BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI PT. KRAKATAU STEEL

(1)

commit to user

BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI

PT. KRAKATAU STEEL

SKRIPSI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh :

Nikki Rasuna Katarini G 0106070

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI

PT. KRAKATAU STEEL

INTISARI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh :

Nikki Rasuna Katarini G 0106070

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(3)

commit to user x

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……… i

Halaman Persetujuan ……….…. ii

Halaman Pengesahan ……….…. iii

Halaman Motto ……… iv

Halaman Penghargaan ………….……….………….…. v

Kata Pengantar ………..……….…. vi

Intisari ..………..……….…. viii

Abstract ………..……….….…. ix

Daftar Isi ...……….… x

Daftar Gambar ………. xiv

Daftar Tabel ………..……… xv

Daftar Lampiran ………..……… xvii

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……….…. 7

C. Tujuan Penelitian ………... 8

D. Manfaat Penelitian ………... 8

BAB II Landasan Teori A. Burnout Pada Karyawan 1. Pengertian Burnout ……….... 10


(4)

commit to user xi

3. Penanganan Burnout ………..……….… 20

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout ……….……… 22

B. Persepsi Budaya Organisasi 1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ………….…...………... 25

a. Pengertian Persepsi ……….………..…… 25

b. Pengertian Budaya Organisasi ………. 27

c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ……….……….. 32

2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi ……….. 33

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi …..… 39

C. Motivasi Intrinsik 1. Pengertian Motivasi Intrinsik ……….….….… 41

2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik ……….…. 43

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik ……….………… 47

D. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan ………. 48

E. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout pada Karyawan ………. 51

F. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dan Burnout pada Karyawan ……… 53

G. Kerangka Berpikir ……… 55

H. Hipotesis ……… 56

BAB III Metode Penelitian A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….……….... 57


(5)

commit to user xii B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Burnout pada Karyawan ……….……….…. 57 2. Persepsi Budaya Organisasi ...………..… 58 3. Motivasi Intrinsik ……….…….………….……... 59 C. Populasi, Sampel, dan Sampling

1. Populasi ...……….……… 59 2. Sampel ...……….. 60 3. Teknik Sampling ……….…………..…………. 61 D. Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data ...……….. 62 2. Metode Pengumpulan Data ...………..…… 63 E. Metode Analisis Data

1. Validitas Instrumen Penelitian ...……….. 70 2. Reliabilitas Instrumen Penelitian ……….……. 71 3. Uji Hipotesis ...……….………. 72 BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Persiapan Penelitian

1. Orientasi Kancah Penelitian ...……….. 75 2. Persiapan Penelitian ………...………..…… 77 B. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan Subjek Penelitian ...………..……….. 84 2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba …...………..…… 84 3. Uji Validitas dan Reliablitas ……….………..……….… 85


(6)

commit to user xiii

4. Pengumpulan Data ………..……….……… 92

5. Pelaksanaan Skoring ……….……… 93

C. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Uji Asumsi ………...………..……….. 94

2. Uji Hipotesis ………...………..…… 98

3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) …………..……….… 100

4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ………….……….……… 104

D. Pembahasan ……….………... 104

BAB V Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan ……….………..………..………….. 109

B. Saran ……….…. 110


(7)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan bidang industri saat ini selalu mengalami kemajuan, hal ini menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dan tuntutan pekerjaan pun semakin meningkat. Dunia perusahaan sebagai sebuah organisasi harus mampu mencapai tujuan yang direncanakan untuk dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan teknologi pada masa sekarang. Persoalan yang muncul pada dunia organisasi selalu berkaitan dengan diri individu dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres.

Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik ataupun mental. Keadaan seperti ini biasa disebut dengan burnout. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger pada tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Maslach, 1993).

Maslach dan Jackson (1993), memandang burnout sebagai suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu, emotional exhaustion, depersonalization, dan reduced personal accomplishment. Pada dasarnya burnout


(8)

commit to user

dapat terjadi pada semua orang, baik pada karyawan human service setting dan non human service setting. Hal tersebut terjadi karena setiap manusia tentu mengalami tekanan-tekanan yang diperoleh dalam kehidupan, khususnya dalam menjalani pekerjaan. Penelitian-penelitian awal mengenai burnout yang kemudian dijadikan dasar bagi pengembangan teori-teori burnout sebagian besar dilakukan di lapangan pekerjaan yang melibatkan banyak orang seperti rumah sakit, perusahaan, dan sekolah. Menurut Garden (1990), konsep burnout muncul untuk pekerjaan yang berhubungan dengan banyak orang ini, disebabkan karena kerangka penelitian burnout selama ini hanya terbatas pada human service settiing.

Burnout merupakan gejala yang lebih banyak ditemukan dalam bidang pekerjaan pelayanan sosial dibandingkan dengan pekerjaan lainnya (Sarafino, 1998). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faustino, dkk (2009), memberitahukan bahwa tingkat burnout yang tinggi lebih banyak dialami oleh pekerja sosial dan perawat, biasanya di dalam satu dimensi terdapat 30,4% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, 33,7% oleh kurangnya kontak realitas pribadi perawat, dan 35,9% oleh keinginan untuk pencapaian pribadi masing-masing perawat. Konsep yang mendasari penelitian tentang burnout merujuk pada teori keperilakuan khususnya perilaku organisasi yang dikembangkan pertama kali oleh Chris Argyris pada tahun 1952. Penelitian yang dilakukan oleh Pattrick (2008), mengatakan bahwa kepuasan kerja, stres kerja, kemampuan dalam mengatasi ketegangan dan mudah beradaptasi inilah yang berperan dalam mempengaruhi


(9)

commit to user

burnout pada karyawan. Faktor-faktor ini adalah kontributor tertinggi stres pada pekerjaan.

Ghozali (2006) mengemukakan, penelitian yang telah dilakukan oleh Almer & Kaplan (2002) menemukan indikasi bahwa role stressor berpengaruh terhadap kondisi burnout dan job outcomes. Selanjutnya Ghozali (2006) juga menambahkan, mengenai penelitian Fogarty, dkk, (2000), variabel burnout diletakkan dalam suatu model sebagai mediasi dari pengaruh role stressor terhadap job outcomes. Model mediasi tersebut dikenal dengan istilah konstruk burnout. Penelitian Fogarty, dkk, (2000) membuktikan bahwa variabel burnout mampu memisahkan aspek fungsional (eusstress) dan disfungsional (distress) dari role stressor terhadap job outcomes sehingga melalui kedua aspek role stressor dan burnout, dapat dilakukan tindakan perbaikan. Kaitannya dengan stres, burnout bukanlah role stressor, karena burnout muncul sebagai akibat kumulatif dari stressor secara terus-menerus dalam jangka panjang yang dialami oleh individu dalam berbagai tingkatan dan kombinasi. Dampak dari tekanan tersebut adalah munculnya situasi yang tidak menguntungkan (distress dan disfungsional). Burnout tidak akan dialami oleh individu jika role stressor berpengaruh positif dan fungsional (eusstres) terhadap job outcomes.

