ceramah sebuah rri nusantara ii, tanggal 25 agustus 1996 diibaratkan seperti sikap tangan kanan dengan tangan kiri. keduanya saling asah asih asuh, yakni meskipun
tangan kanan yang tanda tangan, pegang uang seandainya dibelikan arloji, lalu diberikan ke tangan kiri.
Konsep kepemimpinan asah asih asuh tersebut memang masih abstrak karena belum mengandung indikator yang jelas. dalam kaitannya dengan indikator ini Donelson
1990: 5-15 dalam buku asih asah asuh memberikan rumusan bahwa asah asih asuh diturunkan dari bahasa inggris nurture, berarti pemeliharaan yang amat luas, meliputi
pemberian perhatian, dukungan, bantuan, kasih sayang, pelayanan, dan bimbingan atau pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan seseorang sehingga orang tersebut
mampu berkembang secara sehat.
Kata asih tercakup segala aspek yang berkaitan dengan pelayanan kasih, saling memberi dan menerima, perhatianafeksi, persahabatan, dan sebagainya. kata asah
tercakup aspek yang berhubungan dengan pengembangan pribadi, bimbingan, pendidikan, dan bantuan lain untuk tujuan karier. kata asuh berkaitan dengan
pemeliharaan, perawatan, dan dukungan sehingga orang lain tetap tegak berdiri serta menjalani hidupnya secara sehat.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan asah asih asuh adalah terkandung falsafah kepemimpinan jawa ideal yang diwariskan oleh generasi
sebelumnya. Hal ini bukan tidak beralasan karena Kamajaya 1995: 134 memberikan ciri-ciri sifat kepemimpinan Jawa yang ideal adalah, 1 orang-orang yang suci dan
ikhlas memberikan ajaran dan bimbingan hidup sejahtera lahir dan batin kepada rakyat, seperti para pendeta dan pembantu-pembantunya serta seperti kyai dan santri-
santrinya. 2 orang-orang dari keturunan baik-baik, berkedudukan pantas, yang ahli, yang rajin menambah pengetahuan, yang hidup berkecukupan dan yang jujur. Itulah
persyaratan guru yang baik; 3 orang-orang yang paham akan hukum-hukum agama, yang beribadah dan tak ragu-ragu akan kebenaran Tuhan, yang suka bertapa, yang
tekun mengabdi masyarakat dan yang tidak mengharapkan pemberian orang lain. Itulah persyaratan bagi orang yang pantas dijadikan guru.
Pemimpin masyarakat yang mempunyai watak dan iktikad seperti itu, niscaya memiliki wibawa atau kharisma tinggi. Kepemimpinannya berpengaruh besar dan
mendatangkan kebahagian lahir batin kepada rakyat, namun bilamana watak sang pemimpin bertentangan dengan masyarakat luas dan sedikitnya tidak mendekati
persyaratan itu, niscaya akan mendatangkan malapetaka kepada negara dan anak keturunan bangsanya.
C. Implementasi Kepemimpinan Asih
Falsafah kepemimpinan asih berkaitan dengan berbagai bidang kepemimpinan. Pertama, pemimpin negara, dia wajib memberikan penghargaan yang sepantasnya
kepada bawahan warga negara yang berhasil menunjukkan prestasi. Pemimpin negara hendaknya memberikan motivasi kepada warga negara. Di sini terkandung
pesan filosofi bahwa dengan pemberian perhatian dan motivasi secara manusiawi, dengan penuh kasih sayang, bawahan akan terdorong secara alamiah wajar. Melalui
sentuhan-sentuhan kejiwaan baik secara personal maupun secara sosial, pada gilirannya bawahan tidak akan merasa dipaksa untuk berkembang. Terlebih lagi dengan
upaya pemberian penghargaan yang setimpal, bawahan akan lebih tumbuh semangatnya.
