Hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.

(1)

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 249 orang remaja (102 laki-laki 147 perempuan) dengan rentang usia mulai dari 11 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu skala SVO (Social Value Orientation) yang terdiri dari 9 item (α = 0,810), skala orientasi kepatuhan yang terdiri dari 24 item (α = 0,908 ) dan skala orientasi percakapan yang terdiri dari 20 item (α = 0,911). Hasil uji statistik menggunakan chi-Square dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan nilai p = 0,121<0,05 artinya tidak ada hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Hasil penelitian menunjukan tipe komunikasi konsensual sebanyak 176 orang (70,7%), dengan frekuensi kategori prososial 75 orang (78,1%), individual 69 orang (63,3%) dan kompetitif 32 orang (72,7%). Tipe komunikasi pluralistik sebanyak 24 orang (9,6%) dengan frekuensi kategori prososial 10 orang (10,4%), individual 10 orang (9,2%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi protektif sebanyak 32 orang (12,9%) dengan frekuensi kategori prososial 9 orang (9,4%), individual 19 orang (17,4%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi laizz-fair sebanyak 17 orang (6,8%) dengan frekuensi kategori prososial 2 orang (2,1%), individual 11 orang (10,1%) dan kompetitif 4 orang (9,1%).


(2)

RELATION BETWEEN FAMILY COMMUNICATION TYPE AND ADOLESCENE PROSOCIAL BEHAVIOR

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRACK

The purpose of this research was to know the relation between the Family Communication Type and prosocial behavior in Adolescent. The hypothesis stated in this research was there is a correlation between Family Communication Type and Adolscene Prosocial behavior. This research is correlational research. The research involved 249 adolescents (consisting of 102 male, and 147 female) with an age range from 11 years up to the age of 21 years. The research instrument used three scale, SVO scale (Social Value Orientation) which consists of 9 items (α = 0,810), conformity orientation scale consists of 24 items (α = 0.908) and a conversation orientation scale consists of 20 items (α = 0.911). Test results using the chi-square statistic with significance level of 5% shows the value of p = 0.121 <0.05 it means there is no correlation between of family communication type with adolescent prosocial behavior. The results showed the consensual communication type of 176 people (70.7%), with a frequency of 75 prosocial (78.1%), 69 individuals (63.3%) and 32 competitive people (72.7%). Pluralistic communication type of 24 people (9.6%) with a frequency of 10 prosocial (10.4%), 10 individuals (9.2%) and 4 competitive people (9.1%).protective communication type of 32 people (12.9%) with a frequency of 9 prosocial (9.4%), 19 individuals (17.4%) and 4 competitive people (9.1%).Laizz-fair communication type of 17 people (6.8%) with a frequency of 2 prosocial people (2.1%), 11 individuals (10.1%) and 4 competitive people (9.1%).


(3)

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN

KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Maria Krisna Nugraheni

109114042

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA

DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

Disusun oleh :

Maria Krisna Nugraheni NIM: 109114042

Telah Disetujui Oleh

Dosen Pembimbing Skripsi


(5)

HALAMAII PENGESAHAN SKRIPSI

HUBUNGAI\ ANTARA TIPE KOMT]NIKASI KELUARGA DENGAII

PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

Disusun oleh :

Maria Krisna Nugraheni

NIM:

109114042

Susunan

Penguji I

Penguji

II

Penguji

III

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si

111

4"W"n,

fl#;


(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang “–Soekarno” “hargailah setiap proses yang kamu jalani karena keberhasilan seseorang tidak terletak pada apa yang telah dia raih namun usaha dan proses yang mendewasakan” – Maria krisna”

“kehidupan ini dipenuhi dengan seribu macam kemanisan, tetapi untuk mencapainya perlu seribu macam pengorbanan– anonim”

“jika anda memiliki sebuah mimpi yang sangat indah, maka Tuhan akan memberikanmu kekuatan untuk membuatnya menjadi nyata – Hitam Putih”


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya persembahkan Skripsi ini kepada:

Tuhan yang selalu menuntun langkahku dikala sedang malas dan putus asa, Tuhan selalu memberi jalan keluar lewat doa-doa yang telah aku panjatkan ketika sedang mengalami kebuntuan.

Untuk diriku yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas ahkir mahasiswa , terima kasih untuk diriku karena engkau mau menjalani semua proses dalam suka maupun duka.

Untuk kedua orangtua, adik, sahabat yang selalu sabar dalam mensupport diriku untuk segera menyelesaikan tugas ahkir mahasiswa Untuk kami semua yang saling mensupport demi menyelesaikan tugas ahkir

mahasiswa, Eduardus Yogi, Yovidia Yovran, Maria Fiona, Lidwina Evira dan Grasia Hoyi Dan untuk semua teman seperjuangan mahasiswa psikologi angkatan 2010, teruslah semangat untuk mengejar cita-cita yang telah kalian mimpikan selama ini.


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 24 April 2015

Maria Krisna Nugraheni


(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 249 orang remaja (102 laki-laki 147 perempuan) dengan rentang usia mulai dari 11 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu skala SVO (Social Value Orientation) yang terdiri dari 9 item (α = 0,810), skala orientasi kepatuhan yang terdiri dari 24 item (α = 0,908 ) dan skala orientasi percakapan yang terdiri dari 20 item (α = 0,911). Hasil uji statistik menggunakan

chi-Square dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan nilai p = 0,121<0,05 artinya tidak ada

hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Hasil penelitian menunjukan tipe komunikasi konsensual sebanyak 176 orang (70,7%), dengan frekuensi kategori prososial 75 orang (78,1%), individual 69 orang (63,3%) dan kompetitif 32 orang (72,7%). Tipe komunikasi pluralistik sebanyak 24 orang (9,6%) dengan frekuensi kategori prososial 10 orang (10,4%), individual 10 orang (9,2%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi protektif sebanyak 32 orang (12,9%) dengan frekuensi kategori prososial 9 orang (9,4%), individual 19 orang (17,4%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi laizz-fair sebanyak 17 orang (6,8%) dengan frekuensi kategori prososial 2 orang (2,1%), individual 11 orang (10,1%) dan kompetitif 4 orang (9,1%).


(10)

viii

RELATION BETWEEN FAMILY COMMUNICATION TYPE AND ADOLESCENE PROSOCIAL BEHAVIOR

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the relation between the Family Communication Type and prosocial behavior in Adolescent. The hypothesis stated in this research was there is a correlation between Family Communication Type and Adolscene Prosocial behavior. This research is correlational research. The research involved 249 adolescents (consisting of 102 male, and 147 female) with an age range from 11 years up to the age of 21 years. The research instrument used three scale, SVO scale (Social Value Orientation) which consists of 9 items (α = 0,810), conformity orientation scale consists of 24 items (α = 0.908) and a conversation orientation scale consists of 20 items (α = 0.911).Test results using the chi-square statistic with significance level of 5% shows the value of p = 0.121 <0.05 it means there is no correlation between of family communication type with adolescent prosocial behavior. The results showed the consensual communication type of 176 people (70.7%),with a frequency of 75 prosocial (78.1%), 69 individuals (63.3%) and 32 competitive people (72.7%). Pluralistic communication type of 24 people (9.6%) with a frequency of 10 prosocial (10.4%), 10 individuals (9.2%) and 4 competitive people (9.1%).protective communication type of 32 people (12.9%) with a frequency of 9 prosocial (9.4%), 19 individuals (17.4%) and 4 competitive people (9.1%).Laizz-fair communication type of 17 people (6.8%) with a frequency of 2 prosocial people (2.1%), 11 individuals (10.1%) and 4 competitive people (9.1%).


(11)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma : Nama : Maria Krisna Nugraheni

Nomor Mahasiswa : 109114042

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarla, karya ilmiah yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN

KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakan Universitas Sanata Dharma

hak untuk

menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau di media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

ijin

dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 24 April 2015

Yang menyatakan,

oorl4

1X


(12)

x x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan dan pendampingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat hal-hal yang tidak berkenan. Pada proses penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr.Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik saya ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., M.A yang selalu sabar dan memberi semangat selama proses skripsi ini. Terima kasih sekali telah mau membimbing saya untuk menyelesaikan tugas akhir mahasiswa ini

4. Dosen-dosen fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan ilmu selama saya menempuh bangku kuliah. Kalian dosen terbaik yang pernah saya miliki pertahankan relasi yang akrab dengan para mahasiswa

5. Seluruh staff Fakultas Psikologi: mas Gandung, mbak Nanik, pak Gi, mas Muji (Glory Glory Ma n.United) dan mas Doni. Terima kasih untuk keramahannya. Terima kasih karena sudah membantu segala pratikum tes dari awal hingga ahkir

6. Seluruh subjek penelitian saya yang sudah mau membantu demi kelancaran proses pengambilan data skripsi ini. Sukses untuk kalian semua.


(13)

1 1

7. Terima kasih pada bapak dan ibu dan adik yang selalu mendoakan, memberikan semangat, menunggu dengan sabar sampai skripsi ini selesai. Terima kasih telah mempercayai diriku untuk belajar bertanggung jawab untuk meraih cita-cita.

8. Terima kasih untuk kesayanganku Eduardus Yogie, telah sabar menanti kelulusanku dan selalu menyemangati dari hari ke hari, terimakasih telah menggangguku dengan kata-kata ‘kapan lulus?”

9. Keluarga besar Kost No Name, Ibu Suri, Ijem, Wiwik, terima kasih sudah menjadi rumah kedua saya. Terimakasih untuk dukungan kalian semua untuk segera menyelesaikan Tugas Maha ini

10. Terima kasih untuk Yovi Rempong, Vira Ndesek, Simbah Simbe, Hoya Hoyi, kalian selalu menyemangati dan berbagi kesusahan tidak kesenangan dikala skripsi ini melanda dunia kita. Semangat untuk kita semua.

