CITRA DIRI DITINJAU DARI INTENSITAS PENGGUNAAN MEDIA JEJARING SOSIAL INSTAGRAM PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA.

(1)

i  

CITRA DIRI DITINJAU DARI INTENSITAS PENGGUNAAN MEDIA JEJARING SOSIAL INSTAGRAM PADA SISWA KELAS XI

SMA N 9 YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Iandesi Andarwati NIM. 11104241031

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v  

MOTTO

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (Al-Insyirah: 5-6)

Seperti itulah kehidupan, kadang kau ada di depan dan kadang kau ada di belakang. Jadi yang di depan atau yang terjebak di belakang tak membuat kita sombong ataupun menyerah. Kehidupan seperti sebuah balapan jarak jauh, bukan


(6)

vi  

PERSEMBAHAN

Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih, karya ini dengan setulus hati saya persembahkan untuk:

1. Keluargaku tercinta

2. Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan 3. Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta 4. Agama, Nusa dan Bangsa


(7)

vii  

CITRA DIRI DITINJAU DARI INTENSITAS PENGGUNAAN MEDIA JEJARING SOSIAL INSTAGRAM PADA SISWA KELAS XI SMA

NEGERI 9 YOGYAKARTA

Oleh Iandesi Andarwati NIM 11104241031

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil citra diri, profil intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram, dan hubungan antara intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dengan citra diri pada siswa kelas XI SMA Negeri 9 Yogyakarta.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan jenis penelitian survei dan korelasional. Subjek penelitian ini berjumlah 100 siswa kelas XI SMA Negeri 9 Yogyakarta. Penentuan subjek penelitian ini dengan teknik proportional random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Instrumen yang digunakan adalah skala intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dan skala citra diri. Validitas instrumen dilakukan dengan validitas konstruk melalui uji ahli atau expert judgement, sedangkan reliabilitas instrumen menggunakan rumus Alpha Cronbach, reliabilitasnya untuk skala citra diri sebesar 0,779 tergolong kuat dan skala intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram reliabilitasnya sebesar 0,864 tergolong sangat kuat. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kuantitatif dengan teknik prosentase dan teknik korelasi product moment.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra diri siswa kelas XI SMA Negeri 9 Yogyakarta sebanyak 62 siswa (62%) memiliki citra diri pada kategori tinggi, dalam hal intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram sebanyak 76 siswa (76%) memiliki intensitas penggunaan instagram pada kategori tinggi serta terdapat hubungan positif dan signifikan antara intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dengan citra diri pada siswa kelas XI SMA Negeri 9 Yogyakarta dengan koefisien korelasi sebesar 0,298 dan taraf signifikansi sebesar 0,03, artinya semakin tinggi intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram maka semakin tinggi citra diri dan sebaliknya semakin rendah intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram maka semakin rendah citra diri. Dalam hal penggunaan media jejaring sosial instagram siswa tergolong pada kategori medium user atau pengguna sedang yaitu pengguna yang menggunakan media jejaring sosial instagram antara 10 – 40 jam setiap bulannya.


(8)

viii  

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya serta memberikan kemudahan dan pertolongan atas segala hal, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul “Citra Diri Ditinjau dari Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 9 Yogyakarta”.

Sebagai ungkapan syukur, penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak atas bantuan, dukungan, dan kerja sama dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memfasilitasi dan memberikan kesempatan untuk menjalani dan menyelesaikan studi. 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan beserta jajarannya yang telah

memfasilitasi kebutuhan akademik penulis selama menjalani studi. 3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah melancarkan proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Eva Imania Eliasa, M.Pd. dan Ibu Isti Yuni Purwanti, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan segenap ilmu dan waktu serta kesabaran beliau dalam membimbing dan memberikan arahan selama proses penyusunan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik.


(9)

ix  

5. Kepala Sekolah SMA N 9 Yogyakarta beserta staff yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut. 6. Ibu Nur selaku guru BK di SMA N 9 Yogyakarta dan Bapak Pradana

selaku staff yang mengurusi penelitian di SMA N 9 Yogyakarta, yang telah membantu dalam proses penelitian.

7. Siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta yang bersedia meluangkan waktu untuk mengisi instrumen penelitian.

8. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu dan tanpa henti memberikan motivasi, semangat, doa, dukungan baik materi maupun non materi untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita bertiga selalu mendapatkan yang terbaik dari Allah SWT.

9. Saudaraku Mas Topik dan sepupuku Vitya yang memberikan dukungan dan bantuan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10. Keluarga Besar Simbah Yatmo Utomo dan Simbah Darso Wiyono. 11. Sahabat-Sahabatku Gebata, teruntuk chrisma, iim, riska’, vivi, anjar,

hani’, anggi, serta rina ‘kuyt’, Alfian BP, mbak Umul, Dian, terimakasih sudah memberi warna dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi.

12. Sahabat-sahabatku tercinta, Narni, Fitria, Tya Fatimah, Anggit, Rani, Shinta, Neni, teh Ai’, Jannah, Tari, Alfi, Febrian, Deni, Rahma, Lucky, Umi, Hamzah yang selalu memberikan dukungan, motivasi, semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.


(10)

(11)

xi  

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 14

C. Batasan Masalah ... 14

D. Rumusan Masalah ... 14

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Manfaat Penelitian ... 15

G. Batasan Istilah ... 16

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Citra Diri 1. Pengertian Citra Diri ... 17

2. Perbedaan Konsep Diri dengan Citra Diri ... 19

3. Jalinan Citra Diri ... 21


(12)

xii  

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Citra Diri ... 28

B. Kajian Tentang Media Jejaring Sosial Instagram 1. Pengertian Media Jejaring Sosial Instagram ... 31

2. Sejarah Media Jejaring Sosial Instagram ... 32

3. Fitur-fitur Media Jejaring Sosial Instagram ... 33

4. Dampak Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram ... 37

C. Kajian Tentang Intensitas Penggunaan Instagram 1. Pengertian Intensitas ... 43

2. Aspek-aspek Intensitas ... 45

D. Kajian Tentang Remaja sebagai Siswa SMA 1. Pengertian Remaja ... 48

2. Batasan Usia Remaja ... 50

3. Karakteristik Remaja ... 51

4. Tugas Perkembangan Remaja ... 58

E. Citra Diri Ditinjau dari Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram pada Siswa Kelas XI SMA N 9 Yogyakarta ... 60

F. Paradigma Penelitian ... 66

G. Hipotesis ... 66

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 67

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 68

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 69

D. Variabel Penelitian ... 70

E. Definisi Operasional ... 70

F. Teknik Pengumpulan Data ... 72

G. Instrumen Penelitian ... 73

H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 79


(13)

xiii  

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 89

2. Deskripsi Waktu Penelitian ... 89

3. Deskripsi Data dan Hasil Penelitian a. Deskripsi Populasi Penelitian ... 90

b. Deskripsi Data Penelitian ... 90

4. Analisis Data ... 93

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 107

C. Keterbatasan Penelitian ... 127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA ... 132


(14)

xiv  

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1. Kisi-kisi Citra Diri ... 76 Tabel 2. Kisi-kisi Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram.... 78 Tabel 3. Interpretasi Koefisien Korelasi ... 82 Tabel 4. Data Populasi Penelitian ... 89 Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Skala Citra Diri dan Skala Intensitas

Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram ... 91 Tabel 6. Deskripsi Penilaian Data Citra Diri ... 92 Tabel 7. Deskripsi Penilaian Data Intensitas Penggunaan Media Jejaring

Sosial Instagram ... 93 Tabel 8. Kriteria Kategorisasi Citra Diri Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta

kelas XI... 94 Tabel 9. Kriteria Kategorisasi Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial

Instagram Siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta Kelas XI ... 95 Tabel 10. Kategorisasi Citra Diri Per Indikator... 97 Tabel 11. Kategorisasi Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial

Instagram Per Aspek ... 101 Tabel 12. Kategorisasi Jenis Pengguna Instagram... 104 Tabel 13. Koefisien Korelasi Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial

Instagram dan Citra Diri ... 105 Tabel 14. Sumbangan Efektif Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat ... 106


(15)

xv  

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Jalinan Citra Diri ... 21 Gambar 2. Paradigma Penelitian ... 66 Gambar 3. Grafik Citra Diri ... 94 Gambar 4. Grafik Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial


(16)

xvi  

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Hasil Uji Reliabilitas ... 138

Lampiran 2. Data Citra Diri ... 139

Lampiran 3. Data Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram ... 142

Lampiran 4. Instrumen Penelitian ... 145

Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas ... 152

Lampiran 6. Hasil Uji Linearitas ... 153

Lampiran 7. Hasil Uji Korelasi ... 154

Lampiran 8. Kategorisasi Citra Diri ... 155

Lampiran 9. Kategorisasi Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram ... 156

Lampiran 10. Hasil Uji Validitas dengan Expert Judgement ... 157

Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian ... 159  

                         


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kegiatan manusia adalah komunikasi. Komunikasi membuat seseorang mengetahui, mengenal dan memahami orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan sebuah komunikasi agar dapat memenuhi kebutuhannya untuk berinteraksi dengan orang lain. Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa inggris “communication” ), secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa latin communicatus dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Kata communis memiliki makna “berbagi” atau “menjadi milik bersama” yaitu usaha yang memiliki tujuan kebersamaan atau kesamaan makna (IR Daya, 2010: 1), sedangkan komunikasi secara terminologis menurut Burhan Bungin (2006: 57):

“Komunikasi sebagai sebuah proses memaknai yang dilakukan oleh seseorang (I) terhadap informasi, sikap, dan perilaku orang (II) lain yang berbentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, atau sikap, perilaku dan perasaan-perasaan sehingga seseorang (I) membuat reaksi-reaksi terhadap informasi, sikap, dan perilaku tersebut berdasarkan pada pengalaman yang pernah dia (I) alami.”

Berdasarkan pengertian komunikasi secara etimologis dan terminologis dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian dan pemaknaan informasi yang dilakukan manusia dalam rangka mencapai kebersamaan atau kesamaan makna. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan komunikasi untuk membangun interaksi dengan individu manusia yang lainnya, hal ini diperkuat dengan pernyataan Alo Liliweri (2011: 124) yang menyatakan bahwa:


(18)

2

“Komunikasi sangat penting bagi interaksi individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Bahwa komunikasi merupakan bangunan link ke dunia sekitar, berarti setiap orang seolah menayangkan diri dan pribadinya untuk mempengaruhi orang lain. Jika kita tidak memiliki komunikasi, maka dengan sendirinya kita tidak dapat membentuk dan menciptakan interaksi dengan semua orang di dalam kelompok, organisasi, dan masyarakat. Komunikasi menjembatani kita untuk mengkoordinasikan semua kebutuhan dan tujuan hidup kita dengan orang lain.”