Kedua, pemimpin kerajaan raja, dia berkewajiban memberikan kemakmuran kepada abdi raja. Pimpinan wajib membahagiakan bawahan dengan memberikan
sandang pangan secukupnya. Tugas pimpinan adalah memberikan bukti cinta kasih kepada bawahan, agar selalu disayuti disegani. Sikap mau memberi seorang raja ini
sebagai bukti rasa asih terhadap abdi raja kawula. Tentu saja pemberian juga harus dilandasi niat ikhlas. Hal ini menyiratkan bahwa seorang raja harus bersikap asih
terhadap bawahan. Sikap asih tersebut hendaknya juga disertai niat bersahabat, tanpa membedakan besar kecilnya pangkat, tanpa membedakan orang baik dan buruk,
semua warga negara harus dijaga agar selalu hidup rukun, semua harus didekati. Semua warga negara mempunyai hak yang sama terhadap negara. Raja harus
menghargai martabat warga negara. Hal ini mengingat bahwa raja itu bisa berdiri tegak juga tidak akan lepas dari dorongan orang kecil.
Seorang raja hendaknya juga memikirkan kenaikan pangkat bawahan. Raja mempunyai wewenang penuh untuk memberikan anugerah terhadap bawahan. Namun
raja juga berhak meminta agar para abdi yang telah berpangkat Pangeran, senantiasa syukur kepada Tuhan, bisa menempatkan diri empan papan sesuai kedudukannya. Ini
melukiskan bahwa kedudukan itu membawa konsekuensi khusus. Setidaknya, agar dijaga jangan sampai merendahkan nama atau kewibawaannya.
Pimpinan kerajaan yang berfalsafah demikian menunjukkan bahwa atasan wajib membangkitkan semangat bawahan. Pimpinan semestinya bersikap dermawan, atau
“gelem weweh tanpa diwaleh, gelem dana marang sepadha-pada”. Sebaliknya, sebagai perwujudan cinta kasih bawahan dengan atasan, sikap saling memberi dan menerima
juga dikembangkan. Bawahan pun, jika sudah merasa menjadi mitra kerja, tentu jika
harus “asok glondhong miwah pengarem-arem”, tidak akan terpaksa. Namun, semua itu didasari rasa ikhlas karena merasa manunggal antara Gusti-Kawula atasan-bawahan.
Ketiga, pemimpin keluarga. Dalam kaitan ini, orang tua sebagai pemimpin anak- anaknya, harus bersikap asih. Sikap ini ditunjukkan dengan cara memberikan
pengorbanan terhadap anaknya. Pengorbanan itu tidak hanya harta benda, namun segala hal, termasuk harga diri dan kebutuhan biologis. Hal ini seperti sikap Prabu
Darmapati yang bijaksana, rela tidak menikah lagi kendati tidak mempunyai anak laki- laki yang akan diharapkan digadhang sebagai penggantinya. Raja tersebut dengan
penuh kasih sayang mendidik anak wanita Retna Susila agar menjadi wanita yang hebat, artinya sesuai dengan keinginan pada saat itu.
Kecuali itu, orang tua juga memiliki tanggung jawab pada anak. Orang tua bertugas mendewasakan anak dan bertanggung jawab secara fisik dan psikis. Tugas
tersebut antara lain: a memberikan sandang pangan, b memberikan petuah agar anaknya selamat. Sebaliknya, anak juga harus mengetahui pengorbanan orang tua
yang tak ternilai itu, setidaknya anak juga harus menunjukkan rasa cinta kasih kepada orang tua.
Keempat, kepemimpinan orang tua terhadap generaso muda. Orang tua bertugas mengarahkan bagaimana generasi muda mencapai bercita-cita. Generasi muda yang
akan mencapai kamukten cita-cita tinggi, berpangkat, hendaknya sabar. Jangan nggege mangsa. Ibaratnya seperti mengharapkan buah durian, jika telah masak, akan
jatuh sendiri dan enak rasanya. Gambaran demikian terkandung pesan filosofi bahwa
kamukten kemuliaan hidup itu dirangsang tuna ginayuh luput. Artinya, jika belum menjadi takdirnya, kedudukan itu sulit dikejar. Dalam ungkapan Jawa, dikemukakan
bahwa siji pati loro jodho lan telu tibaning wahyu, ihwal wahyu ini sulit diburu. Itulah sebabnya, generasi muda harus tahu diri, bisa mawas diri, jika ingin bercita-cita.