11. Terima kasih pada Ana Agung Ayu Ratna Paramitha sebagai saudara seperjuangan (Nama, Penelitian dan Baju) dan partner dalam mengerjakan skripsi, terima kasih sudah mau menyamakan langkah bersama dan berjuang bersama. sukses untuk kita berdua na.

12. Terima kasih untuk teman-teman psikologi kelas A dan semua teman seangkatan Psikologi Sanata Dharma tahun 2010. Terima kasih untuk semua pengalaman yang telah kalian berikan selama kita berdinamika sebagai mahaisswa (baik saat menjadi junior sampai dengan veteran) merupakan hal yang tidak akan terlupakan.


(14)

xii

13. Untuk teman-teman seperjuangan tetap semangat selalu gaess, bualtah skripsi ibarat sebuah game Hayday, pupuk sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit , Jika hayday akan menjadi petani sukses semoga kalian akan menjadi psikolog ataupun orang sukses lainnya.

14. Terima kasih pada dunia, laptop, perpustakaan Univeristas Sanata Dharma, Google, para peneliti, pembuat program SPSS dan perfotokopian di paingan yang telah menyempurnakan skripsi ini.

15. Terima kasih kepada seluruh pihak yang belum dapat peneliti ucapkan secara satu-satu. Semoga Tuhan senantiasa memberi kelancaran pada perjalanan kita selanjutnya.

Peneliti menyadari kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa, sehingga peneliti sangat terbuka dengan kritik dan saran dari siapa pun. Mohon maaf apabila ada salah kata.


(15)

131 313

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN………...………1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………..10

C. Tujuan Penelitian……….…..….10

D. Manfaat penelitian………..……10

1. Manfaat Teoritis………...10


(16)

14 14

BAB II. LANDASAN TEORI………...12

A. Perilaku Prososial………..……….12

1. Pengertian Perilaku Prososial………..……….…12

2. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial ………...13

3. SVO (Social Value Orientation)………..15

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku prososial……….18

B. Komunikasi Keluarga………..………...24

1. Pengertian Komunikasi………24

2. Definisi Komunikasi Keluarga……….25

3. Dimensi Pada Pola Komunikasi Keluarga………...……26

4. Tipe-tipe dalam Pola Komunikasi Keluarga………29

5. Dampak Komunikasi Keluarga………31

C. Remaja………33

1. Definisi Remaja………...….33

2. Batasan Usia Remaja………33

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja………...34

D. Hubungan Antara Tipe Komunikasi Keluarga dengan Perilaku Prososial Remaja………37

E. Hipotesis……….45

BAB III. METODE PENELITIAN………46

A. Jenis Penelitian………...46

B. Identifikasi Variabel Penelitian………..46


(17)

15 15

2. Variabel tergantung.……….47

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian………...47

1. Tipe Komunikasi Keluarga………..47

2. Kecenderungan Perilaku Prososial Remaja……….………50

D. Subjek Penelitian………51

E. Metode Pengambilan data………..51

1. Skala Tipe Komunikasi keluarga……….52

2. Skala SVO………55

F. Validitas dan Reliabilitas………...…56

1. Validitas……….………..56

2. Hasil Tryout……….56

3. Reliabilitas………61

G. Metode Analisis Data……….63

1. Uji Asumsi………...63

2. Uji Hipotesis……….63

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..64

A. Pelaksanaan Penelitian………...64

B. Deskripsi Subjek Penelitian………...65

C. Deskripsi Data Penelitian………..66

1. Perbandingan Data Teoritik dan Data Empiris………66

2. Frekuensi Data Kategori………..69

D. Hasil Penelitian ……….73


(18)

16 16

2. Uji Hipotesis……….……75

E. Pembahasan………78

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………..82

A. Kesimpulan………82

B. Keterbatasan Penelitian……….82

C. Saran………..83

1. Bagi Remaja sebagai Subjek Penelitian………...83

2. Bagi Orang tua Subjek……….……83

3. Bagi Peneliti Selanjutnya……….…………83


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Dimensi Pola Komunikasi Keluarga………... 54

Tabel 2 Blue Print Skala Pola Komunikasi Keluarga Setelah Seleksi Item………... 59

Tabel 3 Blue Print Skala Pola Komunikasi Keluarga Setelah Seleksi Item dan Try-Out ………... 59

Tabel 4 Hasil tryout skala SVO ……….. 61

Tabel 5 Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian ………... 65

Tabel 6 Deskripsi usia subjek……….. 66

Tabel 7 Data Teoritik dan Empiris Orientasi Percakapan dan Orientasi Kepatuhan ……….. 67

Tabel 8 Uji Beda Mean Empirik dan Mean Teoritik Orientasi Percakapan ……… 67

Tabel 9 Uji Beda Mean Empirik dan Mean Teoritik Orientasi Kepatuhan ……….. 68

Tabel 10 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Pola Komunikasi Keluarga ……… 69

Tabel 11 Kategori Tipe Pola komunikasi Keluarga ………. 71

Tabel 12 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Tipe Komunikasi … 71 Tabel 13 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Social Value Orientation (SVO) ………. 72

Tabel 14 Uji Normalitas Orentasi Kepatuhan dan Orientasi Percakapan. 73 Tabel 15 Hasil Uji Hipotesis Variabel Tipe Komunikasi dengan SVO ... 75 Tabel 16 Distribusi Frekuensi subjek Berdasarkan Social Value 76


(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Try Out 1 ………... 89

Lampiran 2. Skala Try Out 2 ……….. 99

Lampiran 3. Reliabilits Skala ………. 107

Lampiran 4. Skala Penelitian ……….. 112

Lampiran 5. Deskripsi Subjek ……… 120

Lampiran 6. Uji Asumsi ………. 121

Lampiran 7. Uji Hipotesis ………... 122


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya orang lain disekitarnya. Sejak dilahirkan, manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari kehidupan saling tolong-menolong. Setinggi apapun kemandirian seseorang pada saat-saat tertentu dia akan membutuhkan orang lain (Gerungan, 2009)

Seiring dengan perkembangan zaman, kepedulian orang terhadap sesama maupun lingkungan disekitarnya semakin menurun. Terutama sekarang saat masyarakat tengah memasuki era modernisasi, dimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia untuk melakukan segala aktivitas dengan cara praktis. Hal ini mengakibatkan manusia menjadi makluk yang individual (Suara Merdeka, 2014)

Fenomena yang terjadi pada masyarakat terlihat ketika orang sedang mengalami kesulitan, mereka sering tidak mendapat bantuan orang lain.Sebagian orang, ketika menyaksikan orang lain dalam kesulitan, langsung membantunya, sedangkan yang lain barangkali hanya diam meskipun mampu untuk membantunya. Ada pula yang ingin membantu namun menimbang-nimbang


(22)

dahulu sebelum bertindak, serta ada pula yang ingin membantu, namun memiliki motif yang bermacam-macam. Salah satu bentuk pergeseran pola hubungan diantara sesama manusia dan lingkungan sekitarnya menimbulkan sifat individualisme. Sifat individualisme tersebut berdampak pada menurunnya perilaku prososial di masyarakat (Suara Merdeka, 2014).

Perilaku prososial dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears, 2004). Sumber lain menjelaskan definisi prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa memberi keuntungan langsung bagi si penolong dan mungkin mengandung resiko bagi penolong itu sendiri (Baron, 2005). Dapat dikatakan bahwa perilaku prososial merupakan bentuk tindakan menolong yang dilakukan seseorang yang dapat memberi keuntungan langsung maupun tidak langsung bagi penolong.

Perilaku prososial atau perilaku menolong hendaknya tercipta dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali bagi kaum remaja. Perilaku prososial perlu ditanamkan pada remaja karena remaja merupakan bagian dari masyarakat yang perlu dipersiapkan agar mampu berkiprah dalam memberikan pelayanan kepada anggota masyarakat. Selain itu, remaja dituntut untuk memiliki tanggung jawab dalam membantu, berbagi, dan menyumbang untuk mengurangi kesulitan orang lain sesuai dengan tugas perkembangannya (Hurlock, 1991).


(23)

Perilaku prososial banyak dilakukan dimasa remaja dibandingkan masa kanak-kanak. Meskipun remaja seringkali dinyatakan sebagai sosok yang egosentrik dan memikirkan diri sendiri, remaja juga banyak menampilkan tindakan yang bersifat prososial (Santrock, 2007). Hal serupa diungkapkan oleh Eisenberg dalam Laura (2007) yaitu bahwa masa remaja merupakan waktu yang digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial.

Hal ini bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi saat ini yaitu remaja kurang menampilkan perilaku prososial yang menjadi salah satu tugas perkembanganya. Remaja pada saat ini tidak lagi mempunyai kepekaan sosial untuk membantu kesulitan orang lain. Hal ini dapat tercermin dalam fenomena menipisnya perilaku prososial pada remaja. Sikap mementingkan diri sendiri tercermin dalam kehidupan sehari-hari misalnya saat melihat seseorang yang lebih membutuhkan bantuan orang lain justru bersikap acuh dan tidak memperdulikan situasi disekitarnya.

Fenomena ini terjadi pada kasus remaja yang bernama Dinda. Dinda menyebarkan keluhannya pada akun sosial media miliknya terhadap ibu hamil yang dianggap menyusahkan orang lain di transportasi umum. Hal tersebut berdampak pada protes masyarakat yang menilai perilaku menolong remaja pada saat ini sangat rendah bagi orang lain. Contoh fenomena tersebut menunjukkan semakin rendahnya sikap ketidak perdulian remaja terhadap orang lain yang nantinya dapat mengakibatkan mereka tumbuh menjadi manusia yang memiliki sifat individual yang tinggi (Tabloid Nova, 2014)


(24)

Seorang remaja hidup dalam sebuah keluarga yang merupakan kelompok sosial yang memiliki tujuan, struktur, dinamika, norma termasuk cara kepemimpinannya yang sangat mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi anggota kelompok tersebut (Gerungan, 2009). Keluarga merupakan agen sosialisasi primer yang mempengaruhi perilaku individu dalam waktu yang panjang (Koener dan Fiztpatrick, 1997). Hal serupa diungkapkan oleh Gerungan (2009) bahwa keluarga adalah tempat remaja belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi yang baik dalam keluarga dapat menjamin perkembangan yang wajar sebagai manusia sosial karena pengalaman manusia di dalam keluarga turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar lingkungan keluarganya, sehingga salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi perilaku remaja adalah interaksi antar anggota keluarga (Gerungan, 2009).