La Fellete (Imelda, 2004) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis tidak nampak tetapi nyata, ada, dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya. Menurut Jackson, dkk (As’ad dan Soetjipto, 2000) burnout terjadi karena adanya


(10)

commit to user

kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami di tempat kerja. Kesenjangan dan harapan yang dimaksud adalah harapan tentang prestasi yang dicapai dan unjuk kerja yang dimilikinya. Kesenjangan lainnya terjadi bila organisasi tempat bekerja tidak sesuai dengan harapan atau tata nilai pribadinya. Kondisi lingkungan fisik ataupun psikis karyawan tidak terlepas dari pengaruh budaya organisasinya.

Budaya organisasi yang disfungsional dan tidak efektif akan menimbulkan dampak negatif bagi anggotanya dan memungkinkan terjadinya burnout. Setiap karyawan memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap budaya organisasi. Gerungan, (1996), Verderber mengatakan persepsi adalah proses menafsirkan informasi indrawi. Persepsi ini merupakan inti komunikasi, jika persepsi karyawan terhadap budaya organisasi ini tidak akurat, maka kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Persepsi ini yang menentukan kita dalam memilih dan mengabaikan suatu pesan yang lain.

Menurut As’ad (2003), proses persepsi yang dilakukan oleh setiap karyawan terhadap budaya organisasi ini dimulai dari penerimaan, pengartian dan pemberian reaksi. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Djokosantoso (2003) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal


(11)

commit to user

dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan.

Persepsi terhadap budaya organisasi merupakan pengertian masing-masing karyawan terhadap nilai dan pedoman yang diperuntukkan seluruh anggota sebagai filosofi organisasi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu hal sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya agar dapat memenuhi kebutuhannya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Mengingat kebutuhan setiap karyawan berbeda-beda dengan yang lain tentunya cara untuk memperolehnya akan berbeda pula. Kebutuhan seseorang akan terpenuhi jika ia berperilaku sesuai dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Kehidupan sehari-hari seorang karyawan akan selalu dihadapkan pada berbagai macam tantangan dan termotivasi untuk menguasainya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Herpen, dkk. (2002), mengungkapkan motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren. Herpen, dkk (2002) juga menjelaskan beberapa pendapat dari Gacther, Falk (2000); Kinman, Russel (2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Motivasi intrinsik merupakan kebutuhan seseorang untuk berkompetensi dan menentukan sendiri dalam kaitannya dengan lingkungannya (Walgito, 2004). Motivasi intrinsik memiliki tujuan untuk mengunkapkan perasaan internal mengenai


(12)

commit to user

kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.

Berdasarkan data di atas masalah burnout karyawan merupakan masalah yang selalu terjadi di setiap organisasi, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti burnout karyawan, khususnya di PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang secara langsung bergerak di bidang industri, khususnya industri baja di Provinsi Banten. PT. Krakatau Steel memiliki empat bagian direktorat diantaranya adalah direktorat pengembangan sumber daya manusia, direktorat keuangan, direktorat produksi, dan direktorat logistik. Berdasarkan interview yang telah dilakukan, direktorat logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang tinggi dibandingkan dengan direktorat lainnya. Direktorat logistik ini menangani penyediaan dan memantau seluruh pengeluaran serta masuknya barang-barang produksi perusahaan. Sehingga seluruh direktorat akan selalu berhubungan dengan direktorat logistik ini.

PT. Krakatau Steel ini mempunyai budaya perusahaan yang berisi kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi dasar dan referensi sistem manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja, diyakini mampu untuk mendorong percepatan ke arah perubahan yang lebih baik. Penetapan budaya organisasi ini dilakukan untuk penyatuan visi dan misi organisasi hingga tercapainya perusahaan baja yang terkemuka di dunia. Seiring berjalannya waktu,


(13)

commit to user

budaya organisasi yang ditetapkan oleh perusahaan, ternyata dapat menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda di setiap karyawan.

Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan, terdapat ketimpangan antara budaya organisasi tertulis dengan kejadian yang ada di lapangan, seperti perilaku karyawan yang melakukan kerjasama dengan klien belum sesuai dengan prosedur penjualan hanya untuk mencapai target penjualan dan perubahan yang lebih baik. Kesadaran setiap masing-masing karyawan untuk menyamakan persepsi budaya organisasi ini, merupakan motivasi intrinsik karyawan untuk mencermikan dari nilai-nilai yang terkandung didalam organisasi tersebut. Jika, persamaan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik setiap karyawan telah dicapai, maka tingkat burnout pada karyawan dapat dikurangi secara berkesinambungan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan hubungan antara persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout karyawan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Burnout Pada Karyawan ditinjau dari Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik di PT. Krakatau Steel”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan ?


(14)

commit to user

2. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan ?

3. Apakah terdapat hubungan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan.

2. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan.

3. Mengetahui hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a) Sebagai bahan untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai burnout pada karyawan dalam kaitannya dengan persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi intrinsik.

b) Menjadi wacana bagi kalangan akademisi atau mahasiswa yang akan melakukan penelitian terhadap tema yang sama dan dengan variabel yang lebih kompleks lagi.


(15)

commit to user

c) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan referensi guna menunjang ilmu psikologi pada umumnya serta ilmu psikologi yang khususnya di bidang psikologi industri dan organisasi.

2. Manfaat Praktis

a) Karyawan

Bila penelitian ini terbukti maka dapat diterapkan untuk pencegahaan terhadap burnout karyawan dengan meningkatkan motivasi intrinsik dan mengembangkan persepsi budaya organisasi yang sesuai.

b) Perusahaan

Sebagai informasi tentang hal-hal yang mempengaruhi burnout pada karyawan, sehingga dapat menentukan langkah antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.

c) Peneliti lain

Dapat dijadikan sebagai wacana atau referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya, dengan variabel yang sama atau dengan variabel yang lainnya.


(16)

commit to user BAB II LANDASAN TEORI

A. Burnout pada Karyawan

1. Pengertian Burnout

Burnout merupakan fenomena baru di dalam bidang psikologi. Pemahaman tentang konsep ini sebenarnya telah ada kurang lebih 35 tahun lalu, tetapi baru pada tahun 1974 permasalahan burnout menjadi bahan kajian para ahli psikologi. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger di tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Cordes & Dougherty, 1993). Maslach (1993), menjelaskan mengenai definisi burnout secara operasional. “Burnout is a syndrome of emotional exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that occur among individuals who do people work of some kind”, yang artinya berdasarkan batasan ini maka dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout, caranya adalah dengan meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-hari.

Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak pada helping professions (Cox, 1993). Burnout merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu.


(17)

Merriam-commit to user

Webster (Cicilia, 2002), mendefinisikan burnout sebagai kehilangan kekuatan fisik atau emosional dan motivasi yang biasanya sebagai akibat dari stres berkepanjangan atau frustrasi, peran konflik atau ambiguitas, upah yang rendah dan kurangnya sistem penghargaan yang sehari-hari tegangan yang cenderung asah karyawan di dunia, mengakibatkan depresi dan keluar dari kerangka pikirannya.

Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion) fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang muncul adalah psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak berdaya dan putus harapan, keringnya perasaan, konsep dirinya yang negatif dan sikap negatif terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Caputo (1991) mengungkapkan, burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan fisik.

