Falsafah Kepemimpinan Politik Sumur dan Sungai
hanya bermanfaat secara terbatas. Penggali sumurpun tidak mau menengok apa yang terjadi di akanan kiri, yang penting mendapatkan mata air. Berbeda dengan
politik bergaya sungai, sedikit banyak tentu banyak bermanfaat bagi orang lain. Sungai memiliki mobilisasi yang hebat biarpun tidak terlalu jernih seperti sumur.
Yang lebih hebat ketika sungai itu mengalir dalam kondisi jernih, berasal dari sumber mata air asli. Sungguh akan lebih bermanfaat apabila sungai itu mengalir
jernih, menyehatkan, dan indah dipandang. B. Falsafah Kepemimpinan Prasaja dan Manjing Ajur-ajer
Kepemimpinan prasaja sederhana adalah suatu falsafah hidup. Pemimpin yang memegang teguh kepemimpinan prasaja diduga tidak akan menyengsarakan rakyat.
Paling tidak, dengan hidup sederhana, tentu tidak ada niat untuk korupsi ketika memimpin bangsa. Selain sikap sederhana, tanpa keinginan bermacam-macam neka-
neka, pemimpin perlu bersikap ajur-ajer. Artinya, pemimpin mampu melakukan treatment, untuk menjadi rakyat. Ajur-ajer akan mendorong pimpinan merasa memiliki
rakyat, sehingga ingin melindungi dan mensejahterakan.
Kepemimpinan memang membutuhkan hati. Kalau diperhatikan, kepemimpinan Jokowi, sungguh dapat meyakinkan hati rakyat Jakarta. Dia memimpin dengan hati,
dengan gaya blusukan. Blusukan merupakan strategi ampuh untuk merebut hati rakyat. Bahkan ada pendapat dengan gaya blusukan, rakyat menjadi semakin dekat. Seolah-
olah pimpinan dapat “menjadi” rakyat, mampu merasakan keinginan dan perasaan rakyat. Inilah kepemimpinan yang mampu manjing ajur ajer.
Blusukan di era para raja disebut bercengkerama. Mulkhan 2919:274-275 membenarkan bahwa bersengkerama, berdialog, dan berkomunikasi dengan warga
agar setiap warga dapat curhat kepada pemimpin, merupakan wujud pemimpin kultural. Jokowi memang memang memiliki magnit kepemimpinan, dalam hal cengkerama
blusukan. Dia mampu menakhlukkan hati rakyat, dengan gaya yang lugu polos dan sederhana. Bahkan ada yang mengusulkan agar dia mencalonkan atau dicalonkan
menjadi presiden RI pada Pemilu mendatang. Sampai saat ini sudah terbit belasan buku yang mengupas Jokowi. Semenjak memenangkan pilkada DKI Jakarta, Jokowi
menjadi sebuah magnet yang memiliki daya tarik besar bagi Indonesia. Ia sosok pemimpin yang memiliki khariamatik, dekat dengan rakyat kecil, hidup sederhana.
Keadaan inilah yang menaikkan daya pilih rakyat. Oleh karena, rakyat sudah lama merasa dibuat resah dengan sosok kepemimpinan yang tidak merakyat.
Sebagai orang Jawa, Jokowi benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai falsafah hidup Jawa dalam kehidupannya, terlebih dalam menduduki kursi
kepemimpinan. Ki Nardjoko Soeseno, yang menulis buku “Falsafah Jawa Soeharto Jokowi menyatakan bahwa kedua pemimpin tersebut tergolong pemimpin yang
kharismatik. Berbeda dengan buku-buku lain, dalam buku ini Nardjoko mengupas jati diri Jokowi sebagai orang Jawa yang mampu menjadi sosok pemimpin ideal terlebih
lagi jika dibandingkan dengan Soeharto, presiden RI ke-2.
Nardjoko menghadirkan buku ini di tengah-tengah zaman dimana sulit kita temukan teladan pemimpin sejati. Menurut dia, gaya kepemimpinan Soeharto dan
Jokowi patut dicontoh semua pemimpin di negeri ini. Saat ini Jokowi tidak hanya dicintai rakyat Jakarta dan Solo, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Sementara itu Soeharto,
dengan berbagai kesalahan yang dialamatkan kepadanya, malah sekarang dirindukan oleh rakyat yang menjelek-jelekkannya.
