalam Gambar 1.


(17)

Gambar 1 Bawal putih (Pampus argenteus).

Sumber : http://www.seasite.niu.edu/indonesian/themes/animals/sea/b_putih.htm Jenis Pampus argenteus menempati perairan pantai, perairan payau, dan dapat hidup di perairan tawar. (Beaufort dan Chapman vide Burhanudin et al, 1986). Herianti dan Parwati (1987) menyatakan bahwa bawal putih termasuk ikan dasar yang cenderung berada di kedalaman antara 15 – 25 m.

2.2 Unit Penangkap Ikan 2.2.1 Kapal / perahu

Kapal perikanan merupakan kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan seperti dalam aktivitas penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya perikanan, pengelolaan usaha budidaya, serta penggunaan dalam beberapa aktivitas riset, trainning dan inspeksi sumberdaya perairan (Nomura dan Yamazaki, 1977).

Menurut Fyson (1985), kapal ikan adalah kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan yang dilihat dari segi ukuran, perlengkapan dek, kapasitas muatan, akomodasi, mesin dan perlengkapannya yang fungsinya berhubungan dengan aktivitas penangkapan ikan.


(18)

Nomura dan Yamazaki (1977) menyatakan bahwa syarat-syarat umum kapal ikan untuk operasi penangkapan ikan adalah :

1) Kekuatan struktur badan kapal;

2) Menunjang keberhasilan operasi pengkapan ikan; 3) Mempunyai stabilitas yang tinggi; dan

4) Fasilitas yang lengkap untuk penyimpanan ikan hasil tangkapan.

Kapal gillnet dirancang agar memiliki lambung cukup besar untuk mempermudah penyimpanan dan penanganan alat tangkap dan hasil tangkapan. Kapal gillnet tidak boleh terlalu tinggi, sehingga mempermudah proses penarikan jaring dan tidak mengurangi kestabilan kapal (Nugraha, 2004).

Perahu yang digunakan pada unit penangkapan gillnet umumnya perahu katir atau jukung. Perahu atau kapal gillnet terbuat dari kayu dan dilengkapi mesin tempel / outboard engine (Nurhaeti, 2002).

2.2.2 Alat tangkap gillnet

Menurut Ayodhyoa (1981), gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya.

Subani dan Barus (1989) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jaring insang (gillnet) adalah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung pada tali ris atas dan pemberat pada tali ris bawah. Kadang-kadang tanpa tali ris bawah.

Pelampung dipasang pada lembaran jaring bagian atas, di bagian bawah dipasang pemberat (sinker). Dengan menggunakan dua gaya yang berlawanan arah, yaitu buoyancy dari pelampung yang bergerak menuju ke atas dan sinking force dari pemberat ditambah berat jaring di dalam air yang bergerak menuju ke bawah, maka jaring terentang. Perimbangan dua gaya inilah yang akan menentukan rentangan tersebut (Ayodhyoa, 1981).

Gillnet termasuk alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan cara menunggu ikan terjerat atau terpuntal jaring di perairan. Pengoperasian gillnet di perairan dilakukan dengan cara dipasang melintang terhadap arus dengan tujuan untuk menghadang ikan. Dengan penghadangan ini diharapkan ikan akan


(19)

menabrak jaring atau terjerat di bagian insangnya pada mata jaring (gilled), ataupun terbelit-belit (entangled) pada tubuh jaring (Ayodhyoa, 1981).

Alat penangkap bawal putih yang umum digunakan nelayan di perairan Pangandaran adalah gillnet atau dikenal dengan nama jaring insang (Dinas Perikanan Ciamis, 2006).

2.2.3 Nelayan

Nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya. Orang yang hanya melakukan pekerjaan membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu / kapal tidak termasuk dalam kategori nelayan (Monintja, 1989).

Jumlah nelayan dalam satu Unit Penangkapan gillnet antara 2-3 orang, satu juru mudi dan dua ponggawa. Juru mudi bertugas mengemudikan perahu dan menentukan daerah penangkapan ikan, nelayan lain bertugas merapikan dan menyiapkan jaring untuk setting dan hauling (Nurhaeti, 2002).

2.3 Metode Operasi Gillnet

Gillnet biasanya dipasang melintang terhadap arus dengan tujuan menghadang ikan. Bottom gillnet dioperasikan di dasar perairan untuk menangkap ikan damersal, surface gillnet untuk dioperasikan di permukaan untuk menangkap ikan pelagis, midwater gillnet untuk dioperasikan di kolom perairan untuk menangkap ikan pelagis (Martasuganda, 2002).

Pengoperasian gillnet biasanya dimulai pada pukul 03.00-10.00 pagi yaitu dilakukan sehari one day fishing. Tahap operasi gillnet yaitu persiapan, pemasangan jaring (setting) dan penarikan (hauling) (Nurhaeti, 2002).

Menurut Nurhaeti (2002) tahap persiapan pada pengoperasian gillnet, yaitu penyediaan perbekalan, bahan bakar, mesin dan jaring, setelah itu nelayan membawa unit penangkapan ikan dari fishing base ke fishing ground. Tahap selanjutnya yaitu pemasangan dan penebaran jaring. Penebaran dimulai dengan penurunan pelampung tanda pertama dan tali selambar belakang yang terhubung langsung dengan badan jaring. Selanjutnya melemparkan jangkar dan tali pemberat utama yang menghubungkan jangkar dan badan jaring, kemudian badan


(20)

jaring diturunkan sampai akhir menurunkan pelampung tanda yang kedua. Setelah seluruh rangkaian jaring diturunkan, selanjutnya jaring direndam 1-2 jam. Tahap akhir adalah penarikan keseluruhan alat tangkap ke kapal. Hasil tangkapan dinaikkan ke atas kapal kemudian dilepas dari jaring dan dimasukkan ke dalam wadah berisi es.

2.4 Daerah Penangkapan Ikan Bawal Putih

Ade dan Bathia vide Burhanuddin et al. (1986) menyatakan bahwa jenis bawal putih hidup di perairan yang keadaan dasarnya terdiri dari lumpur atau berlumpur sampai kedalaman 100 m.

Kuthalingan vide Burhanuddin et al. (1986) menyatakan bahwa daerah penangkapan Pampus argenteus terdapat pada kedalaman 10-75 m dengan keadaan dasar lumpur berpasir. Daerah yang paling produktif adalah pada kedalaman 10-50 m di muka muara sungai. Widodo vide Burhanuddin et al. (1986) dalam penelitiannya di perairan Laut Jawa mendapatkan hasil tangkapan bawal putih dengan trawl menurut kedalaman, sedimen perairan dan salinitas sebagaimana disajikan pada Tabel 1 Tabel 2 dan Tabel 3. Berdasarkan Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 dapat dilihat bahwa bawal putih banyak tertangkap pada kedalaman 21-40 m dengan dasar perairan berkarang dan salinitas 32 ppt.

Tabel 1 Jumlah hasil tangkapan bawal putih per kedalaman perairan No Kedalaman (m) Hasil tangkapan (%)

1 0 – 20 1 2 21 – 40 0.1 3 41 – 60 0 4 > 60 0.2

Sumber : Widodo vide Burhanuddin et al 1986

Tabel 2 Jumlah hasil tangkapan bawal putih per jenis sendimen dasar perairan No Jenis Sendimen Hasil tangkapan (%)

1 Lumpur 0.3 2 Pasir 0.2 3 Karang 0.4


(21)

Tabel 3 Jumlah hasil tangkapan bawal putih berdasarkan angka salinitas No Salinitas Hasil tangkapan (%)

1 31 0.3 2 32 0.6 3 33 0.2

Sumber : Widodo vide Burhanuddin et al 1986

Daerah penyebaran bawal putih ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia, terutama Laut Jawa, bagian Timur Sumatera, Sulawesi Selatan, Selat Tiworo, Arafuru, dan utara sampai Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan dan Filipina (Direktorat Jenderal Perikanan, 1998).

2.5 Produktivitas Primer dan Klorofil-a

Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa anorganik. Biasanya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis. Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor atau produksi total. Jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan tumbuhan untuk respirasi adalah produksi primer bersih (Nybakken, 1992).

Fitoplankton dikenal sebagai produsen primer yang terpenting dalam ekosistem laut. Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang hidupnya melayang-layang dalam air. Pergerakannya pasif tergantung pada gerakan air (Odum, 1971). Fitoplankton dapat berbentuk sel, koloni atau filamen. Sebagai organisme autotrof, fitoplankton yang dapat menghasilkan makanannya sendiri melalui proses fotosintesis. Fitoplankton memiliki klorofil yang dapat mengkonversi energi radiasi metahari menjadi energi potensial kimia.

Klorofil yang dimiliki oleh semua fitoplankton adalah klorofil-a. Klorofil-a merupKlorofil-akKlorofil-an pigmen yKlorofil-ang pKlorofil-aling umum terdKlorofil-apKlorofil-at pKlorofil-adKlorofil-a fitoplKlorofil-ankton sehinggKlorofil-a konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a. Biomassa fitoplankton didefinisikan sebagai berat dari fitoplankton per unit volume atau luas area. Unit umum yang digunakan adalah mg/m3, g/m2, kg/ha.

