Politik Jangkrik dalam Sastra

Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dhandhang Wong cilik mendelik wong gedhe gumedhe akeh godhane, sing mlarat munggah pangkat Keong lurik separan-paran Pak cilik golek dalan Pak gedhe bakal teka Wong Jawa bakal cilaka Wewe menek klapa Ramalan di atas merupakan refleksi kepemimpinan di jaman wolak-walik. Jaman wolak-walik memang sudah sering muncul setiap ramalan. Begitulah politik jangkrik genggong yang sedang berkeliaran. Di jaman ini, orang yang bertindak selingkuh seringkali tetap untung nggendhong. Orang yang jujur lugu, ternyata malah mendapatkan malu. Inilah potret jaman yang serba aneh, yang baik dikatakan jelek begitu sebaliknya. Di era semacam ini, kebenaran hidup semakin kabur. Jaman yang serba wolak-walik memang terkena imbas politik jangkrik genggong. Jangkrik genggong senantiasa ada proses nglimpe. Nglimpe, adalah mengancam lewat diam-diam, sehingga mencari kelemahan orang lain. Nglimpe juga watak pimpinan yang mencari-cari, sekedar mencari popularitas. Biasanya pimpinan sering ada yang membunuh dari belakang. Mereka sembunyi, ternyata menikam dari belakang. Hanya orang yang waspada yang akan selamat menghadapi jangkrik genggong.

D. Politik Misuh dalam Sastra

Di mata R. Ng. Ranggawarsita, kalau saya baca Serat Jayengbaya, hidup ini tidak ada kepastian. Hidup ini serba tidak enak. Untuk menjadi apa pun terasa sulit. Terjun ke dunia politik, ada resiko. Terjun di dunia seni, sebagai dalang, niyaga, penari topeng, ada untung rugi yang relatif. Bidanga ekonomi, tidak selalu menjanjikan. Menjadi blantik jaran, kalau sedang untuk, memang enak, tetapi kalau sedang rugi, jatuh menunggang kuda,lebih parah. Sang pujangga, merasa repot menjadi apa pun dalam hidup ini. Yang unik, dia memanfaatkan politik misuh. Kata tobil selalu menjadi ungkapan yang khas. Kekhawatiran hidup selalu menyelimuti tiap orang, birapun telah memiliki kdudukan politik. Bahkan ada kata yang lebih kasar lagi untuk misuh, yaitu pothet dan pethut. Hal itu sebenarnya merupakan ungkapan kejengkelan. Menurut dia, permainan politik memang cukup kejam. Tobil muktiku kepati Sasat setan sri serabat Nanging ya ana watire Yen ketanggor bekel desa Gedhug gedhig manggala Galak marang goprak gapruk Dhasar pothet pethut desa Serat Jayengbaya, pada 60 Yang dimasalahkan pujangga dalam hidup ini amat beragam. Intinya, bahwa hidup ini memang selalu penuh dengan setumpuk kekecewaan. Berani hidup, berarti berani menanggung kekecewaan. Terlebih lagi, kalau sang pujangga sudah dibuat jengkel oleh situasi, keadaan politik, pisuhan pun sering muncul. E tobil selikur ari Dadi nora mantra mami Pangan gawane priyangga Tobil lole ngrasa aneh Tanapi kang dadi sasar Samangsa kurang yitna Nalika drel obatipun Kakehan wuluhe pecah Serat Jayengbaya, pada 209 Alah tobil tobil nabi Ah tobat sakabat papat Pepet napasku nganti pet Wis wis pirang bab kewala Wilangane nggaota Tanapi kang perlu lungguh Meksa nganggo bebaya Serat Jayengbaya, pada 234 E tobil jebule kongsi Kedhaut-dhaut mangkana lelabuhane wong kesed luwih meneh tan sayogya mondhok nganggo sungkanan kaniaya aranipun marang badane priyangga Serat Jayengbaya, pada 238 Sungguh, otak kita ini kotor. Yang pertama,otak kita ini dikotori “uteg urang”, sehingga tolol untuk berpikir jernih tentang politik. Orang berpikir politik selalu dihubung- hubungkan dengan kekuasaan. Orang berpikir politik ketika menyimpan kata saya, diganti dengan kalimat pasif “di”. Teodor Geiger Geertz, 1992:7 menyatakan politik dan ideologi itu dekat, sulit dipisahkan. Ideologi itu sebuah gagasan atau pemikiran. Biarpun pemikiran, kalau dilandasi realitas, itulah kecemerlangan. R. Ng. Ranggawarsita, adalah seorang politikus yang mendasarkan sebuah realitas itu, sebuah fakta yang dirasakan. Kalau boleh saya ungkapkan: “Itulah yang saya rasakan selama ini. Di depan mata saya, politik di jagad ini sudah bengkok. Seperti bengkoknya sebuah sabit, siapa yang mampu meluruskan. Kalau sabit itu dibakar sampai merah, mampukah diluruskan dengan kehalusan tangan.” Begitulah intisari, Serat Kalatidha. Di jaman yang serba tidak pasti, memang tidak mudah pengambilan keputusan. Padahal seorang pimpinan memang harus mengambil keputusan. Saya setuju dengan Geiger, yang memiliki pemikiran jitu. Katanya, pikiran yang ditentukan oleh fakta sosial dan budaya, bagaikan arus yang jernih, tembus pandang. Gagasan itu ada kalanya juga sebagai sungai yang jorok, penuh lumpur, dan dikotori kenajisan. Sungai pertama, bikin sehat. Sungai kedua itu racun.