Kualitas interaksi antara remaja dengan orangtua berkaitan dengan munculnya perilaku prososial remaja (Kathryn, 2007). Hubungan antara remaja dengan orang tua menjadi penentu utama dalam keberhasilan remaja berperilaku prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas. Hal tersebut didukung oleh Steinberg and Silk (dalam Laura, 2007) yang mengungkapkan bahwa interaksi yang terjadi antara orangtua dan remaja tetap menjadi dasar selama masa remaja. Sehingga interaksi antara orangtua dan remaja sangat penting untuk dipertimbangkan saat memeriksa nilai-nilai dan perilaku remaja.


(25)

Eisenberg dan Fabes (dalam Laura, 2007) menyatakan, meskipun pengaruh sosialisasi pada remaja beragam, orang tua merupakan sumber informasi paling penting mengenai nilai dalam berperilaku. Hal tersebut didukung oleh pendapat Offer & Church, 1991 (dalam Papalia 2014) yang menyatakan nilai-nilai mendasar kebanyakan remaja didapatkan dari orangtua. Selain itu, Koerner dan Fitzpatrick (2002) menyatakan bahwa penting bagi anggota keluarga untuk saling bergantung dan berinteraksi melalui berbagi perasaan, pikiran, atau perilaku.

Penelitian Lestari (2013) memaparkan mengenai “Keluarga Sebagai Tempat Proses Belajar Perilaku prososial”. Dalam penelitian tersebut menunjukan hasil bahwa sebagian besar anak belajar perilaku prososial dari orang tuanya. Orang tua merupakan contoh langsung maupun tidak langsung bagi anak. Berdasarkan hasil tersebut, keluarga merupakan pihak pertama tempat anak mengenal dan belajar perilaku prososial. Selain itu, ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan perilaku prososial pada anak-anaknya, sehingga interaksi antara orang tua dengan anak merupakan salah satu hal yang tidak dapat diabaikan.1. Cara orang tua dalam berinteraksi dan menjalin relasi dengan dengan anak adalah dengan menggunakan komunikasi.

Komunikasi merupakan salah satu komponen penting untuk saling berinteraksi dengan para anggota keluarga. Komunikasi antara anak dengan orang tua dapat mendukung perkembangan kapasitas anak untuk memahami

1

. Rini Lestari,”keluarga : Tempat Proses Belajar Perilaku Prososial”,Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013, A.04:61, (Surakarta, 1 Juni 2013), 61-73.


(26)

tindakan prososial mereka sendiri (Rechia, 2014). Sebaliknya, jika komunikasi antara orang tua dan anak buruk, maka mempunyai dampak munculnya kepribadian antisosial dan dependen (Ramadhani,2008). Pada kasus anak dengan gangguan perilaku antisosial, ditemukan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh pola asuh dan komunikasi dalam keluarga (Aicorn dan Carr, 2001 dalam Ramadhani 2008). Dalam penelitian sebelumnya (Maria, 1998) meneliti tentang “tendensi delikuensi remaja ditinjau dari efektifitas komunikasi antara orang tua dengan remaja” menyimpulkan bahwa kurangnya efektifitas komunikasi antara remaja dan orang tua berkaitan erat dengan munculnya tendensi delikuensi pada remaja. Hal ini dikarenakan remaja memiliki kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan diri, dan pengertian dari orang tuanya, yang hanya terpenuhi apabila tercipta komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua. Tidak adanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak akan membuat anak merasa tidak dihargai dan merasa frustasi. Hal tersebut lalu dikompensasikan dalam tindakan yang mengarah pada delikuensi. Dapat dikatakan bahwa komunikasi antara orangtua dan anak dapat mempengaruhi fungsi keluarga secara keseluruhan termasuk kesejahteraan psikososial pada diri anak (Shek dalam Ramadhani, 2008).

Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2002), dalam komunikasi keluarga terdapat pola yaitu kecenderungan sebuah keluarga membentuk cara berkomunikasi antara satu anggota dengan yang lain. Fitzpatrick (dalam Morissan 2010) juga menyatakan bahwa komunikasi yang terjadi dalam keluarga


(27)

tidaklah bersifat acak atau random, tetapi sangat terpola berdasarkan skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana anggota keluarga bekomunikasi satu dengan yang lainnya. Terdapat dua jenis orientasi pada pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga yaitu orientasi percakapan (conversation-orientation), merupakan ciri keluarga dimana orangtua mendorong anak untuk dapat berpartisipasi dan berinteraksi membahas berbagai topik dalam keluarga. Pada orientasi percakapan, keputusan dibuat bersama-sama antara orangtua dan anak (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Orientasi kepatuhan (conformity orientation), merupakan komunikasi yang dirancang untuk menghasilkan rasa hormat serta menciptakan kepercayaan yang homogen berkaitan dengan sikap nilai dan keyakinan antara anak dengan orangtua. Interaksi pada orientasi kepatuhan menekankan pada kepatuhan terhadap orangtua dan cenderung menghindari konflik (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Hal serupa diungkapkan oleh Beebe (2009) bahwa pola komunikasi keluarga dapat digambarkan melalui dua dimensi. Pertama, conversation orientation, yaitu berdasarkan tingkat pembicaraan atau sejauh mana anggota keluarga didorong untuk mendiskusikan topik apapun. Dimensi kedua conformity orientation, yaitu berdasarkan perilaku kepatuhan yang dilakukan oleh anak terhadap orangtua dalam keluarga.

Anak-anak dari orientasi keluarga yang berbeda cenderung untuk mengembangkan perilaku sosial yang berbeda (Fitzpatrick, Marshall, Leutwiler, & Krcmar dalam Prasitthipab 2008). Dalam penelitian Huang (dalam Brian, Mathew, Keith, 2000) ditemukan bahwa pola komunikasi keluarga


(28)

mempengaruhi karakteristik kepribadian individu. Anak yang berasal dari keluarga yang memiliki komunikasi berorientasi percakapan memandang dirinya lebih positif, terbuka, terlibat dalam kepemimpinan dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hal ini disebabkan anak memiliki internal locus of control yaitu anak berperan serta dalam diskusi mengenai topik permasalahan yang berada diluar lingkup keluarga dan memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial yang terjadi pada masyarakat, sehingga mereka mengembangkan ketrampilan sosial yang baik. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki komunikasi yang berorientasi kepatuhan cenderung tertutup, pemalu dan memiliki harga diri rendah. Orangtua cenderung menyamakan nilai, sikap dan gagasan. Hal ini menyebabkan anak memiliki external locus of controlsehingga, tidak tanggung jawab serta memiliki anggapan bahwa sikap dan perilakunya banyak ditentukan oleh faktor keberuntungan dari luar dirinya

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Baumrind (dalam Brian, Mathew, Keith, 2002) yang menemukan bahwa keluarga yang memiliki skor tinggi pada orientasi percakapan membesarkan anaknya dengan ketrampilan sosial yang baik. Kcmar (dalam Brian, Mathew, Keith, 2002) mengungkapkan bahwa komunikasi yang terbuka antara anggota keluarga meningkatkan interaksi sosial yang positif untuk anak.

Koerner & Fitzpatric, 2002 menyatakan bahwa untuk memprediksi pola komunikasi keluarga, tidak cukup hanya mengetahui bahwa keluarga ini memiliki orientasi konformitas yang tinggi maupun orientasi percakapan yang


(29)

tinggi. Melintasi kedua pola tersebut, terdapat empat tipe keluarga yaitu: 1.) Tipe pluralistik merupakan keluarga yang memiliki orientasi percakapan yang tinggi dan kepatuhan rendah, orangtua tidak merasa perlu mengontrol anak-anak mereka karena setiap pendapat dinilai berdasarkan pada kebaikannya, dan setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan. 2.) Tipe konsensual merupakan keluarga yang memiliki orientasi percakapan dan kepatuhan tinggi, keluarga jenis ini menghargai komunikasi secara terbuka dan orang tua tetap menghendaki adanya kewenangan yang jelas. 3.) Tipe protektif merupakan keluarga yang memiliki orientasi percakapan rendah dan kepatuhan yang tinggi, orang tua dari tipe keluarga ini merasa tidak harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara dan menjelaskan keputusan yang telah mereka buat 4.) TipeLaissez-Faire yaitu keluarga yang memiliki orientasi percakapan dan orientasi kepatuhan yang rendah, anggota keluarga dari tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dikerjakan anggota keluarga lainnya dan tidak ingin membuang waktu untuk membicarakannya.

Adanya pola komunikasi tertentu yang terbentuk dalam keluarga antara remaja dan orangtua dapat membantu dan meningkatkan perilaku remaja yang positif sehingga nantinya dapat berpengaruh terhadap perilakunya diluar lingkungan keluarga. Orangtua yang memiliki pola komunikasi yang buruk akan menyebabkan anak cenderung untuk melampiaskan pada hal-hal yang kurang baik salah satunya yaitu mengabaikan relasi sosial yang dapat berujung pada intensi prososial yang rendah. Berangkat dari fenomena tersebut peneliti tertarik


(30)

untuk membuktikan apakah pola komunikasi dalam keluarga mempunyai hubungan dengan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara tipe komunikasi dalam keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini perlu diadakan karena hasil penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan disiplin ilmu psikologi, terutama dibidang psikologi perkembangan dan psikologi sosial mengenai perilaku prososial pada remaja dan tipe komunikasi yang terjadi dalam keluarga. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah referensi karya ilmiah atau wawasan teoritis yang telah ada guna pertimbangan dalam melakukan penelitian di masa mendatang.


