Hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan terhadap organisasi : studi kasus pada karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma.

(1)

vi ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN

TERHADAP ORGANISASI

Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma terhadap organisasi baik secara parsial maupun secara bersama-sama.

Dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment, dan intrumen kuesioner yang disebarkan pada 100 orang responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja karyawan tetap administratif secara bersama-sama dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi (R = 0,419 dengan F hitung = 10,310 > nilai F tabel = 3,09, pada taraf signifikansi 0,05). Sementara itu secara parsial, penelitian ini menunjukkan bahwa 1). Terbukti bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif USD (r = 0,308 dengan –t hitung = 3,20 < nilai –t tabel = -1,9845, pada taraf signifikansi 0,05). 2). Terbukti bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan tetap administratif USD (r = -0,358 dengan -t hitung = -3,79 < nilai –t tabel = -1,9845, pada taraf signifikansi 0,05). 3) terbukti bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif USD (r = 0,375 dengan t hitung = 4,00 > –t tabel = -1,9845, pada taraf signifikansi 0,05).


(2)

vii ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK STRESS AND THE SATISFACTION WITH EMPLOYEES AFECTIVE COMMITMENT

TOWARD THE ORGANISATION

A Case Study on the Administrative Permanent Employee of Sanata Dharma University

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research aimed to examine if there were any connection between work stress, job satisfaction and the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University both partially and simultaneously.

By using the Product Moment of correlation technique and distributing questionnaires to a hundred respondents, the research showed that there were any positive and significant connection between work stress and the satisfaction of the administrative permanent employee and it’s simultaneous with their affective commitment of the organization (R = 0,419 with F count = 10,310 is larger than, F table value = 3, 09, in signification standard 0, 05). In the meantime, partially this research found out that 1). There were any negative and significant connection between work stress with the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University (r = -0,308 with –t count = -3, 20 < –t table value = -1, 9845, in signification level 0, 05). 2). There were any negative and significant connection between work stress and the satisfaction with the administrative permanent employee of Sanata Dharma University (r = -0,358 with –t count = -3, 79 < -t table value = -1, 9845 in satisfaction level 0, 05). 3). There were any positive and significant connection between work stress and the satisfaction with the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University (r = 0,375 with t count = 4, 00 > -t table = -1, 9845 in satisfaction level 0, 05)


(3)

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN

KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN

TERHADAP ORGANISASI

Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Program Studi Manajemen

Disusun Oleh :

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu 022214016

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007


(4)

(5)

(6)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

A

ku hanya manusia, tapi aku masih manusia; aku tidak dapat mengerjakan segalanya; tapi aku masih mampu berbuat sesuatu; dan karena aku tidak mampu mengerjakan semuanya, aku tidak akan menolak untuk mengerjakan sesuatu yang mampu aku lakukan.

Edward Everett Hale

J

uallah kepandaianmu dan belilah kebingungan; Kepandaian adalah pendapat, kebingungan adalah Intuisi.

Jalaludin Rumi

K

emenangan sering berpihak kepada bala tentara yang membuat paling sedikit kesalahan, bukan mereka yang memiliki perencanaan paling brilian.

Charles De Gaulle

(Jendral dan Presiden Prancis)

Skripsi ini kupersembahkan pada para guru dalam hidupku. Mereka adalah bapa dan mama tercinta, kedua adekku tersayang, opungku dan untuk kekasihku “widya”. Semoga karya kecilku ini memberi arti bagi kalian semua.


(7)

(8)

vi ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN KEPUASAN KERJA DENGAN KOMITMEN AFEKTIF KARYAWAN

TERHADAP ORGANISASI

Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara stres kerja dan kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma terhadap organisasi baik secara parsial maupun secara bersama-sama.

Dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment, dan intrumen kuesioner yang disebarkan pada 100 orang responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara stres kerja dan kepuasan kerja karyawan tetap administratif secara bersama-sama dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi (R = 0,419 dengan F hitung = 10,310 > nilai F tabel = 3,09, pada taraf signifikansi 0,05). Sementara itu secara parsial, penelitian ini menunjukkan bahwa 1). Terbukti bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif USD (r = 0,308 dengan –t hitung = 3,20 < nilai –t tabel = -1,9845, pada taraf signifikansi 0,05). 2). Terbukti bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan tetap administratif USD (r = -0,358 dengan -t hitung = -3,79 < nilai –t tabel = -1,9845, pada taraf signifikansi 0,05). 3) terbukti bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen afektif karyawan tetap administratif USD (r = 0,375 dengan t hitung = 4,00 > –t tabel = -1,9845, pada taraf signifikansi 0,05).


(9)

vii ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN WORK STRESS AND THE SATISFACTION WITH EMPLOYEES AFECTIVE COMMITMENT

TOWARD THE ORGANISATION

A Case Study on the Administrative Permanent Employee of Sanata Dharma University

Firdaus Antonius Sariputra Pasaribu Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research aimed to examine if there were any connection between work stress, job satisfaction and the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University both partially and simultaneously.

By using the Product Moment of correlation technique and distributing questionnaires to a hundred respondents, the research showed that there were any positive and significant connection between work stress and the satisfaction of the administrative permanent employee and it’s simultaneous with their affective commitment of the organization (R = 0,419 with F count = 10,310 is larger than, F table value = 3, 09, in signification standard 0, 05). In the meantime, partially this research found out that 1). There were any negative and significant connection between work stress with the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University (r = -0,308 with –t count = -3, 20 < –t table value = -1, 9845, in signification level 0, 05). 2). There were any negative and significant connection between work stress and the satisfaction with the administrative permanent employee of Sanata Dharma University (r = -0,358 with –t count = -3, 79 < -t table value = -1, 9845 in satisfaction level 0, 05). 3). There were any positive and significant connection between work stress and the satisfaction with the affective commitment of administrative permanent employee of Sanata Dharma University (r = 0,375 with t count = 4, 00 > -t table = -1, 9845 in satisfaction level 0, 05)


(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala berkat dan karunia yang melimpah sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Program Studi Manajamen, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Skripsi ini tersusun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Drs. Alex Kahu Lantum, MS., selaku Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Bapak Drs. Hendra Poerwanto. G, M.Si., selaku Ketua Jurusan Manajemen, Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Dr. Herry Maridjo, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar telah membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis selama penulisan sekripsi.

4. Ibu Dra. Y. Rini Hardanti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Fr. Ninik Yudianti, M.Acc., selaku Wakil Rektor I yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

6. Bapak Drs. Th. Sutadi, MBA, selaku kepala Biro Personalia yang telah memberikan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini.


(11)

ix

7. Segenap Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Bapa dan Mamaku yang paling kukagumi di muka bumi ini. Trimakasih sudah menjadi orang tua ku, kalian sudah banyak mengajarkanku segala hal. Saya merasa beruntung sekali memiliki kalian dan untuk saat ini hanyalah karya kecil ini yang baru bisa saya berikan buat kalian.

I love You Mom and Dad.

9. Kedua adekku, Lamtiar Rogantian PS dan Sofiyan Wibowo PS,terimakasih untuk semua doa, saran, dan semangat yang selalu kalian berikan. Abang bangga memiliki kalian. Lam, jadi dokter ya. Sofiyan, jadi polisi yang Baik yaa. Buat Bapa dan Mama bangga.

10. Opungku yang ada disurga. maafin pahoppu mu ini kalo selama hidup opung, saya pernah berbuat salah. Buat semua tulang-tulangku, uda-udaku, lae-laeku, inangtuaku-amangtuaku, namboru-amangboru, ito-itoku, abang-abangku, Mouliate.

11. My Honey. “Thank’s sudah memampukanku melakukan hal yang mungkin tidak mampu kulakukan sendiri”. Saya merasa sudah banyak keajaiban kecil yang kau ciptakan bagi ku.I think i’m a lucky man

12. Ibu ku di Sragen, makasih semua nasehat dan doanya, You‘re the great woman as long as i know. Buat keluarga Om Teguh “makasih om untuk operasi kecilnya”, dan untuk mas tanto maturnuhun boss udah sering menseting motorku, oh ya tak tunggu gingseng Koreanya!


(12)

x

13. Segenap penghuni papringan bersaudara (Antok, Okta, Igun, Petok, Tomidi, Yudha, Jusman dll) dan buat Keluarga Bp Walijo, (pak,maturnuhun sudah mausharingdengan saya, makasih nasehat-nasehat dan masukannya)

14. Teman-teman seperjuangan Anton “beler” (Kapan kita kaya?!), Riski (Jadi Bapak yang baik ya.), Hari Pamudji (jangan di biasakan rugi?!), Me’Enk (Hebat kamu lulus dulan ya.), Eko “kodok”

13. Para kru PT.Taylor Nelson Sofres Yogyakarta (Jangan saling mengambil “jatah makan” temen donk).

14. Temen-temen KKP angkatan XI, Wawan, Yeni, Eka “oneng”, Willy, Monik, Widi, Radiq, Viki, Iron, dll, “jangan kena kutu sapi lagi”.

15 annoying.clothing co (Ditunggu Gratisannya?!)

16. Kru CV. Diandra yang telah susah payah mencari iklannya (Jangan pernah lupa belajar dari kesalahan).

17. Teman-teman di BEM FE 2004, (Kentang, Dewo, Edo, Wawan, Galih, Anin, Mitha, Kris, Gabuk, Manu, Hendra, Vita, Yudha, Wahyu; sukses terus kawan). Temen-temen di Komunitas Jurnalistik Saringan Teh (Acong, Vidi, Gagat, Anton, Katri, Rahma, Helmi) dan Temen-temen di UKPM Natas (Donal, Lysis, Dewiq, Ariq, Enkong, Bebe, Koko, Gatik, Kristin, Anggun, Theo dll) “Thanksbuat setetes pengalamannya”

18. Kawan-kawan Manajemen angkatan 2002, baik yang sudah lulus maupun belum, semoga keberuntungan selalu menyertai kalian.