Komunikasi yang diperlukan untuk membangun interaksi, memenuhi kebutuhan dan tujuan hidup tersebut memiliki beragam sifat dalam prosesnya. Sifat komunikasi dibagi menjadi 4 sifat yaitu: (1) tatap muka, (2) bermedia, (3) verbal, baik lisan maupun tulisan, (4) non verbal, baik kial/isyarat badaniah dan bergambar. Bentuk komunikasi dibagi menjadi 4 yaitu: (1) komunikasi personal, (2) komunikasi kelompok, (3) komunikasi massa, dan (4) komunikasi media (Burhan, 2006:33).

Lebih lanjut Devito (Komang Sri dan Yohanes Kartika, 2013: 1) membagi sifat komunikasi dalam 2 jenis yaitu komunikasi secara langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung merupakan suatu aktivitas komunikasi yang dilakukan dengan saling bertatap muka tanpa menggunakan perantara media, sedangkan komunikasi secara tidak langsung merupakan suatu aktivitas komunikasi yang dilakukan tanpa bertatap muka dan menggunakan perantara media seperti email, handphone, jejaring sosial, dan yahoo messenger.

Komunikasi tidak langsung yang melibatkan perantara media tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi di bidang komunikasi semakin memudahkan seseorang membangun hubungan dengan orang yang lainnya tanpa harus bertatap muka langsung,


(19)

3

salah satunya dengan memanfaatkan adanya teknologi internet. Kemajuan teknologi komunikasi dapat membantu manusia untuk berinteraksi satu sama lain tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu (Komang Sri dan Yohanes Kartika, 2013: 1). Komunikasi melalui teknologi informasi internet menggunakan media disebut dengan media sosial atau layanan jejaring sosial (Social Networking Service).

Salah satu unsur mendasar yang ada pada pada situs-situs media sosial tersebut adalah fungsi dan layanan jejaring sosial. Layanan jejaring sosial memberikan jasa konektivitas melalui situs, platform, dan sarana yang berfungsi memfasilitasi pembentukan jaringan atau hubungan sosial di antara beragam orang yang mempunyai ketertarikan, minat (interest), kegiatan, latar belakang, maksud, kepentingan, tujuan, atau korelasi dunia nyata yang sama. Sebuah layanan jejaring sosial biasanya terdiri atas representasi setiap penggunanya dalam wujud profil, aktivitas, relasi sosial dan sejumlah layanan tambahan. Layanan itu biasanya berbasis web dan penggunanya berinteraksi melalui internet, seperti pesan instan, surat elektronik dan mengunduh foto, gambar, atau video (Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, 2014: 22-23).

Layanan jejaring sosial atau juga sering dikenal dengan media sosial memiliki banyak ragam dan jenis, mulai dari aplikasi media sosial berbagi video (terdiri dari youtube, vimeo, dailymotion), aplikasi media sosial mikroblog (terdiri dari twitter, tumblr), aplikasi media sosial berbagi jaringan sosial (terdiri dari facebook, google +, path), aplikasi berbagi jaringan


(20)

4

profesional (terdiri dari linkedin, scribd, slideshare), dan aplikasi berbagi foto (pinterest, picasa, flickr, instagram) (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2014: 62-80). Berbagai situs aplikasi media sosial tersebut memudahkan pengguna untuk berbagi ide, saran, pandangan, aktivitas, informasi, acara, ajakan dan ketertarikan di dalam jaringan individu masing-masing orang, tidak heran jika pengguna media sosial dari hari ke hari semakin bertambah.

Pengguna jejaring sosial di Indonesia tidak hanya terbatas pada kalangan orang dewasa saja. Para remaja juga telah memanfaatkan jejaring sosial sebagai sarana komunikasi, anak-anak sekolah dasar juga telah mengenal dan menggunakan jejaring sosial tersebut. Pernyataan tersebut didukung oleh Aditya Panji (2014: 1) bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga PBB untuk anak-anak, UNICEF, berbagai mitra dan Kementrian Komunikasi dan Informatika Universitas Harvard, Amerika Serikat tentang Pemakaian Internet Remaja Indonesia pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta. 98% dari anak dan remaja mengaku tahu tentang internet dan 79,5% di antaranya adalah pengguna internet.

Senada dengan pendapat Aditya, Kemenkominfo (2014: 1) juga menyebutkan bahwa pengguna internet hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang, dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia, dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15 – 19 tahun. Paparan tersebut menunjukkan bahwa remaja


(21)

5

menjadi sebagian besar pengguna internet di Indonesia. Fenomena tersebut dapat ditemui di kalangan remaja dimana setiap saat mereka selalu menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial, baik itu di mall, tempat makan, tempat bermain atau nongkrong, bahkan di sekolah.

Media sosial yang sedang populer di tengah remaja saat ini adalah media sosial instagram. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Piper Jaffray (Putri Sekar, 2014: 1) menunjukkan bahwa instagram lebih populer daripada facebook dan twitter di kalangan remaja, dalam satu tahun aplikasi jejaring sosial instagram membuat rekor tertinggi dalam hal pemakaian di kalangan remaja mengalahkan facebook sebesar 7%. Tahun lalu persentase pemakaian facebook oleh remaja sekitar 34%, dan tahun ini turun menjadi 23%, twitter juga mengalami penurunan dari 30% menjadi 27%.

Kepopuleran instagram juga diungkapkan oleh Harian Online Tempo (2014: 1) bahwa total pengguna yang melakukan login mencapai 300 juta perbulannya, sedangkan pengguna aktif perbulannya diklaim berjumlah 284 juta. Jumlah tersebut mengalami peningkatan signifikan, sebab pada 2013 pengguna aktif per bulannya hanya 150 juta. Kepopuleran media sosial instagram juga terjadi di kalangan pelajar SMA di Kota Yogyakarta, bahkan mereka membentuk komunitas tersendiri yang bernama #IggersSMAYk. Komunitas tersebut terbentuk dari beberapa anak yang suka bermain instagram, lalu membentuk grup dan saling bertukar foto atau aktivitas.

Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital dan membagikannya ke


(22)

6

berbagai layanan jejaring sosial termasuk milik instagram sendiri (Dan, 2010: 1). Menurut (Daniel Kurniawan Salamon, 2013: 10) sistem sosial di dalam instagram adalah dengan menjadi pengikut akun pengguna lainnya, atau memiliki pengikut instagram, dengan demikian komunikasi antara sesama pengguna instagram sendiri dapat terjalin dengan memberikan tanda suka dan juga mengomentari foto-foto yang telah diunggah oleh pengguna lainnya. Pengikut juga menjadi salah satu unsur yang penting, dimana jumlah tanda suka dari para pengikut sangat mempengaruhi apakah foto tersebut dapat menjadi sebuah foto yang populer atau tidak. Selain itu, instagram juga dapat terkoneksi langsung dengan aplikasi sosial media yang lain seperti facebook dan twitter.

Kepopuleran situs jejaring sosial harus dipergunakan secara cerdas untuk membangun self image (citra diri) maupun interaksi yang sehat (Yudit dan Appril, 2011: 3). Sejalan dengan pendapat tersebut, Amalia Puspita Hardiani (2010: 3) menyebutkan bahwa jejaring sosialsalah satunya facebook dijadikan sebagai media penggambaran diri individu, melalui fasilitas yang diberikan oleh jejaring sosial tersebut remaja bisa menyimpan atau mengubah foto-foto pribadi, catatan pribadi, status pribadi dan yang bisa dikomentari oleh sesama pengguna, dengan demikian remaja bisa menampilkan keberadaan dirinya. Aktivitas tersebut dapat dijadikan tanda bahwa pengguna ingin mengungkapkan siapa dirinya dan apa yang remaja tersebut bayangkan terhadap dirinya. Cara seseorang memandang dirinya sendiri dalam psikologi disebut citra diri (Maltz, 1992: 6).


(23)

7

Selanjutnya menurut penelitian yang dilakukan oleh Soraya Mehdizadeh di Universitas New York, Toronto menunjukkan bahwa jejaring sosial paling banyak digunakan oleh orang yang narsis dan orang yang memiliki citra diri rendah (Tri Listyawati, 2012: 6). Pemilik akun menggunakan jejaring sosial sebagai sarana untuk mempromosikan dirinya kepada orang lain. Citra diri merupakan unsur penting untuk menunjukkan siapa diri individu itu sebenarnya (Pipit Yuliani, 2013: 1). Citra diri individu terbentuk dari perjalanan pengalaman masa lalu, keberhasilan dan kegagalan, pengetahuan yang dimilikinya, dan bagaimana orang lain telah menilainya secara objektif.

Senada dengan pendapat Pipit menurut Seyed dan Farhad (2014: 136) citra diri merupakan hasil dari pengalaman, pembelajaran, pemikiran, ilusi dan halusinasi tentang diri dan kejadian-kejadian di dalam pikiran (khususnya dalam kehidupan manusia). Citra diri dapat menjadi negatif dan positif. Citra diri yang negatif akan menyebabkan kegagalan yang tetap, kacaunya pemikiran-pemikiran, kebiasaan-kebiasaan, dan perilaku yang tidak tepat. Citra diri yang positif akan membawa kepada kebahagiaan, kesuksesan, dan kepuasan hidup.

Lebih lanjut Pipit Yuliani (2013: 1) menyatakan bahwa citra diri adalah gambaran individu mengenai penampilan fisik dan perasaan yang menyertainya baik dalam bagian-bagian tubuhnya maupun terhadap keseluruhan tubuh berdasarkan penilaiannya sendiri. Penampilan adalah bentuk citra diri yang terpancar dan sarana komunikasi dengan orang lain.


(24)

8

Remaja banyak yang menampilkan fisik, bagian-bagian tubuhnya, dan kegiatan-kegiatannya dalam bentuk foto dan menampilkan perasaannya dalam bentuk kata-kata yang tertuang dalam media sosial instagram. Perilaku remaja tersebut didasari karena mereka ingin membentuk dan menampilkan citra dirinya kepada orang lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Peg Streep (Anonim, 2013: 1) yang menyebutkan bahwa remaja menjadikan media sosial sebagai penumbuh citra positif mereka. Remaja akan cenderung memberikan kesan yang baik saat di media sosial.