(31)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja dan orangtua untuk mengetahui tipe komunikasi yang terjadi di dalam keluarga dan perilaku prososial remaja. Hasil tersebut dapat menjadi sumber evaluasi diri dan refleksi bagi remaja dan para orangtua.


(32)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial

1. Pengertian Perilaku Prososial

Perilaku prososial merupakan tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong dan mungkin bahkan melibatkan resiko bagi orang yang menolong (Baron, 2005). Sedangkan menurut Sears (2004) perilaku prososial mencakup kagetori yang luas meliputi segala bentuk tindakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif penolong. Hal serupa diungkapkan oleh (Taylor, 2009) bahwa perilaku prososial mewakili suatu kategori tindakan yang luas yang didefinisikan oleh masyarakat atau kelompok sosial sebagai tindakan yang secara umum bermanfaat bagi orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial adalah suatu bentuk dukungan interpersonal yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, dalam hal ini pihak yang membu-tuhkan, baik bantuan secara material maupun dukungan moral yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pihak penerima bantuan, baik secara fisik maupun psikis namun tidak mendatangkan keuntungan yang jelas bagi pihak penolong, bahkan mengundang risiko tertentu (Husada,2013).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan yang sebagian besar dilakukan untuk menolong


(33)

yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun psikis terlepas dari motif-motif si penolong.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial

Bentuk dari perilaku prososial dapat tercermin dalam beberapa tindakan sebagai berikut :

1. Berbagi

Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012). Hal tersebut serupa dengan pernyataan (Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009) perilaku berbagi dapat berupa dukungan fisik maupun psikis.

2. Kerjasama

Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling memberi dan menolong (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni 2012; Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009).

3. Memberi atau Menyumbang

Salah satu bentuk perilaku prososial adalah memberi dan menyumbang yaitu kesediaan seseorang untuk berderma, memberi secara sukarela sebagian barang miliknya untuk orang yang lebih membutuhkan (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012; Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009)


(34)

4. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan meliputi membantu orang lain, berbagi informasi, menawarkan bantuan terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu untuk menunjang keberlangsungan kegiatan orang lain. (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012; Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009)

5. Kejujuran

Kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap orang lain (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012)

6. Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.

Kesediaan seseorang untuk berperilaku demi menunjang hak dan kesejahteraan dari orang lain (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012).

7. Persahabatan

Kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain demi terciptanya suasana yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain (Bringham dan Mussen, 1991; Bartal 1976 dalam Desmita, 2009)

8. Menyelamatkan

Kesediaan untuk menyelamatkan orang lain yang membutuhkan (Bringham dan Mussen, 1991; Bartal 1976 dalam Desmita, 2009)


(35)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa aspek-aspek pada perilaku prososial adalah Berbagi (Sharing), Menolong (Helping), Berderma

(Donating and generosity), Kerja Sama (Cooperating), dan Jujur (Honesty), Persahabatan, Menyelamatkan dan yang terahkir mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.

3. Social Value Orientation(SVO)

SVO merupakan pusat dari teori pengambilan keputusan yang paling rasional. Hal ini dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia dalam pengambilan keputusan yang bervariasi ketika mempertimbangkan pendapatan antara dirinya dengan orang lain (Murphy, 2011). Konsep dari Orientasi Nilai Sosial (SVO) mengasumsikan bahwa setiap individu secara sistematis berbeda dalam memandang hubungan interpersonal mereka dengan orang lain (Lange, 2007).

SVO terbentuk secara terus-menerus karena berhubungan dengan jumlah seberapa banyak orang bersedia mengorbankan miliknya dalam rangka membuat orang lain menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk (Murphy, 2011). Selain itu, SVO juga mengidentifikasi kecenderungan seseorang untuk bekerjasama (Murphy 2011).

SVO berkontribusi terhadap dasar-dasar kognitif, motivasi kerjasama dan persaingan antar manusia. SVO menganut teori ketergantungan dimana interaksi sosial terbentuk bukan hanya kepedulian terhadap hasil sendiri (yaitu, kepentingan diri sendiri), tetapi juga masalah sosial atau interpersonal


(36)

yang lebih luas, seperti keperdulian dengan hasil bersama, keperdulian dengan hasil yang diperoleh rekan, dan kepedulian dengan kesetaraan dalam hasil (Lange, 2007).

SVO diperkenalkan untuk menjelaskan perbedaan individu dalam perilaku kerjasama. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang dengan kecenderungan orientasi prososial tinggi pada SVO lebih sering bekerja sama dalam lingkungan sosial daripada individu dengan orientasi individualistis atau kompetitif (Garling, 2008; Declerk, 2008).

Orientasi prososial menurut SVO (Social Value Orientation) dapat tercermin dalam perilaku seseorang untuk bekerjasama, menolong dalam bentuk berkorban demi orang lain, bertindak sesuai dengan asas keadilan dan kesetaraan demi keuntungan serta kesejahteraan bersama (Garling, 2008).

Terdapat tiga tipe individu dalam Social Value Orientation (SVO) yaitu (Lange, 2007) :

a. Individu dengan orientasi Prososial didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk meningkatkan dan menyetarakan hasil antara dirinya dengan orang lain. Hal tersebut dilakukan dengan cara memaksimalkan hasil bersama serta meminimalkan perbedaan hasil antara diri sendiri dan orang lain

b. Individu dengan orientasi individualistik didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk memperoleh hasil yang lebih besar untuk diri sendiri dengan membuat perbedaan hasil antara dirinya dan orang lain


(37)

c. Individu dengan orientasi kompetitif didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang untuk meningkatkan perbedaan hasil antara diri sendiri dan orang lain yaitu dengan membuat selisih pendapatan yang jauh lebih banyak untuk dirinya dan lebih sedikit untuk orang lain.

Peneliti akan menggunakan skala SVO untuk mengukur kecenderungan perilaku prososial. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek social desirability

yang akan terjadi apabila menggunakan skala likert.

Hasil dari SVO perlu untuk mempertimbangkan faktor perbedaan budaya (Lange, 2007). Penelitian dalam psikologi budaya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mendasar pada faktor budaya terkait dengan bagaimana cara individu mendefinisikan diri dalam hubungan dengan orang lain (Heine et, al., 1999 dalam Declerk, 2008). Budaya barat sering ditandai dengan individualisme, sedangkan budaya kolektif (seperti Jepang) memiliki pandangan diri sebagai sebuah entitas yang saling tergantung dan saling terhubung satu sama lain (Kitayama et al., 1997 dalam Declerk, 2008). Chen, 2007 (dalam Declerk, 2008) menyatakan bahwa norma-norma sosial tampaknya jauh lebih penting dalam perilaku budaya kolektif dibandingkan dalam budaya individualistis.


(38)

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial

Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial bagi penolong (bystander) di masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku prososial berasal dari faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ialah faktor dari luar individu yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku prososial. Faktor dari luar individu yang dapat mempengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah jumlah kehadiran orang lain dalam sebuah situasi yang membutuhkan pertolongan, semakin banyak orang yang hadir maka semakin kecil kemungkinan individu akan memberi bantuan dikarenakan adanya penyebaran tanggung jawab (Sears, 2009; Myers 2012). Tanggug jawab sosial juga merupakan faktor dari SVO. Individu yang memiliki nilai orientasi prososial cenderung mempunyai tanggung jawab sosial yang lebih besar daripada seseorang yang memiliki nilai orientasi individualis ( Cremer & Lange, 2001)

Selain itu faktor kondisi lingkungan dapat mempengaruhi seseorang untuk memberikan bantuan misalnya cuaca. Saat cuaca cerah dan suhu yang nyaman orang akan lebih menampilkan perilaku menolong dibandingkan saat hujan atau cuaca buruk. Selain itu ukuran kota juga memberikan hasil bahwa orang asing lebih mungkin ditolong di kota kecil dibandingkan di kota besar (Sears, 2009; Sarwono, 2009; Myers, 2012).


(39)

Faktor tekanan waktu dapat mempengaruhi perilaku menolong. Seseorang yang dalam kondisi tergesa-gesa akan cenderung tidak memberikan bantuan karena mempertimbangkan keuntungan dan kerugian. Sebaliknya, seseorang yang tidak dalam kondisi tergesa-gesa akan cenderung untuk memberikan pertolongan (Sarwono, 2009; Sears, 2009; Myers, 2012)

Selanjutnya adalah faktor karakteristik orang yang akan ditolong yaitu individu akan cenderung lebih cepat menolong orang yang dikenal daripada orang asing. Selain itu, individu lebih mungkin menolong seseorang yang memiliki karakteristik yang sama dengan dirinya, misal kesamaan fisik, gender atau RAS. (Clayton, 2012; Sears, 2009; Baron; 2005; Sarwono, 2009; Myers 2012). Sedangkan dalam SVO karakteristik orang yang ditolong muncul dalam perbedaan relasi yang terjalin antara individu dengan orang lain. Individu akan cenderung menolong teman daripada menolong musuh.

Atribusi atas penyebab kesulitan merupakan salah satu faktor eksternal seseorang dalam berperilaku prososial. Seseorang akan cenderung menolong apabila hal tersebut murni kecelakaan dan bukan sesuatu yang disebabkan oleh si korban. Sebaliknya, seseorang akan cenderung tidak menolong apabila hal tersebut disebabkan kesalahan atau keteledoran dari korban sendiri (Baron, 2005; Clayton, 2012; Sarwono, 2009; Desmita, 2009; Sears, 2009).