19 Buat kawan-kawan MPT: Alex, Nunung, Andi, Anton, Mesum, Yani, Agnes, Jangan lupa kabar-kabari kalo sudah sukses.


(13)

xi

20. Buat teman lama ku Daniel “Iyenk” Sirait, Perdana Sinaga, Joy Hifder Leonardo. Kawan, kita harus reuni. Buat Iyenk, aku tidak mungkin ada di jogja tanpa bantuan mu. Trimakasih banyak kawan.

21. Rekan-rekan di GAIA Corps, Jangan jadikan bencana sebagai komoditi. Sukses terus desa wisatanya.

22. Saya secara pribadi juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelasaikan sekripsi ini. Smoga kesuksesan senantiasa menyertai kalian. Amien.


(14)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 10

A. Pengertian Stres ... 10

B. Faktor-faktor Penyebab Stres ... 14

C. Pengertian Stres Kerja ... 16

D. Faktor Penyebab Stres Kerja ... 19

E. Dampak Stres Kerja ... 25

F. Reaksi Terhadap Stres ... 27

G. Pengertian Kepuasan Kerja ... 28

H. Dimensi Dalam Kepuasan Kerja... 30


(15)

xiii

J. Pengertian Komitmen Organisasi ... 34

K. Faktor-faktor Penyebab Komitmen Organisasi ... 37

L. Bentuk-bentuk Komitmen Organisasi ... 41

M. Penelitian Terdahulu ... 43

N. Kerangka Berfikir ... 45

O. Hipotesis ... 46

BAB III. METODE PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Subjek dan Objek Penelitian ... 48

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

D. Variabel Penelitian ... 49

E. Populasi dan Sampel ... 50

F. Teknik Pengambilan Sampel ... 50

G. Jenis Data ... 50

H. Definisi Operasional ... 51

I. Teknik Pengumpulan Data ... 52

J. Teknik Pengujian Instrumen ... 53

K. Teknik Analisis Data... 55

BAB IV. GAMBARAN UMUM ORGANISASI ... 59

A. Sejarah USD ... 59

B. Nama-nama Rektor USD ... 62

C. Visi, Misi, dan Motto USD ... 63

D. Tujuan Pendidikan USD ... 65

E. Lambang, Bendera, Himne, dan Mars USD... 66

F. Organisasi USD ... 66

G. Sasaran Jangka Menengah dan Rencana Strategi USD... 70

H. Data Statistik Karyawan USD (Administratif dan Edukatif)... 73

BAB V. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 77

A. Deskripsi Data ... 77

B. Metode Pengujian Instrumen ... 78


(16)

xiv

D. Analisis Presentase ... 84

E. Pengujian Hipotesis ... 88

F. Pembahasan ... 96

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Keterbatasan ... 106

C. Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

IV. 1 Rumusan pendek visi, misi dan motto USD ... 65

IV. 2 Data pegawai administrasi berdasarkan jenjang pendidikan dan status kepegawaian ... 73

IV. 3 Status kepegawaian, jenjang pendidikan, dan studi lanjut pegawai edukatif ... 75

V. 1 Hasil pengujian validitas stres kerja ... 79

V. 2 Hasil pengujian validitas kepuasan kerja ... 80

V. 3 Hasil pengujian validitas komitmen afektif ... 81

V. 4 Hasil pengujian reliabilitas ... 81

V. 5 Rangkuman hasil pengujian normalitas ... 82

V. 6 Rangkuman hasil pengujian linieritas ... 83

V. 7 Klasifikasi responden berdasarkan jenis kelamin ... 85

V. 8 Klasifikasi responden berdasarkan usia ... 85

V. 9 Klasifikasi responden berdasarkan status perkawinan ... 86

V. 10 Kalsifikasi responden atas dasar tingkat pendidikan akhir ... 87

V. 11 Klasifikasi responden atas dasar masa kerja ... 88

V. 12 Interpretasi terhadap nilai r hasil analisis korelasi ... 89

V. 13 Hasil pengujian signifikansi F ... 95

V. 14 Tingkat stres kerja ... 97

V. 15 Tingkat kepuasan kerja ... 98


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

II. 1 Kerangka penelian ... 46 V. 1 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis

Pertama pada Taraf Signifikansi 5% ... 90 V. 2 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis

Kedua pada Taraf Signifikansi 5% ... 92 V. 3 Kurve Normal Daerah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemampuan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berbakat dan bermotivasi sering menjadi perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan di lingkungan bisnis yang bersaing saat ini. Manajer yang berfikiran maju akan memahami bahwa karyawan yang bermotivasi dan memiliki komitmen, bersama dengan strategi yang efektif dan operasi yang efisien, akan menghasilkan kombinasi yang akan sulit ditandingi. Organisasi saat ini harus menemukan sebuah “ramuan” dalam mengupayakan keunggulan bersaing dengan cara menarik dan mempertahankan karyawan terbaik dan dengan mengembangkan kecakapan mereka.

Sumber daya manusia menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan organisasi yang efektif. Status SDM di jaman dahulu pernah diremehkan oleh banyak organisasi, tetapi derajat kepentingannya telah berkembang sangat dramatis dalam dua dekade terakhir ini. Semakin pentingnya SDM itu berakar pada meningkatnya kerumitan hukum, kesadaran bahwa sumber daya manusia merupakan alat berharga bagi peningkatan produktivitas, dan kesadaran dewasa ini mengenai biaya yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia.

Tentu saja, para manajer ini sadar bahwa keefektifan fungsi-fungsi sumber daya manusia mereka berdampak besar terhadap kinerja perusahaan. Perencanaan sumber daya manusia yang buruk dapat mengakibatkan serangkaian rekrutmen


(20)

yang diikuti oleh pemecatan. Konsekuensinya, akan muncul biaya-biaya yang mahal dalam kaitannya dengan pembayaran kompensasi pengangguran, pengeluaran biaya pelatihan, dan moril. Oleh karena itu, para pemimpin dapat berusaha membina keterikatan dan keikatan dengan menempatkan para pekerja dalam situasi yang membuka kesempatan bagi mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang berarti bagi pribadi mereka, dengan asumsi bahwa tujuan-tujuan-tujuan-tujuan tersebut relevan bagi organisasi sehingga diharapkan karya secara keseluruhan akan meningkat. Selain itu, kepada para pekerja manajemen dan para karyawan lainnya benar-benar memperhatikan kesejahteraan mereka, ataupun ada kemungkinan merubah beberapa segi tertentu dalam pekerjaan para karyawan, sehingga mereka memiliki otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar dan dapat mengindentifikasikan diri dengan tugas mereka yang sebenarnya. Hal ini diharapkan dapat mendukung tercapainya tujuan manajerial yang menitikberatkan pada tingginya komitmen karyawan, integrasi organisasi, peningkatan kualitas kerja (quality of work), dan peningkatan kualitas karyawan. Tujuan manajerial tersebut dapat dicapai dengan upaya mewujudkan kondisi lingkungan yang kondusif, sehingga tumbuh “sense of belonging” pada diri karyawan terhadap organisasi secara keseluruhan.

Karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan lebih berpeluang dalam peningkatan karir dan cenderung memiliki masa jabatan yang panjang. Bagi perusahaan, dengan komitmen karyawan yang tinggi akan memberikan dampak yang positif pada stabilitas tenaga kerja perusahaan tersebut, rendahnya labour turn over, dan karyawan akan bekerja lebih produktif.


(21)

Dalam berbagai studi mengenai perilaku organisasi, komitmen organisasi adalah suatu perasaan sayang atau tidak sayang yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Allen dan Meyer (dalam Luthan dan Fred, 1998:148) membagi komitmen organisasi kedalam tiga komponen, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan (continuan commitment), dan komitmen normatif (normative commitment).

Seorang karyawan yang mempunyai kepuasan kerja akan menunjukkan sikap positf dan menyenangkan terhadap pekerjannya. Sikap positif itu dapat berupa kesediaan untuk tetap tinggal di perusahaan tersebut, karena hanya karyawan yang tidak memiliki kepuasan kerja yang akan meninggalkan perusahaan dan mencari perusahaan lain yang dapat memenuhi kebutuhannya dalam bekerja sampai ia merasa puas. Selain itu, positif terhadap pekerjaan juga dapat berupa kesediaan untuk menerima nilai-nilai yang dianut perusahaan tempat ia bekerja, dimana nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan merupakan aspek yang terdapat dalam sebuah perusahaan yang berkaitan dengan pekerjaan. Kesediaan untuk berusaha bagi kepentingan perusahaan juga merupakan sikap positif dan menyenangkan terhadap pekerjaan yang ditunjukkan oleh karyawan yang mempunyai kepuasan kerja, karena ketika seorang karyawan melakukan pekerjaannya dengan baik berarti ia telah berusaha untuk kepentingan karyawan itu sendiri. Kesediaan untuk tetap tinggal di perusahaan, kesediaan untuk menerima nilai-nilai yang dianut perusahaan, serta kesediaan untuk berusaha bagi kepentingan perusahaan menunjukkan adanya komitmen karyawan terhadap perusahaan. Dengan demikian terdapat hubungan antara kepuasan kerja dengan


(22)

komitmen terhadap organisasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Simmons (2005: 196-206), yang mengatakan bahwa kepuasan kerja karyawan dapat menjadi prediktor komitmen organisasi. Meskipun kepuasan kerja itu sendiri merupakan hal yang bersifat relatif, dimana setiap pekerja belum tentu memiliki perspektif yang sama dalam memandang kepuasan kerja. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak aspek kerja yang sesuai dengan keinginan karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dan diharapkan dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap perusahaan.

Di sisi lain, di dalam bekerja tidak dapat dipungkiri akan terjadi begitu banyak tekanan-tekanan yang dapat berpotensi menjadi sumber-sumber stres (stressor). Kondisi tersebut dapat menimbulkan efek negatif pada kepuasan kerja dan pada akhirnya dapat menurunnya tingkat produktivitas kerja mereka. Bukti-bukti empiris maupun pengamatan awam menunjukkan bahwa stres dapat menyebabkan timbulnya berbagai gangguan, baik fisik maupun psikis, yang pada akhirnya dapat mengganggu tingkat produktivitas seseorang.