Burnout yang dialami secara terus-menerus dan tidak dapat diatasi akan mengakibatkan dampak bagi diri sendiri dan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari segi fisiologis, tingkah laku, dan psikologis setiap individu yang mengalami. Dalam Prawasti (1991), Miller dan Elllis (1990) mengungkapkan karyawan yang mengalami burnout memiliki tingkat kepuasan dan komitmen yang rendah. Kalliath dan Morris (2002) juga mengatakan bahwa burnout yang terus-menerus akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja dan berdampak pada kesehatan fisik karyawan itu sendiri (Prawasti, 1991). Lee dan Ashforth (1996),


(18)

commit to user

mengungkapkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization mempunyai hubungan yang kuat dengan tekanan dan burnout pada karyawan (Andarika, 2004). Hal ini dapat dilihat dari penelitiannya yang menunjukkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization juga berpengaruh terhadap komitmen terhadap organisasi sebanyak 61%.

Cordes dan Dougherty (1993) mendeskripsikan burnout sebagai gabungan dari tiga tendensi psikis, yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), penurunan prestasi kerja (reduced personal accomplishment) dan sikap tidak peduli terhadap karir dan diri sendiri (depersonalization). Bernardin (Rosyid, 1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada individu yang bekerja pada bidang kemanusiaan (human service), atau bekerja erat dengan masyarakat. Menurut Kreitner dan Kinicki (1992), burnout adalah akibat dari stres yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang mulai mempertanyakan nilai-nilai pribadinya. Burnout juga merupakan istilah populer untuk kondisi penurunan energi mental atau fisik setelah periode stres kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan pekerjaan, terkadang dicirikan dengan pekerjaan atau dengan penyakit fisik (Potter & Perry, 2005).

Pengertian-pengertian tentang burnout yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah keadaan yang mencerminkan reaksi emosional yang tengah dirasakannya, dimana dapat ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. Definisi mengenai burnout ini, sebagai suatu proses yang digunakan untuk menunjukkan kondisi mal-adjustment dalam


(19)

commit to user

menghadapi stres kerja yang dialami oleh individu pekerja dalam bidang human service setting dan non human service setting. Jadi disini ditekankan pada terjadinya suatu perubahan motivasi, hilangnya semangat yang dialami karyawan berkaitan dengan kekecewaan yang berlebih yang dialami dalam situasi kerja.

2. Aspek-Aspek Burnout

Maslach dan Jackson (1993) telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun terhadap burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain, hingga menemukannya tanda-tanda burnout yang terdiri dari tiga bagian yaitu :

a. Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan perhatian, kepercayaan, minat dan semangat (Ray & Miller, 1994). Orang yang mengalami emotional exhaustion ini akan merasa hidupnya kosong, lelah dan tidak dapat lagi mengatasi tuntutan pekerjaannya.

b. Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri sendiri (Cordes & Dougherty, 1993). Orang yang mengalami depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang dilakukannya bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain.


(20)

commit to user

c. Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri. Seringkali kondisi ini mengacu pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993). Ini adalah bagian dari pengembangan depersonalisasi, sikap negatif maupun pandangan terhadap klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi pelayanan. Individu tidak akan merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Perasaan ini akan berkembang menjadi penilaian terhadap diri sendiri dalam pemenuhan tanggung jawabnya yang berkaitan dengan pekerjaannya (Maslach, 1993; Jackson dan Leither 1996).

Menurut Ryan (Maslach, 1996), aspek lain adalah perkembangan negatif, sikap sinis dan perasaan tentang seorang klien. Reaksi negatif yang ditujukan pada klien dapat dihubungkan dengan pengalaman kelelahan emosional. Kelelahan emosional ini misalnya perasaan tertekan, kecemasan, dan konflik yang terjadi secara sadar ataupun tak sadar. Disinilah, mekanisme pertahanan diri seseorang dapat berperan sebagai pelindung dari kelelahan emosional melalui pemutarbalikkan kenyataan (Dwiputri, 2007). Cherniss (1990), mengatakan bahwa burnout dipengarui oleh lingkungan pekerjaannya, seperti gaya kepemimpinan atasan. Cherniss (1990) mengungkapkan adanya dinamika dalam burnout yang dibagi menjadi tiga tahapan, diantaranya adalah sebagai berikut :


(21)

commit to user

a. Stres, merupakan persepsi mengenai ketidakseimbangan antara sumber-sumber individu dan tuntutan yang ditujukan pada individu yang bersangkutan. Tuntutan ini dapat berasal dari diri sendiri ataupun lingkungan.

b. Strain, merupakan respon emosional langsung dari adanya kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki, ditandaisi strain dengan perasaan cemas, tegang dan lelah.

c. Coping, merupakan respon dari strain dimana individu berusaha melakukan sesuatu untuk mengatasi strain. Jika situasi tersebut tidak dapat ditangani dengan menggunakan coping masalah secara aktif, individu akan melakukan pertahanan intrapsikis dan mengalami perubahan sikap serta perilaku, seperti kecenderungan menjauhkan diri ataupun bersikap sinis.

STRES STRAIN COPING

Gambar 1. Proses Burnout (kaitan stress, strain, dan coping)

(Sumber : Staff Burnout: Job Stress in Human Service, Cherniss, 1990)

Burnout sebagai suatu tipe respon terhadap stres, merupakan hasil dari usaha coping yang tidak efektif, yaitu dengan adanya penghindaran, penolakan,

Tuntutan Sumber-sumber

Individu

Didasarkan pada derajat ancaman jika tuntutan tidak terpenuhi

Pemecahan masalah efektif

Pertahanan intrapsikis (burnout)


(22)

commit to user

menjaga jarak psikologis dari keterlibatannya dengan pekerjaan, menurunnya tujuan dan menyalahkan situasi atau orang lain. Cherniss (1990), menekankan pada adanya sikap menjauhkan diri secara psikologis dari tuntutan peran profesi sebagai symptom dari burnout, karena dengan sikap demikian, tidak menghiraukan lagi klien atau pasien dan bersikap masa bodoh terhadap pihak yang seharusnya dibantu. Individu akan dapat menghindari terjadinya penambahan beban stres yang dialaminya. Semua ini merupakan usaha defensif dari penolong, sehingga Cherniss (1990), menyatakan bahwa bisa saja individu penolong tidak mengalami “penderitaan” namun relasi yang tercipta antar penolong-ditolong yang terganggu.

Burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi (Maslach, 1993). Dampak burnout, pada individu terlihat dari adanya gangguan fisik maupun psikologis. Dampak burnout yang dialami individu juga dirasakan oleh orang lain. Selain itu, burnout juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi kerja dalam organisasi. Ketika mereka mengalami burnout, Freudenberger dan Richelson (1990) mengidentifikasikannya sebagai berikut :

a. Kelelahan yang merupakan proses kehilangan energi disertai keletihan. Keadaan ini merupakan gejala utama burnout. Individu tersebut akan sulit menerima, karena mereka merasa bahwa selama ini tidak pernah lelah, walaupun aktifitas yang dijalani sangat padat.

b. Lari dari kenyataan, ini adalah alat yang digunakan individu untuk menangkal penderitaan yang dialami. Pada saat individu tersebut merasa kecewa dengan kenyataan yang tidak sesuai harapannya, mereka menjadi


(23)

commit to user

tidak peduli terhadap permasalahan yang ada, agar dapat mengindari kekecewaan yang lebih parah, seperti misalnya sebagai karyawan tidak melakukan tanggung jawab atas pekerjaannya karena tidak senang dengan kepimpinan atasannya.