(40)

Selain itu, model-model prososial akan mendukung seseorang untuk bertingkah laku prososial. Apabila seseorang melihat adanya korban yang ditolong orang lain, maka besar kemungkinan dirinya akan menolong orang yang membutuhkan seperti situasi yang dilihatnya sebelumnya (Baron, 2005; Sarwono, 2009; Myers, 2012). Perilaku berulang merupakan salah satu faktor dari SVO yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku prososial. Seseorang akan cenderung bersikap prososial apabila dirinya mengalami pengalaman berulang kali dengan situasi dan kondisi yang bersifat prososial (Lange, 2007). Jenis kelamin juga mempengaruhi individu dalam melakukan perilaku prososial. Laki-laki lebih cenderung untuk memberikan pertolongan daripada wanita (Baron, 2005; Sears, 2009; Sarwono, 2009; Myers, 2012).

Pola asuh juga mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berperilaku prososial. Peran orangtua ialah menciptakan standar perilaku baik dan bertindak sebagai model dengan perilaku spontan seperti berbagi, menolong dan bekerjasama. Selain itu, Orangtua juga dapat menggunakan teknik komunikasi untuk memberi penjelasan mengenai pentingnya manusia saling menolong satu sama lain. Melalui komunikasi orangtua dapat menstimulasi moral reasoning seperti bagaimana perilaku itu terbentuk. (Desmita, 2009; Sarwono; 2009). Interaksi sosial yang berbeda antara anak dengan orangtua merupakan salah satu faktor dari SVO. Misalnya, anak-anak yang telah berulang kali mengalami interaksi di


(41)

mana orang tua sangat memperhatikan kebutuhan dasar mereka cenderung untuk mengembangkan kepercayaan dan keamanan, yang dapat meningkatkan orientasi prososial. Sebaliknya, orangtua yang tidak memperhatikan kebutuhan anak mereka cenderung untuk mengembangkan ketidakpercayaan dan rasa tidak aman, yang dapat meningkatkan orientasi individualistik (Lange, 1997).

b. Faktor Internal

Faktor internal ialah faktor dari dalam yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku prososial. Faktor dari dalam individu yang dapat mempengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah nilai. Nilai merupakan sebuah ide yang diperlukan sebagai pedoman seseorang dalam berperilaku, menjelaskan tindakan dan mengevaluasinya. Nilai di internalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian besar nilai-nilai tersebut berkaitan dengan tindakan prososial (Staub, 1978 dalam Dayakisni, 2012). Selain itu, perbedaan nilai pada individu berimplikasi pada perbedaan tendensi prososial. Nilai yang dijadikan fokus adalah mengenai perbuatan baik, lebih khususnya berkaitan dengan perilaku prososial (Schwartz, 1994 dalam Dovidio, et.al, 2006).

Karakteristik personal pada setiap individu yang berbeda satu sama lain. Terdapat individu yang mempunyai kebutuhan yang tinggi agar disukai oleh lingkungan ada pula yang rendah (Sears, 2009). Menurut (Dayakisni, 2012). Perilaku prososial cenderung dilakukan oleh orang yang


(42)

memiliki karakteristik kepribadian meliputi harga diri tinggi, rendahnya sikap mengindari tanggung jawab dan rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain.

Setiap orang memiliki motivasi yang berbeda dalam memberikan pertolongan. Motivasi dan moralitas dalam perilaku prososial di bagi menjadi tiga kelompok pertama, egoisme yaitu melihat kepentingan pribadi bukan kesejahteraan orang lain. Kedua, integritas moral yaitu terlibat dalam tingkah laku prososial demi kepuasan pribadi. Ketiga, hipokrasi moral yaitu individu yang didorong oleh motivasi agar terlihat bermoral dan menghindari kerugian atas tindakan bermoral yang dilakukanya (Sears, 2009; Baron, 2005; Sarwono, 2009). Faktor moral juga merupakan salah satu dari faktor pengukuran SVO. Seseorang dengan orientasi prososial akan cenderung memiliki standar moral yang tinggi (Declerk dan Bogaert, 2008).

Jenis kelamin dapat menjadi faktor seseorang dalam berperilaku prososial. Sebuah penelitian menemukan bahwa kecenderungan untuk menolong pada remaja perempuan lebih besar daripada remaja laki-laki. (Zimmer 2005 dalam Sarwono 2009). Hal serupa diungkapkan oleh Taylor dkk (2009) bahwa perempuan lebih aktif daripada perilaku prososial walaupun dalam bentuk tipe pemberian bantuan yang berbeda-beda.

Suasana Hati juga dapat mempengaruhi individu untuk berperilaku prososial. Suasana hati yang buruk menyebabkan kita memusatkan


(43)

perhatian pada diri kita sendiri, sehingga keadaan itu akan mengurangi kemungkinan untuk membantu orang lain (Baron, 2005; Sears, 2009; Sarwono, 2009).

Faktor empati, yaitu perasaan simpati dan secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain dapat meningkatkan perilaku prososial individu (Staub dalam Dayakisni, 2012; Baron, 2005; Sarwono, 2009; Myers, 2012). Empati juga merupakan faktor orientasi nilai sosial (SVO) yang mempengaruhi individu dalam berperilaku prososial (Decklerk dan Bogaert, 2008).

Selanjutnya, faktor lain adalah menimbang untung dan rugi dalam tidakan menolong. Hal tersebut sebagai bagian dari pengambilan keputusan, individu akan menimbang kerugian dan manfaat apabila dirinya menolong (Clayton, 2012; Sears, 2009). Dalam konteks orientasi nilai sosial faktor menimbang untung dan rugi merupakan perilaku dalam pengambilan keputusan. Keputusan tersebut diambil berdasarkan untung dan rugi. Hal ini berkaitan dengan orientasi nilai sosial dari seseorang (Lange, 2007)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial berasal dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, yaitu faktor kehadiran orang lain, faktor lingkungan, tekanan waktu, faktor orang yang diberi pertolongan, atribusi penyebab kesulitan, model-model prososial dan pola


(44)

asuh. Sedangkan faktor internal meliputi nilai, karakteristik personal, motivasi dan moralitas, suasana hati, empati, menimbang untung dan rugi. B. Komunikasi Keluarga

1. Pengertian komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communion atau common. Jika mengadakan komunikasi, maka membagikan sebuah informasi agar si penerima maupun pengirim sepaham atas suatu pesan tertentu. Esensi dari komunikasi adalah menemukan dan memadukan si penerima dan si pengirim atas isi pesan yang khusus (Wilbur dalam Siahaan, 2000).

Barker (2002) yang menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses biologis dan berbasis budaya, yang terjadi secara berkelanjutan dan interaktif di mana dua orang atau lebih menggunakan simbol verbal dan non-verbal untuk membentuk, memperkuat, atau mengubah perilaku orang lain, baik langsung atau dari waktu ke waktu, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, dan pada gilirannya menjamin kelangsungan hidup kedua spesies dan individu. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Siahaan (2000) yang menyatakan komunikasi diperlukan agar manusia saling mengerti, saling menolong dan saling melengkapi

Selain itu, komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik (Devito, 2011).


(45)

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah proses secara berkelanjutan dan interaktif antara dua orang atau lebih menggunakan simbol verbal dan non-verbal guna membagikan informasi, mengubah perilaku orang lain. Dalam komunikasi terjadi distorsi sebagai gangguan dalam upaya menerima umpan balik.

2. Definisi Komunikasi keluarga

Komunikasi keluarga adalah proses perkembangan intersubjektivitas oleh sekelompok orang yang didalamnya melibatkan sebuah kode yang menghasilkan sebuah ikatan yang kuat seperti kesetiaan dan emosi sepanjang sejarah kehidupan dari waktu ke waktu (Noller and Fiztpatrick, 1993). Hal itu di dukung oleh (Galvin dan Brommel, dalam Prasitthipab 2008) yang didefinisikan secara luas keluarga sebagai jaringan orang-orang yang berbagi kehidupan mereka selama jangka waktu yang lama terikat oleh ikatan perkawinan, darah, atau komitmen, hukum yang menganggap dirinya sebagai keluarga dan memiliki sejarah penting dan diharapkan di masa depan berfungsi dalam hubungan keluarga.

Sedangkan menurut Rae Sedwig (dalam Febriyanti, Kismiati, dan Arisanti, 2012) komunikasi keluarga melibatkan suatu proses menggunakan kata-kata, gerakan tubuh (gesture), inotasi suara, melibatkan suatu tindakan yang menghasilkan pencitraan, melibatkan perasaan dengan maksud mengajarkan, mempengaruhi anggota keluarga dan memberikan pemahaman terhadap suatu hal. Dapat dikatakan bahwa komunikasi keluarga adalah


(46)

komunikasi yang dilakukan antar anggota keluarga yang dilakukan secara langsung (face to face) dan setiap anggota keluarga yang melakukan komunikasi dapat berperan sebagai komunikan maupun komunikator (Febriyanti, Kismiati, dan Arisanti, 2012).

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bserta melibatkan suatu proses menggunakan kata-kata, gerakan tubuh (gesture), inotasi suara guna memberikan suatu pemahaman. Dalam penelitian ini komunikasi keluarga yang dimaksudkan khususnya antara orangtua dan anak. 3. Dimensi Pada Pola Komunikasi keluarga

Pola komunikasi keluarga berkembang unik selama jangka waktu yang relatif panjang yang didalamnya terkandung keyakinan, norma, dan sejarah di antara anggota keluarga (Baxter et al. 2005 dalam Prasitthipab 2008 ). Selain itu pola komunikasi keluarga mempunyai asumsi bahwa pandangan anak-anak tentang realitas dan sosialisasi mencerminkan bagaimana orang tua berkomunikasi dengan anak-anak mereka (McLeod & Chaffee dalam Prasitthipab, 2008). Visi komunikasi memberikan model kerja sosial dan kognitif bagi anggota keluarga, memberikan mereka (anggota keluarga) pedoman normatif bagaimana berperilaku dalam keluarga sehingga interaksi dalam keluarga memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat (Baxter et al. 2005 dalam Prasitthipab 2008 ).