Foto yang ditampilkan secara langsung maupun tidak langsung akan dibaca atau dilihat oleh pengguna yang lain. Komentar, tanggapan, maupun pernyataan suka akan diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap status atau foto yang ditampilkan. Tanggapan yang positif akan berdampak baik pada remaja, sebaliknya tanggapan negatif akan berdampak tidak baik pada remaja. Pernyataan tersebut didukung oleh Kent A (Tri Listyawati, 2012: 6) menyebutkan bahwa pemilik akun yang secara konstan memposting gambar dan update terhadap aktivitas, sebenarnya mencari tanggapan ataupun komentar terhadap apapun yang mereka posting. Penelitian yang dilakukan oleh Ilkido KOPACZ (2011: 304) yang berjudul “Say Lovely Things about Me so I Know I am Like That”. The Role of Positive Photo Comments Posted on Social Networking Websites in the Development of The Self Image menunjukkan hasil bahwa komentar yang positif terhadap foto yang ditampilkan di jejaring sosial dapat meningkatkan dan mengembangkan citra diri dan harga diri perempuan pengguna jejaring sosial tersebut.


(25)

9

Berdasarkan pernyataan Kent A dan penelitian yang dilakukan oleh Ilkido KOPACZ dapat disimpulkan bahwa pengguna aktif jejaring sosial menampilkan atau memposting gambar atau foto dan update terhadap aktivitas, tujuannya adalah mencari tanggapan atau komentar terhadap sesuatu yang pengguna posting, apabila tanggapan tersebut positif maka akan memberikan dampak atau pengaruh yang positif bagi citra diri dan harga dirinya.

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan jejaring sosial dilakukan oleh Tri Listyawati (2012: 1) untuk mengukur tingkat persentase narcisistic personality disorder pada siswa pengguna facebook di kota Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa siswa di kota Yogyakarta tingkat persentase narcisistic personality disorder-nya berada pada kategori tinggi yaitu 51,4 %. Salah satu faktor yang menyebabkan narsistik adalah konsep diri (Pradana, 2008: 39). Konsep diri merupakan evaluasi individu mengenai diri sendiri, penilaian atau penaksiran mengenai diri sendiri oleh orang yang bersangkutan. Citra diri merupakan bagian dari konsep diri (Hana Afradhila dan Yeniar Indriana, 2015: 3). Salah satu aspek citra diri adalah social self yaitu pengenalan atau tanggapan individu yang didapatkan dari teman atau lingkungan sosialnya akan berpengaruh terhadap bagaimana individu tersebut memandang dirinya sendiri.

Pengaruh pendapat teman atau lingkungan sosial terhadap bagaimana individu memandang dirinya sendiri juga dialami oleh individu ketika memasuki usia atau masa remaja. Masa remaja merupakan masa yang berbeda


(26)

10

dari masa-masa perkembangan manusia lainnya. Masa remaja tidak dapat dikatakan sebagai masa anak-anak, tetapi juga tidak dapat dikatakan sebagai masa dewasa. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa masa remaja merupakan masa yang penting bagi manusia sebagai pencarian dan pembentukan identitas dirinya. Menurut Syamsu Yusuf (2011: 198) dalam perkembangan sosial moral, remaja memasuki masa dimana muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis atau rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya.

Perilaku remaja untuk memenuhi kepuasan psikologis atau rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tersebut berkaitan dengan citra diri. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Holden (2005: 95) yang menyatakan bahwa secara alamiah, citra diri tentu saja mencari apa yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Hal yang menguntungkan tersebut adalah kepuasan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain.

Citra diri dapat dibangun oleh remaja melaui internet atau media sosial. Remaja sudah tidak asing lagi dalam penggunaan internet untuk bermain media sosial, terutama remaja di daerah perkotaan. Infrastruktur jaringan internet yang memadai serta fasilitas yang dimiliki memudahkan remaja kota dalam mengakses internet. Hal ini didukung oleh sebuah survey (Aditya, 2014: 2) yang menyebutkan bahwa ada kesenjangan digital antara anak


(27)

11

perkotaan dan pedesaan. Di daerah perkotaan 87% anak dan remaja menggunakan internet sedangkan di daerah pedesaan hanya 13% anak dan remaja yang menggunakan internet.

Kemudahan akses internet juga dinikmati oleh siswa SMA N 9 Yogyakarta kelas XI. SMA N 9 Yogyakarta merupakan salah satu sekolah menengah atas yang terletak di Kota Yogyakarta dan masuk dalam wilayah perkotaan karena dekat dengan berbagai fasilitas umum seperti rumah sakit, perguruan tinggi, hotel, restoran atau tempat-tempat makan berkelas hingga pusat perbelanjaan seperti Galeria dan Jogja Phone Market. Menurut Guru Bimbingan dan Konseling SMA N 9 Yogyakarta, secara taraf ekonomi, siswa kelas XI berada dalam taraf yang merata, tidak dapat dikatakan seluruhnya menengah ke atas, akan tetapi secara tingkat konsumtivitas terutama konsumsi teknologi hampir seluruh siswa SMA N 9 Yogyakarta kelas XI bersaing untuk memiliki teknologi yang canggih seperti handphone android, tablet, ataupun laptop. Konsumtivitas tersebut berdampak pada budaya hedonisme siswa.

Penggunaan handphone android yang tinggi di kalangan siswa SMA N 9 Yogyakarta Kelas XI membuat siswa juga tidak terlepas dari pengaruh media sosial. Berdasarkan observasi yang dilakukan tanggal 11 Mei 2015, media sosial yang saat ini tengah populer di kalangan siswa SMA N 9 Yogyakarta adalah media sosial instagram. Wawancara singkat yang dilakukan terhadap beberapa siswa diketahui bahwa media sosial instagram memungkinkan siswa untuk mengenal dan mengetahui teman-teman dekatnya, bahkan siswa SMA N 9 Yogyakarta membentuk koneksi (saling follow),


(28)

12

selain itu siswa juga dapat berperilaku narsis dengan cara memperbaharui atau memposting foto-foto baik foto sendiri, foto ketika jalan-jalan, kegiatan yang tengah dilakukan, foto barang-barang yang dimiliki berupa aksesoris, pakaian, gadget, dan lain sebagainya.

Siswa mengatakan apabila foto yang mereka posting tersebut mendapat tanggapan atau komentar yang positif, perasaan mereka menjadi senang dan merasa diperhatikan oleh pengguna lainnya sehingga siswa merasa percaya diri berhubungan dengan teman-teman yang lain karena siswa menganggap apabila sudah aktif di instagram berarti siswa tidak ketinggalan jaman dan selalu update. Penggunaan instagram bagi siswa tidak hanya terpusat pada individu penggunanya tetapi juga pada sosok atau tokoh yang populer, melalui instagram para siswa merekomendasikan teman-temannya untuk mengikuti ajang Pelajar Jogja Cantik dan Pelajar Jogja Ganteng pada sebuah komunitas instagram pelajar Kota Yogyakarta.

Fasilitas Wi-Fi yang diberikan sekolah secara terbuka dan dapat diakses kapan saja serta penggunaan smarthphone yang tinggi menjadikan siswa selalu bermain media sosial terutama instagram yang sedang populer tanpa menyaring hal-hal yang baik dan buruk sebagai akibatnya. Pengetahuan tentang penggunaan media sosial yang baik untuk membangun citra diri bagi siswa sangat perlu untuk diketahui. Seperti yang diungkapkan oleh Keke Mahardika (2015: 2) bahwa penggunaan media sosial instagram tentu membawa kemudahan bagi siswa untuk membangun komunikasi dan menampilkan dirinya kepada orang lain, akan tetapi instagram juga membawa


(29)

13

dampak negatif seperti krisis percaya diri, persaingan kehidupan mewah, dan tidak mau menatap realita dan kenyataan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui citra diri siswa SMA N 9 Yogyakarta kelas XI ditinjau dari intensitas penggunaan media sosial instagram. Ketertarikan tersebut juga didasari bahwa belum terdapat penelitian yang mengungkan citra diri ditinjau dari intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram. Penelitian ini juga berusaha untuk mengetahui bagaimana citra diri siswa apakah tergolong sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah atau sangat rendah dan seberapa besar intensitas penggunaan media sosial instagram di kalangan siswa, serta bagaimana hubungan antara intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dengan citra diri. Citra diri merupakan komponen dari bimbingan dan konseling pribadi. Siswa diharapkan memiliki citra diri yang positif sehingga kepribadian, kesehatan mental, dan komunikasi interpersonal dapat terbentuk secara optimal. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan bagi dunia Bimbingan dan Konseling, yang nantinya dapat digunakan oleh guru Bimbingan dan Konseling atau konselor di SMA N 9 Yogyakarta untuk menentukan jenis layanan yang tepat kepada remaja atau siswa yang menggunakan media sosial instagram sebagai tempat untuk menampilkan atau membentuk citra diri.


(30)

14 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dari penelitian ini adalah:

1. Siswa memiliki tingkat konsumtivitas yang tinggi dalam hal penggunaan teknologi canggih seperti smarthphone. Tingkat konsumtivitas yang tinggi berdampak pada budaya konsumerisme dan hedonisme siswa.

2. Siswa berperilaku narsis di media jejaring sosial instagram dengan menampilkan foto pribadi, foto jalan-jalan, foto kegiatan atau acara, hingga foto barang pribadi seperti gadget, aksesoris, dan sebagainya. 3. Belum diketahui citra diri ditinjau dari intensitas penggunaan media sosial

instagram pada siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta.

C. Batasan Masalah

Dari beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, batasan masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahui citra diri ditinjau dari intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram pada siswa Kelas XI SMA N 9 Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, rumusan masalah dari penelitian ini adalah:


(31)

15

2. Bagaimana intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta?

3. Bagaimana hubungan antara intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dengan citra diri pada siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui profil citra diri siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta.

2. Mengetahui profil intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram pada siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta.

3. Mengetahui hubungan antara intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dengan citra diri pada siswa kelas XI SMA N 9 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat penelitian secara teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu di bidang BK yang berkaitan dengan perkembangan individu remaja SMA. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah informasi, wawasan bagi peneliti, guru BK dan pembaca tentang citra diri ditinjau dari intensitas penggunaan media sosial instagram.


(32)

16 2. Manfaat penelitian secara praktis:

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh remaja siswa SMA N 9 Yogyakarta sebagai bahan informasi dan evaluasi diri.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh guru Bimbingan dan Konseling SMA N 9 Yogyakarta dalam memberikan layanan yang tepat bagi siswa untuk mengembangkan citra diri dan untuk memberikan pengarahan bagaimana penggunaan media sosial yang benar.

G. Batasan Istilah

1. Citra diri adalah konsepsi atau penilaian seseorang mengenai orang macam apakah dirinya. Citra diri merupakan bagian dari konsep diri yang berkaitan dengan penerimaan terhadap dirinya baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Citra diri terbentuk karena pengalaman masa lalu, lingkungan, baik keluarga, masyarakat atau pergaulan. 2. Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan

pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial termasuk milik instagram sendiri.