Sama halnya dengan tumbuh-tumbuhan hijau yang lain, plankton membuat ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan anorganik yang sederhana


(22)

(Hutabarat dan Evans, 1984). Kadar klorofil-a sering digunakan sebagai indikator produktivitas primer suatu perairan yang dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terkandung dalam satuan luas/volume air laut pada suatu interval waktu (gr/m3/thn), atau dalam satuan-satuan yang lain. Fotosintesis adalah suatu proses permulaan yang penting dimana mereka dapat membuat atau mensintesa glukosa (karbohidrat) dari ikatan-ikatan anorganik karbondioksida (CO2) dan air(H2O). Hal ini menyangkut serangkaian reaksi-reaksi yang dapat disingkat sebagai berikut (Nybakken 1992):

Karbondioksida + air ======ÎGlukosa + Oksigen 6 CO2 + 6 H2O ======Î C6H12O6 + 6 O2

Faktor pembatas dari produktivitas fitoplankton yaitu cahaya dan kadar zat hara. Fotosintesis hanya bisa terjadi bila ada cahaya. Fitoplankton produktif hanya pada lapisan atas dimana intensitas cahaya cukup untuk melangsungkan fotosintesis. Perairan pantai memiliki kadar zat hara yang lebih tinggi dari pada perairan lepas pantai. Hal ini menyebabkan produktifitas primer perairan pantai 10 kali lebih besar dari perairan lepas pantai. Perairan pantai memiliki sejumlah besar unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalm bentuk PO4 dan NO3 melalui run off dari daratan (Nybakken, 1992).

Pada tempat yang jauh dari pantai masih ditemukan konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi, keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain seperti upwelling. Upwelling adalah naiknya massa air laut dari suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Proses upwelling ini adalah suatu proses dimana massa air didorong ke atas dari kedalaman 100-200m. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan kaya akan zat-zat hara ke permukaan (Nontji, 1993).

Selanjutnya Nybakken (1992) mengatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi produksi fitoplankton di lautan adalah turbulensi (percampuran vertikal) air laut dan pemangsaan (grazing) oleh zooplankton. Percampuran vertikal bukan saja menaikkan zat hara mendekati permukaan, tetapi juga mengangkut sel-sel fitoplankton ke bawah menjauhi permukaan air. Bila percampuran berlangsung dengan intensif, sel-sel fitoplankton mungkin akan


(23)

tinggal lebih lama di bawah daerah eufotik. Pemangsaan yang dilakukan oleh zooplankton akan mengurangi jumlah biomassa fitoplankton.

Sebagai produsen terpenting di perairan, fitoplankton merupakan makanan untuk sebagian besar mahluk hidup di perairan. Fitoplankton merupakan makanan dari zooplankton, dan ikan-ikan kecil. Zooplankton merupakan makanan dari crustacea dan ikan-ikan kecil. Crustacea merupakan makanan dari ikan, termasuk bawal putih. Semakin banyak kandungan klorofil-a yang terdapat pada fitoplankton di perairan maka akan semakin mengundang datangnya ikan di perairan tersebut.

Tipe jejaring makanan yang umum terjadi pada ekosistem laut membentuk piramida makanan (food piramid) seperti disajikan pada Gambar 2. Hal ini diakibatkan oleh semakin bergerak ke tingkat lebih tinggi, perpindahan senyawa organik yang terjadi berlangsung tidak efisien. Tingkat efisiensi perpindahan senyawa organik dari satu tingkat ke tingkat di atasnya hanya sekitar 10% saja dan 90% lainnya hilang sebagai panas (Nontji, 2005). Dari 10 unit bahan senyawa organik yang dihasilkan oleh fitoplankton hanya 1 unit bahan senyawa organik yang diserap oleh konsumen pertama (herbivora), dan seterusnya hingga kepada karnivor puncak (top carnivore).

K3

K2

K1

H

PP

PP=Produsen primer berupa fitoplankton, H=Herbivora berupa zooplaknton,

K=Karnivora pertama berupa ikan-ikan kecil, K2=Karnivora kedua berupa ikan ikan yang lebih besar, K3=Karnivor ketiga berupa ikan besar

Gambar 2 Piramida makanan yang dimulai dari fitoplankton sebagai produsen primer di laut (Nontji, 2005).

Lebih dari 90% fitoplankton disusun oleh alga. Fitoplankton laut terutama disusun oleh diatom, dinoflagellata, cocolitophora, dan beberapa flagellata. Organisme fitoplankton memegang peranan penting secara ekologis karena dapat dipakai sebagai pembanding terhadap produktivitas primer terbesar di laut. Fitoplankton dapat menjadi penyedia makanan bagi seluruh konsumen dan menyumbang energi bagi biota bentik di tempat yang dangkal. Produktivitas


(24)

primer perairan terbuka adalah total fitoplankton yang terdapat pada perairan yang dapat didekati melalui kandungan klorofil maupun kelimpahan volumenya (Basmi, 1995). Nybakken (1992) menyatakan bahwa rantai makanan yang terjadi di laut diawali dari fitoplankton yang merupakan produsen membentuk makanan sendiri melalui proses fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton (herbivora). Selanjutnya zooplankton dimakan oleh ikan penyaring (seperti cucut, ikan terbang dan salem). Pemangsaan terus meningkat ke tingkat trofik yang lebih tinggi yaitu predator dan predator puncak, hal ini terlihat pada Gambar 3.

Alga : (1) kokolitofor, (2) dinoflagellata. Herbivora : (3) euphasiid, (4) kopepoda, (5) udang. Penyaring : (6) ikan mesopelagik yang bermigrasi vertikal, (7) ikan terbang, (8) amfipoda, (9) lantera, (10) ikan matahari. Predator : (11) ikan mesopelagik, (12) makarel ular, (13) cumi-cumi, (14) lumba-lumba. Predator tertinggi : (15) tuna dan cakalang, (16)

lancefish, (17) setuhuk, (18) hiu ukuran sedang, (19) hiu besar.


(25)

2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990). Penginderaan atau sensor wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan suatu objek di permukaan bumi, di mana tiap-tiap obyek memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda (Kushardono, 2003).

Secara umum bentuk organisasi sistem penginderaaan jauh dapat dijelaskan seperti berikut, yaitu pertama-tama pancaran dan pantulan benda-benda di permukaan bumi ditangkap oleh sistem sensor pada satelit, kemudian pancaran dan pantulan itu dirubah menjadi sinyal-sinyal yang kemudian dikirim ke stasiun penerima di bumi untuk seterusnya disimpan dalam bentuk citra analog (dalam bentuk hasil cetakan foto) atau digital. Data citra tersebut dapat dimanfaatkan sesuai bidang tertentu melalui pengolahan lebih lanjut. Sejak adanya teknologi komputer, pengolahan data dan interpretasi secara digital banyak dilakukan dalam bidang penginderaan jauh. Unit terakhir dari sistem penginderaan jauh adalah pengguna yang memanfaatkan hasil pengolahan dan interpretasi data penginderaan jauh untuk suatu target disiplin ilmu tertentu seperti pertanian, geologi, kelautan, kehutanan dan bidang-bidang lainnya (Kushardono, 2003). Hal ini jelas terlihat pada Gambar 4.

Konsep dasar penginderaan jauh adalah berdasarkan pada teori radiasi yaitu semua benda pada suhu diatas 00 absolut atau -273 0C akan memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Oleh karena itu, selain matahari, obyek di bumi juga merupakan sumber radiasi, walaupun besaran dari komposisi spektralnya berbeda terhadap matahari (Lillesand dan Kiefer, 1990).


(26)

Gambar 4 Sistem penginderaan jauh perikanan dan kelautan (Kushardono, 2003).

Sistem penginderaan jauh dipengaruhi oleh hamburan (scattering) dan serapan (absorbtion) dari atmosfer. Hamburan merupakan penyebaran arah radiasi oleh partikel-partikel di atmosfer yang tidak dapat diperkirakan. Hamburan biasa terjadi apabila radiasi tenaga berinteraksi dengan molekul dan partikel kecil atmosfer lainnya, adanya uap air dan debu di atmosfer, dan adanya air hujan. Hamburan menyebabkan adanya kabut tipis pada citra sehingga mengurangi kejelasan suatu citra. Serapan (absorbtion) merupakan penyerapan energi elektromagnetik pada panjang gelembang tertentu. Penyerapan radiasi matahari paling efisien dalam hal ini adalah oleh uap air (H2O), karbondioksida (CO2), dan ozon (O3) (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Kushardono (2003), menyebutkan berdasarkan sistem sensornya satelit penginderaan jauh dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu passive sensor dan active sensor. Satelit penginderaan jauh passive sensor menggunakan sistem optik. Contoh satelit dengan sensor ini adalah Ikonos, Landsat TM, NOAA, dan sebagainya. Kelemahannya adalah adanya pengaruh awan dalam pengamatan suatu obyek di bawah. Satelit penginderaan jauh dengan active sensor prinsipnya adalah dengan memancarkan suatu energi dengan menggunakan sistem yang


(27)

dipasang pada satelit ke suatu obyek yang diamati, kemudian berdasarkan besarnya energi yang kembali diperoleh data. Contoh dari satelit ini adalah sensor SAR (Syntetic Aperture Rader) pada satelit ERS dan JERS. Sensor ini dapat menembus awan sehingga bisa diperoleh data dari seluruh permukaan bumi.

Berasarkan posisinya di angkasa, satelit penginderaan jauh terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu satelit orbit berputar dan satelit geostasioner. Satelit geostationer posisinya menetap di angkasa sekitar khatulistiwa dengan ketinggian sekitar 35.800 km dari permukaan bumi. Satelit ini umumnya digunakan sebagai satelit pemantau meteorologi seperti GMS himawari, METEOSAT, GOES dan INSAT. Data dari satelit ini dapat diperoleh setiap saat oleh stasiun di bumi yang dapat menjangkau wilayah orbitnya. Satelit orbit berputar memiliki ketinggian agak rendah (sekitar 800 km) dari permukaan bumi. Satelit ini berputar mengelilingi bumi melewati kutub utara dan kutub selatan (orbit polar), seperti satelit Ikonos, Landsat TM, NOAA, dan sebagainya. Namun, ada juga yang mengelilingi bumi melalui khatulistiwa, seperti satelit TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission) (Kushardono, 2003).

