18
total maupun sebagian low vision dari ke dua matanya, sehingga low vision yaitu yang dapat membaca dibantu dengan kacamata atau alat bantu baca
lainnya. Berdasarkan acuan tersebut, siswa tunanetra dapat diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu: 1 buta, dan 2 low Vision. Dari klasifikasi tersebut dapat dimaknai lebih lanjut sebagai berikut :
a. Buta
Dikatakan buta, jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar. .
b. Low Vision
Penyandang low vision adalah anak yang masih mampu menerima rangsangan cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 621, yang
artinya berdasarkan tes hanya mampu membaca huruf pada jarak 21 messter, atau jika hanya mampu mebaca headline pada surat kabar
Dari definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa tunanetra atau gangguan penglihatan diklasifikasikan berdasarkan dua aspek, yaitu aspek klinis yang
didasarkan pada pengukuran dan aspek fungsional, yaitu didasarkan pada bagaimana anak memanfaatkan penglihatannya untuk menguasai lingkungan.
Ketunaan dalam penglihatan siswa dapat menghambat penerimaaan informasi dan ilmu pengetahuan, sehingga siswa tunanetra memerlukan media
pembelajaran yang dapat membantu mereka dalam menerima informasi dan pengetahuan. Namun sebelum membahas media pembelajaran yang sesuai
19
untuk karakteristik siswa tunanetra, berikut disajikan beberapa karakteristik siswa tunanetra.
2. Karakteristik Tunanetra
Dalam pembelajaran untuk siswa tunanetra ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan. Menurut Sari Rudiyati 2002:34-38 karakteristik
pada anak tunanetra yaitu : 1 rasa curiga terhadap orang lain; 2 perasaan mudah tersinggung; 3 verbalisme; 4 perasaan rendah diri; 5 adatan; 6 suka
berfantasi; 7 kritis; dan 8 pemberani. Karakteristik anak tunanetra tersebut dapat dimaknai lebih lanjut sebagai berikut:
a. Rasa curiga terhadap orang lain.
Keterbatasan rangsang penglihatan menyebabkan tunanetra kurang mampu berorientasi dengan lingkungannya, sehingga mobilitas menjadi
terganggu dan timbul perasaan curiga terhadap sekitarnya. b.
Perasaan mudah tersinggung. Kekurangan penglihatan menimbulkan perasaan curiga dan mudah
kecewa karena perlakuan sehari-hari yang didapatkan dari sekitarnya. c.
Verbalisme Anak tunanetra yang mengalami keterbatasan dalam pengalaman dan
pengetahuan konsep abstrak akan memiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkan kata-kata saja pada
konsep abstrak yang sulit dibuat media konkret yang dapat menyerupai. d.
Rasa rendah diri.
20
Perasaan rendah diri ini desabkan karena tunanetra merasa diabaikan dan kurang dihargai oleh orang disekitarnya sehingga menganggap dirinya
lebih rendah dari orang lain e.
Adatan Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera
non visual. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra sebagai pengganti bila dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki rangsangan baginya,
sedangkan bagi anak awas dapat dilakukan melaui indera penglihatan dalam menncari informasi di lingkungan sekitar.
f. Suka berfantasi
Kegiatan memandang, melihat-lihat dan mencari infromasi saat-saat terntentu tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra sehingga anak
tunanetra hanya dapat berfantasi saja. Daya imajinasi tunanetra bermanfaat untuk mempermudah memahami sesuatu yang abstrak.
g. Kritis.
Keterbatasan dalam penglihatan dan kekuatan berfantasi mengakibatkan tunanetra sering bertanya pada hal-hal yang belum dimengerti sampai ia
dapat memecahkan permasalaahan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang ia peroleh sebelumnya serta terhindar dari pengaruh
visual yang dapat dialami oleh anak awas. h.
Pemberani. Tunanetra akan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh tanpa ragu-
ragu. Sikap ini terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang benar