3. Intensitas penggunaan media sosial instagram adalah kekuatan suatu tingkah laku atau pengalaman dalam menggunakan media sosial instagram.


(33)

17 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Tentang Citra Diri 1. Pengertian Citra Diri

Citra diri adalah konsepsi kita sendiri mengenai orang macam apakah diri kita. Citra diri merupakan produk dari pengalaman masa lalu, beserta sukses dan kegagalannya, penghinaan, dan kemenangannya serta cara orang lain bereaksi terhadap diri kita, terutama dalam masa kecil kita (Maltz, 1992: 3). Lebih lanjut Maltz menjelaskan bahwa semua tindakan dan emosi manusia konsisten dengan citra dirinya. Manusia akan bertindak sesuai dengan macam pribadi yang menurut pikirannya sendiri. Citra diri adalah batu fondasi untuk seluruh kepribadian (Maltz, 1992: 6). Citra diri menurut Maltz adalah konsepsi seseorang mengenai dirinya sendiri. Senada dengan pendapat Maltz tersebut, Heri Wibowo (2007: 82) menyatakan bahwa citra diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri atau bagaimana seseorang menggambarkan dirinya sendiri. Citra diri itulah yang membedakan seorang manusia dengan manusia yang lain, yaitu bagaimana ia memandang dirinya sendiri. Pandangan tersebut bervariasi antara satu orang dengan orang yang lainnya, ada orang yang berpandangan sangat baik, optimis, dan positif terhadap dirinya, namun ada juga yang menganggap dirinya rendah dan tidak berguna.


(34)

18

Schiffman & Kanuk (dalam Hana Afradhila dan Yeniar Indriana, 2015:3) menyatakan bahwa melalui interaksi yang dilakukan dengan orang lain, individu mampu mengembangkan citra dirinya. Citra diri merupakan bagian dari konsep diri yang berkaitan dengan penerimaan terhadap dirinya baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Citra diri dapat diwujudkan dalam perilaku yang diasosiasikan dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Citra diri berarti penggambaran tentang kondisi diri yang merupakan hasil akumulasi gambaran yang manusia ciptakan dan telah terpatri dalam otak bawah sadarnya. Menurut Endra K. Prihadhi (2009:49) citra diri erat kaitannya dengan self-esteem atau seberapa tinggi seorang manusia menghargai, menilai, dan menghormati dirinya sendiri. Manusia semakin menghargai dirinya sendiri maka itu berarti manusia tersebut memiliki citra diri yang positif, begitu juga sebaliknya, jika manusia kurang menghargai dirinya sendiri apa adanya, berarti manusia tersebut termasuk orang yang memiliki citra diri buruk.

Citra diri yang buruk biasanya terbentuk dari lingkungan mulai dari keluarga, pergaulan, dan masyarakat (Endra K. Prihadhi, 2009: 50).. Kata-kata, label, komentar, ataupun stereotype negatif yang dilekatkan pada diri manusia, akan memberikan pengaruh kepada manusia tersebut yaitu menjadi tidak percaya diri. Selain itu juga citra diri yang buruk disebabkan terjadinya perbedaan antara citra diri ideal dengan citra diri realitas. Pelajar yang memiliki citra ideal sebagai orang yang memiliki


(35)

19

nilai A pada pelajaran Matematika, sedangkan secara realitas atau kenyataan hanya mendapatkan nilai D, jika tidak disikapi dengan benar perbedaan nilai antara yang diharap dengan yang terjadi akan membuat pelajar tersebut menjadi minder atau tidak percaya diri sendiri, dan yang lebih parah jika orang sekitarnya memberikan komentar negatif atas fakta tersebut, komplit sudah penderitaannya. Berdasarkan pendapat Endra tersebut dapat dikatakan bahwa salah satu tanda citra diri yang buruk adalah selalu tidak percaya diri atau minder jika dihadapkan pada suatu keadaan yang membuat dirinya melangkah maju.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa citra diri adalah konsepsi atau gambaran manusia mengenai orang macam apakah dirinya. Citra diri merupakan bagian dari konsep diri yang berkaitan dengan penerimaan terhadap dirinya baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Citra diri terbentuk karena pengalaman masa lalu, lingkungan, baik keluarga, masyarakat atau pergaulan.

2. Perbedaan Konsep Diri dengan Citra Diri

Para ahli psikologi membedakan konsep diri dengan citra diri. Konsep diri merupakan jawaban atas pertanyaan, “siapakah saya?”. Konsep diri itu sendiri dibangun atas tiga hal (Hery Wibowo, 2007: 82-84) yaitu:


(36)

20 a. Self schema

Self schema merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Misalnya: saya adalah seorang yang tinggi, kurus, hitam, dan pencemburu.

b. Self references

Self references merupakan pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri yang sudah dipengaruhi atau didasarkan pada pandangan orang lain terhadap dirinya. Misalnya, sejak kecil seorang remaja sudah terbiasa mendapat pujian sebagai anak yang rajin dan pintar, maka seiring berjalannya waktu, remaja tersebut semakin percaya bahwa dirinya adalah seorang yang rajin dan pintar, atau sebaliknya, ada seorang remaja yang selalu dianggap tidak bisa diandalkan oleh orang tuanya, maka lambat laun remaja tersebut percaya bahwa dirinya tidak berguna dan tidak bisa diandalkan.

c. Possible self

Possible self merupakan pandangan ideal mengenai diri atau gambaran diri yang seseorang inginkan. Misalnya pemikiran seperti: saat promosi nanti sudah sepantasnya sayalah yang naik jabatan menggantikan manajer keuangan yang lama karena prestasi kerja saya yang sangat baik.

Komponen self schema, self references, dan possible self apabila digabung dengan bagaimana penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka akan membentuk citra diri (Heri Wibowo, 2007: 84).


(37)

21

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa citra diri merupakan bagian dari konsep diri ditambah dengan harga diri.

3. Jalinan Citra Diri

Citra diri terbentuk dari penilaian yang dibuat oleh kita sendiri maupun oleh orang lain (Holden, 2005: 91). Citra diri merupakan diri yang dipelajari. Citra diri terbentuk dari informasi, pengalaman, umpan balik, dan kesimpulan yang seseorang buat. Berikut ini adalah hubungan citra diri seseorang dan persepsi, kepercayaan, kejiwaan, cara berkomunikasi dan perilaku:

Gambar 1. Jalinan Citra Diri

Menurut Holden (2005: 91-95) citra diri memiliki jalinan yang berupa hubungan atau pengaruh satu sama lain terhadap persepsi, keyakinan, isi pikiran, komunikasi, perilaku dan keputusan. Penjelasan lebih jelasnya adalah sebagai berikut:


(38)

22 a. Jalinan citra diri dan persepsi

Citra diri merupakan lensa yang dapat digunakan untuk memandang dunia, apabila seseorang tidak bisa melihat dirinya sebagai orang yang sukses maka seseorang tersebut akan membisikkan kepada dirinya sendiri bahwa dirinya harus berhenti mencoba sebaliknya jika seseorang bisa melihat dirinya berbakat dalam sesuatu maka seseorang tersebut mungkin menemukan kekuatan batin dan pertolongan dari luar. Menurut Holden (2005: 92) pada dasarnya persepsi merupakan proyeksi dan dunia merupakan cerminnya.

b. Jalinan citra diri dan keyakinan

Keyakinan diri sesungguhnya merupakan pandangan pribadi seseorang tentang apa yang mungkin dan apa yang tidak, ketika seseorang mengubah keyakinan diri atau pandangan pribadinya maka akan banyak kemungkinan atau peluang yang muncul.

c. Jalinan citra diri dan isi pikiran

Orang yang memandang dirinya sangat efektif bertindak, berpikir, dan merasa dengan cara yang berbeda dari orang yang memandang dirinya tidak efektif. Orang tersebut menciptakan masa depannya sendiri bukan hanya meramalkannya (Bandura dalam Holden, 2005: 94).

d. Jalinan citra diri dan komunikasi

Citra diri sangat mempengaruhi cara seseorang berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Hubungan seseorang dengan


(39)

23

orang lain pada dasarnya merupakan perpanjangan dari hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Penerimaan diri yang buruk bisa menjadi penyebab tingkat kemandirian yang tidak sehat, kompetisi, rasa iri, pengekangan diri, terlalu berusaha menyenangkan hati orang lain, dan penyiksaan diri, sebaliknya penerimaan diri yang positif bisa membantu mengembangkan keakraban yang lebih baik, keramahan dan kesuksesan secara menyeluruh.

e. Jalinan citra diri dan perilaku

Peran yang diambil seseorang dalam hubungannya dengan orang lain sangat dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Citra diri merupakan penasihat internal yang membimbing seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan. Citra diri menimbang setiap situasi dan menyarankan seseorang mengambil suatu tindakan atau tidak bertindak. Secara alamiah, citra diri tentu saja mencari apa yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, dengan kata lain seseorang tidak selalu bertindak atau berperilaku dalam cara yang benar-benar autentik karena citra diri mencoba melindungi dirinya sendiri.

Berdasarkan pendapat Holden tersebut dapat disimpulkan bahwa ada jalinan atau hubungan citra diri dengan persepsi, keyakinan, isi pikiran, komunikasi dan perilaku seseorang bahwa citra diri dapat dipengaruhi oleh persepsi, keyakinan, isi pikiran, komunikasi dan perilaku


(40)

24

atau juga sebaliknya bahwa persepsi, keyakinan, isi pikiran, komunikasi, dan perilaku seseorang dapat mempengaruhi citra dirinya.

4. Aspek Citra Diri

Menurut Rogers (dalam Norma Lulusiana, 2008:9) mengatakan bahwa pengaruh dan penilaian lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap terbentuknya citra diri, tetapi prosesnya sama sekali tidak pasif. Menurut Rogers, setiap manusia secara sadar atau tidak sadar akan terus menerus menyaring dan memilih hal mana yang dianggapnya penting dan bermakna untuk diinternalisasikan dan hal mana yang diabaikan karena dianggap tidak bermakna bagi dirinya.

James (dalam Norma Lulusiana, 2008:10) mengatakan dasar komponen citra diri ada tiga, yaitu:

a. Material self. Terdiri dari material possesion, dimana tubuh menjadi bagian terpenting dalam diri individu sedangkan pakaian menjadi nomor dua.

b. Social self. Bagaimana pengenalan atau tanggapan yang didapatkan individu dari teman atau orang lain.

c. Spiritual self. Lebih mengarah kepada bagian terdalam dari diri individu sebagai subjek, dimana kemampuan-kemampuan serta kecakapan-kecakapan psikologis merupakan bagian yang paling menentukan dari diri individu.