Kandungan klorofil dalam perairan dapat dideteksi dengan menggunakan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). Satelit yang mendeteksi klorofil-a perairan adalah satelit Terra dan Aqua yang membawa sensor MODIS. Satelit yang membawa cira MODIS terlihat pada Gambar 5. Peralatan MODIS dirancang bangun pada pertengahan tahun 1995. Satelit Terra pertama diluncurkan pada tanggal 8 Desember 1999 dan satelit Aqua tanggal 4 Mei 2002 (www.modis.gsfc.nasa.gov). Satelit Terra melintasi bumi dari arah utara ke selatan dan melewati khatulistiwa pada pukul 10.30 waktu lokal. Sedangkan satelit Aqua melintasi bumi dari arah selatan ke utara dan melewati khatulistiwa pada pukul 13.30 waktu lokal. Lebar sapuan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km (www.modis.gsfc.nasa.gov).


(28)

Gambar 5 Satelit yang membawa citra MODIS (www.modis.gsfc.nasa.gov).

Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1 µm = 1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega bytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen citranya (pixels, picture element) berukuran 250 m untuk band 1–2, 500 m untuk band 3–7, dan 1.000 m untuk band 8–36 (www.modis.gsfc.nasa.gov). Spesifikasi dari satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS

No Spesifikasi

1 Ketinggian : 705 km 2 Lama rekaman : 20.3 rpm

3 Lebar sapuan : 2330 km dan 10 km pada jalur nadir 4 Teleskop : 17.78 cm

5 Ukuran : 1.0 x 1.6 x 1.0 m 6 Berat : 228.7 kg

7 Daya : 162.5 W

8 Data : 10.6 Mbps (peak/day); 6.1 Mbps (per orbit) 9 Kuantitas : 12 bit

10 Resolusi spasial : 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36). 11 Waktu : 6 tahun


(29)

Aqua-MODIS memiliki kegunaan yang berbeda-beda pada masing-masing band. Masing-masing band memiliki interval panjang gelombang tertentu sesuai dengan kegunaannya. Panjang gelombang yang digunakan tiap kanal (band) dapat dilihat pada Lampiran 1.

Produk MODIS untuk perairan termasuk warna perairan (Ocean color), suhu permukaan laut dan produksi primer perairan. Produk-produk ini dapat digunakan untuk keperluan penelitian sirkulasi lautan, biologi laut dan kimia laut termasuk siklus karbon di perairan.

Air jernih menyerap tenaga relatif sedikit pada panjang gelombang kurang dari 0.6 µ. Transmisi yang tinggi menandai panjang gelombang tersebut dan mencapai maksimalnya pada bagian spektrum biru-hijau. Sejalan dengan itu, pantulan air berbeda oleh konsentrasi klorofil yang berbeda. Meningkatnya konsentrasi klorofil cenderung memperkecil pantulan pada spektrum hijau (Lillesand and Kiefer, 1990). Untuk perairan yang tidak tercemar dan tidak banyak mengandung detritus, hasil penginderaan jauh bukan hanya dapat menduga kandungan klorofil permukaan melainkan juga dapat menduga seluruh klorofil-a yang ada pada perairan eufotik (Setyobudiandi, 1996).

2.7 Sarana dan Prasarana Penangkapan di Perairan Pangandaran

Sejak terjadinya bencana tsunami yang melanda Pangandaran dan sekitarnya, semua sarana dan prasarana penangkapan ikan di Pangandaran mengalami kerusakan. Setelah dilakukan rehabilitasi untuk sektor perikanan tangkap yang dilakukan pemerintah setempat, secara umum sarana dan prasarana penangkapan ikan di Pangandaran mengalami perbaikan walaupun masih ada kekurangan (Azam, 2009).

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang terdapat di kabupaten Ciamis sampai saat ini ada lima buah yang terdapat di lima kecamatan yaitu PPI Karapyak di kecamatan Kalipucang, PPI Pangandaran di Pangandaran, PPI Bojongsalawe di Parigi, PPI Batukaras di Cijualang, dan PPI Madasari di Cimerak (Azam, 2009).

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pangandaran merupakan salah satu PPI yang paling ramai dan banyak dikunjungi oleh para pembeli, karena di


(30)

Pangandaran jumlah produksi hasil tangkapannya paling banyak diantara PPI yang lainnya. Selain itu juga karena PPI ini mempunyai aksesibilitas yang strategis dan letaknya menyatu dengan kegiatan pariwisata sehingga banyak wisatawan yang membeli produksi hasil tangkapan laut. Adapun sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran sampai saat ini diantaranya : gedung/kantor PPI Pangandaran, KUD Mina, Tempat pelelangan ikan (TPI), pabrik es dan fasilitas air bersih. Beberapa sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran terlihat pada Gambar 6.

PPI Pangandaran saat ini mempunyai satu gedung baru yang letaknya cukup jauh dari gedung lama dan tempat pendaratan ikan. Setelah bencana tsunami melanda Pangandaran dan sekitarnya yang mengakibatkan rusaknya beberapa bangunan fisik di Pangandaran termasuk gedung lama PPI Pangandaran. Maka pemerintah melakukan pembangunan gedung PPI baru yang letaknya di Desa Babakan. Di sekitar gedung PPI sudah dibangun beberapa sarana diantaranya fasilitas air bersih, musholla, dan gedung TPI baru akan tetapi sarana tersebut belum dapat dioperasikan karena letaknya cukup jauh dari tempat pendaratan ikan yang biasa digunakan nelayan Pangandaran. Di daerah PPI Pangandaran sedang dibangun proyek pembangunan kolam pelabuhan, akan tetapi sampai saat ini proses pembangunannya terhambat.

PPI Pangandaran saat ini menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kabupaten Ciamis di bawah pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis. Aktivitas di gedung PPI Pangandaran digunakan oleh para pegawai PPI, dan sesekali digunakan untuk kegiatan rapat dengan nelayan Pangandaran (Azam, 2009).

Menurut Azam (2009) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Pangandaran sampai saat ini belum mempunyai kolam khusus pelabuhan. Nelayan masih memanfaatkan daerah alami yaitu teluk Pananjung sebagai tempat untuk mendaratkan hasil tangkapannya, baik itu nelayan pantai timur maupun nelayan pantai barat. Nelayan Pangandaran mendaratkan perahunya dengan cara mengikatkan tali tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang.

KUD Minasari didirikan pada tanggal 2 Januari 1962 dengan nama KPL (Koperasi Perikanan Laut). Dalam perkembangannya KUD ini mengalami tiga


(31)

kali perubahan nama, dan pada tanggal 2 November 2000 berubah nama menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) Minasari. Dalam pelaksanaannya KUD ini diawasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ciamis dan kantor Koperasi serta instansi terkait kabupaten Ciamis. Aktivitas KUD Minasari tidak hanya bertumpu pada aktivitas perikanan laut, tetapi juga membantu dalam hal pelayanan nelayan seperti usaha simpan pinjam (Azam, 2009).

a. Gedung PPI Pangandaran. b. Gedung TPI Lama

c. Gedung KUD Minasari d. Gedung TPI Baru

Gambar 6 Beberapa sarana dan prasarana yang ada di PPI Pangandaran.

KUD Minasari sebagai pengelola TPI Pangandaran memiliki peranan sebagai juru tawar, juru karcis, kasir dan keamanan. Atas jasa tersebut KUD Minasari mendapatkan pemasukan dari potongan atau retribusi sebesar 5 % dari


(32)

setiap nelayan yang melelangkan ikan.

TPI Pangandaran didirikan pada tahun 1973 oleh pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Perikanan, TPI ini bertujuan untuk membantu pengembangan usaha perikanan tangkap di Pangandaran khususnya dalam pengaturan tata niaga. Dengan adanya TPI memudahkan para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya.

Berdasarkan SK Pemda TK. II Kabupaten Ciamis No. 503. 3047/1993 maka mulai tanggal 1 Oktober 1987 TPI Pangandaran dikelola oleh KUD Minasari, yang bertindak sebagai penyelenggara pelelangan dan Dinas Perikanan Kabupaten Ciamis sebagai penanggung jawab TPI Pangandaran. Sesuai Perda Gubernur Jawa Barat No. 15 tahun 1984, Pemda melalui TPI menarik retribusi lelang sebesar 5 %, dengan rincian 3 % diperoleh dari hasil penjualan kepada pembeli/bakul, dan retribusi lelang sebesar 2 % kepada nelayan atau penjual (Azam, 2009).

PPI Pangandaran saat ini mempunyai 2 gedung TPI yaitu TPI lama di Pangandaran yang letaknya cukup strategis yaitu berdekatan dengan tempat pendaratan ikan dan kantor KUD sehingga memudahkan para nelayan dan TPI baru yang letaknya dekat gedung kantor PPI, dimana TPI baru ini letaknya kurang strategis sehingga sampai saat ini belum bisa dioperasikan. Aktivitas di TPI berjalan setiap hari mulai dari pagi hingga siang hari. Adapun pembeli atau bakul yang datang ke TPI Pangandaran berasal dari daerah Kota Banjar, daerah Pangandaran dan sekitarnya. Pembeli tersebut umumnya menjual kembali ikan-ikan di pasar dan ada juga yang menjadi pengelola rumah makan.

Pabrik es di Pangandaran terdiri dari 2 unit, yang berlokasi kurang lebih 3 km dari TPI Pangandaran. Pabrik es didirikan untuk menyediakan kebutuhan es para nelayan Pangandaran dalam melakukan penanganan terhadap hasil tangkapan.

Sampai saat ini kebutuhan air tawar untuk kebutuhan perbekalan melaut nelayan Pangandaran disediakan oleh KUD Minasari. Fasilitas air tawar ini terletak di belakang gedung TPI Pangandaran dengan menggunakan bak air berukuran 3x0,5x1 meter.


