terpisah atau berbeda dengan kata dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi. Kata melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosional. Roland Barthes, semiotikus terkemuka dari Prancis dalam bukunya Mythologies 1972 memaparkan konotasi dari
berbagai aspek kehidupan keseharian orang Prancis, seperti steak dan frites, deterjen, mobil ciotron dan gulat. Menurutnya, tujuannya untuk
membawakan dunia tentang “apa-yang terjadi tanpa-mengatakan” dan
menunjukan konotasi dunia tersebut dan secara lebih luas basis ideologinya.
Sedangkan denotasi, dipihak lain menunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain. Sebagai contoh
boneka barbie menunjukan boneka mainan, yang dipasarkan pertama kali pada tahun 1959, dengan tinggi 11,5 inci, dengan ukuran dada 5,25 inci,
tinggi pinggang 3 inci dan pinggul 4,25 inci. Sementara konotasi dari boneka barbie, secara kontras penuh kontroversi.
14
Menurut sebagian orang bahwa boneka barbie tersebut adalah lambang atau simbol dari
emansipasi wanita. Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau
metabahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama penanda dan petanda yang membentuk makna denotatif
menjadi penanda pada urutan kedua pada makna mitologis konotatif.
15
Produksi mitos
dalam teks
membantu pembaca
untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada
14
Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999, h. 15.
15
Tommy Christomy, Semiotika Budaya Depok: PPKB Universitas Indonesia, 2004, h. 94.
disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal
dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain.
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau
antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada
wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi.
Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi
tertentu.
16
B. Tinjauan Umum Tentang Film
1. Definisi Film
Menurut Undang-Undang Perfilman No. 6 tahun 1992, Bab 1, Pasal 1, film adalah karya cipta seni dan budaya dan merupakan media
komunikasi massa pandang dan dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan cara di rekam pada pita selluloid, pita video, piringan
hitam atau bahan hasil penemuan lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran, melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya yang dapat
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan lainnya.
16
Tedi Permadi,
“Mitos” artikel diakses pada 8 Agustus 2015 dari http:file.upi.eduDirektoriFPBSJUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA197006242
006041-TEDI_PERMADIMendekontruksi_Mitos_Mitos_Masa_Kini_sebuah_Resume.pdf
Film sebagai media komunikasi massa yang dipertunjukan di bioskop dengan jenis cerita yang terdiri dari film drama, komedi, musik,
action, horror anak-anak, dan science fiction. Film berkembang menjadi sebuah media ekspresi dan mempunyai nilai komersial yang tinggi.
17
Secara etimologis film adalah gambar hidup atau cerita hidup.
18
Sebagai industri an industry, film adalah sesuatu yang merupakan bagian dari produksi ekonomi suatu masyarakat dan ia mesti dipandang dalam
hubungannya dengan produk-produk lainnya. Sebagai komunikasi communication, film merupakan bagian penting dari sistem yang
digunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima pesan send and receive messages.
19
Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan message dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Film
selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar.
20
Film telah menjadi media komunikasi audio visual yang akrab dinikmati oleh segenap masyarakat dari berbagai rentang usia dan latar
belakang sosial. Kekuatan dan kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk
mempengaruhi khalayaknya.
21
17
Askurifai Baksin, Membuat Film Indie Itu Gampang Bandung: Katarsis, 2003, h. 6.
18
Gatot Prakoso, Film Pinggiran-Antalogi Film Pendek, Eksperimental Dokumenter Jakarta: Fatma Press, FFTV-IKJ dengan YLP, 1997, h. 22.
19
Idy Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer Yogyakarta: Jalasutra, 2011, h. 190.
20
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, h. 127.
21
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, h. 127.
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat
terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercapai bila film nasional memproduksi film-film sejarah
yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.
22
Film memberi dampak pada setiap penontonnya, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Melalui pesan yang terkandung di
dalamnya, film mampu memberi pengaruh bahkan mengubah dan membentuk karakter penontonnya.
Dalam menyampaikan
pesan kepada
khalayak, sutradara
menggunakan imajinasinya untuk mempresentasikan suatu pesan melalui film dengan mengikuti unsur-unsur yang menyangkut eksposisi penyajian
secara langsung atau tidak langsung. Tidak sedikit film yang mengangkat cerita nyata atau sungguh-sungguh terjadi dalam masyarakat. Banyak
muatan-muatan pesan ideologis di dalamnya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi pola pikir para penontonnya. Sebagai gambar yang bergerak,
film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Pada hakikatnya, semua film adalah dokumen sosial dan budaya yang membantu
mengkomunikasikan zaman ketika film itu dibuat bahkan sekalipun ia tak pernah dimaksudkan untuk itu.
23
22
Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004, h. 136.
23
Idy Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer Yogyakarta: Jalasutra, 2011, h. 191.
2. Unsur-unsur Dalam Film
Sebagai alat komunikasi massa untuk bercerita, film memiliki unsur yang tidak dimiliki media massa lainnya. Adapun unsur-unsur yang
berkaitan dengan film adalah: a. Skenario
Skenario adalah rencana untuk pelakonan film berupa naskah. Skenario berisi sinopsis, deskripsi treatment deskripsi peran, break
down, rencana shot, dan dialog.
24
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu.
Skenario ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas
pengungkapannya. Penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis
skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.
25
b. Produser
Unsur paling utama tertinggi dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang
atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film. Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab
terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah
24
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual Yogyakarta: Jalasutra, 2009, h. 11.
25
“Pengertian Sejarah dan Unsur-Unsur Film diakses pada tanggal 8 Juni 2015 dari http:www.kajianpustaka.com201210pengertian-sejarah-dan-unsur-unsur-film.html