c. Kebosanan dan sinisme, ketika individu tersebut mengalami kekecewaan, sulit bagi mereka untuk tertarik lagi pada kegiatan yang mereka tekuni. Mereka mulai mempertanyakan makna kegiatan, mulai merasa bosan, dan berpandangan sinis terhadap kegiatan tersebut.

d. Tidak sabar dan mudah tersinggung, hal ini terjadi karena selama individu mampu melakukan segalanya dengan cepat dan ketika itu pula mengalami kelelahan untuk menyelesaikannya dengan cepat.

e. Merasa hanya dirinya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Disini, individu tersebut mempunyai satu keyakinan bahwa hanya dirinya yang dapat melakukan sesuatu dengan baik.

f. Merasa tidak dihargai, usaha yang semakin keras namun tidak disertai dengan kemampuan yang cukup sehingga hasil yang diperoleh tidak memuaskan dan timbul perasaan tidak berharga dan dihargai oleh orang lain.

g. Mengalami disorientasi, individu merasa dirinya terpisah dari lingkungannya, karena tidak mengerti bagaimana situasinya menjadi kacau dan tidak sesuai dengan harapan. Ketika berbincang-bincang dengan orang lain, individu ini sering kali kehilangan kata-kata yang akan diucapkan.


(24)

commit to user

h. Keluhan psikosomatis, individu akan seringkali mengeluh sakit kepala, mual-mual, diare, ketegangan otot, dan gangguan fisik lainnya.

i. Curiga tanpa alasan, ketika sesuatu hal tidak berjalan sebagaimana mestinya, kecurigaan muncul dalam diri individu tersebut, menurutnya hal ini dibuat oleh orang lain.

j. Depresi, yang perlu diperhatikan adalah depresi dalam konteks burnout yang bersifat sementara, khusus, dan terbatas. Individu dapat merasa tertekan di tempat kerja, tetapi dapat bersenda gurau dan tertawa saat tiba di rumah.

k. Penyangkalan, selalu menyangkal kenyataan yang dihadapinya. Penyangkalan ini ada dua macam yaitu penyangkalan terhadap kegagalan yang dialami dan penyangkalan terhadap rasa takut yang dirasakannya. Tanda-tanda burnout ini banyak ditemukan pada pekerja yang mempunyai profesi sebagai “penolong” antara lain perawat dan pekerja sosial. Para peneliti meyakini bahwa awal munculnya burnout sebagai hasil dari seringnya berinteraksi dengan orang lain. (Spector dan Paul E, 2000). Berbeda dengan pandangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model proses burnout yang baru. Leiter (1993), mengungkapkan bahwa stressor yang dihadapi individu (seperti, konflik personal, beban kerja, dan lain-lain) menyebabkan munculnya emotional exhaustion yang kemudian berkembang menjadi depersonalization. Sedangkan reduced personal accomplishment berkembang sejalan dengan emotional exhaustion sebagai reaksi terhadap aspek-aspek pekerjaan lainnya seperti kurangnya otonomi dan peran dalam mengambil keputusan, dukungan


(25)

commit to user

sosial dari atasan dan rekan kerja yang tidak adekuat. Pada model inilah, dimensi-dimensi burnout berkembang secara paralel.

+ +

- -

+ +

+

+ +

Gambar 2. Proses burnout menurut pandangan Leiter, keadaan yang dituju (Sumber: Burnout as a Development process: Consideration of Models, Leiter, 1993).

Keterangan :

- Tanda (+) berarti menambah kemungkinan terjadi

- Tanda (-) berarti mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan yang dituju

Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Lebih jauh dikatakan bahwa dukungan sosial yang diterima dari rekan kerja akan mengurangi resiko burnout. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Gibson, dkk (1996) yang mengatakan bahwa dukungan sosial dari teman sekerja menengahi hubungan antara burnout dengan keluhan kesehatan.Semakin tinggi dukungan sosial, maka

Beban kerja berlebihan dan rutinitas Konflik interpersonal

Kelelahan emosional

Keterampilan dan

coping Dukungan sosial dari

atasan dan rekan kerja

Peran dan otonomi dalam pengambilan keputusan

Personal

accomplishment

Kerjasama klien


(26)

commit to user

semakin sedikit keluhan tentang kesehatan yang dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1989) melaporkan bahwa dukungan sosial dari para atasan berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para karyawan.

Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek burnout terbagi menjadi emotional exhaustion misalnya tidak dapat menuntaskan pekerjaannya, depersonalization seperti tidak dapat memperhatikan kepentingan orang lain, dan reduced personal accomplishment yakni timbulnya perasaan tidak puas dengan hasil karyanya sendiri.

3. Penanganan Burnout

Kondisi stres berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk seperti apatisme, sinisme, frustasi, penarikan diri menjadi berkembang. Akan tetapi, telah terdapat berbagai cara efektif untuk mengatasi kejenuhan pada para pegawai pada suatu lingkungan kerja. Salah satunya adalah munculnya kesadaran pada diri para pimpinan bahwa dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang pegawai banyak menghadapai berbagai masalah yang bisa berdampak pada timbulnya sindrom burnout pada mereka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal tersebut hendaknya para pimpinan di lapangan melakukan hal-hal sebagai berikut (Mulyana, 2009):

a. Menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan bahwa para pemimpin yang bekerja di kantor, tidak peduli dengan kesulitan mereka, atau bekerja untuk menghambat niat baik mereka. Tidak juga membuat karyawan merasa seolah-olah dipimpin dan


(27)

commit to user

dibina oleh mereka yang memiliki citra tidak kompeten, tidak efisien, kurang komitmen, kurang berminat terhadap hobi dan kegiatan kantor pada umumnya.

b. Melakukan pembinaan karyawan secara profesional, artinya lakukan serangkaian usaha bantuan kepada karyawan, terutama bantuan yang berwujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil pembinaan yang menggairahkan.

c. Melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, yang akrab, yang tidak bersikap otoriter pimpinan, sehingga pegawai tidak takut bersikap terbuka kepada pimpinan. Dengan demikian, akan terjadi interaksi antara pegawai dengan pimpinan yang harmonis, sehingga pada gilirannya tersedia kesempatan untuk mengembangkan ke arah yang dapat menurunkan kemungkinan terjadinya burnout.

d. Melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada pegawai. Sebab dukungan sosial yang tidak kuat dari pimpinan dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi terhadap timbulnya burnout. Jenis dukungan yang diharapkan karyawan ialah:

1) Saran dari pimpinan dalam mengatasi masalah pekerjaan yang dihadapi karyawan.

2) Kesediaan pimpinan untuk berempati terhadap perasaan-perasaan pegawai saat mengahadapi klien (masyarakat).

3) Peran pimpinan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan dan promosi.


(28)

commit to user

4) Memberikan contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan ditempat kerja karyawan.

5) Memberikan umpan balik yang nyata terhadap kinerja karyawan seperti pemberian upah kerja dan bonus yang sesuai dengan kinerja pekerjaannya ataupun pujian atas hasil kerjanya.

e. Melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

Selain itu, yang lebih penting dalam mencegah terjadinya burnout adalah usaha yang dilakukan karyawan itu sendiri. Para karyawan sebaiknya waspada akan munculnya burnout. Sebab, selain merugikan diri sendiri, juga berdampak pada pekerjaan dan citra pegawai yang sampai hari ini perlu diperjuangkan.