(33)

2.8 Keadaan Geografis, Letak Topografis dan Luas Wilayah Pangandaran Ciamis merupakan salah satu kabupaten yang berada di sebelah Selatan Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Ciamis berada pada koodinat 108o 20’- 108o 40’ Bujur Timur dan 07o 40’20’’ – 07o 41’20’’ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebagi berikut :

a. Sebelah utara : Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan; b. Sebelah selatan : Samudera Hindia;

c. Sebelah timur : Provinsi Jawa Tengah dan Kota Banjar;

d. Sebelah barat : Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya.

Luas wilayah kabupaten Ciamis adalah 244.479 ha (6,42 % dari luas Provinsi Jawa Barat) dengan ketinggian antara 0-1000 meter di atas permukaan laut. Struktur wilayah kabupaten Ciamis secara garis besar terdiri dari dataran tinggi, dataran rendah, dan pantai. Bagian utara merupakan pegunungan dengan ketinggian 500-1000 meter di atas permukaan laut, bagian tengah ke arah barat merupakan perbukitan dengan ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut, sedangkan bagian tengah ke timur merupakan daerah dataran rendah dan rawa dengan ketinggian 20-100 meter di atas permukaan laut serta bagian selatan merupakan daerah rawa dan pantai dengan ketinggian 0-25 meter di atas permukaan laut (Azam, 2009).

Wilayah Kabupaten Ciamis memiliki wilayah pesisir dan laut dengan panjang garis pantai mencapai 91 km dengan luas laut mencapai 67.340 ha yang meliputi 6 (enam) wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Kalipucang, Kecamatan Pangandaran, Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Parigi, Kecamatan Cijulang, dan Kecamatan Cimerak (Azam, 2009).

Kecamatan Pangandaran secara geografis berada pada koordinat 108o 41’ – 109o Bujur Timur dan 07o 41’ – 07o 50’ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah utara : Kota Madya Banjarsari; b. Sebelah selatan : Samudera Hindia; c. Sebelah timur : Kecamatan Padaherang; d. Sebelah barat : Kecamatan Parigi.


(34)

Luas wilayah Kecamatan Pangandaran mencapai 61 km2 dengan luas laut mencapai 13.320 ha (19,78 % dari luas laut yang temasuk kedalam kabupaten Ciamis). Kecamatan ini kemudian terbagi menjadi 8 desa yang terdiri dari 4 desa merupakan bukan desa pesisir diantaranya desa Sukahurip, desa Purbahayu, desa Pagergunung, dan desa Sidomulyo. Empat desa yang merupakan desa pesisir yaitu desa Babakan, Pangandaran, Pananjung, dan Wonoharjo (Azam, 2009).

Secara umum Pangandaran beriklim tropis dengan 2 musim yaitu musim kemarau (musim timur) dan musim hujan (musim barat) dengan curah hujan rata-rata per tahun sekitar 1.647 mm, kelembaban udara antara 85-89 % dengan suhu berkisar antara 20-30 oC. Musim timur dan musim barat secara langsung akan mempengaruhi musim penangkapan ikan di perairan Pangandaran. Musim timur terjadi pada bulan Mei sampai Oktober, dimana saat terjadi musim ini laut tidak berombak besar dan perairan dalam keadaan tenang, sehingga operasi penangkapan ikan di laut tidak terganggu. Musim barat terjadi pada bulan November sampai April, dimana saat terjadi musim ini laut sedang dalam keadaan ombak besar, sehingga operasi penangkapan ikan di laut menjadi terganggu. Pada musim ini, curah hujan relatif banyak sehingga nelayan di Pangandaran hanya sedikit yang melakukan operasi penangkapan ikan. Wilayah ini memiliki panjang pantai 18 km dengan kemiringan pantai relatif datar yaitu 0o - 3o, dan elevasi 0-3 meter di atas permukaan laut. Keadaan tanah di Pangandaran terdiri dari pantai berpasir, pantai berkarang, dan pantai berbatu. Pantai selatan Pangandaran memiliki gelombang laut yang berbentuk berupa gelombang sweel atau gelombang laut lepas, dimana gelombang ini bisa terjadi di laut dalam (Azam, 2009).


(35)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pangandaran, Jawa Barat (Gambar 7). Pengumpulan data jumlah hasil tangkapan dan posisi penangkapannya dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November 2008. Setelah itu adalah pengambilan data citra klorofil-a dari internet (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov), yang dilaksanakan pada bulan November 2008. Data citra klorofil-a yang diambil dari internet disesuaikan dengan waktu dan posisi penangkapan yang dilakukan di Pangandaran.

Gambar 7 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1) Peta daerah penangkapan ikan digunakan untuk menentukan posisi (Lintang dan Bujur) pada saat operasi penangkapan dilakukan;


(36)

3) Data sheet, digunakan sebagai tempat pencatatan data yang dibutuhkan; 4) Kuisioner, digunakan untuk mencatat data dari setiap nelayan;

5) Kamera, digunakan untuk mengambil gambar yang dibutuhkan;

6) Program Photoshop, digunakan untuk membuat peta daerah penagkapan ikan;

7) Software SeaDas (Seadisp Data Analysis System) digunakan untuk membaca nilai konsentrasi klorofil-a;

8) Software Surfer 8.0, digunakan untuk membuat gambar sebaran konsentrasi klorofil-a beserta garis konturnya; dan

9) Software Microsoft Office Excel untuk menghitung CPUE dan nilai konsentrasi klorofil-a.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Pengumpulan data primer tentang posisi penangkapan, waktu operasi dan komposisi hasil tangkapan diperoleh melalui experimental fishing. Untuk penentuan sampel kapal pada kegiatan ini dilakukan secara sengaja atau purposive sampling, dengan pertimbangan sebagai berikut :

1) Sampel kapal gillnet beroperasi di perairan pangandaran; 2) Sampel kapal layak beroperasi; dan

3) Sampel kapal gillnet terpilih dengan tujuan utama penangkapannya adalah ikan bawal putih.

Data yang dikumpulkan dari kegiatan experimental fishing adalah: 1) Posisi kapal pada saat melakukan operasi penangkapan.

Posisi kapal dicatat menggunakan peta daerah penangkapan;

2) Jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih serta bobotnya pada setiap posisi penangkapan.

Jumlah hasil tangkapan ikan diperoleh dengan cara menghitung jumlah dan bobot ikan yang tertangkap. Jika kapal menggunakan keranjang maka bobot ditentukan berdasarkan jumlah basket ikan yang tertangkap dikalikan berat ikan dalam 1 keranjang; dan


(37)

Ukuran ikan diperoleh dengan cara mengukur sejumlah ikan contoh (n) dari populasi ikan yang tertangkap (N).

Posisi, jumlah dan bobot serta ukuran ikan bawal putih yang tertangkap dicatat pada setiap operasi penangkapan. Operasi penangkapan dilakukan sebanyak 33 kali ulangan. Untuk mempermudah proses pengambilan data, dibagikan kuisoner untuk diisi oleh enumerator yang ditempatkan pada masing-masing kapal sampel.

Kemudian data penyebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran didapatkan dengan cara mendownload hasil citra MODIS yang telah tersedia di internet. Cara mendownload citra klorofil-a dapat dilihat pada Lampiran 2. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi umum perairan di lokasi penelitian seperti data produksi bulanan dan tahunan, unit penangkapan, dan sebagainya. Data tersebut didapatkan dari dinas perikanan setempat, instansi terkait lainnya dan studi literatur.

3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis klorofil-a

Data konsentrasi klorofil-a diketahui dengan melakukan analisis terhadap citra MODIS yang telah didownload. Citra tersebut diolah untuk memperoleh nilai dan gambar sebaran konsentrasi klorofil-a. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan citra adalah sebagai berikut :

1) Pembacaan nilai konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan program

SeaDAS ;

Membuka program SeaDAS pada menu “terminal”, kemudian akan tampil

SeaDAS main menu dan seadisp main menu. Langkah selanjutnya adalah memasukkan file citra yang telah didownload dengan memilih sub menu

“load” pada “seadisp main menu”. Memasukkan koordinat daerah yang akan dihitung, koordinat yang dimasukkan merupakan koordinat pada daerah penelitian dan daerah di sekitarnya (6036’00’’LS–7018’00”LS dan 105000’00”BT-106024’00”BT). Setelah citra dibuka, kemudian dilakukan penyimpanan output citra dalam bentuk data ASCII dengan memilih


(38)

konsentrasi klorofil-a berdasarkan garis lintang dan bujur (koordinat). Cara pengolahan citra dengan menggunakan SeaDAS dapat dilihat pada Lampiran 3.

2) Penghitungan nilai konsentrasi klorofil-a ; dan

Data ASCII hasil pengolahan SeaDAS diolah kembali dengan menggunakan program Microsoft Office Excel untuk menghitung nilai dominan, kisaran dan rata-rata dari konsentrasi klorofil-a. Nilai konsentrasi yang dihitung adalah nilai pada koordinat daerah penelitian (7041’00’’LS– 8000’00”LS dan 108020’00” BT - 109000’00” BT).

3) Pembuatan peta sebaran konsentrasi klorofil-a

Data ASCII hasil pengolahan SeaDAS diolah kembali dengan menggunakan software Surfer 8.0 untuk memperoleh peta sebaran konsentrasi klorofil-a berserta garis konturnya.

Nilai dominan, kisaran dan rata-rata dari konsentrasi klorofil-a pada daerah penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang selanjutnya dianalisis sebarannya menurut waktu (temporal). Sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial (daerah) ditentukan dengan melakukan analisis visual terhadap peta sebaran konsentrasi klorofil-a.

3.4.2 Analisis data hasil tangkapan

Data ikan hasil tangkapan dianalisa secara deskriptif dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Data jumlah (kg) hasil tangkapan dianalisis menurut skala ruang (penyebaran daerah penangkapan) dan skala waktu operasi penangkapan.