Mengejar cita-cita boleh, namun dilarang mencari jalan pintas yang tidak dibenarkan oleh aturan.
D. Kepemimpinan Asah dan Aplikasinya
Kepemimpinan asah berhubungan dengan berbagai bidang, yakni: Pertama, pria sebagai pemimpin wanita. Pria adalah pimpinan keluarga, sekaligus menjadi pimpinan
isteri. Pria harus memiliki sifat mengku melindungi. Namun, dalam mengayomi itu, ada hal yang perlu diingat, yaitu harus dilandasi nalar pikiran dan hukum. Artinya, seorang
pria tidak boleh langsung memiliki semua hak milik wanita isteri. Jika pria sekaligus ingin memiliki harta kekayaan wanita, pria tadi tergolong hina.
Kepemimpinan pria tersebut harus menghargai hak-hak yang dipimpin, tidak mentang-mentang berkuasa lalu ingin menguasai segalanya. Pimpinan hendaknya
menerapkan falsafah kawicaksanan, untuk menjaga keselarasan dengan bawahan. Maksudnya, prinsip harmoni dalam hal ini menjadi sasaran utama oleh pimpinan dalam
keluarga, agar tetap terjaga keutuhan dan tanpa konflik. Prinsip harmoni dalam keluarga penting, yakni bisa dilakukan dengan memperhatikan harkat dan martabat
anggota keluarga. Masing-masing anggota pria-wanita memiliki hak asasi yang harus ditegakkan. Hak-hak mereka dilindungi oleh aturan baik secara tertulis maupun tidak.
Aturan ini yang harus dipatuhi oleh semua pihak terkait.
Kedua, orang tua sebagai pemimpin anak-anaknya. Orang tua wajib memberikan pesan-pesan kepada anak. Dalam kaitan ini, orang tua memiliki falsafah sebagai
sembur-sembur adas, siram-siram bayem. Maksudnya, menjadi penyejuk anak- anaknya karena
petuah dan petunjuk yang mereka berikan. Pesan-pesan itu banyak terkait dengan masalah-masalah etika kehidupan dan biasanya disampaikan dalam bentuk wewaler
larangan, agar anak-anaknya hidup selamat. Di antara pesan itu adalah: a jangan sampai terkecoh, b jangan malu, c jangan berbuat rusuh, d jangan berbuat jahat
terhadap sesama warga, e jangan membuat marah orang tua.
Orang tua mempunyai tanggung jawab dalam mardi siwi mendidik dan mendewasakan anak. Ajaran yang disampaikan adalah tentang kehidupan. Anak
hendaknya bisa memegang ilmu tasawuf dan hakikat hidup, yakni: a tak perlu susah jika diduga orang bodoh, b senang hati jika dihina, c jangan manja dan gila pujian.
Dalam konteks dijelaskan bahwa anak terutama pemuda, hendaknya menguasai ilmu gaib yang sungguh-sungguh, jangan sampai hanya seperti boreh bunga harum
hanya diluar daging saja pemakaiannya. Artinya, jika ada bahaya tidak berani menghadapi. Itulah sebabnya anak jangan malu-malu bertanya kepada para ahli
tentang ilmu kehidupan. Hakikat kebenaran ilmu itu tidak harus dimiliki orang yang lebih tua, bisa jadi juga dimiliki anak muda, karena itu jangan segan bertanya. Indikasi
tersebut terkandung pesan filosofi bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk mendewasakan anak. Kewajiban ini sudah menjadi tugas naluriah dan Ilahiah. Karena
itu, ia bertugas untuk memberikan bekal etik dan moral kepada anak yang dipimpin,