Soeharto memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Di awal kepemimpinannya, Soeharto menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas.
Bahkan Obama, menurut kesaksiannya ketika hidup di Jakarta menganggap bahwa apa yang dilakukan Soeharto ketika membangun Jakarta begitu menakjubkan. Selain
itu, keberpihakannya kepada petani sangat jelas. Pemimpin yang mampu memihak rakyat, jelas mampu manjing ajur-ajer. Biasanya pemimpin semacam ini banyak
disegani rakyat.
Dalam uraiannya, Nardjoko mengungkapkan falsafah yang dianut Soeharto dan Jokowi. Misalnya, kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni. Artinya,
boleh cepat asal jangan mendahuluhui, boleh pandai asal jangan menggurui. Falsafah yang berupa peribahasa tersebut mengajarkan bahwa bawahan harus dapat bekerja
sama dengan atasan dan tidak boleh sok apalagi mempermalukan atasan. Falsafah ini tidak dimaksudkan untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi malah
sebaliknya untuk meningkatkan gairah hidup masyarakat. Rakyat boleh selalu berkreasi, namun harus berpegang teguh pada komando dan aturan pimpinan.
Meski falsafah ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat Jawa, namun kita bisa melihat bagaimana sikap Soeharto terhadap Soekarno, yakni meski dianggap bersalah,
Soekarno tidak lantas diadili oleh pemerintahan Soeharto. Ini bukan nepotisme, tetapi sikap yang tegas karena kasus tersebut tidak jelas pangkalnya. Ketegasan pemimpin
penting, namun harus dilandasi nalar yang jelas. Jika tidak ada alasan yang jernih, ketegasan pimpinan dapat berubah menjadi diktator.
Falsafah ini juga diterapkan Jokowi ketika menjabat sebagai Walikota Solo dengan mencium tangan Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Meskipun secara
kualitas kepemimpinan Jokowi lebih hebat, namun Jokowi tidak sungkan-sungkan melakukan hal tersebut. Tindakan mencium tangan atasan, merupakan refleksi
percikan hati yang tulus. Ketulusan dijiwai oleh pribadi yang andhap asor, artinya merendahkan diri. Kerendahan hati pula yang dapat membangun watak kepemimpinan
prasaja dan manjing ajur-ajer.
Atas dasar falfafah kepemimpinan Jawa prasaja dan ajur-ajer, maka pegangan pokok pemimpin yaitu falsafah: 1 Aja Gumunan, 2 Aja Kagetan lan dan 3 Aja
Dumeh. Falsafah Aja Gumunan ini mengajarkan pemimpin untuk bersifat tenang dan berwibawa, tidak terlalu terheran-heran dengan suatu hal. Bila pemimpin senang heran,
akan memunculkan rasa ingin yang kadang-kadang menempuh jalan pintas. Heran itu penting, tetapi kalau berubah menjadi terheran-heran sering kurang wajar.
Falsafah kepemimpinan aja kagetan, adalah rasa tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal di luar dugaan, dan tidak boleh sombong. Falsafah ini bukan berarti
pimpinan itu anti kemajuan. Kaget adalah kondisi jiwa yang kurang wajar dan seimbang. Pimpinan yang tidak mudah kaget menyaksikan berbagai hal, tentu masih
diperbolhkan. Falsafah ini mulai ditinggalkan kebanyakan pemimpin Jawa. Mereka terlalu responsif dalam menyikapi suatu permasalahan, mudah emosi dan gemar
melakukan perang media hanya untuk merespon sesuatu yang sebenarnya jika didiamkan tidak membawa masalah apa-apa bagi dirinya.