Berdasarkan penjelasan di atas burnout dapat ditangani dengan cara menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan, melakukan pembinaan karyawan secara profesional, melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada karyawan, dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout

Karyawan yang mengalami burnout lebih sering absen atau terlambat untuk bekerja daripada rekan-rekan yang tidak mengalaminya, mereka menjadi terasa kurang idealis dan lebih kaku; kinerja mereka menurun tajam, dan mereka mungkin berkhayal atau sebenarnya berencana untuk meninggalkan profesi


(29)

commit to user

(Farber, 1983 dalam Corrigan 1994). Maslach, kemudian menciptakan alat ukur sindrom burnout yang dialami seseorang, menyatakan bahwa burnout merupakan hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal untuk jangka waktu yang lama. Selanjutnya, Baron dan Greenberg (1995) mengungkapkan ada dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:

a. Faktor Eksternal

Meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton. Misalnya, dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan, bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan yang lain atau kelompok (Gibson, 1996). Menurut Pines dan Aronson (Caputo, 1991) adanya faktor yang saling berinteraksi dalam menimbulkan burnout, yaitu faktor lingkungan kerja dan individu.

b. Faktor Internal

Meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian. Seperti, pengetahuan bahwa “saya seorang pria” atau “saya seorang wanita” merupakan salah satu bagian inti dari identitas pribadi, dan di dalam benak kita sudah tertanam siapa itu pria dan siapa itu wanita. Demikian pula tentang pemikiran apa kekhasan perilaku seorang pria dan seorang wanita. Pria dan wanita tidak hanya berbeda secara fisik saja, tetapi berbeda pula dari segi psikologis dan sosiologisnya.


(30)

commit to user

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Parasuraman, dkk (1992) bahwa kedua faktor di atas berhubungan dengan burnout. Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Burnout sebagai suatu bentuk respon stres harus dipandang sebagai suatu proses yang diawali oleh adanya ketidakseimbangan, kesenjangan atau diskrepansi antara tuntutan dan sumber daya individu yang menimbulkan kondisi strain (ketegangan).

Individu tidak bisa mengatakan “saya menderita burnout hari ini dan bersemangat hari berikutnya (Pines dan Aronson, 1990)”. Seseorang yang mengalami kelelahan secara fisik setelah lari maraton, namun secara emosional gembira, bisa dikatakan ia tidak mengalami burnout. Demikian pula orang yang tertekan namun tetap nyaman di dalam bekerja, tidak mengalami burnout. Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena ada perbedaan individual yang turut berpengaruh. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan pekerjaan mereka merasa tidak berarti.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan kerja psikologis dan faktor internal seperti usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.


(31)

commit to user

B. Persepsi Budaya Organisasi 1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi

a. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau disebut juga proses sensoris. Alat indera tersebut adalah alat penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Walgito, 2004). Stimulus yang diterima oleh indera akan diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang ada di dalam indera itu, dan proses ini disebut persepsi. De Vito, (1997 dalam Desy, 2004) mengungkapkan persepsi sebagai sebuah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Rakhmat (2005), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi (Muhadjir, 1992, dalam Hartijati 2001). Gibson & Ivancevich (1996) menyatakan bahwa persepsi merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang diartikan oleh orang-orang yang bekerja dalam lingkup besar dan mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Lain halnya dengan Pareek (1996), mendefinisikannya lebih luas yaitu persepsi sebagai proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, pengartian, terhadap stimulus


(32)

commit to user

yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004).

Senada dengan hal tersebut, Atkinson dan Hilgard (1991) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1996) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, karena itulah apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi, ungkap Walgito, (2004). Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya (Aronson, 2008).

Anderson dan Kyprianov, (1994, dalam Napitupulu 2002) mengatakan bahwa persepsi sebagai proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengalaminya, tetapi juga keseluruhan pengalaman-pengalamannya, memotivasinya dan sikap relevan terhadap stimulus tersebut. Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (Arindita, 2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu


(33)

commit to user

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak. Leavitt (Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat disimpulkan bahwa proses kita menjadi sadar akan banyaknya perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidaklah sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain.

b. Pengertian Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber daya manusia dan teori organisasi. Manajemen sumber daya manusia memandang budaya organisasi dari aspek perilaku, sedangkan teori organisasi dilihat dari aspek sekelompok individu yang berkerjasama untuk mencapai tujuan, atau


(34)

commit to user

organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi sebagai sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, bila budaya organisasi mendukung strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat.

Denison (2003), mengatakan budaya organisasi sebagai sebuah nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan prinsip-prinsip tersebut. Pada dasarnya budaya organisasi bukan merupakan kenyataan yang timbul dengan sendirinya, melainkan kenyataan yang bisa ditanamkan dan dikembangankan. Budaya organisasi ini berjalan turun temurun dalam kehidupan organisasi, tetapi nilai-nilai tersebut dapat berubah ketika timbul kemauan politis dari manajer menghendaki perubahan nilai menuju organisasi yang lebih sehat dan selektif (Retno, 2004).

Perkembangan budaya organisasi, pertama kali dikenalkan di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga seorang Ketua Kelompok Studi Organisasi 1972-1981. Salah satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership. Di Indonesia, budaya organisasi mulai dikenal pada tahun 80 - 90-an, saat banyak yang


(35)

commit to user

membicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.

Djokosantoso (2005) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.

Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins (1991) menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer examination, a set of key characteristics that the organization values"). Amnuai (Soedjono, 2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah adaptasi eksternal dan masalah-masalah integrasi internal.


(36)

commit to user

Schein (1992), mengatakan bahwa budaya organisasi itu, mengacu ke suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi lain (Melinda, 2004). Luthans (1998, dalam Melinda, 2004) mengatakan budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sarplin (1995, dalam Sutanto, 1997), mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi.

Menurut Stoner (1995, dalam Robbins 2003), budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Monde dan Noe (Retno 1995), budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Konsep budaya organisasi ini disandarkan pada kemampuan karyawan, sehingga penguatan yang diberikan pada karyawan selaku individu sebagai sumber daya manusia semakin disadari merupakan aset organisasi yang paling berharga dan memiliki kemampuan beradapatasi yang paling fleksibel.

Melinda (2004), mendefinisikan budaya organisasi adalah bagian dari manajemen sumber daya manusia dan teori organisasi, budaya organisasi dalam manajemen sumber daya manusia, ditemukan saat mengkaji aspek perilaku,


(37)

commit to user

sedangkan budaya organisasi dalam teori organisasi, ditemukan saat mengkaji aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi juga mencakup nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Menurut Atmosoeprapto (2001), budaya organisasi ialah suatu hal yang sangat penting karena kemampuannya untuk mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke tujuan yang dikehendaki.

Martin, 1992 (Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab. Pengaruh budaya organisasi ini melebihi pengaruh lain dalam organisasi seperti struktur, sistem, manajemen, dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu keadaan yang sangat diharapkan oleh para pimpinan sehingga tidak bersusah payah mengarahkan perilaku para anggota organisasinya. Menurut Harris dan Moran (1991, dalam Sutanto 1997) baru sejak dekade yang lalu (akhir 70-an atau awal 80-an) para eksekutif dan cendekiawan benar-benar memperhatikan faktor budaya organisasi yang ternyata berpengaruh terhadap perilaku, moral atau semangat kerja dan produktivitas kerja.