Sutton (1984:7-28) mengatakan bahwa tuntutan peran menjadi tekanan bagi pengajar ketika harapan organisasi mengenai sikap pengajar tidak jelas (role ambiguity), ketika pekerjaan mereka berlebihan (role overload) atau ketika memenuhi satu harapan namun sulit atau tidak bisa memenuhi harapan yang lain (role conflict). Penelitian yang dilakukan oleh Mathieu dan Zajac (1990:171-194), menemukan bahwa role ambiguitydanrole over load memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasi. Role ambiguty yang dimaksud adalah tingkat ambiguitas terhadap tuntutan, kriteria dan peran yang berkaitan dengan


(23)

tugas-tugas lain, sementara itu role conflict yang dimaksud adalah tingkat dimana performa peran dianggap dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang mengakibatkan munculnya konflik atau tingkah laku yang saling bertentangan. Sedangkan yang dimaksud dengan role overload adalah tingkat dimana performa peran dianggap dipengaruhi oleh waktu dan sember daya yang tidak mencukupi (Seniati, 2002). Dengan demikian, semakin rendah tingkatrole stressor, maka kepuasan karyawan akan meningkat.

Penelitian ini sengaja dilakukan terhadap karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma dengan alasan bahwa penelitian mengenai sumber daya manusia pada lembaga tersebut, khususnya yang mengarah pada tema tentang stres kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasi belum banyak dilakukan, sehingga peneliti menganggap perlu untuk melakukan penelitian ini untuk membantu memperbaiki manajemen sumber daya manusia pada lembaga tersebut.

Hal-hal tersebut di atas membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Stres Kerja dan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Afektif Karyawan terhadap Organisasi” Studi Kasus pada Karyawan Tetap Administratif Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:


(24)

1. Apakah ada hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi?

2. Apakah ada hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja karyawan tetap administratif dengan kepuasan kerja mereka?

3. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi?

4. Apakah ada hubungan secara simultan antara stres kerja dan kepuasan kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi?

C. Batasan masalah

Dalam penelitian ini, untuk membatasi ruang lingkup penelitian, peneliti akan membatasi variabel-variabel yang akan diteliti.

Variabel stres yang akan diteliti pada penelitian ini mengacu pada faktor-faktor penyebab stres kerja pada tingkat individu yang meliputi:

1. Ambiguitas peran(role ambiguity) 2. Peran yang berlebihan(role overload) 3. Konflik peran(role conflict)

Variabel kepuasan kerja yang akan diteliti dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Luthan (1995:114) yang meliputi:


(25)

2. Kepuasan pada pembayaran 3. Kepuasan pada promosi 4. Kepuasan pada supervisi 5. Kepuasan pada rekan kerja

Variabel komitmen organisasi yang akan diteliti mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Allen dan Mayer (dalam Luthan, 1995:149). Dalam penelitian ini, komitmen yang akan diteliti diambil dari salah satu bentuk yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer yakni komitmen afektif

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan stres kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.

2. Untuk mengetahui hubungan stres kerja dengan kepuasan kerja karyawan tetap administratif.

3. Untuk mengetahui hubungan kepuasan kerja karyawan tetap administratif dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.

4. Untuk mengetahui hubungan stres kerja dan kepuasan kerja karyawan tetap administratif secara bersama-sama dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.


(26)

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Universitas Sanata Dharma

Temuan dalam penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak Universitas dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mengelola tenaga karyawan tetap administratif, berkaitan dengan upaya penanggulangan stres kerja dengan cara memperbaiki dan mempertahankan kepuasan kerja, sehingga diharapkan kepuasan tenaga karyawan tetap administratif terhadap organisasi dapat meningkat dan pada akhirnya komitmen mereka juga dapat meningkat.

2. Bagi Perpustakaan

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam menambah khazanah wacana di bidang keprilakuan manusia dalam organisasi dan pada akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat menambah wacana pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Sanata Dharma.

3. Bagi Penulis

Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi salah satu wahana untuk memperdalam dan menerapkan pengetahuan penulis dalam ilmu manajemen dan ilmu lainnya yang sekiranya terkait, yang telah diperoleh selama ini untuk menyelesaikan persoalan-persoalan nyata di lapangan.


(27)

F. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai dasar dalam pengolahan data.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan jenis penelitian, subjek dan objek penelitian, lokasi dan waktu penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, jenis data, definisi operasional, teknik pengumpulan data, teknik pengujian instrumen dan teknik analisis data.

BAB IV : Gambaran Umum Organisasi

Bab ini berisikan tentang gambaran umum Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

BAB V : Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini berisikan analisis data dan pembahasan BAB VI : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian dan beberapa saran yang sekiranya bermanfaat bagi organsasi.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian stres

Setiap manusia dari berbagai lapisan bisa saja mengalami ketegangan hidup yang diakibatkan adanya tantangan, kesulitan, ancaman ataupun ketakutan terhadap bahaya kehidupan yang sulit diselesaikan, sehingga seringkali didapati orang yang seringkali mengalami ketegangan akan merasakan keluhan-keluhan yang kadang membutuhkan perawatan medis. Pada dasarnya besar kecilnya saat yang menegangkan tersebut sebenarnya relatif, tergantung tinggi rendahnya kedewasaan kepribadian serta bagaimana sudut pandang seseorang dalam menghadapinya.

Secara sederhana, Anoraga dan Suyati (1995:156) mendefinisikan stres sebagai sesuatu bentuk tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun mental, terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Sedangkan pengertian stres menurut Handoko (dalam Martoyo, 2000:146) sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi sesorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya pelaksanaan tugas-tugasnya, dan berarti menggangu prestasi kerjanya.

Stres juga merupakan suatu pengalaman emosional negatif yang menyebabkan perubahan biologis, fisiologis dan perilaku pada individu. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh penyesuaian diri individu dengan keadaan


(29)

yang mengancam di lingkungannya. Dalam hal ini stres dipandang sebagai hasil dari proses penilaian individu terhadap lingkungan yang mengancam atau menekan sehingga individu merespon kejadian-kejadian tersebut (Taylor, 1995: 219). Sementara itu, Abraham dan Shanley (1997:210-213) mendefinisikan stres melalui tiga pendekatan, yaitu: Pendekatan Stimulus, Pendekatan Respon dan Pendekatan Transaksional.

1. Stres sebagai Stimulus

Stres sebagai stimulus, artinya stres dipandang sebagai faktor eksternal yang merupakan suatu tekanan sehingga mempengaruhi keadaan internal individu, menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan yang berupa ketegangan, ketegangan tersebut dapat diartikan mengalami perubahan secara fisik. Stimulus terjadinya stres disebut stresor. Stresor adalah kejadian atau situasi eksternal yang berpotensi mendatangkan bahaya atau ancaman (Gibson et al., 1989:219). Sedangkan Hardjana (1994:12), mendefinisikan stresor sebagai hal, kejadian, peristiwa, orang, keadaan dan lingkungan yang dirasakan mengancam atau merugikan. 2. Stres sebagai Respon

Pendekatan ini memfokuskan pada reaksi individu terhadap stresor dan menggambarkan stres sebagai suatu respon. Ketika seseorang menghadapi suatu stresor maka ia akan merespon dengan respon psikologis, fisiologis, danbehavioral. Respon psikologis misalnya dalam bentuk perubahan pola pikiran dan perubahan emosi. Respon fisiologis dapat berupa detak jantung berdebar, tekanan darah meningkat dan muncul berbagai penyakit


(30)

seperti sakit maag dan migran. Respon tersebut akan mengakibatkan respon perubahan dalam perilaku. Style (dalam Luthans, 1995:307), menjelaskan stres sebagai respon non fisik tubuh terhadap tuntutan lingkungan. Respon ini disebut sebagai General Adaption Syndrome (GAS). Dikatakan reaksi pertahanan general sebab stresor memiliki efek pada beberapa area tubuh. Adaption, mengacu pada dorongan atau rangsangan dari bentuk pertahan diri untuk membantu tubuh untuk menyesuaikan diri atau melawan stresor, sedangkan syndrome menunjukkan bagian-bagian dari reaksi inidividu yang terjadi secara bersamaan. Ada tiga faseGAS, yaitu: reaksi alarm, fase resistensi dan fase kepayahan. Reaksi alarm disebut juga sebagai tahap peringatan. Pada fase ini terjadi peningkatan aktivitas kerja sistem internal tubuh karena kemunculan stresor. Dengan demikian tubuh akan siap melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi situasi. Tahap kedua disebut fase penolakan (fase resistance). Pada tahap ini beberapa bagian organ tubuh tertentu yang dibutuhkan mulai diaktifkan untuk menghadapi penyebab stres, baik untuk melawan atau menarik diri. Besarnya penolakan terhadap suatu sumber dengan sumber stres yang lain yang tidak saling berhubungan tidak sama. Ini sebabnya individu yang mengalami ketegangan emosional menjadi lemah terhadap penyakit fisik atau gangguan lain. Jika ketegangan yang harus dihadapi sangat besar atau terus menerus, maka terjadi kelelahan/ kepayahan (exhaustion). Pada fase ketiga ini mekanisme adaptif yang digunakan selama tahap kedua melalui


(31)

surut dan melemah karena tubuh tidak sempat memperbaiki kondisinya. Ketika individu berhadapan dengan stimulus yang menekan, maka ia akan merespon dengan ketiga fase tersebut.

3. Pendekatan Transaksional

Stres merupakan suatu prose interaksi antara faktor-faktor lingkungan dan Individu. Individupun mampu mempengaruhi lingkungan dan mengendalikan tingkat stres yang ditimbulkan. Interaksi antara individu dan lingkungan yang saling berpengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional (Smet, 1994:111).