Selanjutnya menurut Jersild (dalam Fristy, 2012:5) terdapat tiga komponen citra diri, yaitu:


(41)

25 a. Perceptual Component

Komponen ini merupakan image yang dimiliki seseorang mengenai penampilan dirinya, terutama tubuh dan ekspresi yang diberikan pada orang lain. Tercakup di dalamnya adalah attractiviness, appropriatiness yang berhubungan dengan daya tarik seseorang bagi orang lain. Hal ini dapat dicontohkan oleh seseorang yang memiliki wajah cantik atau tampan, sehingga seseorang tersebut disukai oleh orang lain. Komponen ini disebut sebagai Physical Self Image.

b. Conseptual Component

Merupakan konsepsi seseorang mengenai karakteristik dirinya, misalnya kemampuan, kekurangan dan keterbatasan dirinya. Komponen ini disebut sebagai Psychological Self Image.

c. Attitudional Component

Merupakan pikiran dan perasaan seseorang mengenai dirinya, status dan pandangan terhadap orang lain. Komponen ini disebut sebagai Social Self Image.

Senada dengan pendapat Jersield tersebut, Brown (dalam Amalia Puspita Hardiani, 2010:38) mengungkapkan bahwa ada tiga aspek dalam pengetahuan diri sendiri berkaitan dengan proses mencapai kesimpulan akan adanya citra diri. Tiga aspek tersebut adalah:

a. Dunia fisik (physical word)

Realitas fisik dapat memberikan suatu arti yang mana kita dapat belajar mengenai diri kita sendiri. Sumber pengetahuan dari


(42)

26

dunia fisikal memberikan pengetahuan kepada diri sendiri, akan tetapi pengetahuan dari dunia fisik terbatas pada atribut yang bisa diukur dengan yang mudah terlihat dan bersifat subjektif dan kurang bermakna jika tidak dibangingkan dengan individu yang lainnya. b. Dunia sosial (social word)

Sumber masukan untuk mencapai pemahaman akan citra diri adalah masukan dari lingkungan sosial individu. Proses pencapaian pemahaman diri melalui lingkungan sosial tersebut ada dua macam, yaitu:

(1) Perbandingan sosial (social comparison)

Serupa dengan dunia fisik, dunia sosial juga membantu memberi gambaran diri melalui perbandingan dengan orang lain. Pada umumnya individu memang cenderung membandingkan dengan individu lain yang dianggap sama dengannya untuk memperoleh gambaran yang menurut mereka adil, akan tetapi tidak jarang individu membandingkan dirinya dengan individu yang lebih baik (disebut upward comparison) atau yang lebih buruk (downward comparison) sesuai dengan tujuan mereka masing-masing.

(2) Penilaian yang tercerminkan (reflected apraisal)

Pengetahuan akan diri individu tercapai dengan cara melihat tanggapan orang lain terhadap perilaku individu. Misalnya jika individu melontarkan gurauan dan individu lain tertawa, hal


(43)

27

tersebut dapat menjadi sumber untuk mengetahui bahwa individu tersebut lucu.

c. Dunia dalam (inner/pshycologycal word)

Sumber penilaian dari dalam diri individu, ada tiga hal yang dapat mempengaruhi pencapaian pemahaman akan citra diri individu, yaitu:

(1) Instropeksi (instropection)

Instropeksi dilakukan agar individu melihat kepada dirinya untuk mencapai hal-hal yang menunjang pada dirinya. Misalnya seseorang yang merasa dirinya pandai, bila berintropeksi akan melihat berbagai kejadian dalam hidupnya, misalnya bagaimana dirinya menyelesaikan masalah, menjawab pertanyaan, dan sebagainya.

(2) Proses mempersepsi diri (self perception process)

Proses ini memiliki kesamaan dengan intropeksi, namun bedanya adalah bahwa proses mempersepsi diri dilakukan dengan melihat kembali dan menyimpulkan seperti apa dirinya setelah mengingat-ingat ada tidaknya atribut yang dicarinya di dalam kejadian-kejadian di hidupnya sedangkan introspeksi dilakukan sebaliknya.

(3) Atribusi kausal (causal attributions)

Cara ini dilakukan dengan mencari tahu alasan dibalik perilaku. Atribusi kausal adalah dimana individu menjawab


(44)

28

pertanyaan mengapa dalam melakukan berbagai hal dalam hidupnya. Atribusi kausal ini juga dapat dilakukan kepada perilaku orang lain yang berhubungan dengan individu, dengan mengetahui alasan orang lain melakukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan individu, sehingga individu tahu bagaimana gambaran diri sebenarnya. Atribusi yang dibuat mempengaruhi pandangan individu terhadap dirinya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek dari citra diri ada tiga, yaitu fisik, psikis, dan sosial. Aspek fisik adalah penilaian individu terhadap penampilan dirinya, seperti bentuk tubuh, pakaian atau benda yang melekat pada dirinya. Aspek psikis adalah penilaian dari dalam diri individu terhadap karakteristiknya seperti kemampuan, kecakapan, kekurangan dan keterbatasan dirinya. Aspek sosial adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang didapatkan dari teman atau orang lain, penilaian tersebut berupa pikiran dan perasaan seseorang mengenai dirinya, status dan pandangan terhadap orang lain. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Citra Diri

Andi Mappiare (dalam Norma Lulusiana, 2008:10) mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi citra diri, yaitu:

a. Penampakan menyeluruh; keadaan fisik dan psikis mempengaruhi pembentukan citra diri seseorang. Keadaan yang demikian seringkali dibandingkan dengan keadaan teman-teman sebaya sehingga dapat menimbulkan rasa rendah diri.


(45)

29

b. Nama atau panggilan; hal ini besar pengaruhnya terhadap rasa percaya diri. Para remaja tidak senang terhadap nama yang dapat menjadikan mereka malu, sehingga banyak di antara remaja mengganti nama atau panggilan diri yang sering diselaraskan dengan norma kelompoknya. c. Pakaian dan perhiasan adalah standar lain bagi remaja. Keadaan

pakaian yang menurut remaja tidak memuaskan seringkali membuat remaja menghindar atau disingkirkan dari kelompoknya.

d. Teman-teman sebaya dalam kelompok sangat berpengaruh terhadap citra diri. Penerimaan kelompok terhadap diri remaja, rasa ikut serta dalam kelompok dapat memperkuat citra diri remaja.

e. Keadaan keluarga; merupakan salah satu hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan citra diri dan rasa percaya diri remaja. Keadaan keluarga yang berkecukupan akan membentuk citra diri yang positif pada remaja.

f. Situasi rumah tangga; rumah tangga yang harmonis ikut membantu dalam perkembangan citra diri remaja.

g. Sikap mendidik orang tua; cara mendidik anak juga berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan citra diri remaja, apabila seorang anak sering diperlakukan kasar, secara tidak langsung anak tersebut akan tidak percaya diri dan citra dirinya rendah.

h. Pergaulan; merupakan salah satu hal yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan citra diri dan rasa percaya diri remaja. Remaja


(46)

30

dalam hal ini sangat membutuhkan pergaulan terutama denga teman-teman sebaya.

i. Perkembangan sosial; pandangan remaja terhadap masyarakat dan kehidupan bersama dalam masyarakat banyak dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya citra diri remaja.

Faktor yang mempengaruhi citra diri menurut Mappiare adalah keadaan fisik dan psikis, nama panggilan, pakaian dan perhiasan, teman-teman, lingkungan keluarga, situasi rumah tangga, sikap mendidik, pergaulan, dan perkembangan sosial. Selanjutnya proses mencari tahu bagaimana citra diri individu menentukan citra diri individu tersebut negatif atau positif, jika prosesnya ternyata positif, terdapat faktor yang mendorongnya untuk tetap seperti itu. Brown (dalam Amalia Puspita Hardiani, 2010) mengungkapkan faktor-faktor tersebut adalah:

a. Faktor perilaku

(1) Perhatian selektif terhadap masukan yang mendukung citra diri individu. Individu cenderung memilah-milah masukan mana yang ingin diperhatikannya.

(2) Melumpuhkan diri sendiri

Individu memunculkan sendiri perilaku tertentu yang mengeluarkan kekurangannya.

(3) Pemilihan tugas yang memperlihatkan usaha positif. Individu cenderung lebih melihat masukan yang bersifat menunjukkan


(47)

31

kelebihan mereka, daripada kemampuan mereka sebenarnya (kemampuan yang kurang baik).

(4) Bukti yang memperjelas perilaku mencari info strategis

Individu cenderung menghindari situasi dimana kekurangannya dapat terlihat dan individu cenderung mencari masukan untuk hal yang mudah diperbaiki dari hasil kemampuan mereka.

b. Faktor sosial

(1) Interaksi selektif

Interaksi selektif disini berarti individu bisa memilih dengan siapa dia bergaul.

(2) Perbandingan sosial yang bias

Individu cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya lebih rendah kemampuannya daripada dirinya.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi citra diri adalah keadaan fisik dan psikis, perilaku individu dalam berpakaian atau memilih perhiasan, lingkungan sosial berupa teman dan keluarga, pergaulan, sikap mendidik orang tua, serta kondisi dan situasi di rumah.

B. Kajian Tentang Media Jejaring Sosial Instagram 1. Pengertian Media Jejaring Sosial Instagram

Menurut Dan (2010:1) instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial seperti


(48)

32

facebook dan twitter, termasuk milik instagram sendiri. Ciri khas dari instagram adalah hasil fotonya yang berupa persegi, mirip dengan produk kodak instamatic dan gambar-gambar yang dihasilkan oleh foto Polaroid, berbeda dengan kamera modern yang biasanya memiliki bentuk persegi panjang atau dengan rasio perbandingan bentuk 6:19.

Instagram yang merupakan aplikasi berbagi foto masuk ke dalam jenis media sosial berbagi foto. Hal tersebut senada dengan pendapat Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2014: 84) yang menyebutkan bahwa aplikasi instagram adalah media atau jaringan sosial berbagi foto dan video seperti program-program lainnya, hanya saja yang paling membedakan adalah tampilan foto instagram memiliki ciri khas dengan “bingkai” persegi.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa instagram adalah sebuah media sosial berbentuk aplikasi berbagi foto yang memungkinkan penggunanya untuk mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial lainnya seperti facebook dan twitter. Instagram memiliki ciri khas yakni foto yang ditampilkan berbentuk persegi.