Osborne dan Plastrik (2000) mengungkapkan, budaya organisasi sebagai seperangkat perilaku, perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya


(38)

commit to user

organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh karyawan, mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental.

Berdasarkan uraian diatas, budaya organisasi adalah perekat bagi setiap organisasi. Tanpa budaya organisasi, keberadaan organisasi akan mengalami proses pemekaran dan pertumbuhan tanpa adanya keseimbangan integrasi dan reintegrasi. Dengan budaya organisasi ini, karyawan menjadi lebih menyenangkan, sehingga perlu ada upaya serius dari seluruh sumber daya manusia yang ada di perusahaan (stake holder) untuk memelihara keberadaannya.

c.Pengertian Persepsi Budaya Organisasi

Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan. Budaya organisasi disini berperan sebagai objek dan konteks yang akan dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Budaya organisasi memberikan karyawan


(39)

commit to user

rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi adalah rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.

2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan pondasi itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Agar hal ini benar terjadi, maka perlu sosialisasi budaya organisasi dengan baik sehingga dapat terinternalisasi dalam diri para karyawan organisasi. Untuk itu, peran pemimpin organisasi sangat penting, baik dalam menanamkan pemahaman dan persepsi yang sama tentang budaya organisasi tersebut ke setiap karayawannya.

Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti. Pada hakekatnya sikap adalah merupakan


(40)

commit to user

suatu interelasi dari berbagai komponen. Dengan demikian, Sobur (2003) dan Allport (Mar'at, 1991) mengemukakan tiga aspek dalam persepsi, yaitu :

a. Komponen Kognitif

Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut.

b. Komponen Afektif

Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya.

c. Komponen Konatif

Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya.

Aspek-aspek yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi mengandung aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif, yaitu merupakan kesediaan dalam bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap obyek sikap. Ketiga aspek itu saling berinterelasi dan konsisten satu dengan lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen tersebut.


(41)

commit to user

Persepsi yang terjadi pada penelitian ini adalah persepsi budaya organisasi. Persepsi budaya organisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi. Denison (2003) merangkum empat prinsip integratif mengenai literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan menggunakan istilah lain, akan tetapi gagasan pokok Denison (2003), adalah efektivitas kinerja perusahaan yang merupakan keempat fungsi budaya organisasi yaitu:

a. Keterlibatan

Ini merupakan faktor kunci dalam budaya organisasi. Keterlibatan dalam hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas bukanlah hal yang baru karena telah banyak literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan menggunakan istilah lain. Konsep ini mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan dan partsipasi yang tinggi menciptakan kesadaran akan pemilikan (sense of ownership) dan tanggung jawab. Dari kesadaran ini timbul komitmen yang lebih besar pada organisasi dan kebutuhan yang lebih sedikit akan sistem kontrol yang ketat.

b. Konsistensi

Teori konsistensi tentang hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas menyajikan pandangan yang sedikit berbeda. Teori ini


(42)

commit to user

menekankan adanya dampak positif ”budaya kuat” pada efektivitas organisasi dan bahwa sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dihayati, serta dipahami secara luas oleh para anggota organisasi, memiliki dampak positif pada kemampuan mereka dalam mencapai konsensus dan melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi.

c. Adaptabilitas

Komponen pertama dan kedua dari teori budaya hanya memfokuskan pada dinamika internal suatu organisasi. Keduanya sangat sedikit menyinggung lingkungan eksternal organisasi. Schein (1992, dalam Melinda 2004), mendiskusikan hubungan antara adaptabilitas dan budaya, serta menekankan bahwa budaya biasanya terdiri dari respon-respon perilaku kolektif yang terbukti adaptif di masa lalu. Bila dikonfrontasikan dengan situasi baru, pertama-tama organisasi akan mencoba respon-respon kolektif yang diketahui.

d. Penghayatan Misi

Komponen terakhir dari budaya organsasi ini menekankan pada pentingnya misi, atau definisi bersama dari suatu fungsi dan tujuan organisasi serta anggotanya. Penghayatan misi memberi dua pengaruh besar terhadap organisasi. Pertama, misi menentukan manfaat dan makna dengan cara mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran intuisi. Kedua, kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang jelas dan berfungsi untuk mendefinisikan serangkaian tindakan yang tepat bagi organisasi dan anggota-anggotanya. Pengaruh keduanya memberikan


(43)

commit to user

kejelasan dan arah sehingga dapat mewujudkan kesuksesan yang memiliki kemungkinan terbesar terjadi ketika individu mempunyai tujuan terarah (Locke dalam Hartijasti, 2001).

Individu yang memiliki budaya organisasi yang kuat dinilai sebagai karyawan yang paling kooperatif, dapat bekerja dengan banyak orang dan memiliki preferensi yang paling kuat untuk mengevaluasi kinerja yang memberikan kontribusi pada organisasi daripada untuk dirinya sendiri. Budaya organisasi memiliki aspek-aspek dalam melakukan pengukurannya, dan Robbins, (1991) menjelaskannya sebagai berikut:

a. Insiatif Individu, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas tingkatan tanggung jawab, kebebasan, dan kemandirian yang dimiliki.

b. Risk Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dorongan karyawan untuk dapat lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko. c. Direction, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam

mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas organisasi menentukan tujuan yang akan dicapai dan kinerja yang diharapkan.

d. Integration, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas unit-unit didalam organisasi didorong melakukan kegiatannya dalam satu koordinasi yang baik.


(44)

commit to user

e. Management Support, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya.

f. Control, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengontrol perilaku karyawan.

g. Identity, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas anggota mengidentifikasikan diri dari organisasi bukannya dengan kelompok kerja atau bidang keahlian profesional.

h. Reward System, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas alokasi penghargaan atau keahlian, gaji, dan promosi yang berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan.

i. Conflict Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dapat mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi.

j. Communication Patterns, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas komunikasi dalam organisasi yang terbatas pada susunan wewenang secara formal.


(45)

commit to user

Ideologi organisasi atau budaya yang dimiliki organisasi dapat mempengaruhi perilaku orang-orang yang terlibat didalamnya, kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan permintaan secara efektif dan cara menyesuaikan diri dengan lingkungan eksternalnya (Orlilowski dan Hoffman, 1997).

Berdasarkan aspek-aspek persepsi yang dikemukakan Sobur (2003) dan Allport (Mar’at 1991) yakni : kognitif, afektif dan konatif. Selanjutnya aspek budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1991) ialah : insiatif individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns. Maka dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi dapat dilihat dari bagaimana karyawan memberikan tanggapan secara kognitf, afektif dan konatif atas budaya organisasi dimana dalam budaya organisasi terdapat aspek-aspek insiatif individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns (Robbins, 1991).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam organisasi yang mengarah pada perilaku yang dianggap tepat, mengikat, dan memotivasi anggota yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan perilaku seseorang. Dengan demikian, pemahaman budaya organisasi menjadi penting, mengingat adanya keanekaragaman budaya yang dibawa oleh karyawan ke dalam organisasi. Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan


(46)

commit to user

karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab. Secara tidak langsung ataupun langsung, budaya organisasi dapat berupa hasil pemikiran dan tindakan-tindakan yang dilakukan pendiri organisasi, meski tidak selalu demikian.

Budaya organisasi selalu dipengaruhi oleh persepsi masing-masing karyawan terhadap hal tersebut. Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan.