Pendekatan transaksional memberikan suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang stres. Menurut model ini, kemampuan individu dalam mengatasi masalah tergantung pada cara ia menginterpretasikan atau mengukur hubungannya dengan kejadian lingkungan. Akibatnya individu dianggap sebagai insan aktif yang memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan situasi lingkungan yang dihadapinya. Hal ini memiliki konsekuensi yang penting pada seseorang dalam mengurangi atau menghindari pengalaman yang penuh stres.

Interaksi lingkungan dan individu memunculkan dinamika psikologis yang khas. Ada proses internal individual yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kondisi stres. Individu bisa saja memberikan reaksi stres yang berbeda terhadap ancaman atau stresor yang sama. Ini tergantung pada penilaian kognitif personal terhadap suatu stimulus yang bisa berbeda jika disajikan pada waktu yang berbeda pula. Hal ini


(32)

menerangkan mengapa kondisi tertentu menyebabkan stres pada suatu individu, namun tidak pada individu lain.

Peneliti lain Ivancevich dan Matteson (1980:8-9) mendefinisikan stres sebagai suatu respon yang adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan/atau proses psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan fisik.

Dari uraian diatas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa stres merupakan tekanan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi sesorang.

B. Faktor-Faktor Penyebab Stres

Semua manusia mengalami stres dari hari ke hari. Walaupun stres disebabkan oleh banyak faktor, para peneliti menyimpulkan bahwa stres dapat memicu dari dua reaksi yang mendasar: memerangi secara aktif atau melarikan diri secara pasif (lari menjauh atau menerimanya), yang disebut respon memerangi atau melarikan diri. Secara fisiologis, respon stres ini merupakan suatu ”penyampaian pesan” biokimiawi yang melibatkan perubahan-perubahan hormonal yang memobilisasi tubuh terhadap tututan yang luar biasa.

Secara umum faktor utama yang berkaitan langsung dengan stres adalah lingkungan dan perubahan dalam diri individu itu sendiri (Anoraga dan Suyati, 1995:156). Perubahan lingkungan yang sangat pesat dan ganas membuat sesorang kewalahan untuk menghadapi atau menyesuaikan diri terhadap perubahan


(33)

tersebut. Maka hal ini harus di tanggulangi, jika tidak sesorang akan mengalami stres.

Taylor (1995: 237), mengelompokkan faktor penyebab stres, antara lain: 1. Faktor Biologis

Faktor biologis yaitu faktor penyebab stres yang berasal dari keadaan fisiologis individu, meliputi gangguan fisik maupun organ tubuh individu, misalnya terkena penyakit, kurang gizi, kelelahan dan cacat tubuh.

2. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yaitu faktor penyebab stres yang berhubungan dengan keadaan psikis individu yang secara psikis memiliki hambatan. Misalnya pola pikir yang irasional, cenderung mudah mengalami stres dibandingkan dengan individu yang dengan pola pikir rasional.

3. Faktor Sosial

Faktor sosial yaitu faktor penyebab stres yang berhubungan dengan keadaan lingkungan, seperti kepadatan, kebisingan dan tekanan ekonomi. Sedangkan Handoko (dalam Martoyo, 2000:147), membedakan dua kategori penyebab stres, yakni:

1. On The Job Stress, adalah penyebab stres yang terjadi didalam organisasi, antara lain: beban kerja yang berlebihan, tekanan/desakan waktu, kualitas supervisi, iklim politis yang tidak aman, umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai, wewenang yang tidak mencukupi dalam melaksanakan tanggung jawab, kemenduaan peran, frustasi, konflik antar


(34)

pribadi dan antar kelompok, perbedaan antara nilai-nilai organisasi dan karyawan serta berbagai bentuk perubahan.

2. Off The Job Stress, adalah penyebab stres yang terjadi di luar organisasi

yang berpengaruh pada diri karyawan, antara lain: kekuatan finansial, masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak, masalah-masalah fisik, masalah perkawinan, perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal serta masalah-masalah pribadi lainnya.

C. Pengertian Stres Kerja

Dalam kehidupan manusia, selalu mengadakan bermacam-macam aktivitas yang salah satu aktivitas itu diwujudkan dalam gerakan-gerakan yang dinamakan bekerja. Bekerja mengandung arti melakukan tugas yang diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia. Faktor pendorong yang meyebabkan manusia bekerja adalah adanya berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Aktivitas dalam bekerja mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu dan pada akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya.

Didalam aktivitas manusia khususnya bekerja, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat ketegangan-ketegangan yang dapat berpotensi menjadi sumber stres. Hal-hal yang dapat menjadi sumber stres atau penyebab stres pada diri seseorang disebut dengan stresor.

Di dalam suatu industri, misalnya perusahaan dapat merupakan tekanan bagi sesorang bila keadaan menuntut dirinya untuk bertindak berlawanan dengan apa yang dianggapnya sebagai kepentingannya sendiri. Tekanan yang tidak wajar


(35)

untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan situasi kerja, sistem manajemen yang tidak sesuai, perebutan kedudukan, persaingan yang semakin ketat untuk memperoleh kemajuan, anggaran yang terbatas dapat menjurus ke stres dalam bekerja. Stres yang dirasakan menggambarkan persepsi keseluruhan seorang individu mengenai bagaimana berbagai stresor mempengaruhi kehidupannya. Persepsi terhadap stresor ini merupakan suatu komponen yang penting dalam proses stres karena tanggapan setiap orang terhadap stresor yang sama berlainan. Sebagai contoh, beberapa orang merasakan penganguran sebagi pengalaman pembebasan yang positif, sedangkan orang lain merasakannya sebagai suatu pengalaman melemahkan yang negatif (Hanisch, 1998:188-220).

Stres yang dialami karyawan dan kepuasan kerja yang didambakan adalah dua kondisi yang bukan saja berkaitan, tetapi juga sekaligus antagonis. Karena memang terjadi suatu interaksi kompleks antara stres manusia, pekerjaan dan kepuasan.

Stres adalah fenomena psikologis manusia yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia dan mempunyai dampak tertentu terhadap kondisi fisik manusia tersebut. Perhatian terhadap stres harus dibedakan atas jenisnya antara dampak stres sebagai“eustres” yakni stres yang berdampak positif atau stres yang berdampak negatif (distress). Distres adalah stres yang menghasilkan dampak yang merugikan bagi manusia, baik secara fisik (kesehatan tubuh), secara psikologis (kesehatan jiwa), maupun secara sosial, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk biopsikososial (Sarafino dalam Yuliana, 2004:21).


(36)

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut maka dikatakan bahwa individu tersebut mengalami stres. Gibson (dalam Handoyo, 2001:61-62), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu respon adaptif yang dipengaruhi oleh karasteristik individu atau proses psikologis sebagai suatu konsekuensi dari perilaku atau proses psikologis sebagai suatu konsekuensi dari perilaku atau kejadian-kejadian lingkungan yang menimbulkan akibat-akibat khusus psikologis maupun fisiologis terhadap perilaku.

Smither (1994:470), menjelaskan bahwa stres kerja merupakan respon fisik atau psikologis karena adanya tuntutan terhadap individu. Respon fisik itu meliputi hal-hal seperti detak jantung meningkat, tekanan darah naik, sakit jantung, insomnia, kecemasan dan ketakutan. Sementara itu Robbins (1998:470), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi dinamis yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada sebuah peluang, kendala, dan tuntutan yang tidak seimbang dalam pekerjaan. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpastian yang dirasakan seseorang dalam kehidupan kerjanya.

Ahli lain, Beehr dan Newman (dalam Luthan, 1995:297), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu respon individu dalam menyesuaikan diri terhadap situasi eksternal yang menyebabkan penyimpangan secara fisik, psikis, dan perilaku orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu organisasi. Beehr juga mendefinisikan stres kerja dengan empat pendekatan, yaitu pendekatan medis, psikologis klinis, teknis dan psikologi organisasi. Secara medis, stres kerja dapat terjadi karena adanya stresor fisiologis sehingga memunculkan gangguan


(37)

fisiologis dalam bekerja, misalnya kebisingan(noise)dan suhu ruangan yang tidak wajar. Pendekatan psikologis klinis memandang bahwa stres kerja muncul karena adanya stresor psikologis sehingga mengakibatkan individu mengalami tekanan psikologis dalam melakukan pekerjaan. Dilihat dari segi teknis, stres kerja adalah suatu keadaan yang terjadi apabila individu berhadapan dengan keadaan lingkungan teknis dalam organisasi yang menekan, misalnya peralatan yang tidak menunjang, sehingga stresor yang muncul adalah stresor fisiologi yang dapat mempengaruhi penampilan kerja. Pendekatan organisasional memandang bahwa stres kerja adalah suatu kondisi yang terjadi karena adanya stresor psikologis yang bersumber dari organisasi tempat kerja.

D. Faktor Penyebab Stres Kerja

Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap kondisi pekerjaan akan dijumpai berbagai faktor yang dapat memicu munculnya stres dalam bekerja. Diantaranya kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut (Umar, 2001:231)

1. Beban kerja yang berlebihan 2. Tekanan atau desakan waktu 3. Kualitas supervisi yang jelek 4. Iklim politis yang tidak aman

5. Umpan balik tentang pelaksanaan pekerjaan yang tidak memadai 6. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggungjawab 7. Kemenduaan peran (role ambiguity)


(38)

9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok

10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahan dan karyawan 11. Berbagai bentuk perubahan kebijaksanaan

Cooper (dalam Krispramudyani, 2004:16-17), berpendapat bahwa terdapat lima sumber stres kerja, yaitu:

1. Kondisi Kerja

Meliputi beban kerja yang berlebihan (work overload) atau beban kerja yang kurang (work underload), kondisi demikian tidak mampu membangkitkan semangat kerja. Selain itu adapula kondisi fisik pekerjaan yang membahayakan (seperti tim SAR, polisi, tentara, penjinak bom), pembagian waktu kerja (pekerjaan yang memiliki pembagian jam kerja terkadang menggangu ritme hidup sehari-hari), stres dengan adanya kemajuan teknologi.

