Indikator Kedisiplinan Guru PAI
dalam suatu hierarki nilai. Jenjang ini merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-
benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki
sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik
“pola hidup”, tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Contohnya adalah siswa telah memiliki kebulatan
sikap, wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT yang tertera dalam Al-
Qur’an surat Al- Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik
kedisiplinan di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengan kehidupan masyarakat.
43
W.S Winkel dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pengajaran, menjelaskan tentang taksonomi afektif sebagai berikut :
a. Penerimaan: mencakup kepekaan akan adanya suatu
perangsang dan
kesediaan untuk
memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang
diberikan oleh guru. Kesediaan itu dinatakan dalam memperhatikan sesuatu, seperti memandangi gambar yang
dibuat di papan tulis atau mendengarkan jawaban teman sekelas atas pertanyaan guru. Namun, perhatian itu masih
pasif, Misalnya: “Siswa akan rela memandangi peta geografi tanah Indonesia yang dipamerkan di depan kelas.”
b. Partisipasi: mencakup kerelaan untuk memperhatikan
secara aktif dan berpartisifasi dalam suatu kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan dalam memberikan suatu rekasi
terhadapa rangsangan yang disajikan, seperti membacakan dengan suara nyaring bacaan yang ditunjuk atau
43
Ibid., h. 56.
menunjukkan minat dengan membawa pulang buku bacaan yang ditawarkan. Misalnya: “Siswa akan rela berpartisipasi
dalam upacara kenaikan bendera, dengan berdiri tegak dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan volume suara
penuh. ”
c. Penilaianpenentuan sikap: mencakup kemampuan untuk
memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap:
menerima, menolak atau mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan konsisten dengan sikap
batin. Kemampuan itu dinyatakan dalam suatu perkara atau tindakan, seperti mengungkapkan pendapat positif tentang
pameran lukisan modern atau mendatangi ceramah di sekolah.
d. Organisasi: mencakup kemampuan untuk membentuk suatu
sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan.
Nilai-nilai yang
diakui dan
diterima ditempatkan pada suatu skala nilai : mana yang pokok dan
selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting.
Kemampuan itu
dinyatakan dalam
mengembangkan suatu perangkat nilai, seperti menguraikan bentuk keseimbangan yang wajar antara kebebasan dan
tanggung jawab dalam suatu negara demokrasi atau menyususn rencana masa depan atas dasar kemampuan
belajar, minat dan cita-cita hidup. e.
Pembentukan Pola Hidup: mencakup kemampuan untuk menghayati
nilai-nilai kehidupan
sedemikian rupa,
sehingga menjadi milik pribadi dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri.
Misalnya: kemampuan untuk menunjukkan kerajinan, ketelitian dan disiplin dalam kehidupan pribadi.
44
W.James Popham dan Eva L. Baker dalam bukunya yang berjudul Bagaimana Mengajar Secara Sistematis, menjelaskan bahwa
taksonomi afektif dibagi lagi menjadi lima taraf, yaitu : a.
Memperhatikan, tarap pertama ini adalah mengenai kepekaan siswa terhadap fenomena-fenomena dan
perangsang-perangsang tertentu, yaitu menyangkut kesediaan
siswa untuk
menerima atau
memperhatikannya. Taraf ini dibagi menjadi tiga katagori yaitu, kesadaran akan fenomena, kesediaan
menerima fenomena, dan perhatian yang terkontrol atau terseleksi terhadap fenomena.
b. Merespon, respon ini sudah lebih dari hanya
memperhatikan, siswa sudah memiliki motivasi yang cukup sehingga ia bukan saja “mau memperhatikan”,
melainkan sudah memberikan respon. c.
Menghayati Nilai, pada taraf ini nampak bahwa siswa sudah menghayati nilai tertentu, perilaku siswa sudah
cukup konsisten dalam situasi-situasi tertentu sehingga ia sudah dipandang sebagai orang yang sudah menghayati
nilai yang bersangkutan. d.
Mengorganisasikan, dalam mempelajari nilai-nilai, siswa mengahadapi situasi yang mengandung lebih dari satu
nilai. Karena itu perlulah siswa mengorganisasi nilai- nilai itu menjadi suatu sistem sehingga nilai-nilai tertentu
sajalah yang lebih memberikan pengarahan kepadanya. e.
Mempribadikan Nilai atau Seperangkat Nilai, pada taksonomi afektif taraf tertinggi ini siswa telah
mendarah-dagingkan nilai-nilai
sedemikian rupa
44
W.S Winkel, op.,cit., h. 152-153.
sehingga dalam prakteknya ia sudah dapat digolongkan sebagai orang yang memegang nilai atau seperangkat
nilai tertentu.
45