3.4.3 Analisis hubungan hasil tangkapan dengan klorofil-a

Hubungan antara klorofil-a dan jumlah hasil tangkapan didapat melalui persamaan regresi (Wallpole, 1995). Hubungan antara dua variable tersebut bisa merupakan hubungan linear, kuadratik atau polynomial. Model regresi yang paling tepat adalah model yang menunjukkan keeratan dari kedua variable paling erat (korelasi paling besar). Koefisien korelasi (r) dapat dihitung dengan rumus :


(39)

r

= n XY- X Y

(nX2- (X )2)

(Y2- (Y)2)

Keterangan: r :Koefisien korelasi X :variabel bebas Y :variabel terikat Kisaran nilai korelasi:

-1 < r < +1

Korelasi erat jika : r > 0.7 dan r < - 0.6, dan Korelasi tidak erat jika: -0.6 < r < 0.7

Semakin tinggi nilai korelasi maka hubungan antara kedua koefisien semakin erat.

3.4.4 Penentuan daerah penangkapan ikan yang potensial

Penentuan DPI potensial didasarkan pada jumlah dan ukuran ikan yang tertangkap beserta besarnya konsentrasi klorofil-a pada daerah penangkapan. Langkah-langkah penentuan DPI yang potensial adalah:

1) Mengklasifikasikan hasil tangkapan ikan bawal putih berdasarkan jumlah (kg) pada setiap posisi penangkapan. Klasifikasi berdasarkan jumlah pada setiap posisi penangkapan dibagi menjadi dua yaitu sedikit apabila hasil tangkapan setiap kali setting kurang dari 9 kg/unit/trip, dan banyak apabila hasil tangkapan lebih dari atau sama dengan 9 kg/unit. Dasar penentuan 9 kg/unit/trip ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Apabila jumlah tangkapan termasuk kategori banyak diberi bobot (skor) 3 dan yang kategori sedikit diberi bobot 1;

2) Mengklasifikasikan hasil tangkapan ikan bawal putih berdasarkan ukuran panjang (cm) pada setiap posisi penangkapan. Klasifikasi berdasarkan ukuran ikan bawal putih dibagi menjadi dua yaitu kecil apabila ukuran bawal putih kurang dari 20 cm, dan besar apabila ukuran bawal putih sama atau lebih dari 20 cm (www.wikipedia.org). Apabila tangkapan didominasi oleh ikan ukuran kecil diberi bobot 1 dan jika didominasi oleh ikan ukuran besar diberi bobot 3;


(40)

3) Mengklasifikasikan penyebaran konsentrasi klorofil-a pada setiap posisi penangkapan. Klorofil-a di permukaan perairan dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu rendah bila kandungan klorofil-a kurang dari 0,2 mg/m3, dan tinggi bila konsentrasi klorofil-a yang lebih besar dari 0,2 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang lebih besar dari 0,2 mg/m3 telah menunjukkan kehadiran fitoplankton yang memadai untuk menopang atau mempertahankan kelangsungan hidup perkembangbiakan perikanan (Gower, 1972 vide Gaol, 2003). Bila kandungan klorofil-a masuk kategori rendah diberi bobot 1 dan jika kategori tinggi diberi bobot 3;

4) Melakukan analisis visual terhadap penyebaran klorofil-a, pada daerah penangkapan, dimana jumlah hasil tangkapan yang banyak atau sedikit; dan

5) Melakukan analisis visual terhadap penyebaran klorofil-a, pada daerah penangkapan, dimana ukuran hasil tangkapan didominasi oleh ikan berukuran besar (layak tangkap) atau kecil (tidak layak tangkap).

DPI potensial adalah daerah yang memiliki bobot paling tinggi berdasarkan ketiga indikator yaitu jumlah tangkapan, ukuran panjang, dan kandungan klorofil-a. Sedangkan DPI kurang potensial adalah yang bobot penilaian ketiga indikator tersebut paling kecil.


(41)

4. HASIL PENELITIAN

4.1 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a

Konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran dalam kurun waktu Oktober - November 2008 cukup bervariasi, yang berkisar 0,382 – 4,000 mg/m3 (Tabel 5). Kandungan klorofil-a tertinggi ditemukan pada tanggal 14 Oktober dengan nilai 4,000 mg/m3 dan terendah pada tanggal 12 November dengan nilai 0,382 mg/m3. Ada banyak data citra satelit yang tidak ditampilkan karena terhalang oleh awan, sehingga citra satelit yang hanya bisa terlihat adalah tanggal 9, 14, 18, 30 Oktober 2008 dan 12, 17, 18 November 2008 (Lampiran 5).

Kandungan klorofil-a pada bulan Oktober 2008 relatif lebih tinggi dibandingkan bulan November 2008. Pada bulan Oktober 2008 kandungan klorofil-a berkisar 0,770 – 4,000 mg/m3, dengan rata-rata 2,633 mg/m3. Sedangkan pada bulan November 2008 berkisar 0,313 – 3,534 mg/m3 dengan rata-rata 0,843 mg/m3.

Citra kandungan klorofil-a selama penelitian kurang jelas karena perairan yang berawan (musim hujan). Pada bulan Oktober 2008 terdapat tiga citra dan bulan November 2008 terdapat empat citra yang disajikan pada Lampiran 5. Pada lampiran tersebut terlihat sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial (ruang) walaupun hanya pada cakupan wilayah yang terbatas (sempit). Secara umum terlihat bahwa kandungan klorofil-a cenderung semakin tinggi ke arah pantai.

Sebaran konsentrasi klorofil-a menurut ruang (spasial) dapat diketahui dengan melakukan analisis visual terhadap peta (citra). Perbedaan konsentrasi klorofil-a ditunjukkan oleh perbedaan warna. Adapun sebaran spasial dan temporal kandungan klorofil-a pada enam citra tersebut disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 didapati bahwa konsentrasi klorofil-a pada daerah dekat pantai jauh lebih tinggi daripada daerah yang jauh dari pantai.


(42)

Tabel 5 Konsentrasi klorofil-a harian di perairan Pangandaran (Oktober- November 2008)

Tanggal DPI Posisi Penangkapan Klorofil (mg/m3) Lintang Bujur

09-Okt-08 Pantai Barat -7º48’22” 108º 34’28” 0,954 09-Okt-08 Pantai Barat -7º48’22” 108º 34’51” 0,936 09-Okt-08 Tayun Dengkeng -7º48’29” 108º 36’7” 0,865 09-Okt-08 Tayun Dengkeng -7º48’29” 108º 37’29” 0,792 09-Okt-08 Tayun Dengkeng -7º48’37” 108º 36’51” 0,819 09-Okt-08 Tayun Dengkeng -7º48’29” 108º 37’59” 0,77 14-Okt-08 Pantai Barat -7º46’16” 108º 33’58” 4 14-Okt-08 Solok Bokong -7º46’16” 108º 42’7” 4 14-Okt-08 Tembang Badeto -7º47’9” 108º 39’11” 4 14-Okt-08 Solok Bokong -7º46’16” 108º 42’7” 4 14-Okt-08 Lawang -7º46’34” 108º 47’44” 4 14-Okt-08 Tayun Dengkeng -7º48’55” 108º 40’4” 4 14-Okt-08 Lawang -7º46’34” 108º 47’26” 4 14-Okt-08 Tembang Badeto -7º47’9” 108º 39’11” 4 14-Okt-08 Solok Bokong -7º46’16” 108º 42’7” 4 18-Okt-08 Cilacap -7º54’25” 108º 52’12” 0,988 12-Nop-08 Batu Payung -7º52’34” 108º 24’47” 0,423 12-Nop-08 Batu Payung -7º52’34” 108º 27’40” 0,382 17-Nop-08 Tembang Badeto -7º46’ 108º 41’ 3,543 17-Nop-08 Batu Payung -7º48’ 108º 32’ 0,463 17-Nop-08 Pantai Barat -7º48’ 108º 34’ 0,617 17-Nop-08 Tayung Dengkeng -7º48’ 108º 41’ 2,715 17-Nop-08 Batu Payung -7º50’ 108º 25’23” 0,4 17-Nop-08 Batu Payung -7º50’ 108º 27’ 0,395 17-Nop-08 Batu Payung -7º50’ 108º 30’ 0,313 17-Nop-08 Batu Payung -7º50’ 108º 32’ 0,376 17-Nop-08 Pantai Barat -7º50’ 108º 34’ 0,453 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran -7º54’25” 108º 10’10” 0,644 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran -7º54’25” 108º 45’18” 0,7 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran -7º54’25” 108º 47’68” 0,769 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran -7º54’25” 108º 48’56” 0,846 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran -7º54’25” 108º 42’ 0,635 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran -7º54’25” 108º 43’50” 0,657 Sumber : Hasil pengamatan


(43)

Tabel 6 Sebaran spasial kandungan klorofil-a di perairan Pangandaran (Oktober- November 2008)

No Akuisisi citra Sebaran spasial kandungan klorofil-a

1 9 Oktober 2008 Konsentrasi klorofil-a lebih tinggi di dekat pantai Pangandaran.

2 14 Oktober 2008 Konsentrasi klorofil-a lebih tinggi di dekat pantai Pangandaran dan sebelah barat dekat obyek wisata Keusikluhur yang kaya terumbu karang.

3 18 Oktober 2008 Konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan sebelah timur dan barat. Stasiun penangkapan yang terlihat hanya satu, karena kapal penangkapan yang digunakan nelayan Pangandaran hanya bisa beroperasi di sekitar pantai.

4 12 November 2008 Konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan dekat pantai dan di pantai sebelah timur Pangandaran.

5 17 November 2008 Konsentrasi klorofil-a lebih tinggi di dekat pantai Pangandaran.

6 18 November 2008 Konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan dekat pantai sebelah timur Pangandaran. Lokasi stasiun penangkapan ikan terpusat di daerah dengan citra klorofil-a yang tinggi.