Seiring dengan perkembangan organisasi, budaya organisasi dapat mengalami transformasi dengan berbagai cara. Transformasi dari budaya organisasi tersebut dipengaruhi oleh persepsi setiap karyawannya. Oleh karena itu, Chatman dan Barsade (1997), mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi budaya organisasi diantaranya adalah :

a. Identitas Organisasi, seperti memberikan penghargaan dengan mendorong motivasi karyawan.

b. Komitmen Kolektif, yaitu fungsi budaya organisasi yang baik ialah ’sebuah organisasi dimana anggotanya bangga menjadi bagian darinya’. c. Stabilitas Sistem Sosial, merupakan cerminan taraf dari lingkungan kerja

dirasakan positif , mendukung, dan konflik serta perubahan dapat diatur dengan efektif.


(47)

commit to user

d. Pembinaan yang dilakukan organisasi, dimana dapat membantu anggota organisasi agar dapat memahami mengapa organisasi melakukan apa yang seharusnya dan bagaimana organisasi bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi budaya organisasi dipengaruhi oleh adanya identitas organisasi, komitmen kolektif, stabilitas sistem sosial, dan pembinaan yang dilakukan oleh organisasi itu sendiri kepada anggotanya.

C. Motivasi Intrinsik 1. Pengertian Motivasi Intrinsik

Motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren (Herpen, dkk. 2002) hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan ekstrinsik. Herpen, dkk (2002) juga menambahkan beberapa pendapat dari Gacther and Falk (2000); Kinman and Russel (2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Menurut Winardi (2001), motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Disebut intrinsik, karena tujuannya adalah perasaan internal mengenai kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.


(48)

commit to user

Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik yang ada di dalam diri karyawan. Griffin dan Moorhead (dalam Windayanti, 2007), mengatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai suatu tekanan-tekanan yang menyebabkan individu terlibat dalam suatu fokus kegiatan saja. Motivasi intrinsik ini dapat timbul atau ada tidak semata-mata karena adanya reward atau hadiah kecuali untuk aktivitas itu sendiri. Meningkatnya motivasi, kesanggupan, dan kesediaan anggota atau karyawan untuk bersama-sama berusaha dalam mengembangkan organisasi, yang merupakan harapan dari organisasi tersebut. Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang sering dikatakan dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat dipelajari karena seseorang yang terdorong rasa ingin tahu, maka orang itu akan belajar dan pengetahuan serta aktivitas yang disadari oleh motivasi instrinsik ini akan bertahan lebih lama (http://www.blogcatalog.com/search).

Menurut Vallerand, dkk., (2009) secara garis besar, ada tiga tipe motivasi intrinsik diantaranya adalah :

a. Motivasi Intrinsik untuk tahu

Dalam motivasi untuk tahu ini, seseorang melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena kesenangan untuk belajar.

b. Motivasi Intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian

Manusia selalu mempunyai naluri untuk mencapai sesuatu. Bahkan secara ekstrim, orang yang sudah kaya raya pun tidak pernah berhenti untuk mengeruk harta. Ini membuktikan bahwa setiap manusia


(49)

commit to user

mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu. Artinya ada keinginan untuk lebih dan lebih.

c. Motivasi Intrinsik untuk merasakan stimulasi

Mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivitas dalam rangka merasakan kenikmatan yang sensasional. Intinya, motivasi intrinsik bisa berupa aktivitas apapun yang menghasilkan perbedaan besar pada dirinya sendiri bahkan organisasi. Jika mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak signifikan, maka mereka akan merasa tidak signifikan. (dalam http://www.managementfile.com/journal.php).

Desy, dkk (2004), motivasi intrinsik ialah suatu bentuk motivasi yang memiliki kekuatan besar yang dapat membuat seseorang merasa nyaman dan senang dalam melakukan tugas yang disesuaikan dengan nilai tugas itu. Motivasi intrinsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat individual.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa motivasi intrinsik adalah keinginan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mengerahkan segala kemampuan dan bakat dalam mencapai segala sesuatu yang sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya berkompetisi dengan lingkungan.

2. Aspek-Aspek Motivasi Intrinsik

Menurut teori Herzberg motivasi yang ideal yang dapat merangsang usaha adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih membutuhkan keahlian dan


(50)

commit to user

peluang untuk mengembangkan kemampuan. Menurut Herzberg faktor hygienic atau extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995, dalam Sopyan, 2009).

Faktor motivation intrinsic atau intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis), (Leidecker&Hall, 1999). Santrock (2002) mengatakan bahwa motivasi intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural curiosity).

Motivasi intrinsik ini memiliki beberapa aspek sebagai berikut (Stipek, 2002) yaitu :

a. Kompetensi (Competence)

Yaitu kekuatan atau dorongan ditunjukkan dengan perilaku yang cenderung mendekati tugas. Indikator dari aspek ini misalnya seperti hal-hal yang mendekati dan dirasa perlu sehubungan dengan tugas, tidak berhenti bekerja sebelum tugas selesai, mendekati tugas-tugas dengan gembira, persisten dalam menghadapi kegagalan, suka rela menjawab pertanyaan dan menyediakan jawaban sebelum diminta untuk menjawab.


(51)

commit to user b. Tugas baru (Novelty)

Yaitu dorongan dari dalam diri karena adanya rasa keingintahuan terhadap tugas yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan. Hal ini seperti, mandiri dan fokus terhadap tugas walaupun faktor luar tidak hadir (atasan, supervisi, ataupun orang lain), terlihat menikmati pekerjaan, menunjukkan harapan yang tinggi pada tugas sulit, mengembangkan pengetahuan yang dimiliki kepada hal-hal baru.

c. Otonomi diri (Self-determination)

Memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan sendirinya tanpa dipengaruhi faktor luar. Adanya keinginan untuk mengevaluasi hasil lebih jauh hasil pembelajarannya secara lebih mendalam dan spontan sehingga menghasilkan ekspresi bangga terhadap prestasi yang diraih.

Aspek-aspek motivasi intrinsik yang terdiri dari competence, novelty, dan self-determinant ini dikembangkan oleh Harter, dkk,. (dalam Stipek, 2002) sehingga diperoleh klasifikasi tingkah laku yang mencerminkan. Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001). Motivasi intrinsik ini dapat menciptakan kretivitas, pembelajaran konsep, pencarian tantangan dan kesenangan dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik (Stipek, 2002). Thomas, (2000), mengatakan bahwa motivasi


(52)

commit to user

intrinsik dapat dicapai ketika seseorang mengalami perasaan adanya pilihan-pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan, yaitu :

a. Pilihan

Merupakan peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau tugas yang masuk akal dan melaksanakannya dengan cara yang memadai seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan informasi. b. Kompetensi

Ialah suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan, umpan balik, dan pembekalan keterampilan.

c. Penuh Arti

Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar misalnya pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan.

d. Kemajuan

Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran kemajuan.

Berdasarkan uraian mengenai aspek-sapek motivasi intrinsik di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik dapat dicapai ketika seseorang memiliki empat aspek yakni, adanya pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan.