2. Ambiguitas Peran

Kelompok pekerja wanita sering menghadapi situasi seperti ini, terutama bagi mereka yang telah menikah. Wanita bekerja menghadapi dua peran sekaligus, sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja. Selain itu ambiguitas dalam menempatkan peran biasanya terjadi pada organisasi yang besar dan struktur organisasi yang kurang baik.

3. Faktor interpersonal

Hubungan interpersonal dalam bekerja merupakan faktor penting untuk mencapai kepuasan kerja. kepedulian pihak manajemen dan pihak lain


(39)

sangat diperlukan oleh pekerja agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.

4. Perkembangan Karir

Tiap individu yang bekerja biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasi diri. Bilamana pihak perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan berkarir karyawan maka tumbuh perasaan ketidakpastian dalam diri pekerja sehingga menimbulkan gejala perilaku stres.

5. Struktur Organisasi

Struktur organisasi yang diperlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan akan berpotensi menimbulkan stres. Sementara itu Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1989:214-217), mengatakan bahwa stres kerja pada tingkat individu berkaitan erat dengan tuntutan peran yang diemban individu tersebut. Mereka membagi Stressor Individu atas tiga jenis, yakni:

1. Konflik peranan(role conflict)

Konflik peranan (role conflict) adalah stressor individu yang paling banyak diteliti secara luas. Konflik peranan terjadi bilamana penyesuaian terhadap seperangkat harapan tentang pekerjaan bertentangan dengan penyesuaian terhadap seperangkat harapan yang lain. Segi-segi konflik peranan mencakup perasaan tidak menentu oleh tuntutan yang berlawanan


(40)

dari seorang penyelia (supervisor) tentang pekerjaan, dan mendapat tekanan agar bekerjasama dengan orang yang dirasa tidak bisa cocok. Ahli lain, Schein dalam Kreitner dan Kinichi (2005:70-71), mengatakan bahwa konflik peran dialami ketika anggota yang berbeda dari sekumpulan peran mengharapkan hal yang berbeda dari orang yang vokal. Para manajer seringkali menghadapi tuntutan peran yang bertentangan antara pekerjaan dan keluarga misalnya. Wanita mengalami konflik peranan yang lebih besar antara pekerjaan dan keluarga daripada pria karena wanita terus mengerjakan mayoritas kewajiban rumah tangga dan tanggungjawab mengasuh anak. Para karyawan yang hidup sendirian memiliki versi konflik peranannya sendiri yaitu antara pekerjaan dan minat luarnya. Konflik peran dapat juga terjadi ketika internalisasi nilai, etika, atau standar pribadi bertabrakan dengan harapan orang lain. Tanpa memperhatikan apakah konflik peranan disebabkan oleh kebijakan organisasi atau dari orang lain, konflik tersebut dapat menjadi penekan (stressor) yang penting bagi sebagian orang. Khan et al. (1964:94), melaporkan hasil suatu survei wawancara dari percontohan (sampel) nasional tentang upah dan gaji karyawan pria, bahwa 48 persen dari peserta survei mengalami konflik peranan. Sangat menarik dicatat, bahwa para peneliti juga menemukan bahwa semakin besar kekuasaan atau wewang dari orang yang mengirimkan pesan konflik peran, semakin besar ketidakpuasan kerja yang diakibatkan oleh konflik peranan.


(41)

2. Ambiguitas peranan(role ambiquity)

Agar karyawan dapat melaksanakan pekerjaan mereka dengan baik, para karyawan memerlukan keterangan tertentu yang menyangkut hal-hal yang diharapkan untuk mereka lakukan dan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Karyawan perlu mengetahui hak-hak, hak-hak istimewa, dan kewajiban-kewajiban mereka. Lebih lanjut mereka mendefinisikan ambiguitas peranan sebagai kondisi kurangnya pemahaman atas hak-hak, hak-hak istimewa, dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Seniati (2002) role ambiguty adalah tingkat ambiguitas terhadap tuntutan, kriteria dan peran yang berkaitan dengan tugas-tugas lain. Lebih lanjut Seniati mengatakan bahwa role ambiguty akan timbul apabila pemegang peran merasa tidak yakin mengenai kemungkinan evalusi yang diberikan dan sadar akan adanya ketidak pastian itu. Schein (dalam Kreitner dan Kinichi 2005:72), berpendapat bahwa ambiguitas peran, terjadi jika anggota dari sekumpulan peran gagal untuk mengkomunikasikan kepada orang yang vokal pengharapan yang mereka miliki atau informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan peran, karena mereka tidak memiliki informasi atau karena mereka secara sengaja menahannya. Singkatnya, seseorang mengalami ambiguitas peranan ketika mereka tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka. Para pendatang baru organisasional sering mengeluhkan deskripsi pekerjaan dan kriteria promosi mereka yang tidak jelas. Menurut teori peran, ambiguitas peran berkepanjangan dapat mendorong terjadinya


(42)

ketidakpuasan kerja, mengikis rasa percaya diri, dan menghambat kinerja pekerjaan.

3. Beban peran berlebihan(work overload)

Pada suatu ketika beban peran yang berlebihan tersebut mungkin terdiri atas dua jenis yang berbeda yakni kuantitatif atau kualitatif. Terlalu banyak melakukan sesuatu atau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan adalah beban berlebihan kuantitatif (quantitative overload). Di pihak lain, beban berlebihan kualitatif (qualitative overload) terjadi jika individu merasa bahwa ia kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan atau standar prestasi terlalu tinggi. Schein (dalam Kreitner dan Kinichi 2005:70) mengatakan bahwa beban peran berlebihan terjadi ketika jumlah total yang diharapkan oleh para pengirim pesan kepada orang yang vokal jauh melampaui apa yang mampu ia kerjakan. Jika individu mencoba untuk bekerja semakin berat namun waktu semakin sedikit, maka perasaan tertekan naik dan efektivitas pribadi menurun. Sedangkan menurut Sutton (1984:7-28), role overload terjadi jika tuntutan beragam yang diberikan kepada karyawan melebihi sumber daya yang dimilikinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Qualitative overload yang dimaksud adalah suatu situasi yang dirasakan dimana pekerjaan yang diminta terlalu sulit untuk dapat diselesaikan, sedangkan quantitative overloadadalah jika pekerjaan yang diberikan terlalu banyak atau karyawan tidak mempunyai cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Role overload juga bisa berarti suatu


(43)

kondisi dimana seorang karyawan memiliki terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam satu waktu (Beehr, walsh dan Taber, 1976:41-47).

E. Dampak Stres Kerja

Para ahli teori menyatakan bahwa stres memiliki konsekuensi atau hasil psikologis yang berkaitan dengan sikap, keprilakuan, kognitif, dan kesehatan fisik. Stres berkaitan dengan secara negatif dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, emosi positif, dan kinerja dan berhubungan secara positif dengan tingkat perputaran yang disebabkan oleh kepenatan (Grandey dan Cropanzano, 1999:350-370). Peneliti juga memberikan banyak bukti yang mendukung kesimpulan bahwa stres mempengaruhi kesehatan fisik secara negatif. Stres memberikan kontribusi pada persoalan kesehatan berikut ini: kemampuan yang menurun untuk menangkal penyakit dan infeksi, tekanan darah tinggi, penyakit arteri koroner, sakit kepala karena tegang, nyeri punggung, diare dan sembelit (DeFrank dan Ivancevich, 1998:55-66).

Cox dalam Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1989:206-208) mengidentifikasikan lima jenis konsekuensi dampak dari stres kerja yang potensial. Kategori yang disusun Cox meliputi:

1. Dampak subjektif: Meliputi kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup, merasa kesepian.


(44)

2. Dampak perilaku (behavioral effects): Kecenderungan mendapat kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, ketawa gugup.

3. Dampak kognitif: Ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka terhadap kritik, rintangan mental.

4. Dampak fisiologis: Meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut, berkeringat, membesarnya pupil mata, tubuh panas dingin.

5. Dampak organisasi: Keabsenan, pergantian karyawan, rendahnya produktivitas, keterasingan diri dari rekan kerja, ketidakpuasan kerja, menurunnya keikatan dan kesetiaan terhadap organisasi.

Muchlas (dalam Sekarwulan, 2005:16) mengatakan bahwa stres kerja dapat menimbulkan perilaku yang berupa perubahan dalam kepuasan kerja, tidak masuk kerja, keluar dari pekerjaannya, perubahan dalam kebiasaan makan, banyak merokok, mengkonsumsi alkohol dan gangguan tidur. Hubungan antara variabel stres kerja dengan kepuasan kerja merupakan hubungan negatif. Semakin tinggi tingkat stres karyawan maka kepuasan kerja karyawan akan semakin rendah yang dapat mengakibatkan turunnya produktivitas kerja karyawan, sehingga stres di kalangan karyawan harus harus ditekan agar karyawan dapat mencapai kepuasan dalam bekerja sehingga dapat lebih produktif dengan demikian diharapkan tujuan dari perusahaan dapat dicapai secara maksimal. Dengan


(45)

turunnya kepuasan maka dapat menurunkan semangat dan kegairahan kerja dari para karyawan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan.

Beberapa indikasi turunnya semangat kerja akibat stres kerja menurut Nitisemito (1982:161) sebagai berikut:

1. Turunnya atau rendahnya produktivitas kerja 2. Tingkat absensi yang naik atau tinggi

3. Labour turn-over(tingkat perpindahan buruh yang tinggi) 4. Tingkat kerusakan yang tinggi

5. Kegelisahan dimana-mana 6. Tuntuan yang sering kali terjadi 7. Pemogokan

F. Reaksi Terhadap Stres

Orang tidak mengalami tingkat stres yang sama atau menunjukkan hasil yang serupa untuk suatu jenis stresor tertentu. Sebagai contoh, jenis stresor yang dialami di tempat kerja bervariasi menurut pekerjaan dan jenis kelamin: stresor untuk pengendalian yang rendah adalah lebih tinggi pada pekerjaan yang klerikal tingkat rendah dari pada pekerjaan profesional, dan konflik antar pribadi merupakan suatu sumber stres yang lebih besar bagi kaum wanita dari pada kaum pria (Narayana, Menon dan Spector, 1999:63-73).