Sumber : Hasil pengamatan

Nilai konsentrasi klorofil-a (rata-rata, kisaran, dan nilai dominan) menurut musim dapat dilihat dalam Lampiran 6, sedangkan nilai rata-ratanya disajikan pada Gambar 8. Konsentrasi klorofil-a pada musim barat (Desember-Februari) umumnya rendah. Konsentrasi klorofil-a pada bulan Februari umumnya lebih tinggi dibanding dengan bulan Januari. Konsentrasi klorofil-a pada musim peralihan barat – timur (Maret – Mei) relatif meningkat (tinggi) dibandingkan dengan musim barat. Pada musim timur (Juni – Agustus) konsentrasi klorofil-a lebih tinggi dibandingkan dengan musim sebelumnya (peralihan barat-timur). Selanjutnya, pada musim peralihan timur – barat (September – November) konsentrasi klorofil-a juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan musim sebelumnya (musim timur).

Kandungan klorofil-a di perairan Pangandaran mengalami peningkatan secara signifikan (nyata) mulai musim timur hingga mencapai puncak tertinggi pada musim peralihan timur-barat (Gambar 8). Di lain pihak, penurunan yang signifikan terjadi mulai musim barat hingga musim peralihan barat-timur.


(44)

Gambar 8 Fluktuasi rata-rata konsentrasi klorofil-a di Pantai Pangandaran menurut musim tahun 2006-2008.

4.2 Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih

Hasil tangkapan ikan bawal putih (Pampus argenteus) di perairan Pangandaran periode bulanan dari Januari 2006 sampai September 2008 dapat dilihat dalam Lampiran 7 dan Gambar 9. Berdasarkan Lampiran 7 terlihat bahwa hasil tangkapan terbanyak terdapat pada musim barat, tepatnya pada bulan Januari 2007 yaitu 22.985 kg, dan hasil tangkapan terendah pada musim peralihan barat-timur (Maret 2006), yaitu 80 kg. Pada Gambar 9 terlihat bahwa musim penangkapan sudah mulai pada bulan Juni 2006 dan mengalami puncaknya pada bulan Januari 2007. Namun sejak bulan Juni 2006 hingga Januari 2007, terjadi fluktuasi. Musim penangkapan berikutnya sudah mulai dari bulan Agustus 2007 hingga mencapai puncak pada bulan November 2008, bahkan musim penangkapan ini masih berlanjut hingga pada bulan Januari 2008. Pada gambar juga terlihat bahwa jumlah tangkapan pada tahun 2007 lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2006 dan 2008.


(45)

Gambar 9 Rata-rata tangkapan bulanan ikan bawal (Pampus argenteus), tahun 2006-2008.

Hasil tangkapan bulanan rata-rata tertinggi pada musim barat yaitu 5.944 kg/bulan, tertinggi kedua pada musim peralihan timur-barat yaitu 5.067 kg/bulan, dan yang terendah pada musim peralihan barat-timur yaitu 1.137 kg/bulan. Hal ini terlihat dalam Gambar 10.

Gambar 10 Rata-rata hasil tangkapan musiman ikan bawal (Pampus argenteus), tahun 2006-2008.


(46)

4.3 Hubungan Antara Hasil Tangkapan Bawal Putih dengan Konsentrasi Klorofil-a

Pada Gambar 11 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi klorofil-a tidak langsung meningkatkan hasil tangkapan ikan bawal putih (Pampus argenteus). Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara konsentrasi klorofil-a dengan jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih. Konsentrasi klorofil-a tertinggi ditemukan pada bulan September 2006, diikuti oleh jumlah hasil tangkapan paling banyak pada bulan Januari 2007. Selanjutnya, konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada bulan September 2007 baru diikuti oleh jumlah hasil tangkapan yang tinggi pada bulan November 2007. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a mempengaruhi jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih pada bulan berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh kandungan klorofil-a terhadap tangkapan bawal putih membutuhkan penundaan waktu (time lag) sekitar 2 - 4 bulan.

Gambar 11 Keterkaitan antara konsentrasi klorofil-a dan ikan bawal (Pampus argenteus), tahun 2006-2008.


(47)

Konsentrasi klorofil-a dan jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih harian secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran 8. Dari Lampiran tersebut terlihat bahwa jumlah ikan bawal putih yang paling banyak tertangkap pada sampel nomor 9 yaitu 17 kg/unit dengan kandungan klorofil-a 4,000 mg/m3, dan yang terendah pada sampel nomor 13 yaitu 2 kg/unit dengan kandungan klorofil-a 4,000 mg/m3.

Hubungan antara klorofil-a dengan jumlah CPUE ditunjukkan dengan persamaan regresi y = 0.646x + 5.920 (Gambar 12). Koefisien determinasi R2 adalah 0,071 artinya keadaan klorofil-a di perairan dapat menduga CPUE sebesar 7,1 %. Koefisien korelasi atau keeratan hubungan antara klorofil-a dan CPUE (r) adalah 0,266 artinya tidak erat atau tidak berpengaruh secara signifikan (nyata).

y = 0.646x + 5.920 R2 = 0.071

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

Klorofil-a mg/m3

CP UE ( k g /t ri p )

Gambar 12 Hubungan klorofil-a dengan CPUE.

4.4 Daerah Penangkapan Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus)

Indikator evaluasi DPI bawal putih di perairan Pangandaran dapat dilihat pada Tabel 7. Jumlah tangkapan dan rata-rata ukuran panjang ikan bawal putih setiap setting di DPI disajikan pada Lampiran 9. Ukuran panjang sampel ikan bawal putih yang tertangkap pada setiap daerah penangkapan di perairan Pangandaran (Oktober-November 2008) disajikan pada Lampiran 10.

Dalam Tabel 7 terlihat bahwa ukuran ikan yang tertangkap pada setiap DPI masuk dalam kategori layak tangkap. Berdasarkan evaluasi jumlah


(48)

tangkapan, ternyata bahwa DPI potensial hanya terdapat di perairan Tembang Badeto. Dengan demikian, DPI bawal putih yang potensial di perairan Pangandaran berdasarkan indikator jumlah dan ukuran panjang ikan dalam priode bulan Oktober-November 2008 adalah di Tembang Badeto, yang terletak pada posisi 7046’ LS - 108040’ BT (Gambar 13).

Tabel 7 Penentuan DPI bawal putih potensial berdasarkan indikator jumlah dan ukuran panjang ikan yang tertangkap pada bulan Oktober-November 2008 di perairan Pangandaran

N

o DPI

Jumlah Tangkap

Ukuran

Panjang Jumla h Bobot

Keterangan kg/trip Bobot c

m Bobot

1 Pantai Barat 5,86 1 22 3 4 DPI Kurang Potensial 2 Tayung

Dengkeng 5,37 1 22 3 4

DPI Kurang Potensial 3 Solok Bokong 6,47 1 23 3 4 DPI Kurang

Potensial 4 Tembang Badeto 15 3 23 3 6 DPI Potensial 5 Lawang 4,2 1 22 3 4 DPI Kurang

Potensial 6 Cilacap 8,2 1 22 3 4 DPI Kurang

Potensial 7 Batu Payung 6,43 1 24 3 4 DPI Kurang

Potensial 8 Jalur 3 Pelayaran 7,4 1 24 3 4 DPI Kurang

Potensial


(49)

Keterangan :

1. DPI Pantai Barat 2. DPI Tayung Dengkeng 3. DPI Solok Bokong 4. DPI Tembang Badeto 5. DPI Lawang

6. DPI Cilacap 7. DPI Batu Payung 8. DPI Jalur 3 Pelayaran


(50)

5. PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Temporal dan Spasial Konsentrasi Klorofil-a

Sebaran konsentrasi klorofil-a secara temporal (berdasarkan waktu) di perairan Pangandaran berfluktuasi selama bulan Oktober sampai November. Namun demikian konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran sepanjang bulan Oktober – November tergolong tinggi (>0,2 mg/m3). Konsentrasi klorofil-a yang lebih besar dari 0,2 mg/m3 telah menunjukkan kehadiran fitoplankton yang memadai untuk menopang atau mempertahankan kelangsungan hidup perkembangbiakan ikan (Gower, 1972 vide Gaol, 2003). Tingginya konsentrasi klorofil-a pada bulan Oktober-November 2008 di perairan Pangandaran diduga karena banyaknya sungai besar yang bermuara ke perairan Pangandaran yaitu Sungai Citanduy, Citumang, Nusa Wiru, dan Cijulang.

Perairan Pangandaran juga memiliki banyak terumbu karang, yang diduga berpengaruh terhadap kandungan klorofil-a. Romimohtarto dan Juwana (2001) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas tertinggi dari seluruh ekosistem alamiah karena memiliki banyak persediaan nitrogen yang penting bagi fitoplankton untuk proses fotosintesis.

Konsentrasi klorofil-a pada daerah dekat pantai jauh lebih tinggi daripada daerah yang jauh dari pantai. Hal ini dikarenakan banyaknya nutrient yang masuk ke perairan pantai dari muara-muara sungai dekat daerah pantai. Banyaknya nutrien yang masuk dari daratan menyebabkan fitoplankton cepat bertumbuh dan bertambah banyak. Zat hara masuk ke perairan melalui aliran sungai atau run off dari daratan. Sungai yang bermuara ke perairan Pangandaran yaitu Sungai Citanduy, Citumang, Nusa Wiru, dan Cijulang.

