Kerangka Pemikiran Sistem pendukung keputusan keruangan untuk analisis kerentanan akibat kenaikan muka air laut dan amblesan tanah di Kota Semarang

11 Kimpraswil 2002 mengungkapkan bahwa meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya amblesan tanah akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50 dari luas wilayah Jakarta Utara. Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah: a gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; b genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian barat daya, dan beberapa spot pesisir di Papua; c hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US 11,307 juta, gambaran ini bahkan menjadi lebih buram apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan d penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha Diposaptono 2002. 2.2 Banjir Banjir didefinisikan sebagai aliran air yang sangat tinggi pada danau, tambak, waduk dan badan air lainnya, dimana genangan air berada di luar dari tubuh air itu sendiri. Di berbagai negara, banjir ini merupakan fenomena yang sangat merusak dan menimbulkan dampak sosial, fisik dan ekonomis penduduk Smith dan Ward 1998. Penyebab umum banjirgenangan adalah aliran yang melebihi daya tampung sungai yang akhirnya meluapmelimpas ke kiri atau kanan sungai dan laut pasang 12 naik tidak normal Chow et al. 1988. Smith dan Ward 1998 mengemukakan berbagai hal yang menyebabkan terjadinya fenomena: 1. Kejadian Klimatologis, curah hujan yang tinggi dan dalam waktu lama akan menyebabkan banjir di sungai, sedangkan wilayah estuari dan banjir di wilayah pesisir biasanya disebabkan kombinasi antara gelombang pasang dan naiknya permukaan air laut yang biasanya disebabkan oleh badai. 2. Perubahan penggunaan lahan dan peningkatan populasi, perubahan lahan dari lahan belum terbangun menjadi lahan terbangun sangat berpotensi meningkatkan kerawanan terjadinya banjir. Berbagai lokasi yang biasanya menjadi tempat banjir seperti estuari, dataran banjir floodplains dan laguna biasanya merupakan lokasi yang disukai oleh pengembang untuk lokasi industri dan perumahan. Urbanisasi, kerapatan bangunan, kapadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap kapasitas drainasi dan kapasitas infiltasi dalam tanah. 3. Amblesan tanah Land subsidence, amblesan tanah merupakan proses dimana terjadi masa tanah lebih rendah dari ketinggian sebelumnya. Hal ini dapat terjadi oleh berbagai sebab seperti pengambilan air tanah yang berlebihan atau akibat penggenangan yang ekstensif yang terjadi di wilayah dataran banjir aluvial dan pantai. Menurut Suciati 2007 beberapa kawasan yang berpotensi banjir yang diindikasikan dengan frekuensi terjadinya banjir antara lain: 1. Daerah PesisirPantai, Daerah pesisir pantai menjadi rawan banjir disebabkan daerah tersebut merupakan dataran rendah yang elevasi muka tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata Mean Sea LevelMSL, tempat bermuaranya sungai-sungai, apalagi bila ditambah dengan dimungkinkan terjadinya badai angin topan di daerah tersebut. 2. Daerah Dataran Banjir Floodplain Area, Daerah dataran banjir adalah daerah dataran rendah di kiri dan kanan alur sungai, yang elevasi muka tanahnya sangat landai dan relatif datar, sehingga aliran air menuju sungai sangat lambat, yang mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir, baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal di daerah tersebut. 13 3. Daerah Sempadan Sungai, Daerah Sempadan Sungai merupakan daerah rawan bencana banjir yang disebabkan pola pemanfaatan ruang budidaya untuk hunian dan kegiatan tertentu. 4. Daerah Cekungan, Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi hulu sungai dapat menjadi daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak terkendali dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai. Kota Semarang dilalui oleh beberapa sungai utama, diantaranya adalah Sungai Blorong, Sungai Beringin, Sungai Silandak, Banjir Kanal Barat Sungai Garang, Banjir Kanal Timur dan Sungai Babon. Berdasarkan laporan JICA 1993 in Marfai 2003 Kemungkinan debit puncak untuk masing-masing sungai sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kemungkinan debit puncak m3detik Periode Ulang Tahun Kemungkinan Debit Puncak m 3 detik GarangBKB Babon BKT Silandak Bringin Blorong 5 520 407 199 68 195 431 10 630 494 240 84 237 549 20 740 552 267 94 264 628 25 770 578 280 99 277 664 50 880 630 306 110 315 73 100 980 710 342 120 342 845 Sumber: JICA 1993 dalam Marfai 2003 Pada dasarnya pengendalian banjir merupakan sesuatu yang komplek. Dimensi rekayasanya engineering melibatkan banyak disiplin ilmu teknik antara lain hidrologi, hidraulika, teknik sungai morfologi dan sedimentasi sungai, sistem drainase kota, bangunan air. Disamping itu suksesnya program pengendalian banjir juga tergantung dari aspek lain yang menyangkut sosial, ekonomi, lingkungan, kelembagaan, hukum, dan lainnya. Terdapat empat strategi dasar untuk pengelolaan daerah banjir yang meliputi hal–hal berikut:  Modifikasi kerentanan dan kerugian banjir penentuan zona atau pengaturan tata guna lahan;