Handoko (2001:203), membedakan dua tipe orang berdasarkan reaksi mereka terhadap stresor, yaitu:


(46)

1. Tipe A

Orang-orang tipe A adalah mereka yang agresif dan kompetitif, menetapkan standar-standar tinggi dan meletakkan diri mereka di bawah tekanan waktu yang konstan.

2. Tipe B

Orang-orang tipe B adalah lebih rileks dan suka menghadapi masalah. Mereka menerima situasi-situasi yang ada dan bekerja di dalamnya, serta tidak senang bersaing.

G. Pengertian Kepuasan Kerja

Studi mengenai kepuasan kerja dewasa ini menjadi perhatian yang serius bagi manajer perusahaan, karena berkaitan erat dengan tenaga kerja berkaitan erat dengan tenaga kerja, produktivitas kerja dan kelangsungan hidup perusahaan yang bersangkutan. Meskipun hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor pengaruh lainnya, kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan absensi. Perusahaan bisa mengharapkan bahwa bila kepuasan kerja meningkat, perputaran karyawan dan absensi akan menurun, atau sebaliknya kepuasan kerja yang rendah biasanya akan mengakibatkan perputaran karyawan yang lebih tinggi. Mereka lebih mudah meninggalkan perusahaan dan mencari kesempatan di perusahaan yang lain. Hubungan tersebut juga berlaku untuk absensi. Para karyawan yang kurang mendapatkan kepuasan kerja cenderung lebih sering absen. Mereka sering tidak merencanakan untuk absensi, tetapi bila ada alasan untuk absen, untuk mereka lebih mudah menggunakan alasan tersebut.


(47)

Pada dasarnya kepuasan kerja bersifat berbeda sesuai dengan sistem yang berlaku pada masing-masing individu, semakin banyak aspek-aspek yang sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.

Handoko (2001:194), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Martoyo (2000:142), mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai keadaan emosional karyawan dimana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa karyawan dari perusahaan dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan. Sedangkan Keith Davis (dalam Mangkunegara, 2000:117) mengemukakan kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja. Pendapat lain dari Wekley dan Yuki (dalam Mangkunegara, 2000:117) tentang kepuasan kerja adalah sebagai cara pegawai merasakan dirinya atas pekerjaan mereka.

Blum (dalam As’ad, 1999:104) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum hasil dari sifat khusus individu terhadap faktor kerja, karateristik individu dan hubungan sosial individu diluar pekerjaan.

Berikut ini beberapa definisi kepuasan kerja (job satisfaction) yang dikemukakan oleh beberapa peneliti:


(48)

1. Menurut Locke (dalam Luthan, 1995:114)

Ia memberikan definisi bahwa kepuasan kerja adalah suatu ungkapan emosi yang bersifat positif atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian terhadap suatau pekerjaan atau pengalaman.

2. Menurut Hasibuan (2000:199)

Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaan.

3. Menurut Robbins (2002:36)

Kepuasan kerja merupakan sikap individu secara umum terhadap pekerjaanya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap positif terhadap pekerjaannya; seseorang tidak puas dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap pekerjaannya. 4. Menurut Wood,et.al. (1998: 146)

Kepuasan kerja mengacu pada sikap umum individu terhadap pekerjaan mereka.

5. Menurut While dan Stoner (dalam Sirait, 1996:84)

Mendefinisikan kepuasan kerja sebagai faktor-faktor di dalam individu yang mengakibatkan bertidak dengan cara tertentu.

H. Dimensi Dalam Kepuasan Kerja

Luthan (1995:114), mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi dalam kepuasan kerja yang masing-masingnya akan diuraikan sebagai berikut:


(49)

1. Kepuasan pada pekerjaan itu sendiri(satisfaction with work it self).

Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang karyawan dapat menghasilkan kepuasan kerja, motivasi internal, prestasi kerja yang tinggi, tingkat kemangkiran yang rendah dan tingkat labour turn over yang rendah. Hal ini bisa dicapai apabila:

a. Pekerjaan itu dapat dipahami sebagai sesuatu yang berarti, bermanfaat atau penting.

b. Pekerja menyadari bahwa dirinya bertanggungjawab atas hasil pekerjaan itu sendiri secara pribadi.

c. Pekerja dapat memastikan dengan cara yang teratur dan terandalkan mengenai hasil usahanya, apa saja yang telah dicapai dan memuaskan atau tidak.

2. Kepuasan pada Pembayaran

Kepuasan pada pembayaran merupakan hal yang bersifat multi dimensional. Hal ini berarti bahwa kepuasan bukan hanya terletak pada gaji atau upah semata, namun karyawan lebih melihat hal itu sebagai suatu refleksi dari pihak perusahaan atas kontribusi yang mereka berikan (Luthan, 1995:121), sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan pada pembayaran dapat dilihat dari:

a. Kepuasan terhadap administrasi dan kebijakan perusahaan. b. Kepuasan terhadap berbagai jenis tunjangan yang ada. c. Kepuasan terhadap gaji atau upah.


(50)

3. Kepuasan pada Promosi

Kesempatan untuk dipromosikan merupakan hal yang dapat memberikan kepuasan pada karyawan. Kesempatan ini merupakan bentuk imbalan yang bentuknya berbeda dengan imbalan yang lain. Promosi bisa dilakukan berdasarkan senioritas karyawan ataupun berdasarkan kinerja.

Luthan menambahkan bahwa keinginan untuk dipromosikan sangat terkait dengan keinginan untuk meningkatkan status sosial, dan menambah pendapatan.

4. Kepuasan pada Supervisi

Supervisi merupakan salah satu hal yang cukup penting sebagai sumber kepuasan kerja. kepuasan terhadap supervisi sangat berkaitan dengan gaya kepemimpinan supervisi.

5. Kepuasan pada Rekan Kerja

Rekan kerja dapat menjadi sumber kepuasan bagi karyawan manakala antar karyawan diberi kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Rekan kerja bisa menjadi sumber kepuasan yang paling kuat jika anggotanya memiliki kemiripan dalam nilai-nilai dan perilaku. Nilai dari suatu kelompok kerja berkaitan erat dengan kepuasan kerja. Bagi sebagian besar karyawan bekerja juga memenuhi kebutuhan untuk berinteraksi sosial. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila memiliki rekan kerja yang ramah akan mendukung kepuasan kerja (Robbins, 2002:36).

Peneliti lain, Wood et al. (1998:147), menyimpulkan bahwa dimensi dari kepuasan kerja mengandung sembilan aspek. Pertama, kerja itu sendiri: mencakup


(51)

minat, keanekaragaman, peluang belajar, tingkat kesulitan, jumlah kerja, kesempatan berhasil, dan pengendalian atas langkah dan metode. Kedua, upah: sejumlah keadilan atau kesamaan dalam sistem penggajian, dan metode dari pengupahan/penggajian. Ketiga, promosi: kesempatan promosi, keadilan, pedoman promosi. Keempat, penghargaan: pujian atas prestasi, penghargaan atas kerja yang dilakukan, dan kritik. Kelima, jaminan atas pensiun: kesehatan, cuti tahunan, dan upah atas pekerjaan. Keenam, kondisi kerja: jumlah jam kerja, waktu istirahat, perlengkapan, temperatur, ventilasi, kelembapan, lokasi, dan tata letak fisik. Ketujuh, supervisi: pengaruh dan gaya supervisi, teknik supervisi, hubungan manusia, ketrampilan administrasi. Kedelapan, teman kerja: kompetensi, suka menolong, dan keramahtamahan. Kesembilan, perusahaan dan manajemen: fokus pada pekerja, dan berbagai kebijakan.

I. Teori Kepuasan Kerja

Teori kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Ndraha (1999:149) adalah sebagai berikut:

1. Teori Kesenjangan(Discrepancy Theory)

Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan tergantung pada perbedaan antara outcome yaitu reward yang diterima oleh seseorang dengan reward yang diterima oleh orang lain untuk pekerja yang setingkat. Semakin besar perbedaan tersebut, maka semakin berkurang kepuasan seseorang.


(52)

2. Teori Keadilan

Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan bergantung pada rasa adil. Sementara rasa adil bergantung pada persepsi sesorang terhadap keseimbangan antara input (effort, jerih payah) dengan outcome (reward, imbalan) yang diterimanya. Semakin seimbang antara input dengan outcome, semakin terasa adil persepsi seseorang terhadap kepuasan kerjanya.

J. Pengertian Komitmen Organisasi

Komitmen dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap suatu organisasi yang menunjukkan individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya.

Konsep komitmen organisasi mulai dikenal lebih kurang 25 tahun yang lalu oleh Modway, Steers dan Porter (1979:224-247). Konsep ini sekarang berkembang dan popular dalam literatur psikologi industri, keperilakuan organisasi, maupun keperilakuan akuntansi. Karyawan atau manajer yang memiliki komitmen organisasi adalah mereka yang mau bekerja keras, tetap bergabung dalam organisasi, dan memberikan kontribusi terhadap efektivitas kinerja organisasi. Komitmen organsiasi mempunyai implikasi tidak hanya pada para karyawan, manajer, dan organisasi, namun juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat dapat memperoleh manfaat dari komitmen organisasi dalam bentuk rendahnya perputaran pekerja dan tingginya kinerja organisasi.


(53)

Komitmen Organisasi (organizational commitment) adalah bentuk keterikatan individu dengan organisasi (Mathieu dan Zajac, 1990:171-194) sehingga individu tersebut “merasa memiliki” organisasinya.

Porter et al. (dalam Setiawan dan Ghozali, 2005:39-44), mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu kekuatan relatif individual terhadap suatu organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, yang dicirikan oleh tiga faktor psikologis:

1. Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu. 2. Keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi.

3. Kepercayaan yang pasti dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Jadi, komitmen meliputi hubungan yang aktif antara karyawan dengan organisasi dimana karyawan tersebut bersedia memberikan sesuatu atas kemauan sendiri agar dapat menyokong tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan, bukan hanya aspek pekerjaan saja. Komitmen pada organisasi adalah bentuk keterikatan, keterlibatan, dan keikatan karyawan pada apa yang dirasakan dan dialami dalam organisasi.