Tingginya konsentrasi klorofil-a pada musim timur (Juni-Agustus) diduga karena keadaan atmosfer yang cerah sehingga cahaya matahari yang masuk ke perairan memiliki intensitas yang tinggi sehingga fotosintesis berlangsung dengan lebih efektif dan dapat terjadi hingga pada lapisan yang lebih dalam. Pada musim timur perairan Pangandaran mengalami musim kemarau. Tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran pada musim timur juga diduga berhubungan


(51)

dengan pergerakan massa air di perairan Indonesia. Pada musim barat massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, sebaliknya pada musim timur massa air dari daerah upwelling di laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir ke perairan Indonesia bagian barat. Massa air yang mengandung banyak zat hara diduga masuk ke perairan Pangandaran sehingga perairan Pangandaran memiliki konsentrasi klorofil-a yang tingggi. Wyrtki (1961) menjelaskan pada musim timur perairan selatan Jawa mendapat banyak masukan massa air dari laut Timor, laut Sawu dan perairan barat Australia yang merupakan sumber arus khatulistiwa. Selain itu, meningkatnya konsentrasi klorofil-a pada bulan Juni sampai September juga dipengaruhi oleh adanya angin musim tenggara (angin musim timur) yang berhembus dengan kecepatan tinggi dari Australia menuju Asia. Angin ini mengaduk lapisan perairan sehingga zat hara (silikat, fosfat dan nitrat) dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas. Dengan demikian tingginya konsentrasi klorofil-a pada bulan September ini diduga sebagai akibat adanya proses penaikan massa air (upwelling).

Perairan Samudera Hindia di selatan Jawa–Sumbawa merupakan daerah upwelling dan upwelling yang efektif terjadi pada pada musim timur (Gaol, 2003). Adanya upwelling pada perairan selatan Jawa diduga menyebabkan tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran. Zat hara dari daerah upwelling tersebut dibawa oleh arus ke perairan Pangandaran sehingga fitoplankton berkembang dengan cepat.

Proses terjadinya upwelling di perairan selatan Jawa disebabkan oleh adanya angin muson tenggara yang bertiup pada musim timur. Pada saat angin muson tenggara bertiup dengan mantap, massa air dari permukaan pantai selatan Jawa terdorong sehingga permukaannya menjadi lebih rendah. Akibat adanya gaya koriolis, massa air yang terdorong akan berbelok ke baratdaya hingga ke selatan sehingga terjadi kekosongan di permukaan. Terjadinya kekosongan massa air akan digantikan oleh massa air dari lapisan bawah yang mengandung banyak zat-zat yang kaya nutrient (Gaol, 2003).

Nontji (2005) menjelaskan bahwa upwelling yang terjadi di perairan selatan Jawa sekitar bulan Mei–September. Di lepas pantai selatan Jawa terdapat arus besar bernama Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) yang pada umumnya


(52)

mengalir ke barat. Tetapi pada musim timur, di atas perairan selatan Jawa berhembus kuat angin tenggara sehingga menggeser massa air di sepanjang pantai selatan Jawa– Sumbawa. Adanya gaya koriolis menyebabkan pergerakan massa air dibelokkan ke baratdaya. Jadi saat itu arus permukaan di perairan ini menunjukkan pola sirkulasi antisiklonik atau berputar ke kiri. Karena arus ini membawa serta air ke luar menjauhi pantai, maka akan terjadi kekosongan yang berakibat naiknya air dari lapisan bawah. Bukti adanya upwelling di suatu perairan adalah meningkatnya kadar fosfat tiga kali lipat, nitrat dua kali lipat, dan plankton yang melimpah.

5.2 Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan Ikan Bawal Putih dan Sebaran Konsentrasi Klorofil-a

Berdasarkan hasil penelitian tidak ditemukan keterkaitan secara langsung antara konsentrasi klorofil-a dengan jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih. Konsentrasi klorofil-a mempengaruhi jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih pada rentang waktu sekitar 2 – 4 bulan berikutnya. Hal ini terjada karena ikan bawal bukan pemakan fitoplankton melainkan pemakan zooplankton seperti udang rebon (Nontji, 1993). Terjadinya time lag tersebut erat kaitannya dengan rantai makanan yang terjadi di lautan.

Konsentrasi klorofil-a menunjukkan keberadaan fitoplankton di suatu perairan. Fitoplankton merupakan produsen yang dimakan oleh organisme herbivora (zooplankton, larva) dan selanjutnya organism herbivora dimakan oleh organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi akan menyebabkan ikan-ikan kecil datang untuk mencari makan, selanjutnya dalam waktu berikutnya ikan-ikan besar datang memangsa ikan-ikan kecil. Time lag menunjukkan adanya waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan senyawa organik dari fitoplankton ke tingkat trofik yang lebih tinggi.

Pada model yang menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan bawal putih dengan kandungan klorofil-a, nilai koefisien determinasi (R2) adalah 0,071, artinya keadaan klorofil-a di perairan hanya dapat menduga CPUE sebesar 7,1 %. Hal ini karena ada banyak faktor lain yang dapat menduga CPUE di perairan, diantaranya suhu, arus, keahlian nelayan dan lainnya.


(53)

Koefisien korelasi atau keeratan hubungan antara klorofil-a dan CPUE adalah 0,266 artinya tidak erat atau tidak berpengaruh secara signifikan (nyata). Koefisien korelasi tidak signifikan terhadap peningkatan hasil tangkapan karena, konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran walaupun bervariasi tetapi semuanya termasuk kategori tinggi yaitu diatas 0,2 mg/m3 (Gower, 1972 vide Gaol, 2003). Kedua, kehadiran fitoplankton tidak secara langsung menghadirkan ikan bawal putih, karena bawal putih tidak memakan langsung fitoplankton. Kandungan klorofil-a mungkin akan berpengaruh signifikan dalam interval beberapa bulan berikutnya (2 - 4 bulan). Indikator kandungan klorofil-a belum dapat digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan bawal putih yang potensial di perairan Pangandaran dalam penelitian ini, karena keterbatasan waktu pengamatan. Untuk itu pengamatan perlu dilakukan lebih lama dengan data time series yang lebih banyak.

5.3 Daerah Penangkapan Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus)

Berdasarkan evaluasi jumlah tangkapan, ukuran panjang ikan bawal putih dan konsentrasi klorofil-a pada bulan Oktober – November 2008 DPI potensial terdapat di perairan Tembang Badeto.

Tangkapan ikan bawal putih di perairan Tembang Badeto dikategorikan banyak dan berbobot tinggi karena jumlahnya sama dengan atau lebih dari 9 kg/trip. Hasil tangkapan ikan bawal putih lebih dari atau sama dengan 9 kg/trip agar setiap nelayan menerima Upah Minimum Regional (UMR) Rp 1.000.000,-/bulan.

Ukuran panjang ikan bawal yang tertangkap di Tembang Badeto diatas 20cm, ukuran panjang ini masuk dalam kategori layak tangkap (www.wikipedia.org). Konsentrasi klorofil-a pada bulan Oktober-November 2008 di DPI Tembang Badeto termasuk kategori tinggi (di atas 0,2 mg/m3) artinya konsentrasi klorofil-a di DPI Tembang Badeto cukup untuk menopang kehidupan biota di perairan tersebut.

DPI Tembang Badeto tidak memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan DPI lain, yang membedakan hanyalah jumlah hasil tangkapan ikan bawal putih di perairan ini rata-rata mencapai lebih dari 9 kg/trip.


(54)

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1) Kandungan klorofil-a pada bulan Oktober 2008 relatif lebih tinggi dibandingkan bulan November 2008. Pada bulan Oktober 2008 kandungan klorofil-a berkisar 0,770 – 4,000 mg/m3, dengan rata-rata 2,633 mg/m3. Sedangkan pada bulan November 2008 berkisar 0,313 – 3,534 mg/m3 dengan rata-rata 0,843 mg/m3;

2) Sebaran rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a di perairan Pangandaran pada bulan Januari 2006 sampai September 2008 berkisar 0,281 mg/m3 - 7,925 mg/m3 dengan kisaran nilai dominan 0,12 mg/m3 - 7,08 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a tertinggi terdapat pada bulan September 2006 dan terendah pada bulan Desember 2007. Konsentrasi klorofil-a di daerah pantai lebih tinggi dan lebih bervariasi daripada perairan yang lebih jauh dari pantai;

3) Kandungan klorofil-a tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan bawal putih (Pampus argenteus) di perairan Pangandaran; dan 4) Daerah penangkapan ikan bawal putih yang lebih potensial di perairan

Pangandaran pada bulan Oktober - November 2008 terdapat di Tembang Badeto yang terletak sekitar 7046’ LS - 108040’ BT.

6.2 Saran

1) Untuk mengkaji hubungan antara konsentrasi klorofil-a terhadap hasil tangkapan dibutuhkan data time series yang lebih banyak, meliputi data CPUE dan konsentrasi klorofil-a di daerah penangkapan saat operasi penangkapan dilakukan; dan

2) Perlu dilakukan kajian mengenai hubungan jumlah hasil tangkapan bawal putih (Pampus argenteus) dengan faktor oseanografi lainnya seperti suhu, salinitas dan pergerakan arus.


(55)

43

DAFTAR PUSTAKA

Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri, Bogor. Hal: 14-18.

Azam DH. 2009. Kajian Prospek Perikanan Tangkap Pasca Tsunami di PPI Pangandaran, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Basmi J. 1995. Planktonologi : Produksi Primer. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 35 hal.

Burhanuddin et al. 1986. Sumberdaya Ikan Bawal di Indonesia. Lembaga Oceanologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Hal: 1-11

Cardwell S. 2005. http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php [18 Desember 2008]

Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis. 2006. Laporan Tahunan. Dinas Perikanan Ciamis, Ciamis.

Dinas Kelautan dan Perikanan Ciamis. 2008. Laporan Tahunan. Dinas Perikanan Ciamis, Ciamis.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Buku Pedoman Pengelolaan Sumber Perikanan Laut. Bagian I (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Jakarta: Departemen Pertanian. 85 hal.

