Gaya Pimpinan Jawa Sang Kodok
bagi kebijakan negara. Para pemimpin Islam tergabung dalam Majelis Ulama di seluruh wilayah negara, di bawah pengawasan Kantor Urusan Agama kecamatan.
Isbat Jawa menyatakan kodhok ngemule lenge, adalah nuansa kepemimpinan mistik kejawen. Pemimpin yang bisa manunggal dengan bawahan, begitu pula
sebaliknya, adalah potret kepaduan intim. Dalam kategori ini, sang kodok menjadi pegangan mistis bagi seorang pimpinan. Kodhok dapat mewadahi aspirasi
bawahan, dan bawahan dapat mengikuti kemauan atasan. Jika demikian terjadilah kepaduan harapan. Berbeda kalau kodok itu tidak mampu membungkus lubangnya,
berarti hanya berjalan sepihak. Hal ini persis ketika banyak anggota elit pedesaan, dengan atau tanpa persetujuan mereka, dipaksa atau dihimbau untuk menjadi
bagian dari birokrasi, menduduki jabatan yang digaji maupun tidak dalam birokrasi desa. Juga para pemimpin tradisional informal setempat, seperti sesepuh di
kalangan masyarakat, guru-guru kebatinan, dsb. berada di bawah tekanan keras dari pemerintah pusat untuk bergabung ke dalam proyek-proyek Orde Baru. Sebagai
warga negara yang loyal, merupakan kewajiban mereka untuk membantu dalam pengawasan politik dan mendukung pembangunan ekonomi. Dengan demikian, para
pemimpin lokal ditekan dari dua sisi. Mereka diharapkan mewakili kepentingan rakyat yang memilih dan, di samping itu mereka wajib menjalankan semua
keputusan
pemerintah dan
dengan setia
melaksanakan proyekproyek
pembangunan. Legitimasi penguasa tingkat atas sering dipadankan dengan tuntutan ketertiban yang didasarkan atas kepentingan masyarakat yang berbeda-beda.
Dalam konteks tuntutan inilah persetujuan untuk atau kerelaan terhadap kebijakan yang berasal dari luar harus diterjemahkan sebagai diterima di mata rakyat.
Ada ungkapan yang menarik t erkait dengan sang kodok, yaitu “katak hendak
menjadi lembu .” Artinya, orang kecil yang berkeinginan melebihi batas-batas
kewajaran. Sang kodok memang sering begitu, terutama koodok berjenis kintel. Dia sering menggelembungkan perutnya. Kesombongan yang muncul dalam watak sang
kodok memang tidak layak ditiru bagi seorang pimpinan. Namun kalau diperhatikan, kepemimpinan sang kodok demikian ternyata ada dalam dunia Jawa.Bnayak
pemimpin yang sombong,rumangsa bisa, artinya merasa bisa dan berkuasa.
Dari kepemimpinan sang kodok memang ada yang bagus dan ada watak yang tidak bagus. Yang bagus, apabila pemimpin Jawa bertindak secara senang gembira,
bahagia, tidak mudah marah. Yang tidak bagus apabila pemimpin termaksud selalu merasa berkuasa, sehingga bertindak tidak wajar. Bahkan dalam dunia ramalan
Jawa, ada kebiasaan yang tidak baik yang sering dilakukan sang kodok, yaitu ungkapan: semut ngangkrang ngrangsang ardi Merapi, prajurite kodok precil kang
mripate sakenong-kenong. Artinya, rakyat kecil yang menjadi pimpinan dengan bawahan seperti kodok kecil-kecil, biasanya lebih setia. Kodok-kodok itu setia
menjaga keamanan atasan, diperjuangkan mati-matian.
Dalam konteks demikian, kesetiaan sering diterjemahkan menjadi tunduk patuh, yang dibumbui dengan suap. Konteks bekti dengan suap, tentu menjadi peta
kepemimpinan yang kurang bagus. Sejalan dengan bahasan ini, Antlov dan Cederroth 2001:14 menyebutkan ada dua tipe tanggung jawab kepemimpinan
dapat dibedakan: 1 Pemimpin yang terutama berorientasi moral dengan rasa tanggung jawab kemasyarakatan yang tinggi. Pemimpin yang demikian itu merasa
sangat risau karena mereka adalah hasil pilihan, dan mereka dibentengi oleh ekspos
publik, dan mendapat berkah moralitas; dan 2 Pemimpin dengan orientasi ke atas dan keluar. Pemangku jabatan seperti itu ditetapkan dengan mandat secara rsmi,
dibebani dengan tugas-tugas administratif dan tertarik karena akses terhadap sumber daya negara.
Tipe 1 itu sekarang sedikit jumlahnya, kecuali pimpinan yang berasal dari area informal, seperti sesepuh desa. Sesepuh biasanya diangkat masyarakat karena
moralitas dan tanggung jajwabnya. Pimpinan semacam ini tidak mendapat imbalan upah. Berbeda dengan tipe 2, selalu ada unsur take and give, bersifat resmi, dan
selalu ada untung rugi yang dipikir dalam tindakan. Pemimpin dengan orientasi moral merasa bahwa tanggung jawab utama mereka adalah mewakili masyarakat
dan melindungi penduduk desa dari pengaruh luar. Mereka menganggap dirinya sebagai perantara di antara negara dan penduduk desa. Dengan demikian mereka
berusaha untuk menyuarakan kepentingan rakyat desa, dan berusaha mendapatkan persetujuan rakyat sebelum melaksanakan program pembangunan pemerintah.
Idealnya, seorang pemimpin moral adalah orang terpandang di desa itu yang mendapat kepercayaan dari, dan memiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat
desa, yang dilayaninya dan yang hidup bersama-sama dengannya. Tetapi sekarang ini kebanyakan pemimpin desa, termasuk mereka yang memiliki ikatan moral pribadi
yang kuat, terpaksa mengurangi rasa tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Hal ini karena prosedur pengangkatannya, kewajiban administratifnya dan tuntutan -
tuntutan lain yang disampaikan kepadanya oleh negara.
Menurut hemat saya, pimpinan yang bertipe moral sekarang sudah amat luntur. Pemimpin lokal diminta oleh atasannya untuk menjalankan kebijakan yang tidak
selalu sejalan dengan moral. Jika hal ini terjadi, kepemimpinan mereka kehilangan kredibilitas di mata penduduk desa pada umumnya. Meskipun demikian, pemimpin
itu merasa terpaksa menyesuaikan diri, karena perintah-perintah itu dikeluarkan oleh atasannya dan dipaksakan melalui sumber-sumber dari luar dan mengandung
sanksi. Perintah-perintah dapat dilaksanakan langsung melalui pengawasan terhadap sumber daya vital dan monopoli birokrasi. Perintah gaya sang kodok,
kadang-kadang tidak mengenal kompromi. Sang kodok itu seorang yang otoriter, biarpun kelihatan periang. Jika bawahan salah, jangan bertanya, akan diberi sanksi
sampai jera.
Konsep yang digunakan sang kodok, inginnya melompat-lompat, biar berhasil cepat dalam memimpin. Lompatan kodok sungguhberarti bagi pimpinan. Orang Jawa
ingin cepat menjalan kepemimpinan, biarpun berjiwa alon-alon waton kelakon, artinya lambat tetapi tetap terlaksana. Gaya sang kodok, tidak mau menunda
problem, segera mencari solusi melompat-lompat. Yang penting suasana kepemimpinan tidak gaduh. Jika kodok sedang melompat dan ngorek, irama tetap
teratur.