Robbins dalam pengembangan kualitas SDM dari perspektif PIO (2001: 456) mengatakan bahwa komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah satu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari seorang karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja. Dijelaskan pula, bahwa komitmen karyawan pada organisasi sebagai suatu orientasi individu terhadap organisasi yang mencakup loyalitas, identifikasi, dan keterlibatan. Jadi, menurut


(54)

Robbins (2002:36) komitmen karyawan pada organisasi mendefinisikan hubungan (aktif) antara individu dan organisasinya. Orientasi hubungan tersebut mengakibatkan individu (pekerja) atas kehendak sendiri bersedia memberikan sesuatu, dan sesuatu yang diberikan itu demi merefleksikan dukungannya bagi tercapainya tujuan organisasi.

Komitmen organisasional ditunjukkan dalam sikap penerimaan, keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan sebuah organisasi, begitu juga adanya dorongan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi demi tercapainya tujuan organisasi. Steer (dalam Dessler, 1992:319-321) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari suatu sifat seseorang dengan dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, dimana hal tersebut mempunyai tiga faktor seperti:

1. Kepercayaan dan penerimaan terhadap nilai serta tujuan organisasi. 2. Kesadaran dalam mengarahkan usahanya terhadap organisasi. 3. Keinginan kuat untuk menjadi anggota organisasi.

Sama dengan Steers, Buchanan (dalam Dessler, 1992:319), mengatakan bahwa komitmen organisasi mengandung tiga tindakan yang saling terpisah namun saling berkaitan:

1. Pengenalan terhadap misi organisasi.

2. Rasa keterlibatan atau keikutsertaan psikologis dalam tugas organisasi. 3. Rasa setia dan cinta terhadap organisasi sebagai tempat untuk hidup dan

bekerja secara terpisah dengan misi atau nilai instrumental terhadap diri sendiri.


(55)

Secara singkat pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu (pegawai) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena karyawan yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja

K. Faktor-Faktor Penyebab Komitmen Organisasi

Faktor komitmen dalam organisasi menjadi satu hal yang dipandang penting karena anggota yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi akan memiliki sikap yang profesional dan menjunjung nilai-nilai yang telah disepakati dalam sebuah organisasi. Tetrick (dalam Supriyati 2003) mengemukakan bahwa komitmen yang kuat terhadap organisasi dapat diciptakan dengan bantuan memberikan penjelasan tentang segala sesuatu yang telah ditargetkan oleh organisasi yang meliputi sistem kerja dan jenjang karir serta pendidikan bagi karyawan.

Hrebeniak dan Alutto (1972:555-572) berpendapat bahwa seorang pekerja memiliki komitmen terhadap organisasi dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut:


(56)

1. Ciri pribadi pekerja, termasuk juga jabatannya dalam organisasi dan

variasi kekuatan kebutuhannya seperti kebutuhan untuk berprestasi, imbalan, dan lingkungan kerja.

2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas, kesempatan berinteraksi, bekerja sesuai dengan kemampuan.

3. Kemampuan bekerja, seperti keterandalan organisasi, peran pentingnya arti diri seseorang bagi organisasi, cara pekerja-pekerja lainnya memperbincangkan dan mengutarakan perasaan mereka bagi organisasi. Dengan demikian, pemimipin dapat meningkatkan komitmen karyawan, misalnya dengan cara harus dibujuk agar tetap tinggal bersama organisasi. Hal ini mungkin dilakukan dengan menawarkan serangkaian imbalan yang berlaku di seluruh organisasi bagi para anggotanya, seperti tingkat gaji yang lebih tinggi, fasilitas tambahan yang lebih baik, kesempatan bagi pertumbuhan, kemajuan pribadi melalui program pelatihan, dan sebagainya. Tindakan seperti ini membuat organisasi lebih menarik dibandingkan organisasi lain.

Disisi lain, penting juga bahwa para karyawan mengerti dan mengidentifikasikan diri dengan sasaran dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, perlu diciptakan suasana saling percaya dan saling mendukung diantara para karyawan dan pemimpin, sehingga masing-masing menyumbang sesuatu bagi tercapainya tujuan pihak lain dan keinginan karyawan.

Tinggi rendahnya komitmen karyawan terhadap organisasi menurut Dessler (dalam Wea, 2005:19-20) dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:


(57)

1. Nilai-nilai kemanusiaan

Dasar utama membangun komitmen karyawan adalah kesungguhan dari perusahaan untuk memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan. Perusahaan berasumsi bahwa karyawan merupakan aset yang paling penting sehingga kesejahteraan karyawan penting untuk diperhatikan.

2. Komunikasi dua arah yang komprehensif

Komitmen yang dibangun atas dasar kepercayaan untuk menghasilkan suatu bentuk rasa saling percaya maka diperlukan komunikasi dua arah. 3. Rasa kebersamaan dan keakraban

Faktor ini menciptakan rasa senasib sepenanggungan yang pada tahap selanjutnya memberikan kontribusi pada komitmen terhadap perusahaan atau organisasi.

4. Visi dan misi organisasi

Adanya visi dan misi yang jelas pada sebuah organisasi akan memudahkan setiap karyawan dalam bekerja yang pada akhirnya dalam setiap aktivitas kerja karyawan senantiasa bekerja berdasarkan apa yang menjadi tujuan organisasi.

5. Nilai sebagai dasar perekrutan

Aspek ini penting untuk mengetahui kualitas dan nilai-nilai personal karena dapat menjadi petunjuk kesesuaian antara nilai-nilai personal dan nilai-nilai organisasi.

Selain faktor-faktor diatas, Porter dan Steers (1991:374), mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan:


(58)

1. Faktor eksternal

Faktor eksternal meliputi kewenangan (authority), pengaruh kelompok kerja serta imbalan dan insentif eksternal. Tingkat kewenangan karyawan akan mempengaruhi pada kemampuan untuk bekerja keras dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dan komitmen cenderung meningkat. Jika karyawan tersebut memiliki tingkat kewenangan yang lebih besar dalam kaitannya dengan peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas kerja yang akan berimplikasi pada peningkatan kadar komitmen kerja. Imbalan dan insentif eksternal meliputi upah, gaji, dan bonus. Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan imbalan tersebut mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan yang selanjutnya mempengaruhi tingkat komitmen.

2. Faktor Internal

Faktor internal meliputi harapan akan sukses dan imbalan internal yang adil. Tingkat harapan akan keberhasilan atau kesuksesan, pada akhirnya akan menentukan kadar komitmen karyawan. Sedangkan imbalan internal meliputi kesempatan untuk berpartisipasi, mengembangkan diri dan keleluasaan untuk menjalankan tugas serta adanya penghargaan atas prestasi akan meningkatkan kadar komitmen.

3. Faktor Interaksi

Faktor interaksi meliputi partisipasi dan kompetisi. Partisipasi dapat diartikan sebagai diberikannya kesempatan yang sama untuk duduk bersama dan ikut dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi ini


(59)

meningkatkan rasa ikut memiliki karyawan pada perusahaannya. Sedangkan suasana kompetisi dalam tubuh perusahaan diperkirakan juga berpengaruh dalam mengembangkan komitmen.

L. Bentuk-Bentuk Komitmen Organisasi

Menurut Allen dan Mayer (dalam Luthan, 1995:149), terdapat tiga bentuk komitmen terhadap organisasi, yaitu:

1. Komitmen Afektif(affecitve commitment)

Komitmen afektif terkait dengan adanya keterikatan emosional seseorang pada suatu organisasi, dimana seseorang dengan komitmen afektif yang tinggi mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat dalam organisasi dan menikmati keanggotaannya didalam organisasi tersebut. Komitmen afektif mengacu pada pendekatan affective attachment dari Mowday et al. (dalam Allen dan Mayer 1991:61-89), dimana komitmen afektif diartikan sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan individu dalam organisasi tertentu. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang tinggi akan tetap melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi karena memang ia menginginkannya (want to) dan senang dengan keanggotaanya dalam organisasi. Lebih lanjut Mowday et al., menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif secara umum terbagi atas empat kategori yaitu karasteristik personal, karasteristik struktur, karateristik pekerjaan yang bersangkutan, dan pengalaman kerja.


(60)

2. Komitmen Kontinuan

Komitmen kontinuan terkait dengan pertimbangan untung rugi jika karyawan meninggalkan organisasi. Komitmen ini merefleksikan besarnya biaya yang harus ditanggung dan apa yang harus dikorbankan jika meninggalkan organisasi, sehingga segala sesuatu yang dapat meningkatkan biaya dapat dianggap sebagai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen kontinuan. Biaya yang timbul karena meninggalkan organisasi cenderung agak berbeda bagi setiap individu. Menurut Allen dan Mayer (1990:1-18) individu memutuskan menetap pada suatu organisasi karena menganggap sebagai suatu pemenuhan kebutuhan (need to). Biaya yang timbul karena meninggalkan organisasi berbeda untuk tiap individu.

3. Komitmen Normatif

Berkaitan dengan adanya perasaan wajib pada diri karyawan untuk terus bekerja dalam organisasi (Allen dan Mayer, 1991:61-89), sehingga karyawan dengan tingkat komitmen normatif yang tinggi merasa harus (ought to) bertahan di organisasi. Komitmen normatif didasarkan pada pendekatan obligation dari Wiener dan Vardi (dalam Allen dan Meyer, 1990:1-18). Wiener mendefinisikan komitmen sebagai tekanan normatif yang telah diinternalisasikan agar individu bertindak sesuai dengan tujuan dan keinginan organisasi. Komitmen normatif dapat berkembang di organisasi jika organisasi menyediakan balas jasa jauh di depan. Misalnya dengan membiayai kuliah atau pelatihan karyawan. Karyawan yang


(61)

menyadari pengorbanan awal organisasi dapat merasakan hubungannya dengan organisasi tidak seimbang sehingga menyebabkan rasa wajib (obligation) bagi karyawan untuk membalas pengorbanan itu dengan mengingatkan diri mereka pada organisasi.