Falsafah aja dumeh ini sering menjadi bumerang bagi seorang pimpinan, Seringkali pimpinan merasa sebagai keturunan ningrat, mantan menteri, dan
sebagainya. Rasa berbangga diri dengan menepuk dada, sebenarnya hanya dilakukan oleh pemimpin yang gila jabatan. Lebih membahayakan lagi kalau pimpinan terlalu
tergila-gilajabatan, seringkali lupa diri. Berbeda dengan pemimpin yang mengetahui tentang diri sendiri, kekurangan dan kelebihan tentu menjadi modal dalam memimpin
bangsa ini. Ketika dumeh itu yang berkembang pada diri pemimpin, buahnya adalah kesombongan diri. Pimpinan demikian biasanya kurang sukses, karena hanya akan
menjadi nerkhisus. Pemimpin yang merasa sukses sendiri, tinggal menunggu waktu, tentu akan tergeser. Biarpun pergeseran seorang pimpinan itu wajar, namun kalau
belym saatnya sudah geser seringkali menyakitkan. C. Kepemimpinan dan Kebenaran Hidup
Kebenaran hidup selalu dipandu oleh falsafah hidup seseorang. Setiap orang memiliki jiwa kepemimpinan yang berbeda-beda. Orang Jawa memiliki falsafah untuk
meraih kebahagiaan perlu menjadi pemimpin. Hal ini didorong oleh filosofi hidup yang kajeng keringan. Kajen berarti terhormat, disbanding orang lain. Posisi terhormat itulah
yang memotivasi orang Jawa mau duduk sebagai pimpinan. Kajen adalah suasana batin yang merasa lebih kacek disbanding orang lain. Suasana itu amat abstrak, tidak
dapat dijelaskan secara rinci, namun dapat dirasakan.
Kajen adalah kebenaran hidup yang dituntut oleh akal sehat. Itulah sebabnya, orang Jawa merasa lengkap hidupnya apabila telah memiliki: 1 tahta, 2 wanita, 3
harta, dan 4 wanita bagilaki-laki. Keempat hal itulah yang menyebabkan orang Jawa kajen, dihormati dan disegani orang lain. Bahkan kalau ada peristiwa jagongan di desa,
orang kajen akan didudukkan di jajaran paling atas. Orang kajeng tidak mungkin duduk lesehan dekat pintu atau jalan keluar.
Wayang selalu membawa suara kebenaran hidup. Konsep kebenaran banyak didukung oleh para tokoh, yang mengemban misi kesempurnaan. Setiap pemimpin
membawa misi untuk memperjuangkan kebenaran. Oleh sebab itu, dengan menghayati wayang seorang pimpinan akan semakin memiliki pegangan yang bermakna. Yang
dicari sebenarnya tidak sekedar kebenaran dalam budaya Jawa,melainkan ketepatan pener. Konsep bener lan bener, artinya benar dan tepat sanget dibutuhkan bagi
seorang pimpinan. Pimpinan perlu memperhatikan titik kebenaran dan ketepatan agar tidak salah arah dalam mengambil kebijakan. Orang yang bijak, tentu semakin
mendapatkan perhatian bawahan.
Setidaknya ada tiga jenis kebenaran yang mewarnai nilai-nilai yang terdapat di dalam budaya Jawa yang tercermin di dalam ajaran dan kisah-kisah simbolis dalam
wayang. Kebenaran etis ialah kebenaran yang dinilai berdasar etika, baik buruk seperti balas budi. Nilai yang dibawa oleh Karna adalah nilai etis ketika seseorang harus
berperang dengan saudara-saudara ang karena ingin membalas budi kepada
seseorang yang telah ”memuliakannya”. Kebenaran ini syah, tetapi akan menjadi dilematis ketika yang dibela adalah tokoh-tokoh yang berpihak kepada kejahatan.
Kebenaran dogmatis adalah kebenaran dalam rangka membenarkan suatu dogma, suatu keyakinan, atau suatu kepercayaan. Kebenaran model ini dilakukan oleh
Kumbakarna ketika ia harus membela negaranya dengan prinsip membela tanah airnya yang diserang musuh. True or wrong is my country. Kebenaran ini dapat menimbulkan
nilai heroisme yang tinggi. Tetapi Kumbakarna memasuki suasana tragis karena negaranya diserang akibat pimpinan negara melakukan suatu kejahatan. Situasi hati
Kumbakarna terbelah antara membela negara dan membela kejahatan.