2. Sejarah Media Jejaring Sosial Instagram

Instagram diciptakan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger dan diluncurkan pada Oktober 2010. Nama instagram menurut Kevin dan Mike merupakan gabungan dari “instant camera” dan “telegram” (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2010:84). Asal mula nama


(49)

33

instagram tersebut juga diungkapkan oleh situs instagram sendiri (https://instagram.com/about/us/) yang menyatakan bahwa Instagram berasal dari pengertian dan keseluruhan fungsi aplikasinya, kata “insta” berasal dari kata “instan”, seperti kamera polaroid yang pada masanya lebih dikenal dengan sebutan “foto instan”. Instagram juga dapat menampilkan foto-foto secara instan, seperti polaroid di dalam tampilannya, sedangkan kata “gram” berasal dari kata “telegram” yang cara kerjanya untuk mengirimkan informasi kepada orang lain dengan cepat.

Berdasarkan asal mula nama instagram tersebut dapat disimpulkan bahwa media sosial ini berharap dapat melayani penggunanya untuk mengunggah foto dengan menggunakan jaringan internet secara cepat. Media sosial instagram dalam beberapa bulan peluncuran sudah mampu meraih 1 juta pengguna pada Desember 2010. Jumlah ini meningkat terus hingga mencapai 5 juta pengguna pada Juni, kemudian mencapai 10 Juta pada September 2011, hingga pada akhir 2014 pengguna instagram sudah mencapai 300 Juta (Harian Online Tempo, 2014).

3. Fitur-fitur Media Jejaring Sosial Instagram

Instagram memiliki fitur untuk memudahkan penggunanya Menurut e-journal UAJY (2014: 34-35) media sosial instagram memiliki fitur-fitur sebagai berikut:


(50)

34 a. Square cropping

Square cropping merupakan fitur instagram untuk memotong foto berbentuk kotak persegi dengan rasio 4:4. Foto yang diunggah pun haruslah berbentuk kotak persegi sehingga terlihat seperti hasil kamera Kodak Instamatic atau Polaroid.

b. Gallery

Gallery merupakan ruang untuk memasang foto di dalam situs instagram, para pengguna dapat mengunggah foto dan memasang foto diri. Selain foto, pengguna juga dapat menunggah video.

c. Like

Pengguna instagram dapat memberi apresiasi terhadap foto yang diunggah dengan tombol “like” berbentuk hati.

d. Comment

Fitur comment digunakan untuk memberikan komentar foto yang diunggah dan mendapatkan feedback dari pemilik akun.

e. Home

Home merupakan halaman utama saat membuka aplikasi instagram, berupa rangkaian berita mengenai foto-foto terbaru yang baru saja diunggah oleh akun-akun yang diikuti oleh pengguna.

f. Direct

Fitur direct memungkinkan pengguna untuk mengunggah foto secara pribadi ke akun yang diinginkan, dengan fitur ini foto atau video


(51)

35

yang diunggah hanya bisa dilihat oleh akun yang dipilih oleh pengguna.

g. News bar

News bar merupakan fitur yang memberitahu pengguna mengenai aktivitas terbaru yang ada di fotonya dan foto yang dikomentari oleh pengguna (komentar, like, follower baru, mention, dan sebagainya).

h. Explore

Fitur explore merupakan bar berisi kumpulan foto populer yang banyak mendapat like di instagram.

i. Search

Search merupakan fitur instagram untuk pencarian akun pengguna instagram.

Selanjutnya menurut Akron Summit County Public Library (2013:3) instagram memiliki fitur-fitur sebagai berikut:

a. Tagging

Fitur tagging merupakan fitur pelabelan yang dimiliki instagram untuk memberi nama kepada orang-orang yang ada dalam foto, fitur ini mirip dengan fitur tagging yang ada dalam facebook. b. Followers

Fitur followers atau dalam bahasa Indonesianya disebut fitur pengikut merupakan salah satu unsur penting dalam instagram. Definisi dari followers instagram adalah pengguna yang mengikuti


(52)

36

kegiatan atau hasil unggahan dari pengguna yang mengunggah foto pada instagram.

c. Comment

Comment adalah fitur yang digunakan agar pengguna dapat memberikan komentar pada foto atau menerima timbal balik dari pengguna yang lain.

d. To Like

Fitur to like biasanya memiliki simbol “thumbs up” atau jempol ke atas merupakan sebuah tanda bahwa pengguna menyukai dan menyetujui foto yang pengguna lain posting.

e. Notification

Fitur notification merupakan sebuah fitur yang menandai bahwa seseorang atau pengguna instagram telah atau ingin berinteraksi dengan pengguna instagram yang lain.

f. Profil Page

Profil page atau dalam bahasa Indonesia merupakan halaman profil merupakan fitur pada instagram yang berisikan koleksi-koleksi foto, tampilan jumlah pengikut, jumlah posting dan jumlah akun pengguna instagram yang diikuti.

g. Navigation Bar

Navigation bar merupakan fitur instagram yang digunakan untuk mencari akun pengguna instagram, foto yang populer dan lain sebagainya.


(53)

37 h. Privacy Setting

Fitur privacy setting merupakan sebuah fitur untuk memberikan kenyamanan privasi bagi pengguna, seperti foto yang hanya bisa dilihat oleh pengguna-pengguna yang telah disetujui menjadi follower.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa instagram memiliki berbagai fitur-fitur seperti squre cropping, gallery, like, direct, news bar, search atau navigation bar, privacy setting, explore, tagging, follower, comment dan profil page.

4. Dampak Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram

Media sosial atau jejaring sosial saat ini menjadi fenomenal, melalui media sosial setiap orang mudah untuk memperluas jaringan pertemanan dan memperoleh informasi dari manapun. Menurut Yanica (2014: 73) media sosial dapat memberikan pengaruh positif apabila diperkenalkan kepada anak-anak dan remaja secara benar, bahkan media sosial dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan kecepatan mengetik. Instagram merupakan salah satu media sosial yang juga dapat memberikan dampak positif dan negatif. Menurut (Daniel Kurniawan Salamon, 2013: 5-14) Salah satu dampak positif dari instagram adalah mediator komunikasi lintas budaya melalui gambar atau foto, media untuk bereksistensi di lingkungan sosial, dan menambah banyak teman atau jaringan sosial.


(54)

38

Instagram merupakan bagian dari media sosial atau jejaring sosial, berikut adalah dampak positif dan negatif dari jejaring sosial. Menurut Rendi Lesmana (Yanica, 2014: 74-75) dampak positif dari jejaring sosial adalah:

a. Tempat promosi

Jejaring sosial dapat dijadikan sebagai tempat promosi terbaik untuk produk atau jasa. Media sosial instagram juga digunakan sebagai tempat promosi, biasanya pengguna instagram beriklan dengan cara meng-endorse para artis yang memiliki instagram dengan pengikut banyak.

b. Tempat untuk memperluas pertemanan

Banyak pengguna jejaring sosial yang bisa dijumpai sehingga bukanlah hal yang sulit untuk mendapatkan banyak teman untuk memenuhi kebutuhan afiliasi dengan menggunakan media jejaring sosial.

c. Sebagai media komunikasi

Jejaring sosial tentunya bisa digunakan sebagai media komunikasi yang sangat bagus untuk mengungkapkan diri dan berkomunikasi dengan orang dalam negeri maupun luar negeri untuk memperkenalkan diri kepada dunia.

d. Tempat untuk berbagi

Jejaring sosial digunakan untuk sharing dan mengungkapkan diri seluas-luasnya. Jejaring sosial menjadi salah satu tempat terbaik


(55)

39

untuk berbagi baik melalui foto, informasi, dan lain sebagainya karena hal-hal yang pengguna bagikan dapat langsung dilihat oleh teman-teman yang ada di jejaring sosial.

e. Tempat mencari informasi

Media sosial dapat digunakan sebagai tempat untuk mencari berbagai informasi. Media sosial instagram biasanya digunakan pengguna untuk mencari informasi tentang barang dan jasa, tempat-tempat wisata, kuliner, hingga informasi terbaru para artis.

Efek positif dari media jejaring sosial bagi remaja juga diungkapkan oleh ICT Watch dalam buku internet sehat (David Mahendra, 2014: 15-16) yaitu:

a. Remaja dapat belajar mengembangkan keterampilan teknis dan sosial yang sangat dibutuhkan di era digital seperti sekarang ini. Remaja belajar bagaimana beradaptasi, bersosialisasi dengan publik dan mengelola jaringan pertemanan.

b. Remaja dapat memperluas jaringan pertemanan. Remaja lebih mudah berteman dengan orang lain di seluruh dunia, meski sebagian besar diantaranya tidak pernah remaja temui secara langsung.

c. Remaja akan termotivasi untuk mengembangkan diri melalui teman-teman yang mereka temui secara online, karena remaja disini berinteraksi dan menerima umpan balik satu sama lain.

d. Media jejaring sosial membuat remaja menjadi lebih bersahabat, perhatian, dan empati. Misalnya memberikan perhatian saat ada teman


(56)

40

yang berulang tahun, mengomentari dan memberikan tanda suka pada foto atau video yang teman-temannya unggah, dan menjaga hubungan persahabatan meski tidak dapat bertemu secara fisik.

Media jejaring sosial instagram selain membawa dampak positif juga dapat membawa dampak negatif, seperti yang dikemukakan oleh Keke Mahardika (2015:2) bahwa instagram membawa dampak negatif seperti krisis percaya diri, persaingan kehidupan mewah, dan tidak mau menatap realita dan kenyataan. Lebih lanjut Rendi Lesmana (Yanica, 2014: 81-82) menyebutkan bahwa dampak negatif dari media jejaring sosial adalah sebagai berikut:

a. Membuat remaja atau pelajar menjadi malas belajar

Media jejaring sosial dapat membuat seseorang kecanduan, termasuk pelajar. Seorang pelajar yang kecanduan jejaring sosial akan lebih malas belajar karena keinginannya untuk terus bermain media jejaring sosial.

b. Bahaya kejahatan

Media jejaring sosial dapat digunakan oleh siapa saja termasuk orang-orang atau oknum yang ingin berbuat jahat. Media jejaring sosial tersebut dapat digunakan oleh oknum tersebut untuk mencari target. Salah satu kasus yang sering terjadi adalah penculikan oleh orang yang tidak dikenal dari jejaring sosial karena tidak semua orang mengungkapakan identitas atau dirinya dengan jujur di dunia maya yang terbatas untuk bertemu secara langsung.