E. Politik Semar

Dalam lakon apa saja, Semar selalu hadir. Dalam lakon Semar Mbangun Kahyangan, dia menjadi tokoh sentral yang memimpin berjuangan melawan kebatilan. Ketika bathara Guru dianggap tidak pecus memimpin Kahyangan Junggring Salaka, Semar baru turun tangan. Tokoh ini juga sering muncul sebagai sebuah ironi kepemimpinan, misalkan dalam lakon Resi Dandang Seta. Semar berubah wujud menjadi seekor burung raksasa, yang mengalahkan para satria. Tindakan itu dilakukan, karena Semar hendak mengingatkan pada bendara yang dianggap telah lancing, yaitu Arjuna. Arjuna dianggap pernah berbuat tidak sopan pada Semar. Maka Semar berupaya mengingatkan, agar Arjuna kembali ke jalan lurus. Semar itu merupakan tokoh misterius dalam pewayangan. Dia seorang pimpinan yang kaya permainan politk canggih. Dia pernah diludahi Arjuna, tetap diam. Dia selalu melibatkan partisipasi anak-anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam mengambil keputusan. Ini menandai tradisi politik yang oleh Lazarusli Samiana Dkk, 2006:8 disebut delibelirative democracy, artinya melibatkan masyarakat secara langsung dalam mengambil putusan. Kebersamaan tampaknya menjadi acuan dalam sukses tidak kepemimpinan. Berkaitan dengan keterlibatan kelompok dalam mengambil kebijakan, ada enam rumus politik Semar yang ditawarkan R. Ng. Ranggawarsita, yaitu: 1 lila nirmala linggih, artinya ikhlas dan duduk dalam pimpinan tidak menyakiti orang lain, 2 olahing dedugi, artinya selalu penuh pertimbangan dalam bertindak, 3 watara nimbangi, penuh kehati-hatian, dapat mempertimbangkan aspirasi orang lain, 4 pradeksaning prayogi, artinya tepat dalam pengambilan kebijakan, 5 lumawaning wani, artinya berani menghadapi musuh yang memang keliru, 6 anganam anuntagi, penuh pertimbangan nalar dan dapat menyelesaikan masalah. Manakala para pemegang saham politik di berbagai lini kehidupan mampu menjadi Semar, mungkin dunia ini lain yang musti terjadi. Politik Semar adalah upaya kepemimpinan yang menghendaki kedamaian. Kepemimpinan tidak dilakukan secara paksa dan grusa-grusu. Dalam teori Turner, Douglas, Epskamp 2005:54 Semar adalah figure yang mencerminkan ketertiban, sedangkan bathara Guru sebagai perusak. Semar sebenarnya tidak jelas kelas sosialnya, karena sebagai pembantu sekaligus penasehat. Begitulah tokoh Semar yang menjadi pimpinan sekaligus bawahan. Dia dapat memimpin dan menrasakan sebagai bawahan. Atasan pun ketika dinasehati Semar tidak merasa tersinggung. Rumus Ki Lurah Semar, sebenarnya sudah banyak dikemukakan oleh berbagai kalangan. Semar senantiasa berprinsip baya sira ngudi kamardikan kudu wani ambrastha dur angkara. Inilah getah eling lawan waspada, yang menjadi inti sikap politik sang pujangga agung itu. Berikut adalah tembang yang layak dicamkan. Angagem basa den sambang liring Liring larad yen kaduk gumisa Waluya tiwas temahe Bisa warangkanipun Denya ngrasuk rasaning kardi