Termasuk kebenaran dogmatis adalah kebenaran otoriter, yakni kebenaran yang dipaksakan oleh otoritas kekuasaan. Dalam tradisi Jawa, kisah tragis terkait kebenaran
otoriter ini adalah cerita antara Panembahan Senopati dan Mangir Wanabaya. Ketika Mangir Wanabaya datang ke panembahan Senopati lalu mau sujud kepada mertuanya,
Mangir Wanabaya sebenarnya sudah berada dalam “kebenaran hakiki” yang didorong oleh kekuatan universal “cinta dan penghormatan”. Namun, sikap Panembahan
Senopati yang kemudian membenturkan kepala Mangir Wanabaya ke watu gilang tidak lain karena ia menggenggam kebenaran otoriter bahwa Mangir Wanabaya seorang
musuh yang mengancam kerajaannya.
Kisah pemakaman Mangir Wanabaya yang separuh berada di dalam makam karena diakui sebagai menantu dan separuh di luar makam karena diangga musuh
adalah sebuah cacatan tentang tragedi manusia dalam memahami tingkatan kebenaran. Kebenaran hakiki adalah kebenaran berdasarkan nilai-nilai yang hakiki
ultimate value, yakni nilai-nilai yang abadi dan universal di dalam tata kehidupan tanpa memandang darimana nilai itu berasal. Nilai ini tidak memihak.
Dalam Ramayana kebenaran hakiki tampak pada tokoh utama Rama yang berperang bukan semata-mata rebutan wanita, tetapi ia hadir sebagai titisan Wisnu
yang akan “memayu hayuning bawana”. Hal ini terbaca oleh Wibisana yang justru menyeberang ke pihak Rama, seseorang yang sama sekali tidak ada kaitan darah.
Perpindahan Wibisana ke pihak Rama adalah sesuatu yang dramatis karena tentu bukan perkara mudah baginya untuk diterima Rama karena Wibisana adalah adik
tersayang Rawana, termasuk sentana Alengka. Kecurigaan sebagai mata-mata pasti akan muncul. Di piahk lain, bagi negaranya Wibisana adalah seorang pengkhianat.
Namun, apa yang dlakukan Wibisana adalah suatu usaha memperjuangkan nilai-nilai kebenaran hakiki.
Tokoh Arjuna dalam Mahabharata adalah tokoh yang menyuarakan kebenaran hakiki tersebut. Arjuna melepaskan rasa pribadi ketika harus “menghabisi” orang-orang
terhormat di matanya kakek Bisma dan kemudian harus menghadapi kakak sekandungnya, Karna. Timbul gundah di dalam hati Arjuna, tetapi kegundahan ini
kemudian sirna dengan disampaikannya ajaran ilahiah oleh Krisna di dalam Baghawat Gita bahwa Arjuna berperang semata-mata menjalankan darma dalam rangka
menghancurkan angkara murka di muka bumi, meskipun angkara itu melekat pada orang-orang terdekat dan dicintai.
Budaya Jawa adalah sebuah budaya yang telah melewati masa perkembangan yang panjang. Bukti-bukti arkeologi menunjukan bahwa sejak abad ke-4 masa
Tarumanegara di Jawa Barat, budaya Jawa telah memiliki kedudukan mantap dalam bentuk institusi dengan sistem yang baik. Kemudian abad ke-7 juga muncul Kalingga di
Jawa Tengah. Masa perkembangan dari abad ke-4 sampai dengan abad ke-21 ini tentu mengalami perkembangan dan pasang surut dan tentu saja perubahan-perubahan.
Dewasa ini, model kepemimpinan Jawa telah lebur ke dalam model kepemimpinan nasional Indonesia. Sebagai suku bangsa terbesar, konsep-konsep Jawa sangat
berpengaruh dalam dinamika sosial politik Indonesia. Bahkan, idiom-idiom Jawa seperti aja dumeh, gotong royong, rukun, tepa selira adalah contoh-contoh idiom Jawa yang
sudah menasional.