(57)

41 c. Bahaya penipuan

Media jejaring sosial dapat digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sebagai tempat untuk melakukan penipuan. Media ini dijadikan tempat promosi bagi para penipu yang sedang mencari korban, seperti promosi barang dan jasa sehingga remaja diharapkan tidak mudah tertarik atau tidak boleh langsung percaya jika seseorang yang tidak dikenal menawarkan barang atau jasa lain.

d. Tidak semua pengguna jejaring sosial bersifat baik dan sopan

Artinya tidak sedikit pengguna media jejaring sosial yang mungkin bersifat kasar atau tidak sopan, hal ini jelas berbahaya bagi anak dan remaja, karena tidak mungkin bagi anak dan remaja untuk meniru kata-kata atau kalimat yang tidak sopan dan tentunya tidak patut ditiru.

e. Mengganggu kehidupan

Jejaring sosial dapat mengurangi komunikasi pengguna dengan dunia nyata seperti orang sekitar, lingkungan, dan yang lainnya. Hal ini terjadi karena banyak yang menganggap kebutuhan afiliasi dapat terpenuhi hanya dengan melakukan kegiatan yang terlalu lama dan menghabiskan waktu di jejaring sosial.

Senada dengan pendapat Rendi Lesmana tersebut, ICT Watch dalam buku internet sehat (David Mahendra, 2014: 17-18) juga mengungkapkan bahwa media jejaring sosial juga dapat memberikan dampak negatif bagi para remaja, dampak negatif tersebut adalah:


(58)

42

a. Remaja menjadi malas belajar berkomunikasi di dunia nyata, tingkat pemahaman bahasa pun menjadi terganggu. Remaja yang terlalu banyak berkomunikasi di dunia maya, maka pengetahuan tentang seluk beluk berkomunikasi di kehidupan nyata, seperti bahasa tubuh dan nada suara menjadi berkurang.

b. Media jejaring sosial akan membuat remaja lebih mementingkan diri sendiri. Remaja menjadi tidak sadar akan lingkungan sekitar karena banyak menghabiskan waktu di internet. Hal ini mengakibatkan remaja kurang empati di dunia nyata.

c. Tidak ada ejaan dan tata bahasa di media jejaring sosial. Hal ini akan membuat remaja sulit membedakan antara berkomunikasi di situs media jejaring sosial dan dunia nyata.

d. Media jejaring sosial adalah lahan subur bagi predator untuk melakukan kejahatan. Kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang yang baru dikenal remaja di internet menggunakan jati diri yang sesungguhnya.

Berdasarkan kedua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak positif dari media jejaring sosial adalah media sosial dapat dijadikan sebagai tempat komunikasi, memperluas pertemanan, membangun pertemanan menjadi lebih bersahabat, perhatian, dan empati, media untuk berbagi, media untuk mengembangkan diri, media untuk mencari informasi, dan dapat dijadikan sebagai media untuk berpromosi. Selain dampak positif, ada dampak negatif dari media jejaring sosial yaitu


(59)

43

membuat remaja atau pelajar menjadi malas belajar, membuat remaja lebih mementingkan diri sendiri dan tidak peka terhadap lingkungan nyata di sekitarnya, membuat malas berkomunikasi di dunia nyata, dan tingkat pemahaman bahasa pun menjadi berkurang, membuat remaja mudah meniru kata-kata yang tidak baik dan tidak sopan, membuat remaja mudah terpapar dengan potensi kejahatan dan penipuan.

C. Kajian Tentang Intensitas Penggunaan Instagram 1. Pengertian Intensitas

Intensitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 428) berasal dari kata intens yang berarti sangat kuat (berkaitan dengan kekuatan), tinggi (berkaitan dengan mutu), intens menunjukkan sesuatu yang penuh semangat, berkobar-kobar, bergelora dan sangat emosional. Menurut Chaplin (2006: 254) dalam kamus lengkap psikologi, intensitas (intensity) memiliki arti kekuatan suatu tingkah laku atau suatu pengalaman, seperti intensitas suatu reaksi emosional, kekuatan yang mendukung suatu pendapat atau sikap. Berdasarkan pengertian dari intens atau intensitas tersebut, maka dalam hal ini diambil kata kekuatan. Kekuatan disini menerangkan seberapa sering media sosial instagram dipakai oleh siswa untuk menampilkan foto baik foto pribadi, kegiatan, dan lain sebagainya, selain itu juga seberapa sering siswa berkomunikasi di media sosial instagram untuk membangun citra diri siswa kepada orang lain.


(60)

44

Menurut Yanica (2014: 82) intensitas suatu kegiatan seseorang mempunyai hubungan yang erat dengan perasaan. Perasaan senang terhadap kegiatan yang akan dilakukan dapat mendorong orang yang bersangkutan melakukan kegiatan tersebut secara berulang-ulang. Kesenangan siswa dalam bermain media sosial instagram yang tengah populer memungkinkan siswa untuk terus memposting atau menampilkan foto-foto, saling bertukar, berkomentar, dan menyukai foto yang diunggah, bersaing untuk mendapatkan follower yang banyak, dan lain sebagainya. Semua kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun dan menampilkan citra diri siswa kepada pengguna instagram yang lain.

Menurut Qomariyah (Yanica, 2014: 83) terdapat dua hal mendasar yang harus diamati untuk mengetahui intensitas menggunakan situs media sosial yaitu frekuensi menggunakan media sosial bagi penggunanya. Intensitas mengakses situs media sosial adalah berapa lama dan seringnya responden menggunakan media sosial dengan berbagai tujuan atau motivasi. Dalam hal ini intensitas media sosial yang diukur adalah media sosial instagram.

The Graphic, Visualization, dan Usability Center, The Georgia Institute Of Technology (Yanica, 2014:83) menggolongkan pengguna situs jejaring sosial atau media sosial menjadi tiga kategori berdasarkan intensitas yang digunakan, yaitu:


(61)

45 a. Heavy User (Pengguna Berat)

Individu yang mengakses jejaring sosial lebih dari 40 jam per bulan. b. Medium User (Pengguna Sedang)

Individu yang mengakses jejaring sosial antara 10 jam sampai 40 jam per bulan.

c. Light User (Pengguna Ringan)

Individu yang mengakses jejaring sosial kurang dari 10 jam per bulan. 2. Aspek-Aspek Intensitas

Menurut Del Bario (Yanica, 2014: 83-84) aspek-aspek intensitas adalah attention (perhatian), comprehension (penghayatan), duration (durasi), dan frequency (frekuensi). Penjelasan dari aspek-aspek intensitas penggunaan media sosial tersebut adalah sebagai berikut:

a. Aspek kualitas. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan perasaan individu dalam mengakses dan memahami jejaring sosial atau media sosial yang digunakannya, meliputi:

1) Attention (perhatian)

Perhatian merupakan minat individu. Perhatian pada aktivitas individu sesuai dengan minat yang diinginkannya lebih kuat dan intens daripada minat aktivitas yang tidak dikarenakan ketertarikan. Seseorang memiliki perhatian pada jejaring sosial, sehingga orang tersebut dapat menikmati aktivitas saat mengakses jejaring sosial, menjalin hubungan dengan orang lain melalui


(62)

46

jejaring sosial, dan menggunakan layanan yang terdapat dalam jejaring sosial.

2) Comprehention (penghayatan)

Penghayatan adalah pemahaman dan penyerapan informasi, adanya usaha individu untuk memahami, menikmati, pengalaman untuk memenuhi dan menyimpan informasi, dan pengalaman tersebut diperoleh sebagai pengetahuan individu. Misalnya, orang yang mengakses jejaring sosial dengan memahami dan menyerap informasi segala sesuatu mengenai jejaring sosial sehingga dapat menikmati aktivitas saat mengakses situs jejaring sosial.

b. Aspek kuantitas. Hal ini berkaitan dengan jumlah waktu dalam menggunakan jejaring sosial. Aspek kuantitas meliputi:

1) Duration (durasi)

Durasi adalah lamanya individu dalam menjalankan perilakunya. Lamanya seseorang dalam mengakses jejaring sosial dapat dilihat dari waktu yang dihabiskan individu tersebut untuk setiap kali menggunakannya. Misalnya, seseorang yang mengakses jejaring sosial dapat menghabiskan 1-2 jam setiap harinya.

2) Frequency (frekuensi)

Frekuensi yaitu seringnya atau banyaknya pengulangan perilaku dalam menggunakan jejaring sosial. Frekuensi menggunakan jejaring sosial dapat dilihat dari seberapa seringnya individu membuka dan mengakses jejaring sosial dalam waktu


(63)

47

tertentu, misalnya dalam satu minggu seseorang dapat mengakses jejaring sosial sebanyak 10 kali, atau dalam satu bulan dapat mengakses jejaring sosial sebanyak 40 kali.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, maka aspek-aspek intensitas menggunakan jejaring sosial adalah attention (perhatian), comprehension (penghayatan), duration (durasi), dan frequency (frekuensi), sehingga dapat disimpulkan bahwa intensitas menggunakan jejaring sosial atau media sosial instagram adalah tingkat kuantitas waktu dalam melakukan suatu kegiatan tertentu dalam waktu yang tertentu pula menunjukkan durasi, frekuensi lama waktu yang diperlukan, dan tingkat kualitas perasaan, minat, perhatian dalam menggunakan media sosial instagram yang meliputi semua fasilitas yang disediakan oleh media sosial instagram tersebut, antara lain seberapa sering memperbaharui atau memposting foto baik itu foto sendiri, jalan-jalan, kegiatan yang dilakukan, ataupun foto barang-barang bermerk yang dimiliki, memberikan komentar pada foto orang lain, menyukai foto orang lain, seberapa banyak pengikut atau seberapa banyak mengikuti akun instagram orang lain, dan seberapa sering memberikan direct atau tagging foto pada pengguna lainnya.


(64)

48

D. Kajian Tentang Remaja sebagai Siswa SMA 1. Pengertian Remaja

Istilah asing yang sering dipakai untuk menunjukkan makna remaja, antara lain adalah puberteit, adolescentia, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering pula dikatakan pubertas atau remaja. Istilah puberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin: pubertas yang berarti usia kedewasaan (the age of manhood). Istilah ini berkaitan dengan kata Latin lainnya pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang “pusic” (di wilayah kemaluan). Penggunaan istilah ini lebih terbatas dan menunjukkan mulai berkembang dan tercapainya kematangan seksual. Pubescere dan Puberty sering diartikan sebagai masa tercapainya kematangan seksual ditinjau dari aspek biologisnya (Sunarto dan Agung Hartono, 2002: 51).

Istilah adolescentia berasal dari kata Latin: Adulescentis, dengan adulescentia dimaksudkan masa muda. Adolescence menunjukkan masa yang tercepat antara usia 12—22 tahun dan mencakup seluruh perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut, di Indonesia baik istilah pubertas maupun adolescencia dipakai dalam arti umum dengan istilah yang sama yaitu remaja (Sunarto dan Agung Hartono, 2002: 51-52).