M. Penelitian Terdahulu

Penelitian terhadap kepuasan kerja menjadi salah satu persoalan penting yang menjadi kajian penting dalam dunia industri karena diyakini bahwa kepuasan kerja yang tinggi akan mendorong peningkatan kerja individu (karyawan) dan kelompok, yang pada gilirannya akan meningkatkan efektifitas perusahaan secara keseluruhan. Dalam dunia industri kepuasan kerja dewasa ini menjadi perhatian yang serius dari para menejer perusahaan, karena berkaitan erat tingkat stres, komitmen karyawan terhadap organisasi, produktivitas kerja dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan yang bersangkutan .

Studi mengenai kepuasan kerja telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti terdahulu. Victoria (2004), dalam penelitiannya terhadap karyawan bagian operasional Bank Lippo Cabang Yogyakarta, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum karyawan Bank Lippo memiliki kepuasan kerja dan komitmen karyawan yang tinggi terhadap organisasi. Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel-variabel dalam kerja secara simultan terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi dan ada pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel-variabel kerja secara personal terhadap


(62)

tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja terhadap komitmen karyawan terhadap organisasi.

Peneliti lain, Hapsarie (2004) dalam penelitiannya dengan judul “Analisis Hubungan Antara Kepuasan Kerja Dengan Komitmen Organisasional Tenaga Kerja Langsung Langsung Bagian Finishing” menyimpulkan bahwa ada hubungan positif yang nyata dan signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi. Jenis penelitian yang dilakukan berupa studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Dalam penelitian tersebut seluruh anggota populasi dijadikan responden dengan jumlah 50 orang. Teknik analisis data yang digunakan adalah koefisen korelasi product moment dan uji -t yang digunakan untuk menguji signifikansi korelasi tersebut. Sementara itu Sekarwulan (2005) dalam penelitiannya terhadap 60 karyawan bagian produksi PT. Kusumatex Yogyakarta dengan judul “Analisis Hubungan Stres Dengan Kepuasan Kerja Karyawan” di peroleh kesimpulan bahwa stres kerja dan kepuasan kerja berbeda secara signifikan di tinjau dari segi karasteristik responden yang meliputi usia, pendidikan dan masa kerja. Sedangkan dari jenis kelamin tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Disisi lain, penelitian terhadap hubungan antara komitmen organisasi dan faktor-faktor demografis dengan kepuasan kerja karyawan pernah diteliti oleh Temaluru (2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara komitmen terhadap organisasi dan faktor-faktor demografis dengan kepuasan kerja karyawan PT. SB Jakarta. Selain


(63)

itu juga dilihat bagaimana perbedaan komitmen dan kepuasan kerja karyawan berdasarkan faktor-faktor demografis. Dengan menggunakan metode Non Eksperimental yang bersifat Ex Post Facto, dan instrumen kuisioner yang disebarkan pada 166 responden, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen terhadap organisasi dan faktor-faktor demografis dengan kepuasan kerja (R=0.42 dengan F rasio =6.89 > F tabel 2.27 pada taraf signifikansi 0.05). Terhadap kepuasan kerja berdasarkan kepentingan, harapan, dan kenyataan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan (niali R masing-masing: 0.32 dengan F rasio = 3.75; 0.31 dengan F rasio =3.44; dan 0.32 dengan F rasio =3.62). uji perbedaan komitmen berdasarkan faktor demografik tidak ditentukan hasil yang signifikan, sedangkan terhadap kepuasan kerja uji perbedaan berdasarkan faktor-faktor demogrfik juga memberikan hasil yang tidak signifikan, kecuali pada aspek-aspek kepuasan kerjawork it-self, kondisi kerja dan supervisi ditentukan ada perbedaan yang signifikan berdasarkan usia.

N. Kerangka Berfikir

Menurut Sekaran (dalam Sumarti dan Wahyuni, 2005:27) kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah penting. Suatu kerangka berfikir akan menghubungkan secara teoritis antara variabel penelitian yaitu antara variabel bebas dan variabel tergantung.


(64)

Model kerangka berfikir dari penelitian ini adalah:

Gambar II. 1 Kerangka Penelitian O. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini antara lain:

H1: Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja dengan

komitmen afektif karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma.

H2: Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara stres kerja dengan

kepuasan kerja karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma terhadap organisasi.

Stres Kerja

- Ambiguitas Peran - Konflik Peran

- Peran yang Berlebihan

Kepuasan Kerja

- Kepuasan pada Pekerjaaan -Kepuasan pada Pembayaran -Kepuasan pada Promosi -Kepuasan pada Supervisi -Kepuasan pada Rekan kerja

Komitmen Afektif


(65)

H3: Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja

karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.

H4: Terdapat hubungan secara simultan antara stres kerja dan kepuasan kerja

karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma dengan komitmen afektif mereka terhadap organisasi.


(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berupa studi kasus, yaitu penelitian yang memusatkan pada suatu objek tertentu yang akan diteliti untuk mengidentifikasikan masalah atau untuk mendapatkan justifikasi (pembuktian) tentang keadaan yang sedang berlangsung dan kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitiannya hanya berlaku pada objek yang diteliti dalam kurun waktu tertentu. Kesimpulan yang diperoleh tidak dapat digeneralisasikan terhadap objek dan kurun waktu yang lain.

B. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek penelitian

Subjek penelitian adalah orang-orang yang dijadikan responden. Pada penelitian ini subjek penelitiannya adalah karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah variabel-variabel dalam stres kerja, kepuasan kerja dan komitmen afektif karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(67)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian dan dari tempat tersebut akan diperoleh data yang diperlukan. Dalam hal ini lokasi penelitian yang dipilih adalah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Februari 2007.

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada dasarnya adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu: 1. Variabel Bebas(independent variable)

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab terjadinya variabel terikat. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah stres kerja dan kepuasan kerja.

2. Variabel Terikat(dependent variable)

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel bebas. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel terikat adalah komitmen afektif.


(68)

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan tetap adimistratif Universitas Sanata Dharma dengan jumlah 238 orang

2. Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang digunakan untuk memperkirakan karasteristik populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah 100 orang karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma.

F. Teknik Pengambilan Sampel

Sesuai dengan karasteristik karyawan tetap administratif yang relatif homogen, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik proportional random sampling. Dalam proportional random sampling ini besar kecilnya subsampel mengikuti perbandingan (proporsi) besar kecilnya subpopulasi, dan individu-individu yang ditugaskan dalam tiap-tiap sub populasi diambil secara random dari sub populasi (Hadi, 1989:81-82).

G. Jenis Data 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diambil langsung dari objek penelitian. Data primer ini diperoleh dari karyawan tetap administratif Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tentang bagaimana komitmen afektif mereka terhadap


(69)

organisasi dilihat dari stres kerja dan kepuasan mereka terhadap pekerjaannya.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil dengan membaca atau mencatat data yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder diambil dari perusahaan/organisasi tentang profil perusahaan/organisasi dan data lainnya yang mendukung penelitian.

H. Definisi Operasional

Ada beberapa istilah yang sentiasa muncul dalam penelitian ini, oleh karena ada baiknya penulis menjelaskan definisi dari beberapa istilah tersebut:

1. Komitmen Afektif

Komitmen afektif didefinisikan sebagai keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan dalam suatu organisasi. Individu menetap dalam suatu organisasi karena keinginan sendiri.

2. Kepuasan Kerja

Secara operasional kepuasan kerja didefinisikan sebagai sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya atau dapat juga diartikan sebagai perbedaan antara jumlah imbalan atau penghargaan yang diterima oleh karyawan dan jumlah yang seharusnya mereka dapatkan.

3. Stres Kerja

Secara operasional stres kerja didefinisikan sebagai perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, yang disebabkan oleh


(1)

Anova Table

Komitmen Afektif * Stres Kerja

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups

(Combined)

257.998 23 11.217 1.457 .113

Linearity 80.014 1 80.014 10.395 .002

Deviation from

Linearity 177.984 22 8.090 1.051 .418

Within Groups 585.002 76 7.697

Total 843.000 99

Anova Table

Komitmen Afektif * Kepuasan Kerja

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups

(Combined)

407.605 32 12.738 1.960 .010

Linearity 118.582 1 118.582 18.248 .000

Deviation from

Linearity 289.022 31 9.323 1.435 .109

Within Groups 435.395 67 6.498

Total 843.000 99

Korelasi Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja

Stres Kerja Kepuasan Kerja

Stres Kerja Pearson Correlation 1 -.358**

Sig. (1-tailed) .000

N 100 100

Kepuasan Kerja

Pearson Correlation

-.358** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 100 100

**


(2)

Korelasi Stres Kerja dengan Komitmen Afektif

Stres Kerja Komitmen Afektif

Stres Kerja Pearson

Correlation 1 -.308

**

Sig. (1-tailed) .001

N 100 100

Komitmen Afektif Pearson Correlation -.308 ** 1

Sig. (1-tailed) .001

N 100 100

**

Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Korelasi Kepuasan Kerja dengan Komitmen Afektif

Kepuasan Kerja Komitmen Afektif

Kepuasan Kerja

Pearson

Correlation 1 .375

**

Sig. (1-tailed) .000

N 100 100

Komitmen Afektif Pearson Correlation .375 ** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 100 100

**

Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Korelasi Ganda

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered Variables Removed Method

1

Kepuasan Kerja, Stres Kerjaa . Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: Komitmen Afektif


(3)

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .419a .175 .158 2.67715

a Predictors: (Constant), Kepuasan Kerja, Stres Kerja

Anovab

Model

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 147.789 2 73.894 10.310 .000a

Residual 695.211 97 7.167

Total 843.000 99

a Predictors: (Constant), Kepuasan Kerja, Stres Kerja b Dependent Variable: Komitmen Afektif


(4)

(5)

(6)