Euphrasen. 1788. Catalog of Fishes. www.fishbase.org. [29 Januari 2010] Feldman GC. www.oceancolor.gsfc.nasa.gov. [1 – 10 Januari 2009].

Fyson J. 1985. Desighn of Small Fishing Vessel. England: Fishing News Books Ltd. 219 hal.

Gaol JL. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multisensor Citra Satelit Dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 231 hal.

Herianti I dan Parwati. 1987. Studi Pendahuluan Tentang Aspek Biologi Ikan Bawal Putih (Pampus argentus) dan Bawal hitam (Formio niger) di Perairan Sebelah Utara Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 42. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal: 91-96.

Hutabarat S dan SM Evans. 1984. Pengantar Oseeonografi. UI-Press. Jakarta. 34 hal.


(56)

44 Kushardono. 2003. Teknologi Pengindraan Jauh dalam Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Lautan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Jakarta. 56 hal.

Lillesand dan Kiefer. 1990. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbani at al. penerjemah: Yogyakarta: UGM Pr. Terjemahan Dari: Remote Sensing and Image Interpretation.

Martasuganda S. 2002. Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 68 hal.

Monintja. 1989. Pengantar Perikanan Tangkap di Indonesia. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 3 hal.

Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 289 hal.

Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. 372 hal.

Nomura dan T Yamazaki. 1977. Fishing Techniques I. Tokyo: Japan International Cooperation Agency. 206 hal.

Nugraha Y. 2004. Bentuk Geometrik Kapal Payang dan Gillnet yang Beroperasi di Teluk Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. [skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian. 53 hal.

Nurhaeti A. 2002. Analisis Bio-Teknik Penangkapan Bawal Putih (Pampus argentus) di Perairan Pangandaran Jawa Barat. [skripsi] (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.61 hal.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT. Gramedia.

Odum EP. 1971. Fundamentals Of Ecology. Third Edition. Philadelphia and London : W. B. Saunders Company. 63 hal.

Plotica S. 2007. http : //ms.wikipedia.org/wiki/Ikan_Bawal_Putih. [25 Oktober 2009].

Romimohtarto K dan S Juwana. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan. 540 hal.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Vol I dan II. Binacipta, Bandung. 508 hal.


(57)

45 Setyobudiandi. 1996. Studi Beberapa Aspek Ekobiologis (Fitoplankton dan

Benthos) dan Bio-Optik Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Pengindraan Jauh Cholorofil-a di Perairan Selatan dan Utara Jawa. [Laporan Penelitian] (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Subani W dan HR Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Perikanan Laut. Nomor: 50 Tahun 1988/1989. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. 248 hal.

The International Education and Graduate Program Service of the U.S Departement of Education as part of The National Resource Center

Program. 1997. www.seasite.niu.edu/indonesian/themes/animals/sea/b_putih.htm. [24

Agustus 2009].

Walpole E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Bambang Sumantri, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to statistic 3rd edition. 45 hal.

Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asean Water. Naga Report Vol II. California: The University of California, Scrips Institution of Oceanography. La Jolla. 195p.


(58)

Lampiran 1 Panjang gelombang pada masing-masing kanal dan kegunaannya

Kegunaan Utama Band Panjang Gelombang

Pengkajian tentang batas-batas daratan/awan/aerosol 1 2

620 – 670 841 – 876

Pengkajian tentang sifat-sifat daratan/awan/aerosol 3 4 5 6 7

459 – 476 545 – 565 1230 – 1250 1628 – 1652 2105 – 2155

Pengkajian tentang warna laut/fitoplankton dan biogeokimia 8 9 10 11 12 13 14 15 16

405 – 420 438 – 448 483 – 493 526 – 536 546 – 556 662 – 672 673 – 683 743 – 753 862 – 877

Pengkajian tentang kandungan uap air dari atmosfer 17 18 19

890 – 920 932 – 941 915 – 965

Pengkajian tentang suhu permukaan daratan/awan 20

21 22 23

3.660 – 3.840 3.929 – 3.989 3.929 – 3. 989 4.020 – 4. 080

Pengkajian tentang suhu atmosfer 24

25

4.433 – 4.498 4.482 – 4.549

Pengkajian tentang kandungan uap air awan-awan cirruc 26 27 28

1.360 – 1.390 6.535 – 6.895 7.175 – 7.475

Pengkajian tentang sifat-sifat awan 29 8.400 – 8.700

Pengkajian tentang ozon 30 9.580 – 9.880

Pengkajian tentang suhu awan dan daratan 31

32

10.780 – 11.280 11.770 – 12.270

Pengkajian tentang ketinggian puncak awan 33

34 35 36

13.185 – 13.485 13.485 – 13.785 13.785 – 14.085 14.085 – 14.385 Sumber : NASA 2005


(59)

Lampiran 2 Langkah-langkah dalam mendownload citra klorofil-a level 3 dari internet

a. Buka situs http://www.oceanocolor.gsfc.nasa.go.id, sehingga muncul tampilan berikut!


(60)

Lampiran 2 (lanjutan)

c. Pilih satelit dan parameter yang diinginkan. Dalam penelitian ini digunakan satelit Aqua MODIS dan parameter konsentrasi kloriofil-a.

d. Tentukan periode waktu (daily, 3-days, weekly, monthly and seasonally) dan resolusi yang diingikan . Dalam penelitian ini digunakan periode monthly (bulanan) dengan resolusi 4 km.

e. Download citra dengan mengklik karakter “HDF” pada waktu yang diinginkan.


(61)

Lampiran 3 Langkah-langkah pengolahan citra klorofil-a level 3 dengan menggunakan software SeaDAS 4.7

a. Dengan menggunakan jendela LINUX, buka terminal program. Untuk membuka program seaDAS ketik “seadas –em.”


(62)

Lampiran 3 (lanjutan)

c. Pada seadas main menu, klik Display kemudian pilih seadisp sehingga muncul seadisp main menu.

d. Untuk mengolah citra MODIS klik Load kemudian pilih MODIS pada seadisp main menu. Masukkan data citra yang sudah didownload dengan mengklik


(1)

Lampiran 9 (lanjutan)

DPI Waktu OPI Jumlah Tangkap (kg/setting)

Rata-rata Panjang Ikan (cm)

Jalur 3 Pelayaran

18/11/2008 5 23

18/11/2008 10 22

18/11/2008 5,6 25

18/11/2008 8,8 26

18/11/2008 5,8 24

18/11/2008 9,2 24


(2)

NO Tanggal DPI No Ukuran Sampel (cm) 1 09-Okt-08 Pantai Barat 1 19,5

2 20,5 Rata-rata 20 2 09-Okt-08 Pantai Barat 1 20 2 22 Rata-rata 21 3 09-Okt-08 Tayung Dengkeng 1 23,5 2 24,5 Rata-rata 24

4 09-Okt-08 Tayung Dengkeng

1 23 2 22 3 24 Rata-rata 23

5 09-Okt-08 Tayung Dengkeng

1 23 2 24 3 23,5 Rata-rata 23,5

6 09-Okt-08 Tayung Dengkeng

1 19 2 18 3 20 Rata-rata 19

7 14-Okt-08 Pantai Barat

1 22 2 24 3 23 4 23 5 23 Rata-rata 23 8 14-Okt-08 Solok Bokong 1 24 2 24 Rata-rata 24

9 14-Okt-08 Tembang Badeto

1 23 2 23 3 22 4 22 5 22,5 Rata-rata 22,5


(3)

Lampiran 10 (lanjutan)

NO Tanggal DPI No Ukuran Sampel (cm)

10 14-Okt-08 Solok Bokong

1 23 2 23 3 20 Rata-rata 22

11 14-Okt-08 Lawang

1 22 2 22,5 3 21,5 Rata-rata 22 12 14-Okt-08 Tayung Dengkeng 1 21 2 20 Rata-rata 20,5 13 14-Okt-08 Lawang 1 22 Rata-rata 22

14 14-Okt-08 Tembang Badeto

1 22 2 24 3 22,5 4 23,5 Rata-rata 23

15 14-Okt-08 Solok Bokong

1 22,5 2 23,5 3 23 4 23 Rata-rata 23

16 18-Okt-08 Cilacap

1 24 2 21 3 21 Rata-rata 22

17 12-Nop-08 Batu Payung

1 26 2 24 3 25 Rata-rata 25

18 12-Nop-08 Batu Payung

1 23 2 23 3 23 Rata-rata 23


(4)

19 17-Nop-08 Tembang Badeto 1 24 2 23 3 23,5 4 23,5 Rata-rata 23,5 20 17-Nop-08 Batu Payung 1 24,5 2 23,5 Rata-rata 24

21 17-Nop-08 Pantai Barat

1 23 2 23 3 20 Rata-rata 22

22 17-Nop-08 Tayung Dengkeng

1 23 2 22 3 23 4 20 Rata-rata 22

23 17-Nop-08 Batu Payung

1 22,5 2 23,5 3 23 Rata-rata 23

24 17-Nop-08 Batu Payung

1 22 2 23 3 24 Rata-rata 23

25 17-Nop-08 Batu Payung

1 25 2 26 3 24 Rata-rata 25

26 17-Nop-08 Batu Payung

1 23 2 24 3 26 4 27 Rata-rata 25

27 17-Nop-08 Pantai Barat

1 25 2 23 3 24 Rata-rata 24


(5)

Lampiran 10 (lanjutan)

NO Tanggal DPI No Ukuran Sampel (cm) 28 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran 1 23

2 23 Rata-rata 23

29 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran

1 23 2 21 3 22 Rata-rata 22 30 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran 1 25 2 25 Rata-rata 25

31 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran

1 26 2 25 3 27 Rata-rata 26 32 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran 1 23,5 2 24,5 Rata-rata 24

33 18-Nop-08 Jalur 3 Pelayaran

1 24 2 24 3 24 Rata-rata 24


(6)