Baldwin (dalam Prasitthipab, 2008) menyatakan bahwa setiap jenis keluarga menciptakan karakteristik yang membedakan sendiri seperti


(47)

keyakinan, sikap, dan perilaku komunikasi. Pola komunikasi dibagi menjadi dua dimensi yaitu :

a. Orientasi Kepatuhan(Conformity-Orientation)

Keluarga dengan konsep orientasi kepatuhan yaitu jenis keluarga yang mendorong anak-anak mereka untuk menghindari konflik serta menampilkan kesesuaian dalam percakapan termasuk dalam hal perilaku, nilai dan keyakinan . Selain itu, orang tua berusaha untuk menghasilkan kepercayaan homogen dan iklim saling tergantung, memiliki pandangan kepada anak-anak mereka bahwa argumentasi bukanlah cara terbaik untuk memecahkan masalah (Koener dan Fitzpatrick, 2002).

Para anggota keluarga yang lebih muda diharapkan untuk mematuhi orang tua atau orang yang lebih tua. Orientasi kepatuhan biasanya terjadi pada keluarga tradisional yang mengedepankan hierarkis dan otoritas. (Koener dan Fitzpatrick, 2002). Keluarga yang memiliki orientasi kepatuhan tinggi sangat mengutamakan kebersamaan dan waktu dengan para anggota keluarga dirumah sedangkan keluarga dengan orientasi kepatuhan yang rendah akan cenderung mengembangkan relasinya diluar lingkungan keluarga. (Korner dan Fitzpatrick, 2002).

b. Orientasi Percakapan(Conversation-Orientation)

Keluarga dengan konsep orientasi percakapan yaitu jenis keluarga dimana orang tua mendorong untuk mendiskusikan isu-isu politik dan sosial dengan anak-anak mereka Anggota keluarga memiliki hak untuk


(48)

berpendapat dan bersama-sama mendiskusikan pendapat mereka (Koener dan Fitzpatrick, 2002). Anggota keluarga dengan orientasi percakapan cenderung untuk menghabiskan sebagian besar waktu berdiskusi dengan satu sama lain untuk mencapai keputusan. Keputusan dalam keluarga diambil bersadarkan kebaikan bersama. Anak-anak dari keluarga ini didorong untuk berkomunikasi secara terbuka dan spontan tentang berbagai topik, bertukar ide dan pikiran, nilai-nilai serta saling berbagi perasaan (Koener dan Fitzpatrick, 2002).

Keluarga dengan orientasi percakapan yang tinggi cenderung untuk menghargai perbedaan pendapat diantara anggota keluarga. Hal tersebut dapat menciptakan komunikasi yang terbuka antara anggota keluarga sehingga hubungan keluarga terjalin toleransi, kerjasama dan mengajarkan anak bersosialiasasi (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Sedangkan keluarga dengan orientasi percakapan yang rendah cenderung Kurang berinteraksi dengan para anggota keluarga sehingga kurang terjadi diskusi, aktivitas serta pertukaran ide dan gagasan (Koerner dan Fitzpatrick, 2002).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pola komunikasi dalam keluarga yaitu conformity-orientation berdasarkan tingkat kepatuhan terhadap otoritas tertinggi yaitu orangtua. Kedua, conversation-orientation yang didasarkan pada banyaknya waktu yang dihabiskan orangtua dan anak untuk berbincang-bincang secara terbuka mengenai topik apapun.


(49)

4. Tipe-tipe Dalam Komunikasi Keluarga

Pola komunikasi menciptakan tipe keluarga yang berbeda (Fitzpatrick dalam Morissan, 2010) yaitu :

1. Tipe Konsensual

Keluarga dengan tipe konsensual adalah keluarga yang sangat sering melakukan percakapan namun juga memiliki kepatuhan yang tinggi. Orang tua sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam keluarga sebagai pengambil keputusan. Keluarga dengan tipe konsensual sangat menghargai komunikasi terbuka dalam keluarga namun disisi lain tetap menghendaki kewenangan dan penjelasan orangtua yang jelas walaupun tidak sejalan dengan keinginan anak-anaknya.

2. Tipe Pluralistik

Keluarga dengan tipe pluralistik adalah keluarga yang sangat sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang rendah. Setiap anggota keluarga pada tipe ini akan membuat keputusanya masing-masing. Orangtua tidak menjadi pemegang otoritas tertinggi. Setiap pendapat dalam keluarga dinilai berdasarkan kebaikanya yaitu pendapat mana yang paling baik dan setiap setiap orang turut serta dalam pengambilan keputusan.

3. Tipe Protektif

Keluarga dengan tipe protektif adalah keluarga yang jarang melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang tinggi. Orangtua


(50)

dalam pada jenis ini menganggap bahwa tidak ada alasan bagi mereka untuk menghabiskan banyak waktu untuk berbicara termasuk menjelaskan keputusan yang telah mereka buat dalam keluarga.

4. TipeLaisses-faire

Keluarga dengan tipe Laisses-faire adalah keluarga yang jarang melakukan percakapan dan memiliki kepatuhan yang rendah. Jenis keluarga dengan tipe komunikasi seperti ini sering disebut dengan lepas tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga dalam jenis ini tidak terlalu perduli dengan apa yang dikerjakan oleh anggota keluarga lain dan menganggap bahwa komunikasi bukanlah suatu hal yang penting.

Maka dapat disimpulkan bahwa tipe-tipe dalam komunikasi keluarga terdiri dari tipe komunikasi konsensual, tipe komunikasi pluralistik, tipe komunikasi protektif dan terakhir adalah tipe komunikasi laizze-faire.

Keempat tipe komunikasi tersebut dihasilkan dari dua dimensi komunikasi keluarga yaituconversation-orientationdanconformity-orientation


(51)

Skema 1. Tipe Komunikasi Keluarga

Orientasi percakapan

Rendah Tinggi

Rendah Laizze-fair Protektif

Tinggi Pluralistik Konsensual

5. Dampak Komunikasi Keluarga

Komunikasi keluarga berperan penting dalam memberi rasa aman bagi anak-anak karena didalamnya terdapat keteladanan dan merupakan tempat bernaung ketika anak menghadapi kesulitan atau masalah (Gunarsa, 2001). Komunikasi keluarga berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi orangtua terhadap anak. Hal tersebut penting karena dalam proses tersebut akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif kepada anak (Setyowati, 2005). Walker dan Taylor (1991; dalam Papalia, 2009) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa orangtua yang senantiasa mendengarkan, bertanya mengenai pendapat, meneliti tentang isu yang dibicarakan bersama remaja, dan berdiskusi dengan tingkat yang lebih aktif akan meningkatkan kemajuan perilaku yang baik dibandingkan dengan orangtua yang senang berceramah dan menentang pendapat mereka.


(52)

Selain itu, komunikasi adalah kunci utama bagi keharmonisan antara orangtua dan remaja. Keluarga harus memiliki waktu cukup lama untuk berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan antara orangtua dengan anak (Gunarsa, 2004). Cara komunikasi orangtua dalam keluarga akan memberi dampak pada hubungan orangtua anak dalam jangka panjang. Hal ini berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku anak. Bila hubungan komunikasi yang di kembangkan oleh orang tua tidak harmonis maka muncul konflik antara orang tua dengan anak (Gunawan, 2013). Hal tersebut didukung oleh penelitian Clark dan Shields (1997 dalam Lestari 2013) yang mengungkapkan bahwa komunikasi yang baik antara anak dengan orangtua berkorelasi dengan rendahnya keterlibatan anak dalam perilaku delikuen. Selain itu, Booth-Butterfield dan Sidelinger (1998 dalam Lestari 2013) mengungkapkan bahwa keterbukaan dalam komunikasi keluarga tentang topik seksualitas dan penggunaan alkohol berbukti berkorelasi dengan kecenderungan remaja untuk melakukan seks yang aman maupun dalam penggunaan alkohol.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak dari komunikasi keluarga berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi orangtua sehingga dapat mempengaruhi perilaku anak. Komunikasi yang buruk akan menghasilkan perilaku penyimpangan terhadap remaja, sedangkan komunikasi yang baik berdampak pada perilaku remaja yang baik.


(53)

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Manusia mengalami tahap-tahap perkembangan yang dialui dalam kehidupan. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah masa remaja Istilah remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescene (Ali dan Asrori, 2009).Masa remaja (adolescene) merupakan masa transisi dari perkembangan anak-anak menjadi dewasa dengan melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Hal serupa diungkapkan oleh (Papalia, 2009) yang menyatakan bahwa perkembangan remaja melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa remaja merupakan masa transisi dari perkembangan anak-anak menjadi dewasa dengan melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional.

2. Batasan usia remaja

Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli. Diantaranya adalah batasan usia remaja menurut (Santrock, 2007) dimulai sekitar usia usia 10-13 tahun dan berahkir pada sekitar usia 18-22 tahun. sedangkan batasan usia remaja menurut (Papalia, 2009) yaitu antara usia 11 tahun hingga usia 20 tahun. Batasan remaja menurut WHO adalah 10-20 tahun. Selanjutnya, WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja ahkir 15-20 tahun (Sarwono, 2011)


(54)

Berdasarkan uraian tersebut maka disimpulkan bahwa masa perkembangan remaja terdapat pada rentang usia 11-21 tahun.

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja a. Perkembangan Fisik

Awal masa remaja ditandai dengan adanya pubertas yaitu sebuah kumpulan peristiwa biologis yang mengarah pada pertumbuhan tubuh dan kematangan seksual baik primer maupun sekunder. (Berk, 2012; Papalia, 2009). Hal serupa diungkapkan oleh (Santrock, 2007) bahwa perkembangan remaja ditandai dengan perubahan fisik berupa berubahan berat dan tinggi badan, pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, pertumbuhan payudara pada perempuan, kematangan organ seksual seperti menstruasi pada wanita serta dan fungsi reproduksi.

Peristiwa pubertas mempengaruhi citra diri, suasana hati, serta interaksi remaja dengan orangtua dan teman. Hal tersebut merupakan dampak dari perubahan fisik yang terjadi pada remaja. Kondisi tersebut menyebabkan munculnya emosi positif maupun negatif pada remaja sehingga dukungan orangtua dan teman dibutuhkan untuk mendampingi remaja dalam menjalani masa awal pubertas (Berk, 2012).