(53)

commit to user

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik

Hezberg (Winardi, 2001) mengatakan faktor-faktor seperti kebijakan, administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan menentramkan karyawan. Selanjutnya Herzberg mengelompokkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi morivasi intrinsik seseorang diantaranya adalah:

a. Pekerjaan itu sendiri (Work It Self)

Yaitu pekerjaan atau tugas yang dimilikinya sesuai atau tidak dengan kemampuannya.

b. Prestasi yang diraih (Achievment)

Yaitu adanya kesesuaian antara tanggung jawab dan hasil yang diterimanya.

c. Peluang untuk maju (Advancement)

Yaitu adanya kesempatan untuk mengembangkan dirinya menjadi seseorang yang lebih dalam mengabdikan diri di dalam lingkungannya. d. Pengakuan orang lain (Ricognition)

Yaitu diterimanya di dalam lingkungan tersebut dan adanya suatu penghargaan atas apa yang telah ia kerjakan.

e. Tanggung jawab (Responsible)

Yaitu kemampuan untuk berani menanggung resiko atas apa yang ia kerjakan.

Hawadi (2001), mengatakan bahwa pembentukan motivasi intrinsik ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:


(1)

commit to user

kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh

anggota organisasi. Budaya organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan,

keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana

bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya.

Persepsi budaya organisasi ini memerlukan komitmen dari seluruh karyawan,

mulai dari

top

,

middle

sampai

lower

atau operasioal yang merupakan persyaratan

mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar

keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental. Sehingga dapat terwujudnya persepsi

budaya organisasi yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.

Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh

Sedjo (2005), menemukan adanya kontribusi persepsi budaya organisasi yang

signifikan terhadap

burnout,

dapat dilihat dari semua dimensi persepsi budaya

organisasi memiliki hubungan dengan

burnout

. Semakin tinggi persepsi budaya

organisasi akan semakin tinggi pula

burnout

yang terjadi pada karyawan.

Dikarenakan, organisasi merupakan salah satu penyebab terjadinya

burnout

dikarenakan hal ini dapat timbul dari persepsi yang dianut bersama oleh

anggota-anggota organisasi. Sistem makna bersama ini, bila diamati lebih jauh merupakan

seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi.

Sehubungan dengan hal tersebut motivasi intrinsik juga memberikan

sumbangan efektif lebih kecil terhadap

burnout

. Hal tersebut dapat terjadi karena

motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari

luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan


(2)

commit to user

(Winardi, 2001). Motivasi intrinsik ini selalu berperan dalam penyelesaian sesuatu

peristiwa karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan

dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.

Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang

diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik

yang ada di dalam diri karyawan. Motivasi intrinsik ini dapat timbul atau ada tidak

semata-mata karena adanya

reward

atau hadiah kecuali untuk aktivitas itu sendiri.

Meningkatnya motivasi, kesanggupan, dan kesediaan anggota atau karyawan untuk

bersama-sama berusaha dalam mengembangkan organisasi, yang merupakan harapan

dari organisasi tersebut.

Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan

titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001).

Keinginan seseorang untuk berprestasi yang berlebihan dapat mengakibatkan

terjadinya kelelahan pada dirinya sendiri. Akan tetapi, motivasi intrinsik ini dapat

menciptakan kretivitas, pembelajaran konsep, pencarian tantangan dan kesenangan

dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik (Stipek,

2002).

Perasaan-perasaan yang dimiliki oleh setiap orang seperti, adanya pilihan

yang harus diambilnya, kompetensi, memiliki arti di dalam hidupnya, dan keinginan

untuk selalu maju inilah yang dicapai oleh seseorang yang mengalami motivasi

intrinsik (Thomas, 2000). Motivasi intrinsik ini dapat dijadikan dorongan dari dalam

diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mencapai segala sesuatu yang


(3)

commit to user

sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya dalam berkompetisi

dengan lingkungannya. Motivasi intrinsik seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya adalah pekerjaan itu sendiri, prestasi yang diraih, peluang untuk

maju, pengakuan orang lain, dan tanggung jawab. Jika motivasi intrinsik yang

dilakukan semakin tinggi maka akan semakin tinggi pula

burnout

yang terjadi.

Penelitian ini dikenakan pada karyawan PT. Krakatau Steel Cilegon, maka hasil

penelitian ini dapat digeneralisasikan pada kelompok karyawan dewasa madya di

tempat lain atau karyawan pada umumnya yang memiliki karakteristik yang sama.

Mengingat bahwa penelitian mengenai hubungan ketiganya baru sekali ini

dilakukan sepanjang pengamatan penulis, sehingga masih memiliki banyak

keterbatasan.

Dengan

penelitian

berulang-ulang

disertai

perubahan

dan

penyempurnaan dalam teknik pengukuran, pemakaian alat ukur, prosedur penelitian,

maupun memeperluas ruang lingkup penelitian, diharapkan dapat memberikan hasil

penelitian hubungan di antara ketiga variabel tersebut dengan lebih baik.


(4)

commit to user

109

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1.

Ada hubungan positif yang antara persepsi budaya organisasi dan motivasi

intrinsik dengan

burnout

pada karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis

F-test

yang dapat dilihat melalui Anova dalam

output

SPSS. Besarnya F-hitung yang

diperoleh 43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0, 874, maka hipotesis diterima,

sehingga dapat dinyatakan ada hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi

intrinsik dengan

burnout

pada karyawan.

2.

Ada hubungan positif antara persepsi budaya organisasi dengan

burnout

pada

karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis korelasi

Product Momen

(

Pearson

) diperoleh p

value

sebesar 0,00, p

value

< 0,05 (

α

) maka hipotesis

diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara persepsi budaya organisasi

dengan

burnout

pada karyawan. Besarnya hubungan antara persepsi budaya

organisasi dengan

burnout

pada karyawan. sebesar 0,838, berarti ada hubungan

positif antara persepsi budaya organisasi dengan

burnout

pada karyawan.

3.

Ada hubungan positif antara motivasi intrinsik dengan

burnout

pada karyawan.

Hal ini telah dibuktikan dengan analisis korelasi

Product Momen

(

Pearson

) diperoleh


(5)

commit to user

110

p

value

sebesar 0,00, p

value

< 0,05 (

α

), maka hipotesis diterima, sehingga dapat

dinyatakan ada hubungan positif antara motivasi intrinsik dengan

burnout

pada

karyawan. Besarnya hubungan antara motivasi intrinsik dengan

burnout

pada

karyawan sebesar 0,873.

B.

Saran

1. Karyawan

Disarankan kepada karyawan untuk dapat menjalankan tugas serta tanggung

jawabnya sesuai dengan visi dan misi organisasi dengan cara adanya keinginan untuk

selalu maju, memiliki rasa keterikatan antara dirinya dengan organisasi, dan

melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga dapat di

persepsikan sebagai persepsi budaya organisasi yang baik.

2. Perusahaan

Perusahaan disarankan dapat membantu karyawannya dalam menciptakan

lingkungan kerja yang positif dan memunculkan motivasi pada diri karyawan

sehingga dapat menekan kecenderungan

burnout

pada karyawan.

3. Bagi peneliti selanjutnya.

Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama

diharapkan

dapat

mempertimbangkan

variabel-variabel

lain

yang

lebih

mempengaruhi

burnout

seperti dukungan sosial, karakteristik kepribadian, dan

disarankan juga untuk menggunakan data yang tersebar normal. Hal lain yang perlu


(6)

commit to user

111

diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara

agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat

diungkap dengan angket.