Istilah asing untuk menunjukkan makna remaja, dalam bahasa Indonesia disebut pubertas. Istilah tersebut penggunaannya lebih menunjukkan kepada masa perkembangan dan tercapainya kematangan seksual. Hal ini senada dengan pernyataan Muhammad Al-Mighwar


(65)

49

(2006: 55-56) bahwa istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2005:9) yang dimaksud dengan remaja adalah:

“Remaja adalah suatu masa ketika: Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual; individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak mencapai dewasa; terjadi peralihan dan ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri”.

Berdasarkan pendapat Sarlito Wirawan diketahui bahwa remaja adalah masa dimana individu mencapai kematangan seksual dengan tanda-tanda seksual sekundernya, serta mencapai perkembangan psikologis dan terjadi peralihan dari ketergantungan penuh menuju kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa dewasa (Sri Rumini dan Siti Sundari, 2004: 53-54) sedangkan menurut Santrock (2003: 26) remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosional.

Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa masa remaja merupakan masa peralihan atau transisi dan perkembangan antara masa anak dengan masa dewasa dan mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat


(66)

50

disimpulkan bahwa istilah remaja sering disebut dengan adolescence, merupakan masa dimana individu mengalami pertumbuhan dan perkembangan antara masa anak dengan masa dewasa mencakup kematangan fisik, perubahan biologis, kognitif, dan sosio emosional. 2. Batasan Usia Remaja

Ada banyak pendapat mengenai batasan usia remaja. WHO (Sunarto dan Agung Hartono, 2002: 57) menetapkan batas usia 19-20 tahun sebagai batasan usia remaja. WHO menyatakan walaupun definisi di atas terutama didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria, dan WHO membagi kurun usia dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sunarto dan Agung Hartono, 2002: 57-58) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth) dalam rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional sedangkan menurut Sri Rumini dan Siti Sundari (2004: 56) membagi masa remaja menjadi 3 bagian yaitu: (1) masa pra remaja kurun waktunya sekitar 11 s.d. 13 tahun bagi wanita dan pria sekitar 12 s.d. 14 tahun, (2) masa remaja awal sekitar 13 s.d. 17 tahun bagi wanita dan bagi pria 14 s.d. 17 tahun 6 bulan, (3) masa remaja akhir sekitar 17 s.d. 21 tahun bagi wanita dan bagi pria sekitar 17 tahun 6 bulan s.d. 22 tahun.


(67)

51

Santrock (2003: 26) menyebutkan bahwa masa remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Masa remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada kira—kira setelah usia 15 tahun sedangkan menurut Muhammad Al-Mighwar (2006:62), secara teoritis dan empiris dari segi psikologis, rentangan usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi laki-laki. Jika dibagi atas remaja awal dan remaja akhir, remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai 17/18 tahun. Hal senada juga diungkapkan oleh Hurlock (Muhammad Al-Mighwar, 2006:61) membatasi usia remaja antara 13 tahun sampai 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal antara 13/14 tahun sampai 17 tahun, dan masa remaja akhir 17 tahun sampai 21 tahun.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang batasan usia remaja tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, usianya berkisar antara 12 tahun sampai 22 tahun.

3. Karakteristik Remaja

Menurut Andi Mappiare (Maret Tri Kisworo, 2011: 15-18) menggolongkan remaja ke dalam dua kategori yaitu remaja awal dan remaja akhir, dan mengungkapkan karakteristiknya sebagai berikut:

a. Karaktertistik remaja awal (usia 13 tahun sampai 17 tahun) 1) Ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi.


(68)

52

Masa ini disebut masa yang sangat peka, dimana remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini diistilahkan sebagai “storm and stress”. Remaja yang sesekali bergairah dalam bekerja, tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih yang sangat, dan rasa yakin diri berganti rasa ragu diri yang berlebihan. Termasuk dalam ciri ini adalah ketidaktentuan cita-cita. Hal mengenai pendidikan dan lapangan kerja tidak dapat direncanakan dan ditentukannya. Lebih-lebih dalam persahabatan dan “cinta”, rasa bersahabat sering bertukar menjadi senang, ketertarikan pada lain jenis suka “loncat-loncatan” atau “cinta monyet”.

2) Hal sikap dan moral, terutama menonjol menjelang akhir remaja awal.

Organ-organ seks yang telah matang menyebabkan remaja mendekati lawan seks. Ada dorongan-dorongan seks dan kecenderungan memenuhi dorongan itu. Remaja menonjolkan kegiatan-kegiatan yang berani menyerempet bahaya, “sex appeal”, perbuatan kurang sopan dan tidak senonoh.

3) Kemampuan berpikir atau mental mulai sempurna.

Keadaan ini terjadi dalam kurun waktu 12-16 tahun. Pada usia 12 tahun kemampuan anak untuk mengerti informasi abstrak baru sempurna. Remaja awal suka menolak hal-hal yang tidak masuk akal. Penentangan pendapat sering terjadi dengan orang


(69)

53

tua, guru maupun orang dewasa lain jika remaja mendapat pemaksaan menerima pendapat tanpa alasan rasional. Tetapi, dengan alasan yang masuk akal, remaja juga cenderung mengikuti pemikiran orang dewasa.

4) Status remaja awal sangat sulit ditentukan.

Perlakuan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap remaja awal sering berganti-ganti. Ada keraguan orang dewasa untuk member tanggung jawab kepada remaja dengan dalih mereka masih anak-anak. Remaja suatu saat bisa dianggap sebagai orang dewasa, dan disaat lain diperlukan sebagai anak-anak. Akibatnya, remaja awal mendapat sumber kebingungan dan menambah masalahnya.

5) Remaja awal banyak mengalami masalah.

Hal ini terutama karena pertentangan sosial yang terjadi antara remaja dan orang tua. Hal ini dikarenakan remaja menganggap bahwa dirinya lebih mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan orang dewasa disekitarnya terlalu tua untuk dapat mengerti dan memahami perasaan, emosi, sikap dan kemampuan pikir dan status mereka.

6) Merupakan masa yang kritis.

Dikatakan kritis sebab remaja awal dihadapkan soal apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik,


(70)

54

menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah-masalah selanjutnya, sampai ia dewasa.

b. Karakteristik remaja akhir (Usia 17 tahun sampai 21 tahun)

Tidak jauh berbeda dengan remaja awal, pada masa ini remaja masih dalam taraf mencari jati diri. Secara khusus pada masa ini remaja telah mengalami:

1) Stabilitas emosi mulai timbul dan mengikat.

Dalam masa remaja akhir ini terjadi keseimbangan tubuh dan anggota badan, panjang dan besar berimbang. Demikian pula stabil dalam minat-minatnya; pemilihan sekolah, jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama atau pun jenis lain. Stabilitas itu mengandung pengertian bahwa mereka relatif tetap atau mantap dan tidak mudah berubah pendirian akibat adanya rayuan atau propaganda.

2) Citra diri, sikap dan pendapat lebih realistis.

Remaja sering memandang dirinya lebih tinggi ataupun lebih rendah dari keadaan yang sesungguhnya. Akibat yang sangat positif dari keadaan remaja akhir seperti itu adalah timbulnya perasaan puas, menjauhkan mereka dari rasa kecewa.

3) Dapat menghadapi masalahnya dengan matang dan dengan perasaan lebih tenang.

Adanya usaha-usaha pemecahan masalah secara lebih matang dan realistis itu merupakan produk dari kemampuan


(71)

55

berpikir remaja akhir yang telah lebih sempurna dan ditunjang oleh sikap pandangan yang lebih realistis sehingga diperolehnya perasaan yang lebih tenang.

Menurut Hurlock (Rita Eka, dkk., 2008: 124-126) remaja memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan masa sebelum dan sesudahnya, ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:

a. Masa remaja sebagai periode penting.

Masa remaja dianggap sebagai periode penting karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku dan akibat jangka panjangnya, juga akibat fisik dan akibat psikologis. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat menimbulkan penyesuaian mental dan membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, sehingga mereka harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan serta mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Masa remaja dianggap sebagai periode perubahan karena selama masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat pesat, juga


(1)

156

Lampiran 9. Kategorisasi Intensitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram

Statistics

kat_grafik_intensitas

N Valid 100

Missing 0

Mean 2.13

Std. Deviation .506

kat_grafik_intensitas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sangat tinggi 6 6.0 6.0 6.0

Tinggi 76 76.0 76.0 82.0

Sedang 17 17.0 17.0 99.0

Rendah 1 1.0 1.0 100.0


(2)

157


(3)

(4)

159

Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

IDENTITAS DIRI REMAJA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 PEMALANG DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

1 7 140

HUBUNGAN INTENSITAS MENGAKSES SITUS JEJARING SOSIAL PADA INTERAKSI LANGSUNG SISWA SMA HUBUNGAN INTENSITAS MENGAKSES SITUS JEJARING SOSIAL PADA INTERAKSI LANGSUNG SISWA SMA DITINJAU DARI TINGKAT EKONOMI SISWA Studi pada siswa di SMA Pangudi Luhur Yogyakar

0 4 13

PENDAHULUAN HUBUNGAN INTENSITAS MENGAKSES SITUS JEJARING SOSIAL PADA INTERAKSI LANGSUNG SISWA SMA DITINJAU DARI TINGKAT EKONOMI SISWA Studi pada siswa di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

0 4 43

PENUTUP HUBUNGAN INTENSITAS MENGAKSES SITUS JEJARING SOSIAL PADA INTERAKSI LANGSUNG SISWA SMA DITINJAU DARI TINGKAT EKONOMI SISWA Studi pada siswa di SMA Pangudi Luhur Yogyakarta.

0 4 23

PENGARUH CITRA TUBUH TERHADAP KEYAKINAN KEMAMPUAN DIRI PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA.

0 1 126

KEJENUHAN (BURNOUT) BELAJAR DITINJAU DARI TINGKAT KESEPIAN DAN KONTROL DIRI SISWA KELAS XI SMA NEGERI 9 YOGYAKARTA.

2 5 170

KORELASI ANTARA KEBUTUHAN AFILIASI DAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN INTENSITAS MENGGUNAKAN JEJARING SOSIAL PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 15 YOGYAKARTA.

25 85 230

MEDIA SOSIAL INSTAGRAM SEBAGAI PANGGUNG PRESENTASI DIRI PADA SISWA SMA NEGERI 2 KARANGANYAR

0 0 15

PERILAKU PENGGUNAAN JEJARING SOSIAL TWITTER PADA MAHASISWA DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI - Unika Repository

0 0 17

PENGARUH PENGGUNAAN JEJARING SOSIAL INSTAGRAM DALAM PEMBELAJARAN TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SISWA KELAS XI SMK NEGERI 6 YOGYAKARTA

0 0 140