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, masa remaja memasuki tingkat perkembangan kognitif tertinggi yaitu operasional formal yaitu kemampuan berpikir secara abtrak, sistematis dan ilmiah yang dimulai dari usia 11 tahun. Hal


(55)

ini berdampak pada pemikiran remaja yang tidak hanya dibatasi oleh cara berpikir pada saat ini namun juga pada saat mendatang. Dengan mencapai tahap operasional formal, remaja dapat berpikir fleksibel dan kompleks. Selain itu remaja juga dapat menciptakan situasi yang bersifat fantasi dan membuat hipotesis sehingga mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya. (Papalia, 2009; Santrock, 2007, Berk, 2012).

Dalam tahap ini remaja sudah mampu berpikir logis. Remaja mulai memiliki pola berpikir sebagai peneliti sehingga mempunyai perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa mendatang (Santrock, 2007). Namun, kecenderungan cara berpikir egosentris masih terjadi pada masa remaja. Selain itu meningkatnya kesadaran diri remaja yaitu tumbuhnya suatu pandangan bahwa mereka penting, unik dan istimewa sehingga menjadi fokus dan keperdulian orang lain (Berk, 2012; Santrock, 2007)

c. Perkembangan Sosial dan Emosi

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok sebaya dibandingkan dengan orangtua (Berk, 2012). Peran teman sebaya sangat besar bagi perkembangan sosial remaja karena merupakan sumber informasi utama dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup (Papalia, 2009). Hal tersebut didukung oleh Santrock (2007) yang menyatakan bahwa remaja memiliki kebutuhan yang tinggi untuk diterima oleh teman sebaya. William dalam Jahja (2011) menyatakan salah satu


(56)

tugas perkembangan remaja ialah perlu mengembangkan ketrampilan komunikasi dan bergaul dengan teman sebaya.

Selain itu, pada masa remaja tumbuh otomoni diri yang apabila tidak dipenuhi akan terjadi konflik antara orangtua dan remaja. Hal tersebut dapat berkurang apabila tercipta adanya saling toleransi, negosiasi serta keseimbangan otoritas antara orangtua dan remaja (Laursen et.al, 1998 dalam Papalia, 2009)

Perilaku prososial berkembang seiring bertambahnya usia, bahkan di antara anak-anak sampai remaja terdapat peningkatan bertahap dalam perilaku prososial, termasuk kerja sama dan kesetaraan (Lange.et.al 1997). Selama masa remaja, kerjasama dan hubungan timbal balik mengalami peningkatan yang mencerminkan semakin baiknya ketrampilan dalam memelihara hubungan dan kepekaan terhadap kebutuhan dan keinginan orang lain (Berk, 2012). Hal tersebut sesuai dengan tugas perkembangan yang dikemukakan oleh Hurlock (1991) yaitu remaja diharapkan dapat mencapai perilaku sosial sesuai dengan tuntunan sosial yang ada di lingkungannya.

Menurut Kohlberg, remaja di tahap penalaran moral yang lebih tinggi kerap kali melakukan tindakan prososial dengan membantu, berbagi dan membela korban ketidakadilan (Carlo dkk, 1996; Comunian & Gielen, 2006, dalam Berk, 2009). Nilai-nilai moral ini salah satunya adalah dorongan untuk menolong dan berbuat baik bagi orang lain (Jahja, 2011).


(57)

Menurut aspek yang telah dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa remaja mengalami perkembangan baik secara fisik, kognitif maupun sosial dan emosi. Setiap aspek yang terjadi pada remaja dapat memberikan dampak dan pengaruh langsung terhadap remaja. Perkembangan fisik perkaitan dengan perubahan biologis, perkembangan kognitif berkaitan dengan perkembangan pemikiran dan perkembangan sosial dan emosi yang berkaitan dengan hubungan sosial remaja dengan tingkat yang lebih luas. D. Hubungan Antara Pola Komunikasi keluarga dengan perilaku Prososial

pada remaja

Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru yang disertai dengan dukungan emosi (Reiss dalam Lestari, 2013). Selanjutnya, keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan lingkungannya (Gerungan, 2009).

Remaja merupakan salah satu bagian dari keluarga yang mengalami masa transisi dari anak-anak menuju dewasa (Papalia, 2009). Sebagian besar remaja menghabiskan waktu untuk saling berinteraksi dengan dunia yang lebih luas di luar lingkungan keluarga (Berk, 2012). Namun, keterikatan dengan orangtua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif dan menjadi landasan kokoh bagi perkembangan remaja (Desmita, 2009). Hal ini diperkuat oleh pendapat Steinberg and Silk (dalam Laura, 2007) yang mengungkapkan


(58)

bahwa orang tua tetap menjadi dasar selama masa remaja. Sehingga interaksi antara orangtua dan remaja sangat penting untuk dipertimbangkan saat memeriksa nilai-nilai dan perilaku remaja.

Interaksi yang terjadi didalam keluarga salah satunya adalah melalui komunikasi. Komunikasi keluarga adalah komunikasi yang terjadi diantara anggota keluarga yaitu orang tua dengan anak-anak dalam berbagai hal sebagai sarana bertukar pikiran, sarana mensosialisasikan nilai-nilai orang tua kepada anaknya, dan saling memahami antar anggota keluarga (Komala, Setianti, Komariah, 2005).

Komunikasi yang terjadi pada keluarga tidaklah bersifat acak namun sangat terpola berdasarkan skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana anggota keluarga bekomunikasi satu dengan yang lainnya (Fiztpatrick dalam Morissan 2010). Pola komunikasi keluarga dibagi menjadi dua dimensi yaitu yaitu orientasi kepatuhan (conformity-orientation) dan orientasi percakapan (conversation-orientation)(Noller dan Fitzpatrick, 1993; Prasitthipab, 2008; Beebe, 2009).

Keluarga yang menganut pola orientasi kepatuhan adalah keluarga yang mendorong anak-anak mereka untuk menghindari konflik dan cenderung menampilkan kesesuaian dalam percakapan dengan orang tua mereka. (Baldwin dalam Prasitthipab, 2008). Selain itu, pola komunikasi dengan oriantasi kepatuhan lebih mengutamakan sejauh mana keluarga menekankan


(59)

nilai-nilai, sikap, dan keyakinan yang sama pada anggota keluarga (Bebee, 2009).

Keluarga yang menganut pola komunikasi dengan orientasi percakapan yaitu tipe keluarga yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan berdiskusi satu sama lain untuk mencapai keputusan. Anak-anak dari keluarga-keluarga ini didorong untuk berkomunikasi secara terbuka, pertukaran ide, dan menikmati berbagi nilai-nilai. Selain itu, orangtua mendorong anak untuk mendiskusikan topik apapun (Beebe, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Maria (1998) mengenai “tendensi delikuensi remaja ditinjau dari efektifitas komunikasi antara orang tua dengan remaja” menyimpulkan bahwa kurangnya efektifitas komunikasi antara remaja dan orang tua berkaitan erat dengan munculnya tendensi delikuensi pada remaja. Hal ini dikarenakan remaja memiliki kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan diri, dan pengertian dari orang tuanya, yang hanya terpenuhi apabila tercipta komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua.

Komunikasi keluarga memiliki beberapa dampak bagi setiap anggota keluarga. Salah satunya berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi orangtua terhadap anak (Setyowati, 2005). Setiap keluarga menerapkan pola komunikasi yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Komunikasi yang buruk akan menghasilkan perilaku penyimpangan terhadap remaja, sedangkan komunikasi yang baik menghindarkan remaja dari perilaku penyimpang.


(60)

Pola komunikasi yang diterapkan dalam keluarga dapat mendukung perkembangan kapasitas anak untuk memahami tindakan prososial mereka sendiri (Rechia, 2014). Anak-anak dari orientasi keluarga yang berbeda cenderung untuk mengembangkan perilaku sosial yang berbeda (Fitzpatrick, Marshall, Leutwiler, & Krcmar dalam Prasitthipab 2008). Dalam hal ini orangtua berperan penting karena merupakan agen sosialisasi pertama bagi anak sebagai manusia sosial (Gerungan, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Huang (dalam Brian, Matthew dan Keith, 2002) mendapatkan hasil bahwa anak yang berasal dari keluarga yang memiliki komunikasi berorientasi percakapan tinggi memandang dirinya lebih positif, terbuka, terlibat dalam kepemimpinan dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Walker dan Taylor (1991; dalam Papalia, 2009) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa orangtua yang senantiasa mendengarkan, bertanya mengenai pendapat, meneliti tentang isu yang dibicarakan bersama remaja, dan berdiskusi dengan tingkat yang lebih aktif akan meningkatkan kemajuan perilaku yang baik. Hal tersebut terjadi karena setiap anggota keluarga terutama anak mempunyai hak untuk berpendapat sehingga mendorong anak untuk lebih inisiatif dan memiliki pandangan terbuka terhadap berbagai topik. Selain itu, anak juga menjadi peka terhadap kebutuhan orang lain disekitarnya.

Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki orientasi kepatuhan cenderung mematuhi otoritas dari orangtua sehingga menghasilkan


(61)

anak yang tertutup dan memiliki harga diri rendah (dalam Brian, Matthew dan Keith, 2002). Orangtua yang senang berceramah dan menentang pendapat anak akan cenderung menghasilkan perilaku anak yang kurang baik (Walker dan Taylor 1991; dalam Papalia, 2009). Hal tersebut berdampak pada relasi sosialnya di lingkungan yang lebih luas termasuk dalam menampilkan perilaku prososial. Keluarga yang berorientasi kepatuhan menerapkan kesamaan nilai antara orangtua dan anak. Orangtua memegang otoritas tertinggi dalam keluarga. Hal tersebut memiliki dampak anak menjadi pasif dan kurang inisiatif dalam pemikiran. Selain itu, tidak adanya toleransi orangtua terhadap anak dapat berakibat kurangnya kepekaan anak dalam menghadapi situasi.

Keluarga yang memiliki pola komunikasi percakapan yang tinggi memungkinkan untuk memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hal itu terjadi karena keluarga sering melakukan percakapan dan bertukar pikiran sehingga nantinya anak dapat lebih berkembang di luar lingkungan keluarganya. Hal itu tercermin dalam perilaku prososial yang tinggi pada anak. Sedangkan, remaja yang memiliki pola komunikasi kepatuhan yang tinggi akan memungkinkan remaja menjadi tertutup sehingga berdampak pada perilaku prososial yang cenderung rendah terhadap lingkungan sekitar. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya keterbukaan dari orangtua yang jarang melakukan percakapan sehingga ramaja menjadi tidak berkembang dan pasif.


(62)

Interaksi dari kedua pola dimensi komunikasi keluarga tersebut menghasilkan empat tipe pola komunikasi berdasarkan tinggi rendahnya. Pertama adalah tipe konsensual yaitu keluarga yang sering melakukan percakapan dan memiliki kepatuhan yang tinggi. Kedua adalah tipe pluralistik yaitu keluarga yang sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang rendah. Ketiga adalah tipe protektif yaitu keluarga yang memiliki kepatuhan yang tinggi dan jarang melakukan percakapan, dan yang terahkir adalah tipe laizze-fair yaitu keluarga yang jarang melakukan percakapan dan memiliki kepatuhan yang rendah. Masing-masing tipe ini dapat mempengaruhi perilaku pada anak, salah satunya adalah perilaku prososial.

Perilaku prososial merupakan tindakan yang sebagian besar dilakukan untuk menolong orang lain yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun psikis terlepas dari motif-motif si penolong. Masa remaja merupakan waktu untuk meningkatkan perilaku prososial. Hal tersebut disebabkan karena remaja memiliki kebutuhan untuk bekerjasama, memiliki dan memelihara hubungan timbal balik dengan sesama (Berk, 2012). Penting bagi remaja untuk mengembangkan perilaku prososial agar sesuai dengan tuntunan sosial yang ada di lingkungan masyarakat.

Keluarga yang memiliki tipe komunikasi konsensual akan cenderung mengarahkan remaja pada perilaku prososial karena memiliki relasi yang memuaskan dengan lingkungan, bersikap flexible dan penuh kasih sayang.


(63)

Begitu pula dengan keluarga yang memiliki tipe komunikasi pluralistik, akan cenderung mengarahkan remaja pada perilaku prososial karena memiliki keterbukaan diri dan kemampuan bersosialisasi. Sedangkan tipe komunikasi protektif akan cenderung mengarahkan remaja pada perilaku individual karena cenderung tertutup sehingga anak menjadi pasif dan kurang inisiatif. Terakhir, tipe komunikasi laizze-faireakan cenderung mengarahkan anak pada perilaku kompetitif karena tidak memiliki keterbukaan diri dan harga diri yang rendah (Brian, Mathew, Keith, 2002)


(64)

Pola Komunikasi Keluarga

Konsensual

- -Kepatuhan tinggi

- - Percakapan tinggi Prososial Prososial Dampak pada remaja: 1. Memiliki Keterbukaan diri 2. Memiliki Kemampuan bersosialisasi Dampak pada remaja : 1. Bersikap cenderung tertutup 2. Pasif dan

kurang inisiatif Dampak pada

remaja :

1. Relasi yang memuaskan dengan lingkungan

2. Bersikap

3. fleksibel 3. Penuh kasih

sayang

Dampak pada remaja :

1. Harga diri rendah

2. 2. Tidak memiliki keterbukaan diri Pluralistik - Kepatuhan rendah - Percakapan tinggi Protektif - Kepatuhan tinggi - Percakapan rendah Laizze-Faire - Kepatuhan rendah - Percakapan rendah Individual Kompetitif


(65)

E. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori yang menjelaskan tentang tipe komunikasi dan kecenderungan perilaku prososial maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dengan kecenderungan perilaku prososial remaja.


(66)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian korelasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara dimensi pola komunikasi keluarga dengan perilaku prososial pada remaja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yaitu menekankan analisisnya pada data-data numerikal yang diolah dengan metode statistik (Azwar, 2004). Variabel-variabel yang terdapat pada penelitian ini diukur sehingga data-data yang terdiri dari angka-angka dapat dianalisis berdasarkan prosedur statistik (Noor, 2011).

B. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian

Untuk menguji suatu hipotesis, sebelumnya akan dilakukan identifikasi variable-variabel yang dilibatkan dalam penelitian. Adapun variabel-variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas : Tipe Komunikasi Keluarga

a. Tipe Komunikasi Pluralistik

Tipe komunikasi yang dihasilkan dari pola komunikasi berorientasi percakapan tinggi dan orientasi kepatuhan rendah.

b. Tipe Komunikasi Protektif

Tipe komunikasi yang dihasilkan dari pola komunikasi berorientasi percakapan rendah dan orientasi kepatuhan tinggi.


(67)

c. Tipe Komunikasi Konsensual

Tipe komunikasi yang dihasilkan dari pola komunikasi berorientasi percakapan tinggi dan orientasi kepatuhan tinggi.

d. Tipe KomunikasiLaizze-faire

Tipe komunikasi yang dihasilkan dari pola komunikasi berorientasi percakapan rendahn dan orientasi kepatuhan rendah.

2. Variabel tergantung : Kecenderungan Perilaku prososial remaja

C. Definisi Operasional

Untuk keperluan penelitian, perlu ditentukan adanya batasan operasional terhadap variabel-variabel penelitian. Definisi Operasional adalah suatu definisi yang memberikan penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang dapat diukur sehingga memberikan informasi-informasi yang diperlukan untuk mengukur variabel-variabel yang akan diteliti (Kountour, 2003). Batasan-batasan operasional variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Tipe Komunikasi keluarga a. Tipe konsensual

Tipe konsensual adalah tipe komunikasi dalam keluarga yang dirancang untuk menghasilkan rasa hormat dan patuh oleh anak terhadap orangtua, membina hubungan sosial yang harmonis ketika dirumah dan anak cenderung memiliki kepercayaan yang homogen terhadap orangtua. Namun disisi lain, orangtua dengan tipe konsensual sering berdiskusi, berpartisipasi dan berinteraksi membahas berbagai topik, mengambil


(68)

keputusan secara bersama-sama melalui negosiasi, terbuka terhadap nilai, dan menghargai adanya toleransi terhadap anak.

Tipe komunikasi konsensual ini dapat diungkap melalui dua skala yaitu, skala orientasi kepatuhan dan skala orientasi percakapan. Subjek masuk dalam tipe pola komunikasi konsensual apabila mendapatkan skor tinggi pada kedua skala orientasi kepatuhan maupun orientasi percakapan.

b. Tipe Pluralistik

Tipe pluralistik adalah tipe komunikasi antara anak dan orangtua yang dirancang untuk sering berdiskusi, berpartisipasi dan berinteraksi membahas berbagai topik, mengambil keputusan secara bersama-sama melalui negosiasi, terbuka terhadap nilai, dan menghargai adanya toleransi. Namun disisi lain, anak dengan tipe orangtua pluralistik kurang memiliki rasa hormat dan patuh terhadap orangtua, hubungan sosial yang kurang harmonis, tidak menghasilkan kepercayaan yang homogen antara anak dan orangtua.

Tipe komunikasi pluralistik ini dapat diungkap melalui dua skala yaitu, skala orientasi kepatuhan dan skala orientasi percakapan. Subjek masuk dalam tipe pola komunikasi pluralistik apabila mendapatkan skor tinggi pada skala orientasi percakapan dan memiliki skor rendah untuk skala orientasi kepatuhan.


(1)

LAMPIRAN 7


(2)

122

A. Tabel Chi-Square

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total N Percent N Percent N Percent Pola_komunikasi

* SVO 249 100.0% 0 .0% 249 100.0%

Tipe_komunikasi * SVO Crosstabulation SVO

Total competitif individual prososial

Tipe_ Komunikasi

konsensual Count 32 69 75 176 Expected Count 31.1 77.0 67.9 176.0 % within

Tipe_komunikasi 18.2% 39.2% 42.6% 100.0% laizze-fai Count 4 11 2 17 Expected Count 3.0 7.4 6.6 17.0 % within

Tipe_komunikasi 23.5% 64.7% 11.8% 100.0% pluralisti Count 4 10 10 24 Expected Count 4.2 10.5 9.3 24.0 % within

Tipe_komunikasi 16.7% 41.7% 41.7% 100.0%

protektif Count 4 19 9 32

Expected Count 5.7 14.0 12.3 32.0 % within

Tipe_komunikasi 12.5% 59.4% 28.1% 100.0%

Total Count 44 109 96 249

Expected Count 44.0 109.0 96.0 249.0 % within


(3)

123

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 10.079a 6 .121 Likelihood Ratio 10.997 6 .088 N of Valid Cases 249

a. 2 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00.


(4)

LAMPIRAN 8


(5)

124

A. Distribusi Frekuensi Pola Komunikasi

percakapan kepatuhan

N Valid 249 249

Missing 0 0

percakapan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid rendah 49 19.7 19.7 19.7

tinggi 200 80.3 80.3 100.0

Total 249 100.0 100.0

kepatuhan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid rendah 41 16.5 16.5 16.5

tinggi 208 83.5 83.5 100.0

Total 249 100.0 100.0

A. Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Tipe Komunikasi

Frequency Percent Valid Percent

Valid konsensual 176 70.7 70.7

laizze-fai 17 6.8 6.8

pluralisti 24 9.6 9.6

protektif 32 12.9 12.9


(6)

125

B. Distribusi Frekuensi SVO (Social Value Orientation)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid competitif 44 17.7 17.7 17.7

individual 109 43.8 43.8 61.4

prososial 96 38.6 38.6 100.0